Permasalahan besar yang terjadi pada pondasi kesehatan manusia zaman peradaban sekarang adalah tidak adanya sebuah kepastian dari kedokteran tentang pola hidup yang sehat, yang menyeimbangkan persarafan dan hormonal tubuh kita. Dunia kedokteran telah banyak menyarankan tentang pola makan dan olah raga, kebersihan diri dan lingkungan selain melakukan pengobatan dan tindakan medis, tetapi belum banyak menghubungkannya dengan pola hidup termasuk pola kepribadian atau sikap.
Sejak zaman Sebelum Masehi, misalnya Plato ( 400 SM ) telah mengatakan bahwa sebuah ‘great error’, ( sebuah kesalahan besar ) jika seorang tenaga medis memisahkan jiwa dan tubuh ketika melakukan usaha pengobatan seorang pasien.
Dalam Islam, telah dinyatakan bahwa al-Quran adalah sebagai syifa ( obat ), tentu bukan berarti kitab al-Quran dimakan atau diminum air rebusannya, tetapi adalah sebagai obat dari sumber panyakit yang ada dalam jiwa. Juga dalam hadist dikatakan : jika kamu sakit maka lakukanlah dua penyembuh yaitu minum madu ( dalam pengertian obat secara umum ) dan al-Quran. Dalam hadist yang lain, jadikanlah sedekah sebagai obat, juga dinyatakan bahwa : didalam diri manusia ada ‘mudghah / segumpal daging’ jika dia sehat maka sehatlah seluruh tubuh, jika dia sakit maka sakitlah selurah tubuh, ketahuilah bahwa mudghah itu adalah Qalbu. Juga dalam Al-Quran : Jika kamu sakit maka Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang akan menyembuhkan.
Usaha penyembuhan, yang kita lakukan sebenarnya adalah adalah menormalisir keseimbangan ‘kodrat manusia’ ini, baik dengan bantuan obat, tindakan medis, perawatan, sugesti, ketenangan / meditasi dan keyakinan serta pola hidup. Kita termasuk orang yang kurang beruntung jika mempunyai pemahaman ‘usaha penyembuhan hanya dilakukan dengan obat atau tindakan medis, sebagaimana pandangan dominan kedokteran ilmiah barat’. Obat, tindakan medis atau perawatan medis adalah dalam rangka mengembalikan keseimbangan ‘kodrat manusiawi’ itu. Sebagai gambaran, akan kita analisa sebuah keseimbangan alam yaitu ‘hujan’. Dalam agama Islam dikatakan, Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang menurunkan hujan. Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah membuat suatu keseimbangan siklus hujan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi sebagai ‘kodrat hujan’ agar hujan turun. Yaitu sebuah siklus, dimana terlebih dahulu harus ada pemanasan yang mangkibatkan penguapan air, dan harus ada perbedaan suhu atau perubahan suhu yang cukup ( lebih dingin ) agar molekul-molekul air yang ada diudara ( hasil penguapan ) saling berikatan membentuk butiran halus yang kemudian membesar dan akibat gaya grafitasi ( gaya jatuh ke bumi ) butiran-butiran air tersebut akan jatuh kebumi sebagai hujan. Jika penguapan air sedikit, mungkin karena kekurangan panas matahari ( energi panas akan membuat air menguap ), atau jika tidak ada suhu udara yang lebih dingin di tempat hujan akan terjadi, maka hujanpun tidak akan turun, jika ini berlangsung cukup lama maka daerah tersebut akan mengalami ‘kalainan’ yaitu kekeringan. Maka seorang ‘dokter hujan’ akan berusaha menyeimbangkan kembali ‘kodrat hujan’ ini.
Dokter hujan akan memberikan obat berupa, misalnya melakukan penghijauan ( menanam pohon ) didaerah yang tandus sehingga terbentuk hutan ( hutan adalah penyimpan air ) yang akhirnya penguapan dapat banyak terjadi dari daerah tersebut, atau penghijauan didaerah pegunungan agar daerah pegunungan tersebut labih rendah suhunya / dingin, sehingga memungkinkan bersatunya molekul-molekul air yang akhirnya membentuk butiran air hujan, atau mempercepat terjadinya ‘penyatuan molekul-molekul air ‘ dengan menaburkan serbuk garam diudara yang kita kenal dengan hujan buatan. Yang dilakukan seorang dokter hujan hanya sebatas itu. Seorang ‘dokter hujan’ hanya dapat melakukan ‘penyeimbangan’ kembali dari ‘kodrat hujan’ tersebut, tidak lebih dari itu. Dia tidak mungkin akan merubah ‘kodrat hujan’ tersebut. Semua itu tetap dalam izin Allah SWT yang memungkinkan faktor-fakrot itu terjadi, baik fasilitas, ilmu, keinginan masyarakat ataupun biaya dan sebagainya.
Begitu jugalah yang dilakukan oleh seorang dokter. Seorang dokter hanya berusaha ‘menyeimbangkan’ kembali kodrat fisiologis-metabolisme tubuh kita. Oleh karena itu tidak akan mungkin hanya dengan ‘obat’ yang kita minum atau tindakan medis saja agar kita tetap sehat. Islam telah menyatakan bahwa usaha penyembuhan dengan dua cara yaitu madu dan al-quran ( yaitu obat-obatan dan sikap, kepribadian, jiwa, suasana hati / Qalbu, perasaan, persepsi, keyakinan, emosi dll ). Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan memberikan kesembuhan pada kita apabila kodrat keseimbangan tubuh telah tersedia sebagai usaha manusiawi, dengan itulah Allah akan mengizinkan terjadinya ‘sehat’ dalam tubuh seseorang dan keseimbangan tubuh kita itu adalah tidak terlepas dari izin-Nya. Tidak mungkin jika sunatullah ‘keseimbangan kodrat tubuh belum tercapai” kita akan diberikan penyembuhan, kecuali sunatullah itu dizinkan-Nya terjadi.
Begitu juga halnya pada masyarakat yang mengharapkan turunnya hujan. Jika masyarakat didaerah yang tandus ( tidak turun hujan ) tersebut, mempunyai kepribadian ‘penebang pohon sembarangan’, maka usaha seorang dokter hujan tidak akan maksimal atau bahkan tidak berhasil, atau bahkan masyarakat tersebut mengumpat atau kesal pada dokter hujan itu, karena tidak berhasil menurunkan hujan, atau masyarakat tersebut selalu menaburkan serbuk garam di udara agar uap air besatu menjadi hujan, dan itu dilakukan seumur hidup ( dengan menerima segala efek samping yang tidak diharapkan, misalnya ‘proses korosif / karat ), hal ini terjadi mungkin karena si ‘dokter hujan’ tidak memberikan pemahaman bahwa kepribadian ‘penebang pohon’ yang ada dalam diri masyarakat tersebut menjadi sumber kekeringan yang mereka alami.
Jika dilihat dari sisi bisnis, akan menjadi bisnis yang sangat prospektif dan menguntungkan sebab hujan adalah kebutuhan yang sangat penting dan bisnis ini akan berkembang terus, selama masyarakat tersebut berkepribadian ‘penebang pohon’. Pada peradaban sekuler yang berasal dari negara-negara barat sekarang ini, kita mempunyai kepribadian ‘penebang pohon’ yang ulung, sehingga bisnis rumah sakit akan sangat menguntungkan dan sipasien mungkin seumur hidup sebagai konsumen potensial dari bisnis kesehatan tersebut.
Sebagian manusia mengatakan rileks, istirahat, kasih sayang merupakan kegiatan manusiawi yang dominan membuang waktu atau tidak produktif. Bersilaturrahim dianggap sebagai aktifitas yang membuang waktu, cinta dan saling berkasih sayang dianggap sentimentil yang hanya ada dalam acara televisi, saling berburuk sangka dan kekesalan serta ketegangan emosi sesama anggota rumah tangga menjadi sesuatu yang rutin dan wajar terjadi sehari-hari dan selalu mewarnai nuansa rumah tangga, lingkungan atau tempat kerja….bekerja-bersaing seharian tanpa henti adalah sesuatu yang dikatakan produktifitas normal, ketegangan terhadap keinginan-keinginan yang belum dan harus tercapai dianggap sebuah motivasi kerja….saling menghormati hanya sebagai basa-basi….senyuman dari kebersihan dan kelapangan hati sesuatu yang langka, walaupun ‘senyuman sapa’ akan ditemukan dari pegawai penerima tamu atau pelayanan publik.
Rumah tangga tanpa kebersamaan, rumah berfungsi dominan sebagai tempat singgah dan ‘istirahat sejenak yang tidak nyenyak’ agar besok hari bisa beraktifitas penuh ketegangan kembali…Kemesraan antar anggota keluarga hanya sekali sebulan saat menerima gaji …..apalagi makna nikmatnya, bahagianya, puas, lapangnya hati dan sehatnya bersyukur, bersedekah, senyuman, bersaudara, berkasih sayang, saling menghormati, tidak lagi dapat dirasakan manusia…..manusia sekarang jarang ‘tanpa sadar dapat tersenyam’…senyum yang nikmat.
Sejak zaman Sebelum Masehi, misalnya Plato ( 400 SM ) telah mengatakan bahwa sebuah ‘great error’, ( sebuah kesalahan besar ) jika seorang tenaga medis memisahkan jiwa dan tubuh ketika melakukan usaha pengobatan seorang pasien.
Dalam Islam, telah dinyatakan bahwa al-Quran adalah sebagai syifa ( obat ), tentu bukan berarti kitab al-Quran dimakan atau diminum air rebusannya, tetapi adalah sebagai obat dari sumber panyakit yang ada dalam jiwa. Juga dalam hadist dikatakan : jika kamu sakit maka lakukanlah dua penyembuh yaitu minum madu ( dalam pengertian obat secara umum ) dan al-Quran. Dalam hadist yang lain, jadikanlah sedekah sebagai obat, juga dinyatakan bahwa : didalam diri manusia ada ‘mudghah / segumpal daging’ jika dia sehat maka sehatlah seluruh tubuh, jika dia sakit maka sakitlah selurah tubuh, ketahuilah bahwa mudghah itu adalah Qalbu. Juga dalam Al-Quran : Jika kamu sakit maka Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang akan menyembuhkan.
Usaha penyembuhan, yang kita lakukan sebenarnya adalah adalah menormalisir keseimbangan ‘kodrat manusia’ ini, baik dengan bantuan obat, tindakan medis, perawatan, sugesti, ketenangan / meditasi dan keyakinan serta pola hidup. Kita termasuk orang yang kurang beruntung jika mempunyai pemahaman ‘usaha penyembuhan hanya dilakukan dengan obat atau tindakan medis, sebagaimana pandangan dominan kedokteran ilmiah barat’. Obat, tindakan medis atau perawatan medis adalah dalam rangka mengembalikan keseimbangan ‘kodrat manusiawi’ itu. Sebagai gambaran, akan kita analisa sebuah keseimbangan alam yaitu ‘hujan’. Dalam agama Islam dikatakan, Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang menurunkan hujan. Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah membuat suatu keseimbangan siklus hujan. Ada hal-hal yang harus dipenuhi sebagai ‘kodrat hujan’ agar hujan turun. Yaitu sebuah siklus, dimana terlebih dahulu harus ada pemanasan yang mangkibatkan penguapan air, dan harus ada perbedaan suhu atau perubahan suhu yang cukup ( lebih dingin ) agar molekul-molekul air yang ada diudara ( hasil penguapan ) saling berikatan membentuk butiran halus yang kemudian membesar dan akibat gaya grafitasi ( gaya jatuh ke bumi ) butiran-butiran air tersebut akan jatuh kebumi sebagai hujan. Jika penguapan air sedikit, mungkin karena kekurangan panas matahari ( energi panas akan membuat air menguap ), atau jika tidak ada suhu udara yang lebih dingin di tempat hujan akan terjadi, maka hujanpun tidak akan turun, jika ini berlangsung cukup lama maka daerah tersebut akan mengalami ‘kalainan’ yaitu kekeringan. Maka seorang ‘dokter hujan’ akan berusaha menyeimbangkan kembali ‘kodrat hujan’ ini.
Dokter hujan akan memberikan obat berupa, misalnya melakukan penghijauan ( menanam pohon ) didaerah yang tandus sehingga terbentuk hutan ( hutan adalah penyimpan air ) yang akhirnya penguapan dapat banyak terjadi dari daerah tersebut, atau penghijauan didaerah pegunungan agar daerah pegunungan tersebut labih rendah suhunya / dingin, sehingga memungkinkan bersatunya molekul-molekul air yang akhirnya membentuk butiran air hujan, atau mempercepat terjadinya ‘penyatuan molekul-molekul air ‘ dengan menaburkan serbuk garam diudara yang kita kenal dengan hujan buatan. Yang dilakukan seorang dokter hujan hanya sebatas itu. Seorang ‘dokter hujan’ hanya dapat melakukan ‘penyeimbangan’ kembali dari ‘kodrat hujan’ tersebut, tidak lebih dari itu. Dia tidak mungkin akan merubah ‘kodrat hujan’ tersebut. Semua itu tetap dalam izin Allah SWT yang memungkinkan faktor-fakrot itu terjadi, baik fasilitas, ilmu, keinginan masyarakat ataupun biaya dan sebagainya.
Begitu jugalah yang dilakukan oleh seorang dokter. Seorang dokter hanya berusaha ‘menyeimbangkan’ kembali kodrat fisiologis-metabolisme tubuh kita. Oleh karena itu tidak akan mungkin hanya dengan ‘obat’ yang kita minum atau tindakan medis saja agar kita tetap sehat. Islam telah menyatakan bahwa usaha penyembuhan dengan dua cara yaitu madu dan al-quran ( yaitu obat-obatan dan sikap, kepribadian, jiwa, suasana hati / Qalbu, perasaan, persepsi, keyakinan, emosi dll ). Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan memberikan kesembuhan pada kita apabila kodrat keseimbangan tubuh telah tersedia sebagai usaha manusiawi, dengan itulah Allah akan mengizinkan terjadinya ‘sehat’ dalam tubuh seseorang dan keseimbangan tubuh kita itu adalah tidak terlepas dari izin-Nya. Tidak mungkin jika sunatullah ‘keseimbangan kodrat tubuh belum tercapai” kita akan diberikan penyembuhan, kecuali sunatullah itu dizinkan-Nya terjadi.
Begitu juga halnya pada masyarakat yang mengharapkan turunnya hujan. Jika masyarakat didaerah yang tandus ( tidak turun hujan ) tersebut, mempunyai kepribadian ‘penebang pohon sembarangan’, maka usaha seorang dokter hujan tidak akan maksimal atau bahkan tidak berhasil, atau bahkan masyarakat tersebut mengumpat atau kesal pada dokter hujan itu, karena tidak berhasil menurunkan hujan, atau masyarakat tersebut selalu menaburkan serbuk garam di udara agar uap air besatu menjadi hujan, dan itu dilakukan seumur hidup ( dengan menerima segala efek samping yang tidak diharapkan, misalnya ‘proses korosif / karat ), hal ini terjadi mungkin karena si ‘dokter hujan’ tidak memberikan pemahaman bahwa kepribadian ‘penebang pohon’ yang ada dalam diri masyarakat tersebut menjadi sumber kekeringan yang mereka alami.
Jika dilihat dari sisi bisnis, akan menjadi bisnis yang sangat prospektif dan menguntungkan sebab hujan adalah kebutuhan yang sangat penting dan bisnis ini akan berkembang terus, selama masyarakat tersebut berkepribadian ‘penebang pohon’. Pada peradaban sekuler yang berasal dari negara-negara barat sekarang ini, kita mempunyai kepribadian ‘penebang pohon’ yang ulung, sehingga bisnis rumah sakit akan sangat menguntungkan dan sipasien mungkin seumur hidup sebagai konsumen potensial dari bisnis kesehatan tersebut.
Sebagian manusia mengatakan rileks, istirahat, kasih sayang merupakan kegiatan manusiawi yang dominan membuang waktu atau tidak produktif. Bersilaturrahim dianggap sebagai aktifitas yang membuang waktu, cinta dan saling berkasih sayang dianggap sentimentil yang hanya ada dalam acara televisi, saling berburuk sangka dan kekesalan serta ketegangan emosi sesama anggota rumah tangga menjadi sesuatu yang rutin dan wajar terjadi sehari-hari dan selalu mewarnai nuansa rumah tangga, lingkungan atau tempat kerja….bekerja-bersaing seharian tanpa henti adalah sesuatu yang dikatakan produktifitas normal, ketegangan terhadap keinginan-keinginan yang belum dan harus tercapai dianggap sebuah motivasi kerja….saling menghormati hanya sebagai basa-basi….senyuman dari kebersihan dan kelapangan hati sesuatu yang langka, walaupun ‘senyuman sapa’ akan ditemukan dari pegawai penerima tamu atau pelayanan publik.
Rumah tangga tanpa kebersamaan, rumah berfungsi dominan sebagai tempat singgah dan ‘istirahat sejenak yang tidak nyenyak’ agar besok hari bisa beraktifitas penuh ketegangan kembali…Kemesraan antar anggota keluarga hanya sekali sebulan saat menerima gaji …..apalagi makna nikmatnya, bahagianya, puas, lapangnya hati dan sehatnya bersyukur, bersedekah, senyuman, bersaudara, berkasih sayang, saling menghormati, tidak lagi dapat dirasakan manusia…..manusia sekarang jarang ‘tanpa sadar dapat tersenyam’…senyum yang nikmat.
Referensi: Tausiyah In Tilawatun Islamiyah
No comments:
Post a Comment