Di antara keindahan syariat Islam, bahwa kemudahan syariat yang telah Allah tetapkan ini ternyata masih saja dipermudah oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala ketika syariat ini berbenturan dengan keadaan-keadaan yang membawa kepada kesulitan. Dalam kaidah fikih dijelaskan bahwa“adanya kesulitan mendatangkan kemudahan”. Dalam kondisi bagaimanakah kemudahan di berlakukan ?.
Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh seseorang, “Agama apakah yang paling Allah cintai?” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab dengan sabdanya,“al-Hanifiyah as-Samhah.”[1]
“Al-hanifiyah as-samhah” yang dimaksud adalah agama Nabi Ibrahim Alaihissalam yang lurus dan jauh dari kesyirikan, yang dibangun di atas kemudahan. Demikian pula agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Karena beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya aku tidaklah diutus membawa agama yahudi ataupun nasrani. Akan tetapi aku diutus membawa agama al-hanifiyah as-samhah.”[2]
Hal ini juga selaras dengan apa yang Allah Subhanhu Wa Ta'ala sebutkan tentang agama Islam ini dalam firman-Nya,“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini.” (al-Hajj: 78)
Maka kita mendapati bahwa semua syariat yang Allah tetapkan dalam agama Islam ini adalah syariat yang sangat mudah. Tidak ada satu syariat pun melainkan pasti mampu dilakukan oleh manusia secara umum. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)
Sebagai contoh saja untuk menunjukkan akan mudah dan ringannya syariat Islam, shalat yang kita lakukan. Shalat yang Allah wajibkan kepada kita hanya lima kali sehari semalam. Dan hal itu hanya membutuhkan beberapa menit saja. Zakat hanya dikeluarkan dari harta yang berkembang saja setelah mencapai nishab (batas minimal harta wajib zakat), dan itupun hanya sebagian kecil saja. Kewajiban puasa hanya ada pada satu bulan selama setahun. Kewajiban haji hanya satu kali seumur hidup, dan itu pun bagi orang-orang yang telah memiliki kemampuan. Ini pada kewajiban-kewajiban utama, dan demikian pula dalam kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam kondisi sulit, datang kemudahan
Di antara keindahan syariat Islam, bahwa kemudahan syariat yang telah Allah tetapkan ini ternyata masih saja dipermudah oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala ketika syariat ini berbenturan dengan keadaan-keadaan yang membawa kepada kesulitan. Dalam kaidah fikih dijelaskan bahwa “adanya kesulitan mendatangkan kemudahan”.
Imam asy-Syathibi rohimahulloh berkata, “Orang yang memerhatikan berbagai kemudahan yang ada dalam syariat ini akan melihat bahwa kemudahan itu tidak lepas dari dua macam. Pertama, yang pada asalnya memang disyariatkan untuk kemudahan. Ini mencakup seluruh beban-beban syariat, dalam kondisi dan keadaan yang wajar. Kedua, yang disyariatkan karena adanya udzur atau penghalang-penghalang. Inilah yang dinamakan rukhshah (keringanan).”[3]
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rohimahulloh berkata, “Kemudian, bersamaan dengan kemudahan yang ada pada seluruh hukum-hukum syariat ini, jika seorang hamba mendapati sebagian udzur yang menjadikannya lemah atau dia mendapati kesulitan yang sangat berat, maka dia diberikan kemudahan sesuai dengan keadaannya. Seorang yang sakit shalat dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika tetap tidak mampu maka dengan berbaring miring dan berisyarat untuk rukuk dan sujudnya. Dan dia shalat dengan berwudhu, jika merasa berat dia boleh shalat dengan tayammum.
Demikian pula keringanan-keringanan yang ada pada kondisi safar (bepergian jauh) masuk dalam kaidah ini. Karena seorang yang bepergian jauh (musafir) berpotensi mendapati kesulitan, sehingga dibolehkan baginya untuk meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, dia boleh menjamak dua shalat (dalam satu waktu), juga boleh berbuka (baca: tidak berpuasa) di bulan Ramadhan, boleh mengusap sepatu (ketika berwudhu) selama tiga hari tiga malam. Dan orang yang sakit atau dalam perjalanan jauh ini akan tetap dituliskan baginya pahala amal yang terbiasa dia lakukan ketika sehat dan tidak bepergian.”[4]
Selain contoh yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi contoh-contoh lain yang menunjukkan diberikannya kemudahan tatkala datang kesulitan. Dimana kemudahan-kemudahan itu, disamping disebabkan oleh sakit atau safar, terkadang juga disebabkan oleh hal lain seperti adanya paksaan, karena lupa, ketidaktahuan, kesulitan atau kesusahan yang sering menimpa manusia secara keseluruhan, dan cacat atau kekurangan alami.[5]
Misalnya, diberikannya keringanan mengucapkan kalimat kufur ketika seseorang dalam keadaan terpaksa dan dikhawatirkan hilangnya nyawa selama hatinya masih tenang dengan keimanan. Tidak dicatatnya kesalahan karena lupa atau karena ketidaktahuan. Bolehnya shalat membelakangi kiblat ketika dalam ketakutan yang sangat. Bolehnya berbagai transaksi perdagangan yang secara sekilas nampak tidak selaras dengan konsekuensi kaidah-kaidah dalam perdagangan, karena adanya kebutuhan yang mengenai banyak manusia, seperti jual beli dengan cara salam. Diberikannya keringanan bagi para wanita dari kewajiban-kewajiban khusus kaum laki-laki, seperti shalat jumat, shalat berjamaah, dan berjihad. Dan contoh-contoh lainnya.
Kondisi darurat membolehkan yang haram
Ini adalah salah satu bentuk kemudahan yang datang dari syariat yang mulia ini. Ketika seseorang dihadapkan dalam kondisi darurat dan dia hanya mendapati perkara yang haram untuk bisa selamat dari kondisi darurat itu, maka saat itu dia boleh mengambil perkara yang haram itu sekadar batasan darurat itu, dan tidak boleh lebih dari itu.
Perhatikanlah firman Allah Allah Subhanhu Wa Ta'ala tentang makanan yang haram, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
Dari ayat inilah para ulama mengambil kaidah penting ini, bahwa keadaan darurat bisa membolehkan seseorang untuk mengambil perkara yang dilarang. Dan ini jelas menunjukkan datangnya kemudahan dari Allah ketika kesulitan melanda.
Hanya saja perlu dijelaskan di sini, darurat yang dimaksud adalah keadaan bahaya atau kesulitan besar yang dikhawatirkan akan membahayakan jiwa, anggota tubuh, kehormatan, akal atau harta. Yakni, adanya bahaya yang nyata terhadap salah satu lima perkara utama yang diperhatikan oleh syariat ini, yaitu: agama, jiwa, kehormatan atau keturunan, akal, dan harta. Jadi bukan semata-mata ada kebutuhan yang kita anggap mendesak kemudian dianggap sebagai keadaan darurat yang membolehkan perkara haram.
Contoh sederhana, ketika seseorang dalam keadaan kelaparan yang bisa membawanya kepada kematian, sedangkan dia tidak mendapati sesuatu makanan kecuali bangkai, maka ketika itu dia boleh makan bangkai tersebut sebatas untuk menyelamatkan diri dari bahaya kematian karena lapar.
Kemudian, dibolehkannya seseorang mengambil perkara yang terlarang itu harus dengan memperhatikan beberapa hal berikut :
Pertama, keadaan darurat itu benar-benar ada dan bukan keadaan yang belum terjadi.
Kedua, tidak ada jalan lain yang mubah untuk selamat dari keadaan darurat ini, dan jalan yang ada hanyalah jalan yang terlarang.
Ketiga, keadaan darurat ini dalam keadaan yang sangat mendesak, dimana sangat dikhawatirkan akan hilangnya jiwa atau anggota badan.
Keempat, tidak menyelisihi prinsip-prinsip dasar syariat islam berupa penjagaan hak-hak sesama, bersikap adil dan amanah, mencegah bahaya, dan penjagaan terhadap pokok akidah islam. Karena segala hal yang menyelisihi kaidah dasar syariat, tidak memiliki pengaruh dalam masalah darurat ini.
Kelima, dalam rangka menghilangkan keadaan darurat ini kita harus mencukupkan diri pada batas minimal pengambilan perkara yang haram. Dalam contoh di atas, seandainya dengan tiga kali suapan saja dari bangkai itu sudah bisa menyelamatkan diri dari keadaan darurat, maka jangan mengambil suapan yang keempat dan seterusnya. Contoh lain, ketika seorang wanita sakit parah dan mengharuskan operasi pada daerah tertentu untuk menyelamatkan jiwanya sedangkan tidak ada dokter bedah kecuali dokter laki-laki yang bukan mahram, maka dibolehkan dokter itu membuka aurat wanita itu hanya sebatas tempat yang akan dioperasi.
Dan perlu diketahui pula bahwa keadaan darurat yang membolehkan dilakukannya perkara terlarang ini tidak bisa membatalkan hak sesama manusia dari sisi materi. Keadaan darurat ini hanya menggugurkan hak Allah sehingga tidak menyebabkan dosa atau siksaan karena melakukan perkara terlarang. Seandainya keadaan darurat itu menyebabkan seseorang memakan harta orang lain untuk menyelamatkan diri dari keadaan darurat itu, maka orang ini terbebas dari segi dosa namun dia tetap berkewajiban menanggung (mengganti) harta orang lain yang dia makan.
Inilah sebagian penjelasan tentang kemudahan syariat Islam yang masih bisa menjadi lebih mudah lagi ketika keadaan-keadaan yang sulit datang kepada kita. Maka alangkah indahnya agama yang mulia ini. Wallahu a’lam.
Footnote:
[1] Diriwayatkan secara mu’allaq oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, dan secara maushul dalam al-Adabul Mufrad. Juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya (2108). Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah (881)
[2] Riwayat Ahmad, lihat ash-Shahihah (2924)
[3] Al-Muwafaqat 2/86, dinukil dari al-Qawa’idul Fiqhiyah al-Kubra wa Maa Yatafarra’ ‘anha karya Dr. Shalih bin Ghanim Sadlan, hlm. 217
[4] At-Ta’liq ‘ala al-Qawa’id wal Ushul al-Jami’ah, hlm 51
[5] Lihat al-Qawa’idul Fiqhiyah al-Kubra, hlm. 238-245
[6] Lihat pembahasan tentang hal ini dalam al-Qawa’idul Fiqhiyah al-Kubra, hlm. 250-251
ref: http://salimah.or.id
No comments:
Post a Comment