Friday, January 6, 2012

Hikmah Ibadah Haji dan Kesatuan Umat


Jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia , kembali melaksanakan ibadah haji pada tahun ini. Di dalam Al Qur’an Allah Subhanhu Wa Ta'ala menjelaskan banyak manfaat yang bisa diambil oleh umat Islam dalam ibadah haji. “…agar mereka (jamaah haji) menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” (QS Al-Hajj [22] : 28).  Paling tidak ada tiga poin penting dari ibadah haji ini. Poin pertama dan terpenting dari Ibadah haji adalah tauhid.  Ibadah haji merupakan cerminan ketertundakan semata kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala, satu-satu Dzat yang berhak disembah oleh manusia. Sebagaimana firmannya di dalam Al Qur’an : Dan ingatlah ketika Kami menempatkan tempat Baitullah untuk Ibrahim dengan menyatakan ; “Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apapun dan sucikan rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, beribadah, ruku dan sujud” [Al-Hajj : 26].

Poin kedua adalah ketaatan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Atas dasar penghambaan semata kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala inilah muncul kewajiban ketaatan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala berupa ketertundukan kepada hukum-hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala (syariah Islam). Menjadikan Allah sebagai satu-satunya disembah , juga berarti menjadikan hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala sebagai satu-satunya yang wajib ditaati . Islam dengan tegas menyatakan hak membuat hukum ada di tangan Allah Subhanhu Wa Ta'ala : inil hukmu illa lillah (QS Yusuf : 40). Dalam tafsir al Baghawi dijelaskan al hukmu itu berupa peradilan, syariat , hukum (al qadhau), perintah (al amru) dan larangan (an nahyu).

Ketaataan semata kepada hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala inilah yang membuat jutaan umat Islam seluruh dunia berkumpul pada waktu yang tertentu di bulan dzulhijjah, melaksanakan dengan sungguh-sungguh hukum-hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam ibadah haji. Ketika diperintahkan memakai pakaian ihram berwarna putih tanpa jahitan, semua melakukannya. Saat diperintahkan thawaf , dengan gerak berlawanan dengan arah jarum jam mengelilingi ka’bah, sa’i dengan berlari-lari kecil  tujuh kali bolak balik dari bukit shafa ke marwa dan sebaliknya, semuanya taat. Termasuk wukuf , jumrah   dan amalan-amalan lainnya  semuanya tunduk. Semuanya dilakukan karena ketaatan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Sesuatu yang sangat mengharukan dan indah.

Pertanyaannya, kenapa kita membatasi ketaatan kepada hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala saat ibadah haji saja ? Bukankah kita diperintahkan Allah Subhanhu Wa Ta'ala untuk taat kepada seluruh perintah Allah Subhanhu Wa Ta'ala, disetiap waktu dan tempat. Sayangnya, ketika kita kembali ke tempat masing-masing kita kembali bergumul dan taat pada hukum-hukum kufur, ekonomi kapitalistik, budaya hedonis, politik sekuler dan demokratis. Kita mencampakkan banyak hukum-hukum Allah !

Padahal, sejak awal Islam, dimensi politik dalam ibadah haji sudah terlihat sangat kental. Sebagai contoh, dalam Haji Wada’ pada tahun ke-10 Hijriyah, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyampaikan khutbah, antara lain,”Ketahuilah, sembahlah Rabb kalian, dirikanlah shalat lima waktu kalian, laksanakanlah puasa Ramadhan kalian, bayarkanlah zakat harta kalian dengan suka rela, tunaikanlah haji di rumah Rabb kalian, dan taatilah waliyul amri kalian, niscaya kalian masuk surga Rabb kalian.” (Shafiyurrahman Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 359).

Perkataan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam,”Taatilah waliyul amri kalian (athii’uu ulaati amrikum),” secara jelas merupakan pesan politik yang strategis, karena mengingatkan umat Islam untuk tetap patuh kepada ulil amri (penguasa) (lihat QS An-Nisaa` : 59). Yang menarik, pesan politik ini merupakan satu rangkaian setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memberi pesan tentang shalat, zakat, dan haji. Jadi, terdapat makna politis yang sangat kuat dalam ibadah haji.

Dari ketaatan kepada hukum-hukum ibadah haji tersebut kita  merasakan ketentraman dan keteraturan. Tenteram karena saat itu kita senantiasa berdzikir kepada Allah bukan hanya lisan tapi juga gerak tubuh kita. Sementara keteraturan merupakan buah ketaatan kita kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Lihatlah saat thawaf mengelililngi baitullah , meskipun dalam jumlah yang massif, karena geraknya sama, muncullah keteraturan. Bayangkan kalau ketika thawaf , setiap orang bergerak menurut kehendak dirinya sendiri, hawa nafsunya, pastilah muncul kekacauan. Demikian jugalah , diluar ibadah haji, ketaatan kepada hukum Allah dalam ekonomi , politik, dan ketatanegaraan, pastilah akan berbuah keteraturan.

Point ketiga adalah persatuan umat dan ukhuwah Islamiyah. Dengan ketaatan kepada hukum Allah menghasilkan persatuan dan persaudaraan umat Islam. Kenapa umat Islam bisa menggunakan pakaian ihram yang sama dengan  melepaskan atribut-atribut fisik yang selama ini membedakan seperti pangkat dan kemewahan berpakaian? Kenapa umat Islam bisa wukuf di Arafah pada saat yang sama, ditempat yang sama, dimana jutaan manusia berkumpul , tanpa dihalangi oleh ras, warna kulit, kebangsaan, yang selama ini telah mengkotak-kotakkan umat Islam ? Tentu saja kerena ketaatan kepada hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Kalau saat ibadah haji umat Islam bisa bersatu, karena taat kepada hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala, sesungguhnya di luar itu juga kita bisa bersatu. Tentu dengan kunci yang sama, ketaatan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala.  Kewajiban mengangkat satu pemimpin dalam Islam, yakni Kholifah, akan menyatukan umat Islam secara politik . Kewajiban berjihad melawan penjajah yang menduduki wilayah umat Islam di manapun itu , akan menyatukan umat Islam memerangi penjajah. Kewajiban menjalankan syariat Islam dalam ekonomi, akan menyatukan potensi kekayaan umat Islam untuk kesejahteraan kaum muslimin. Disinilah relevansinya kenapa kita membutuhkan khilafah. Karena dengan khilafah akan muncul satu kepemimpinan Islam yang menerapkan seluruh syariah Islam yang berbuah keteraturan ! (Farid Wadjdi)

No comments:

Post a Comment