Mereka yang cerdas secara ruhani menyadari bahwa doa mempunyai makna yang sangat mendalam bagi dirinya. Dengan berdoa, berarti ada rasa optimisme yang mendalam di hati dan masih memiliki semangat untuk melihat ke depan. Ada sesuatu yang dituju dan diharapkan. Sehingga, dengan kandungan optimisme tersebut mereka lebih bergairah untuk menyatakan dirinya secara aktual dan lebih bertanggung jawab dalam perjalanannya meniti ombak samudera kehidupan yang penuh dengan godaan dan tantangan.
Mengingat doa merupakan bagian dari zikir, dan ’’zikir adalah keyakinan yang mendalam bahwa aku selalu dilihat oleh Tuhanku", maka dalam berdoa tersebut, mereka merasakan dirinya sedang beraudiensi dengan Tuhannya. Ia menghadapkan seluruh wajah batinnya kepada Allah dengan bersungguh-sungguh penuh rasa rendah hati dan rasa cemas tetapi sekaligus penuh harap. Dia yakin bahwa Allah tidak pernah akan memalingkan wajah-Nya dari hamba- hamba yang memohon dengan penuh kesungguhan menyatakan suara batin-nya dengan optimis. Dia sangat yakin bahwa Allah tidak pernah akan mengingkari janjinya untuk mengabulkan hamba-Nya yang berdoa. Allah tidak pernah mengenal kata jemu atau bosan untuk mendengarkan hamba yang menjerit meminta petunjuk-Nya. Karl Jasper mengatakan bahwa ’’Tuhan adalah satu-satunya yang tak kenal lelah untuk mendengarkan doa manusia" (God is the only one who does not grow tired of listening to man).
Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (al- Mu`min: 60)
"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Janganlah kamu berbuat kerusakan di mukabumi sesudah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (al-A`raaf: 55-56)
Doa bukanlah perbuatan jasmani, tetapi ia lebih merupakan sebuah ungkapan ruhani dan sebuah pernyataan batin yang menjerit dan mengharap, sambil menghadapkan batinnya kepada Yang Maha Pemurah.
Rudolf Otto dalam bukunya yang terkenal, Das Heilige, memberikan indikasi terhadap orang yang berdoa atau beragama, dalam dua terminologi yaitu tremendum dan facsinans. Orang berhadapan dengan Tuhan dengan suasana takut (tremendum), tetapi juga ada perasaan sangat tertarik ( facsinans). Perkataan Rudolf Otto belum tepat sepenuhnya. Sebab, apabila doa dilakukan oleh orang-orang yang lebih tinggi tingkatan ruhaninya, maka bukan lagi perasaan takut yang dominan. Tetapi, justru perasaan cinta yang menguasai dirinya ketika dia menyatakan harapannya kepada Allah.
Dikatakan perbuatan ruhani dan bukan jasmani, karena pada saat berdoa, seluruh qalbu kita bergetar dan berbinar cahaya yang melangit, menyelusup di antara seluruh benda duniawi untuk mendapatkan hakikat Ilahi. Ada semacam penghayatan yang sangat mendalam untuk menyimak dan ingin memahami lebih jauh tentang makna ayat-ayat atau iianda kekuasaan Ilahi, sehingga seluruh qalbunya bergetar,
"Apabila disebut nama Allah, gemetarlah hatinya; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal." (al-Anfaal: 2 )
Kesadaran yang otentik telah membangkitkan mata batinnya. Maka, seluruh dhamir atau urat syaraf qalbunya memberikan reaksi batiniah sehingga bergetarlah jiwanya. Dia tenggelam menyelusup di antara renda-renda cintanya kepada Ilahi. Sehingga, tidak jarang di antara mereka yang tersungkur dan menangis lalu melupakan seluruh keceriaan dunia canda, dan tawa. Karena, jauh di lubuk hatinya ada semacam ketukan misteri dan bisikan-jiwa amat mulia yang menggapai-gapai untuk menyadarkan dirinya bahwa betapa singkat-nya kehidupan, betapa sedikitnya bekal, betapa besamya dosa yang belum ditebusnya dengan amal saleh dirinya, dan teringatlah dia akan firman Allah,
"Hendaklah mereka sedikit tertawa dan lebih banyak menangis sebagai balasan dari apa yang mereka kerjakan."
Ucapan lidah di dalam berdoa bukanlah hakikat dari doa itu sendiri, karena doa merupakan esensi jiwa yang harus diucapkan dengan qalbu atau nurani yang paling mendalam, "Sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan hati dan rasa takut tanpa mengeraskan suara di waktu pagi dan petang. Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. " (al-A`raaf: 205)
Ayat ini mengingatkan agar pada saat berzikir, ada kesadaran diri bahwa ia sedang berhadapan dengan Yang Maha Mendengar. Sehingga, "tidak perlu dengan suara yang keras", karena suara yang keras memakai loudspeaker sambil melantunkan doa dan zikir kepada Allah menyebabkan terhalangnya cahaya qalbu yang ingin melangit karena masih dihalangi oleh yang duniawi atau jasad.
Mana mungkin kita bisa menghadap dengan sopan santun penuh hikmat, apabila mulut kita masih bicara dengan suara keras, padahal tepat di seluruh pori-pori tubuh dan lubuk hati, tampak Allah memandang dengan sangat tajam menusuk qalbu,
"Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tahannya dengan suara yang lembut." (Maryam: 3)
* KH. Toto Tasmara, Penerbit Gema Insani Press
No comments:
Post a Comment