Masuknya Islam ke Indonesia--yang menurut sebagian orang diperkirakan pada abad ke-13 M--telah menandai perubahan besar dalam khazanah kebudayaan di bumi Nusantara. Agama Islam yang dibawa para imigran (pedagang, ulama, dan intelektual Muslim) Arab juga turut memengaruhi penggunaan bahasa (baik secara lisan maupun tulisan) dalam pergaulan sehari-hari.
Kebiasaan tulis-menulis pun mulai dilakukan. Menurut Syamsul Hadi, guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bahasa Arab merupakan awal mula masyarakat Indonesia menggunakan kebiasaan tulis-menulis.
Hal yang sama juga diungkapkan guru besar Fakultas Falsafah dan Agama, Universitas Paramdina Mulya, Jakarta, Abdul Hadi WM. Menurut Abdul Hadi, tulisan Arab dalam bahasa Melayu yang digunakan masyarakat di Nusantara bisa dikenali melalui penemuan prasasti atau batu bertulis yang terdapat di Kuala Berang, Terengganu, pada abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Ia menambahkan, jauh sebelum masyarakat mengenal huruf Latin, masyarakat Indonesia telah mengenal huruf Arab.
Karena itulah, tak heran bila pada sekitar abad ke 14-19 M, banyak karya-karya ulama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Seperti diungkapkan Abdul Hadi, seorang ulama di Nusantara baru diakui keulamaannya apabila menguasai tiga bahasa sekaligus, yaitu Arab, Melayu, dan daerah (Jawi, Sunda, Bugis, Banjar, dan lainnya). Ketiga bahasa tersebut dibuktikan dengan dituliskannya dalam sebuah karya (kitab).
Hingga saat ini, sebagian masyarakat Muslim, utamanya yang tinggal di Pesantren Salafiyah (tradisional), mengenal dengan baik penulisan huruf Arab dalam bahasa Melayu.
Huruf-huruf hijaiyah dalam huruf Arab yang telah ditulis ke dalam bahasa Melayu disebut sebagai huruf Jawi. Sementara itu, huruf Arab yang ditulis dalam bahasa Jawa dikenal dengan huruf Pegon, yang berarti menyimpang. Penulisan atau penerjemahan karya-karya klasik atau kitab-kitab kuno dilakukan dengan menggunakan huruf Jawi atau Pegon. Huruf Jawi itu sendiri masih kental dengan nuansa Hindu. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahasa Sansekerta.
Sayangnya, hingga kini, cara penulisan huruf Jawi atau Pegon sudah tidak begitu dikenali lagi di sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya, sebagian generasi Muslim Jawa yang kini berusia 35 tahun ke atas masih mengenal huruf Pegon yang ditulis dengan bahasa Hanacaraka. Sementara itu, generasi atau masyarakat Jawa sekarang (berusia 30 tahun ke bawah) sudah tidak begitu mengenal lagi huruf-huruf ini.
Tak hanya di Jawa, masyarakat lain pun, seperti Bugis, Banjar, dan lainnya, sudah tidak begitu mengenal bahasa daerahnya, termasuk bentuk hurufnya. ''Padahal, bangsa kita sangat kaya dengan kebudayaan. Kondisi ini disebabkan kesalahan kebijakan dalam sistem pendidikan kita,'' tegas Abdul Hadi.
Tersebar luas
Sampai sekarang, penulisan naskah dalam teks Arab-Melayu telah menyebar di Nusantara hingga ke berbagai penjuru dunia. Naskah-naskah itu tersebar hingga ke Afrika dan Eropa.
Di Nusantara, naskah-naskah Melayu kuno itu menyebar ke berbagai daerah, seperti Aceh, Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin, dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura.
Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.
Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak. Hal ini didukung dengan hadirnya beberapa percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba'at al-Riauwiyah di Panyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya itu pun menyebar hingga ke berbagai daerah.
Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya sastra yang berhasil dicetak. Apalagi, hampir setiap saat, karya itu semakin bertambah. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan sekitar 4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.
Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.
Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999) adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.(rpb) www.suaramedia.com
Kebiasaan tulis-menulis pun mulai dilakukan. Menurut Syamsul Hadi, guru besar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bahasa Arab merupakan awal mula masyarakat Indonesia menggunakan kebiasaan tulis-menulis.
Hal yang sama juga diungkapkan guru besar Fakultas Falsafah dan Agama, Universitas Paramdina Mulya, Jakarta, Abdul Hadi WM. Menurut Abdul Hadi, tulisan Arab dalam bahasa Melayu yang digunakan masyarakat di Nusantara bisa dikenali melalui penemuan prasasti atau batu bertulis yang terdapat di Kuala Berang, Terengganu, pada abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Ia menambahkan, jauh sebelum masyarakat mengenal huruf Latin, masyarakat Indonesia telah mengenal huruf Arab.
Karena itulah, tak heran bila pada sekitar abad ke 14-19 M, banyak karya-karya ulama di Nusantara yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Seperti diungkapkan Abdul Hadi, seorang ulama di Nusantara baru diakui keulamaannya apabila menguasai tiga bahasa sekaligus, yaitu Arab, Melayu, dan daerah (Jawi, Sunda, Bugis, Banjar, dan lainnya). Ketiga bahasa tersebut dibuktikan dengan dituliskannya dalam sebuah karya (kitab).
Hingga saat ini, sebagian masyarakat Muslim, utamanya yang tinggal di Pesantren Salafiyah (tradisional), mengenal dengan baik penulisan huruf Arab dalam bahasa Melayu.
Huruf-huruf hijaiyah dalam huruf Arab yang telah ditulis ke dalam bahasa Melayu disebut sebagai huruf Jawi. Sementara itu, huruf Arab yang ditulis dalam bahasa Jawa dikenal dengan huruf Pegon, yang berarti menyimpang. Penulisan atau penerjemahan karya-karya klasik atau kitab-kitab kuno dilakukan dengan menggunakan huruf Jawi atau Pegon. Huruf Jawi itu sendiri masih kental dengan nuansa Hindu. Hal ini disebabkan adanya pengaruh bahasa Sansekerta.
Sayangnya, hingga kini, cara penulisan huruf Jawi atau Pegon sudah tidak begitu dikenali lagi di sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya, sebagian generasi Muslim Jawa yang kini berusia 35 tahun ke atas masih mengenal huruf Pegon yang ditulis dengan bahasa Hanacaraka. Sementara itu, generasi atau masyarakat Jawa sekarang (berusia 30 tahun ke bawah) sudah tidak begitu mengenal lagi huruf-huruf ini.
Tak hanya di Jawa, masyarakat lain pun, seperti Bugis, Banjar, dan lainnya, sudah tidak begitu mengenal bahasa daerahnya, termasuk bentuk hurufnya. ''Padahal, bangsa kita sangat kaya dengan kebudayaan. Kondisi ini disebabkan kesalahan kebijakan dalam sistem pendidikan kita,'' tegas Abdul Hadi.
Tersebar luas
Sampai sekarang, penulisan naskah dalam teks Arab-Melayu telah menyebar di Nusantara hingga ke berbagai penjuru dunia. Naskah-naskah itu tersebar hingga ke Afrika dan Eropa.
Di Nusantara, naskah-naskah Melayu kuno itu menyebar ke berbagai daerah, seperti Aceh, Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin, dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura.
Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.
Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak. Hal ini didukung dengan hadirnya beberapa percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga, Mathba'at al-Riauwiyah di Panyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya itu pun menyebar hingga ke berbagai daerah.
Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya sastra yang berhasil dicetak. Apalagi, hampir setiap saat, karya itu semakin bertambah. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan sekitar 4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.
Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.
Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999) adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.(rpb) www.suaramedia.com
No comments:
Post a Comment