Lidah memberikan dampak yang beragam bagi pemiliknya. Semua itu tergantung pada bagaimana sang pemiliknya mengendalikan dan menjaganya. Lidah bisa menjadi liar dan juga bisa menjadi jinak. Oleh karena itu, benarlah ungkapan yang menyatakan bahwa lidahmu adalah harimaumu. Harimau akan menjadi predator yang liar dan buas jika tidak dijinakkan. Ia akan bebas berkeliaran dan berbuat apa saja. Ia akan memangsa apapun ketika lapar dan melukai siapapun yang akan mengancam keberadaannya. Berbeda jika harimau itu bisa dikendalikan. Ia akan jinak dan menjadi hewan pertunjukkan yang dikagumi. Lidah bisa diibaratkan seperti harimau tersebut. Ia akan menjadi sumber malapetaka, kebencian dan fitnah jika tidak dikendalikan. Namun sebaliknya, jika lidah bisa dikendalikan, maka lidah menjadi sumber kebaikan baik berupa ilmu maupun nasehat.
Diam bisa mengendalikan lidah dan menjadikan pikiran lebih konsentrasi. Luqman Al Hakim berkata,
“Diam itu hikmah, namun sedikit orang yang melakukannya.” Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa yang ada diantara dua kakinya (kemaluannya), maka aku menjaminnya surga).” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau diam.” (HR . Bukhari dan Muslim).
Abu Darda berkata,
“Gunakanlah kedua telingamu daripada mulutmu, karena engkau diberi dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara.”
Adapun bencana-bencana yang disebabkan lidah yaitu:
Bencana pertama, perkataan yang sia-sia. Barangsiapa mengetahui waktunya yang merupakan modal utamanya, maka dia akan menggunakannya hanya untuk perbuatan yang bermanfaat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Diantara kebaikan Islam sesorang adalah meninggalkan apa yang tidak diperlukannya.”(HR. At-Tirmidzi).
Bencana kedua, melibatkan diri dalam kebathilan, yaitu ikut dalam pembicaraan tentang kedurhakaan seperti ikut serta dalam perkumpulan orang-orang fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,“Sesungguhnya seorang hamba itu benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang menjerumuskannya kedalam neraka yang jaraknya lebih dari jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari, Muslim dll.).
Perbuatan yang mirip dengan hal itu adalah perdebatan, adu mulut dan membuka aib orang lain. Jika masalahnya berkaitan dengan kehidupan dunia, maka dia tidak perlu mendebatnya. Penyakit yang lebih besar dari suka berdebat adalah suka bertengkar. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras lagi suka bertengkar.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud bertengkar disini adalah bertengkar secara bathil atau tanpa pengetahuan. Seseorang yang memiliki hak untuk bertengkar maka sebaiknya dia berusaha menghindari pertengkaran. Pertengkaran bisa menyebabkan dada terasa panas, amarah dan menimbulkan kedengkian.
Bencana ketiga, bicara keji, suka mencela dan mengumpat. Semua ini tercela dan dilarang karena merupakan sumber keburukan dan kehinaan. Dalam hadits disebutkan, “Jauhilah perkataan keji karena Allah tidak menyukai perkataan keji dan mengolok-olok dengan perkataan keji.” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Dalam hadits lain disebutkan, “Orang mukmin itu bukan orang yang suka mencemarkan kehormatan, bukan pula orang yang suka mengutuk, berkata keji dan mengumpat.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Bukhari dll.).
Bencana keempat, bercanda. Bercanda yang ringan atau biasa saja diperbolehkan selagi dia berkata jujur dan benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga suka bercanda, namun dengan perkataan yang benar. Dalam canda Rasulullah ini telah disepakati dua hal:
1. Berbicara hanya dengan perkataan yang benar.
2. Jarang dilakukan. Jadi, tidak boleh terlalu sering bercanda. Terlalu banyak bercanda bisa mengurangi karisma dan kewibawaan seseorang bahkan bisa memancing kedengkian.
Bencana kelima, mengejek. Maksud mengejek disini adalah menghina , menyebutkan aib seseorang dan kekurangan seseorang agar bisa membuat orang tertawa. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatakannya atau menggambarkannya dengan perbuatan atau cukup dengan isyarat dan kedipan mata. Semua ini dilarang dalam syari’at.
Bencana keenam, membuka rahasia, melanggar janji, berdusta dalam perkataan dan sumpah. Semua ini dilarang kecuali memang ada keringanan untuk berdusta pada hal-hal tertentu seperti berdusta untuk siasat perang, karena perang adalah tipu daya.
Bencana ketujuh, ghibah (menggunjing). Al Qur’an telah menyebutkan larangan ghibah ini dan menyerupakan pelakunya dengan pemakan bangkai. Dalam Hadits disebutkan, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Barzah Al Aslamy, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya sedangkan iman itu belum masuk kedalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari-cari aib saudaranya niscaya Allah akan mencari-cari aib dirinya dan siapa yang Allah mencari-cari aib dirinya niscaya Dia akan membuka kejelekannya sekalipun dia bersembunyi didalam rumahnya.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzy, Ahmad dll.).
Makna ghibah adalah engkau menyebut-nyebut orang lain yang tidak ada disisimu dengan suatu perkataan yang membuatnya tidak suka jika mendengarnya baik menyangkut kekurangan pada tubuhnya, nasab, akhlak atau pakaiannya. Dalil yang menguatkan tentang hal ini adalah ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ghibah, maka beliau menjawab, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.”Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu memang ada yang seperti kataku wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika pada diri saudaramu itu ada yang seperti katamu, berarti engkau telah meng-ghibahnya dan jika pada dirinya tidak ada seperti yang engkau katakan, berarti engkau telah mendustakannya.” (HR. Muslim dan At Tirmidzi).
Apapun yang dimaksudkan untuk mencela, maka itu termasuk dalam ghibah. Orang yang mendengarkan ghibah juga terlibat dalam perkara ghibah ini. Diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya,“Barangsiapa ada seorang mukmin yang dihinakan disisinya dan dia sanggup membelanya (namun tidak melakukannya), maka Allah Subhanhu Wa Ta'ala menghinakannya dihadapan banyak orang.” (HR. Ahmad).
Suatu kali Umar bin Utbah melihat pembantunya sedang bercengkrama dengan orang lain yang sedang menggunjing orang lain. Umar berkata, “Celakalah kamu! Jaga telingamu dan jangan dengarkan perkataan kotor. Jaga juga dirimu untuk tidak berkata yang kotor karena orang yang mendengar merupakan sekutu orang yang berbicara.”
Adapun tebusan ghibah disesuaikan dengan dua pelanggaran yang dilakukan orang yang meng-ghibah, yaitu:
1. Pelanggaran terhadap hak Allah, karena dia melakukan apa yang dilarang-Nya. Tebusannya adalah bertaubat dan menyesali perbuatannya.
2. Pelanggaran terhadap kehormatan makhluk. Jika ghibah sudah didengar oleh orang yang di-ghibah-nya, maka dia harus menemuinya dengan meminta maaf kepadanya dan memperlihatkan penyesalan dihadapan orang tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya,“Siapa yang melakukan suatu ke-zhalim-an terhadap saudaranya, harta atau kehormatannya maka hendaklah dia menemuinya dan meminta maaf kepadanya dari dosa ghibah itu sebelum dia dihukum sementara dia tidak memiliki dinar maupun dirham. Jika dia memiliki kebaikan, maka kebaikan itu akan diambil lalu diberikan kepada saudaranya itu. Jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan saudaranya itu diambil dan diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Jika ghibah belum didengar oleh orang yang di ghibah maka permintaan maaf cukup dengan memohonkan ampunan bagi orang tersebut. Mujahid berkata, “Tebusan tindakanmu yang memakan daging saudaramu adalah dengan cara memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya. Begitu pula jika orang tersebut sudah meninggal dunia.”
Bencana kedelapan, mengadu domba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bencana kesembilan, kata-kata pujian. Hal inipun bisa menyebabkan bencana, yaitu berkaitan dengan:
1. Orang yang memuji. Dia terlalu berlebihan dalam memuji sehingga berakhir dengan kedustaan, bahkan bisa jadi dia memuji seseorang yang sebenarnya lebih layak untuk dicela.
2. Kaitannya dengan orang yang dipuji. Pujian ini bisa menyebabkan dirinya takabur dan ujub. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika mendengar seseorang yang memuji orang lain, “Celakalah engkau! Karena engkau telah memenggal leher rekanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika orang yang dipuji tidak menyebabkan sikapnya menjadi takabur dan ujub, maka boleh saja dilakukan. Rasulullah juga pernah memuji Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya.
Demikianlah bahaya yang ditimbulkan oleh lidah manusia. Telah banyak malapetaka yang diakibatkan oleh lidah liar yang tak bertulang ini. Bahaya yang disebutkan ini hanyalah sebagian kecil dari bahaya lidah. Kita pun harus bijaksana dalam menggunakan lidah ini sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat, yaitu kapan lidah ini harus diam dan kapan lidah ini harus berbicara. Diam adalah emas, namun dalam banyak hal, berbicara lebih berharga daripada emas.
Sumber: Minhajul Qashidin, Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk. Ibnu Qudamah: Pustaka Al Kautsar.
Diam bisa mengendalikan lidah dan menjadikan pikiran lebih konsentrasi. Luqman Al Hakim berkata,
“Diam itu hikmah, namun sedikit orang yang melakukannya.” Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa yang ada diantara dua kakinya (kemaluannya), maka aku menjaminnya surga).” (HR. Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau diam.” (HR . Bukhari dan Muslim).
Abu Darda berkata,
“Gunakanlah kedua telingamu daripada mulutmu, karena engkau diberi dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara.”
Adapun bencana-bencana yang disebabkan lidah yaitu:
Bencana pertama, perkataan yang sia-sia. Barangsiapa mengetahui waktunya yang merupakan modal utamanya, maka dia akan menggunakannya hanya untuk perbuatan yang bermanfaat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Diantara kebaikan Islam sesorang adalah meninggalkan apa yang tidak diperlukannya.”(HR. At-Tirmidzi).
Bencana kedua, melibatkan diri dalam kebathilan, yaitu ikut dalam pembicaraan tentang kedurhakaan seperti ikut serta dalam perkumpulan orang-orang fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,“Sesungguhnya seorang hamba itu benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang menjerumuskannya kedalam neraka yang jaraknya lebih dari jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari, Muslim dll.).
Perbuatan yang mirip dengan hal itu adalah perdebatan, adu mulut dan membuka aib orang lain. Jika masalahnya berkaitan dengan kehidupan dunia, maka dia tidak perlu mendebatnya. Penyakit yang lebih besar dari suka berdebat adalah suka bertengkar. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras lagi suka bertengkar.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maksud bertengkar disini adalah bertengkar secara bathil atau tanpa pengetahuan. Seseorang yang memiliki hak untuk bertengkar maka sebaiknya dia berusaha menghindari pertengkaran. Pertengkaran bisa menyebabkan dada terasa panas, amarah dan menimbulkan kedengkian.
Bencana ketiga, bicara keji, suka mencela dan mengumpat. Semua ini tercela dan dilarang karena merupakan sumber keburukan dan kehinaan. Dalam hadits disebutkan, “Jauhilah perkataan keji karena Allah tidak menyukai perkataan keji dan mengolok-olok dengan perkataan keji.” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad).
Dalam hadits lain disebutkan, “Orang mukmin itu bukan orang yang suka mencemarkan kehormatan, bukan pula orang yang suka mengutuk, berkata keji dan mengumpat.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Bukhari dll.).
Bencana keempat, bercanda. Bercanda yang ringan atau biasa saja diperbolehkan selagi dia berkata jujur dan benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga suka bercanda, namun dengan perkataan yang benar. Dalam canda Rasulullah ini telah disepakati dua hal:
1. Berbicara hanya dengan perkataan yang benar.
2. Jarang dilakukan. Jadi, tidak boleh terlalu sering bercanda. Terlalu banyak bercanda bisa mengurangi karisma dan kewibawaan seseorang bahkan bisa memancing kedengkian.
Bencana kelima, mengejek. Maksud mengejek disini adalah menghina , menyebutkan aib seseorang dan kekurangan seseorang agar bisa membuat orang tertawa. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatakannya atau menggambarkannya dengan perbuatan atau cukup dengan isyarat dan kedipan mata. Semua ini dilarang dalam syari’at.
Bencana keenam, membuka rahasia, melanggar janji, berdusta dalam perkataan dan sumpah. Semua ini dilarang kecuali memang ada keringanan untuk berdusta pada hal-hal tertentu seperti berdusta untuk siasat perang, karena perang adalah tipu daya.
Bencana ketujuh, ghibah (menggunjing). Al Qur’an telah menyebutkan larangan ghibah ini dan menyerupakan pelakunya dengan pemakan bangkai. Dalam Hadits disebutkan, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Barzah Al Aslamy, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya sedangkan iman itu belum masuk kedalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari-cari aib saudaranya niscaya Allah akan mencari-cari aib dirinya dan siapa yang Allah mencari-cari aib dirinya niscaya Dia akan membuka kejelekannya sekalipun dia bersembunyi didalam rumahnya.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzy, Ahmad dll.).
Makna ghibah adalah engkau menyebut-nyebut orang lain yang tidak ada disisimu dengan suatu perkataan yang membuatnya tidak suka jika mendengarnya baik menyangkut kekurangan pada tubuhnya, nasab, akhlak atau pakaiannya. Dalil yang menguatkan tentang hal ini adalah ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ghibah, maka beliau menjawab, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.”Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu memang ada yang seperti kataku wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika pada diri saudaramu itu ada yang seperti katamu, berarti engkau telah meng-ghibahnya dan jika pada dirinya tidak ada seperti yang engkau katakan, berarti engkau telah mendustakannya.” (HR. Muslim dan At Tirmidzi).
Apapun yang dimaksudkan untuk mencela, maka itu termasuk dalam ghibah. Orang yang mendengarkan ghibah juga terlibat dalam perkara ghibah ini. Diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya,“Barangsiapa ada seorang mukmin yang dihinakan disisinya dan dia sanggup membelanya (namun tidak melakukannya), maka Allah Subhanhu Wa Ta'ala menghinakannya dihadapan banyak orang.” (HR. Ahmad).
Suatu kali Umar bin Utbah melihat pembantunya sedang bercengkrama dengan orang lain yang sedang menggunjing orang lain. Umar berkata, “Celakalah kamu! Jaga telingamu dan jangan dengarkan perkataan kotor. Jaga juga dirimu untuk tidak berkata yang kotor karena orang yang mendengar merupakan sekutu orang yang berbicara.”
Adapun tebusan ghibah disesuaikan dengan dua pelanggaran yang dilakukan orang yang meng-ghibah, yaitu:
1. Pelanggaran terhadap hak Allah, karena dia melakukan apa yang dilarang-Nya. Tebusannya adalah bertaubat dan menyesali perbuatannya.
2. Pelanggaran terhadap kehormatan makhluk. Jika ghibah sudah didengar oleh orang yang di-ghibah-nya, maka dia harus menemuinya dengan meminta maaf kepadanya dan memperlihatkan penyesalan dihadapan orang tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya,“Siapa yang melakukan suatu ke-zhalim-an terhadap saudaranya, harta atau kehormatannya maka hendaklah dia menemuinya dan meminta maaf kepadanya dari dosa ghibah itu sebelum dia dihukum sementara dia tidak memiliki dinar maupun dirham. Jika dia memiliki kebaikan, maka kebaikan itu akan diambil lalu diberikan kepada saudaranya itu. Jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan saudaranya itu diambil dan diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari).
Jika ghibah belum didengar oleh orang yang di ghibah maka permintaan maaf cukup dengan memohonkan ampunan bagi orang tersebut. Mujahid berkata, “Tebusan tindakanmu yang memakan daging saudaramu adalah dengan cara memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya. Begitu pula jika orang tersebut sudah meninggal dunia.”
Bencana kedelapan, mengadu domba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bencana kesembilan, kata-kata pujian. Hal inipun bisa menyebabkan bencana, yaitu berkaitan dengan:
1. Orang yang memuji. Dia terlalu berlebihan dalam memuji sehingga berakhir dengan kedustaan, bahkan bisa jadi dia memuji seseorang yang sebenarnya lebih layak untuk dicela.
2. Kaitannya dengan orang yang dipuji. Pujian ini bisa menyebabkan dirinya takabur dan ujub. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika mendengar seseorang yang memuji orang lain, “Celakalah engkau! Karena engkau telah memenggal leher rekanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika orang yang dipuji tidak menyebabkan sikapnya menjadi takabur dan ujub, maka boleh saja dilakukan. Rasulullah juga pernah memuji Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya.
Demikianlah bahaya yang ditimbulkan oleh lidah manusia. Telah banyak malapetaka yang diakibatkan oleh lidah liar yang tak bertulang ini. Bahaya yang disebutkan ini hanyalah sebagian kecil dari bahaya lidah. Kita pun harus bijaksana dalam menggunakan lidah ini sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat, yaitu kapan lidah ini harus diam dan kapan lidah ini harus berbicara. Diam adalah emas, namun dalam banyak hal, berbicara lebih berharga daripada emas.
Sumber: Minhajul Qashidin, Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk. Ibnu Qudamah: Pustaka Al Kautsar.
No comments:
Post a Comment