Monday, January 30, 2012

Perbankan Syariah Akan Terus Meningkat


Perdamaian Dunia yang sejati tidak akan bisa dicapai tanpa kemampuan masyarakat dunia keluar dari jerat kemiskinan. (Nobel Foundation)

Ini merupakan kabar gembira bagi para pengusaha menengah dan kecil yang berjuang susah payah mendapatkan kucuran kredit dari bank untuk modal usaha.

Sementara kalangan perbankan sepertinya tidak mau mengambil resiko karena khawatir para pengusaha menengah dan kecil ini tidak mampu mengembalikan hutangnya kepada bank, Bank Syariah justru berhasil melakukan langkah-langkah kebijakan perkreditan yang cukup progresif.

Mari kita lihat data Bank Indonesia.Ternyata, perbankan Syariah telah meningkatkan pembiayaan mudharabah atau pembiayaan bagi hasil. Menurut data Bank Indonesia, porsi pembiayaan mudharabah meningkat dari 19,4 persen pada akhir 2008 menjadi 20,6 pada akhir Maret 2009.

Ini berarti, Bank Syariah tidak hanya tetap menyalurkan pembiayaan, tetapi juga berhasil mendorong sektor riil untuk tetap bergerak meski Bank Syariah tahu hal ini bukannya tanpa resiko.

Sekadar informasi bagi kalangan awam di bidang ekonomi, khususnya perbankan, pembiayaan mudharabah merupakan pembiayaan bagi hasil antara bank dan nasabah peminjam dengan besaran margin yang disepakati.

Jika laba usaha peminjam besar, maka keuntungan yang diperoleh bank juga besar dan begitu pula sebaliknya.

Meningkatnya pembiayaan mudharabah tentu saja merupakan berita bagus bagi kalangan pengusaha menengah dan kecil yang memerlukan modal usaha berkisar antara 30 sampai 50 juta rupiah. Dan ini mencirminkan arah kebijakan perbankan Syariah untuk berpihak kepada pengusaha menengah dan kecil daripada pengusaha atau konglomerat besar.

Celakanya, sektor perbankan Indonesia saat ini dinilai terlalu berpihak kepada pengusaha besar yang biasanya mengejar modal ratusan sampai miliaran rupiah. Perbankan umum sepertinya lebih mudah mengalokasikan kreditnya kepada pengusaha besar dibandingkan sektor usaha menengah dan kecil.

Bank-bank konvensional umumnya menolak memberi kredit kepada pengusaha menengah dan kecil tanpa jaminan (collateral) misalnya tanah, rumah dan lain sebagainya. Padahal rakyat miskin ini kan umumhnya tidak punya kemampuan menyediakan jaminan tersebut.

Karenanya, gagasan perbankan Syariah untuk mengangkat harkat pengusaha lemah memang patut dipuji. Seperti tercatat dalam Data Bank Indonesia, dari total pembiayaan mudharabah sebesar Rp 39,1 triliun, sebanyak 70,9 persen telah disalurkan ke usaha kecil dan menengah.


Mencontoh Bank Grameen Bangladesh

Bank Syariah telah menerapkan skema kredit kecil dengan mencontoh konsep Grameen Bank di Bangladesh. Yaitu dengan mengembangkan lembaga keuangan mikro. Nah, Bank Syariah kemudian mengembangkan lembaga keuangan mikro Syariah yang penerapannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Yaitu menerapkan sistem bagi hasil, bukan sistem bunga (riba).

Beberapa contoh antara lain seperti Bank Muamalat dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Sedangkan yang berbentuk bukan bank terdiri dari Baitul Mal Wa Tamwil(BMT) di bawah pembinaan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dan Koperasi Syarkah Muawanah yang diberdayakan oleh beberapa Pesantren.

Status legalnya ada yang berbentuk koperasi, tapi umumnya masih dalam pembinaan yayasan atau sama sekali lepas dari institusi pengembang.

Tahun 1976, Bangladesh mengembangkan konsep Grameen Bank, dengan misi melayani rakyat yang termiskin dari yang miskin. Grameen dalam bahasa Bangla berarti desa atau pedesaan. Jadi Grameen memberikan kredit mikro tanpa jaminan. Hebatnya lagi, Bangladesh sempat mengklaim jumlah yang membayar cicilan hutangnya (repayment rate) ternyata mencapai 96 sampai 100 persen. Suatu bukti bahwa tidak benar kalau pengusaha menengah dan kecil puna sifat untuk menghindar bayar hutang.

Dalam kasus Indonesia, ternyata juga tak kalah menggembirakan. Seperti diungkapkan oleh Direktur Perbankan Syariah BI Ramzi A Zuhdi, aset perbankan Syariah nasional mengalami pertumbuhan di triwulan I tahun 2009.

Aset meningkat dari Rp 49,5 triliun pada akhir Desember 2008 menjadi Rp 51,6 triliun pada akhir Maret 2009.   

Masih Rapuh Sebagai Lembaga Keuangan

Namun ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Beberapa masalah internal masih terjadi seperti fakta bahwa struktur kelembagaannya masih belum berfungsi sebagai sistem lembaga keuangan yang efisien, daya dobrakya belum meluas dan terkesan kurang produktif.

Selain itu, sumberdaya manusia masih terbatas, manajemen yang belum efektif sehingga belum efisien, serta keterbatasan modal. Sementara itu dari segi eksternal, kemampuan monitoring juga belum efektif. Apalagi infrastruktur sampai sekarang masih kurang mendukung.

Ini tentu saja harus menjadi perhatian para pelaku bisnis dan perbankan. Bila perlu, jangan segan-segan belajar dari negara lain yang berhasil memberdayakan sektor ekonomi lemah. beberapa negara bisa jadi baha studi yang cukup efektif seperti Kanada, India dan Korea Selatan. Ketiga negara ini ternyata lembaga keuangan mikronya mampu dan telah berhasil untuk menjadi kekuatan efektif untuk pembiayaan para petani, peternak, produsen, maupun konsumen.


Tim Global Future Institute
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah

Rating: 5

No comments:

Post a Comment