Sunday, October 16, 2011

Al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik (Ke 2)

Pembahasan penulis di bagian pertama dari makalah yang telah dipublikasikan seputar definisi at’ta’jiir dan at-tamliik kemudian sebagian permasalahan fiqh yang dibangun di atasnya akad sewa-menyewa, dan kini akan dibahas pembagian-pembagian permasalahan ini beserta hukum-hukumnya.

Bagian-bagian akad al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik beserta hukumnya

Akad al Ijarah al Muntahiya bit Tamlik terbagi menjadi tiga bagian:

Bagian pertama: Mengikat akad sewa dalam jangka waktu tertentu yang diikuti dengan janji mendapatkan hak kepemilikannya, sedangkan janji ini tidaklah harus.

Hukumnya: Boleh
Alasannya: Karena subtansinya adalah akad sewa, sang penyewa menyewakan kepadanya suatu barang dan memberinya janji yang tidak lazim akan menghibahkan kepadanya barang tersebut di akhir waktu sewa, atau menjualnya kepadanya. Pada hakikatnya ia adalah akad sewa semata, pada asalnya, akad-akad sewa adalah halal dan diperbolehkan.

Contohnya: Disana terdapat kesepakatan antara pemberi sewa dan yang menyewa untuk menyewa pembangkit listrik selama 10 tahun, setiap tahun segini dan segini, maka inilah akad sewa, dengan dibarengi janji pemberi sewa kepada yang menyewa akan memiliki barang tersebut setelah jatuh tempo waktu sewa, bisa dikarenakan prediksi batas waktu alat ini telah habis atau dipindah alat-alat ini yang berakibat beban tanggungan harta yang kemungkinan bisa menyamai alat-alat ini, atau lebih banyak dari harga alat-alat ini, lantas ia menghibahkan atau menjual alat-alat ini kepada yang menyewa.

Bagian kedua: Mengikat akad sewa dengan barang tertentu selama jangka waktu tertentu beserta bagian-bagiannya yang jelas, yang berakibat adanya kejanggalan dalam akad ini di antaranya:

1.    Adanya tambahan biaya dari yang semestinya.
2.    Yang menyewa menanggung semua beban kerusakan dan kehancuran barang tersebut, sama saja dikarenakan melampaui batas atau tidak, sengaja ataupun tidak. Baik itu yang menyangkut ongkos-ongkos servis atau biaya urusan-urusan tuk menggunakan barang ini.
3.    Bahwa yang menyewa bila kurang dalam membayar sewa (biaya wajib) maka, sang penyewa berhak menarik barangnya darinya, lantaran dialah pemiliknya, dan tidak mengganti biaya-biaya yang lebih dari yang semestinya dari orang yang menyewa.
4.    Bila telah sempurna pelunasan angsuran biaya oleh pihak yang menyewa, maka barang sewaan beralih kepemilikannya kepada yang menyewa.

Hukumya: Terlarang.

Alasannya: Lantaran terdapat dua akad dalamnya yang datang berbarengan dalam satu transaksi, akad sewa dan akad jual beli:

Akad sewa, Bagaimanakah  akad sewa itu? yaitu dikarenakan sang penyewa berhak menarik barang ini dari yang menyewa jika kurang dalam membayar sewa. Maka ini menunjukkan bahwa pihak yang menyewa kini tidak punya hak milik, dan hanya berupa akad sewa.Begitu juga hal itu menunjukkan akad sewa; Dimana pihak penyewa berhak sepenuhnya atas biaya sewa yang sempurna, yaitu angsuran biaya yang diberikan oleh pihak yang menyewa.

Akad jual beli. Bagaimanakah akad jual beli itu? Lantaran pihak yang menyewa menanggung jaminan kerusakan dan kehancuran barang tersebut. Maka semua biaya kerusakan yang terjadi dalamnya ditanggung oleh pihak yang menyewa.

Oleh karena itu, terkumpul pada diri yang menyewa akad sewa karena tidak punya hak memiliki barang, dan akad jual beli lantaran ia menanggung jaminannya.

Jika seandainya itu akad sewa, niscaya biaya-biaya kerusakan dan kehancuran termasuk tanggungan sang penjual, karena pada asalnya,pihak yang menyewa tidak menanggung jaminan kerusakan kecuali jika dia melampaui batas atau menyia-nyiakannya.

Makna melampaui batas: melakukan suatu yang tidak dibolehkan.
Makna menyia-nyiakan: meninggalkan suatu yang wajib atasnya.

Maka tatkala terdapat dua akad berbeda yang berbarengan dalam satu transaksi,yaitu akad sewa dan akad jual beli,maka  hukum keduanya berbeda serta dampak keduanya pun tidak sama, maka tidak sah akad ini.

Akad jual beli berbeda dengan akad sewa.Lantaran jaminan dan kepemilikan dalam akad jual beli milik pembeli, adapun akad sewa, maka kepemilikan dan jaminan punya pihak penyewa selama pihak yang menyewa tidak melampaui batas atau meremehkannya.

Maka bagaimana kita kumpulkan untuk pihak  yang menyewa kewajiban menjamin (yang itu adalah tanggungan dalam akad jual beli) dengan tanggungan biaya akad sewa. Hal itu dengan cara jika kurang dalam membayar, akan ditarik darinya, juga ia menanggung barang ini dengan anggapan dialah pemiliknya, padalahal bukan pemiliknya, karena jika kurang dalam membayar akan ditarik barang tersebut darinya.

Ketika terdapat dua akad yang berbarengan dalam suatu barang, maka akad ini menjadi terlarang, karena terdapat di dalamnya kedzaliman dan kecurangan bagi orang yang menyewa serta tindakan spekulasi atasnya. Telah terdahulu bagi kita berupa kaidah-kaidah  seputar larangan kedzaliman dan larangan tindakan spekulasi.

Oleh karena itu, telah tertera fatwa akan keharaman seperti bentuk ini, di antaranya fatwa Hai’ah Kibar Ulama KSA nomor 198, dimana disitu memfatwakan akan haramnya bentuk seperti ini.Begitu pula Majma’ Fiqh Islami dalam pertemuannya yang ke 12, memfatwakan keharaman bentuk seperti ini.

Takhriij Sebagian Para Peneliti terhadap pembagian ini

Sebagian para peneliti berkata, bahwa subtansi bentuk ini adalah jual beli dengan kredit, namun sang penyewa berambisi untuk memanfaatkan kelebihan-kelebihan akad sewa, dan kelebihan-kelebihan akad jual beli semuanya untuk dirinya, itu dengan cara membebani tanggungan akad sewa dan akad jual beli kepada pihak yang menyewa, yang membuat ia menjadi pihak yang terdzalimi dan tertipu, sekaligus terhalang dari hal itu.

Bagian yang ketiga: Mengikat akad sewa  dengan barang yang ditentukan dan jelas, serta bagian-bagian yang jelas, akad ini diatur dengan kaidah-kaidah;

Kaidah pertama: Hendaknya jaminan barang sewaan berlaku atas sang pemilik / penyewa, bukan atas pihak yang menyewa, dan kita mengecualikan dari hal tersebut dua hal:

A.    Bila pihak yang menyewa melampaui batas atau meremehkannya, maka wajib atasnya tanggungan jaminannya.
B.    Hal yang menyangkut biaya pemakaian, maka ditanggung oleh pihak yang menyewa, seperti; minyak dan bensin. Adapun selainnya dari kerusakan dan kehancuran barang atau sebagiannya, atau yang dibutuhkan perawatannya dan seterusnya, pada asalnya ditanggung oleh sang pemilik / penyewa.

Karena barang sewaan, sebagaimana pernyataan ulama; adalah amanah di tangan pihak yang menyewa, maka tidak ada tanggungan baginya melainkan jika berbuat melampaui batas atau meremehkannya.

Kaidah kedua: Sesungguhnya pihak yang menyewa jika kurang dalam membayar angsuran biaya yang telah disepakati antara dia dan pihak penyewa, maka sesungguhnya dikembalikan untuknya biaya yang lebih dari yang semestinya jika ditarik barangnya darinya.

Kadangkala upah/biaya yang semisal dari mobil ini dalam sebulan adalah 500 riyal, dan pihak penyewa mengambil dari pihak yang menyewa sebesar 1200 riyal perbulan. Maka bila pihak yang menyewa kurang dalam membayar angsuran, bagi pihak penyewa atas dasar itu adalah akad sewa, dia boleh menarik barang tersebut darinya,akan tetapi wajib bagi pihak penyewa mengembalikan apa yang lebih dari harga semestinya kepada pihak yang menyewa.

Kaidah ketiga: Yang berkenaan dengan syarat balasan yakni bagi pihak penyewa, dia mensyaratkan kepada pihak yang menyewa syarat balasan akan memberinya ganti atas bahaya kerusakan yang akan dijumpainya sebagai timbal balik tidak disempurnakannya akad. Syarat balasan ini hendaknya sesuai kadar yang terjadi atasnya dari mudharat, lalu dilihat berapa yang terjadi atasnya dari kemudharotan sebagai timabal dari tidak disempurnakannya akad ini?, lantas ia membayar kepadanya, dan apa yang lebih dari itu, dia tidak membayar kepadanya.

Inilah yang benar dalam hal yang berkenaan dengan syarat balasan, bahwasanya sah persyaratannya sebagai timbal balik adanya kemudharatan yang dijumpai pemberi syarat, adapun hal yang lebih dari itu, maka dia tidak mengambil untuknya. Dan ini pula yang difatwakan oleh Hai’ah Kibar Ulama KSA.

Bila telah terpenuhi ketiga syarat ini, maka akad sewa menjadi akad yang janggal oleh ketiga kaidah ini.
Hukumnya: Telah berselisih di dalamnya para ahli ilmu rahimahumullah.

A. Sebagian ahli ilmu berpendapat melarang  akad ini secara muthlak, meskipun diatur dengan kaidah-kaidah ini.

Alasannya: Atas dasar bahwa Jumhur ahli ilmu, mereka melarang melakukan syarat akad dalam akad, dan melarang mengkaitkan akad jual beli, begitu juga akad hibah dengan syarat yang akan datang. Dan sesungguhnya memenuhi janji bukanlah sebuah keharusan, dan jika bukan sebuah keharusan dan tidak akan memenuhinya, maka tidak akan tercapai tujuan dari akad ini.

B.    Bahwasanya itu boleh dan tidak mengapa selama dia berjalan di atas kaidah-kaidah yang telah kita sebutkan.

Adapun mensyaratkan akad dalam akad atau mengkaitkan jual beli/hibah dengan syarat yang akan datang dan seterusnya, maka telah terdahulu, bahwa yang benar adalah diperbolehkan dan tidak mengapa dengannya.

Tidak mengapa badi seorang untuk mensyaratkan akad dalam akad yang lain, maka akad sewa yang disyaratkan dalamnya akad jual beli ini tidaklah mengapa.
Juga tidak mengapa pihak penyewa mengataka: “Jika anda melunasi angsuran pembayaran, saya berikan mobil ini untukmu”. Inilah akad hibah yang didasari atas syarat yang akan datang

Dan juga telah terdahulu, bahwa janji wajib dipenuhi, maka, bila pihak penyewa berjanji kepada pihak yang menyewa, lantas berkata: “Bila anda meyempurnakan angsuran pembayaran, saya jual kepadamu mobil ini atau saya berikan mobil ini kepada anda”. Maka sesungguhnya ini wajib, wajib atasnya untuk komitmen dengannya secara agama dan hukum, dan perkataan inilah yang benar.

Oleh sebab itu, jika terpenuhi kaidah-kaidah ini dan telah terang bagi kita permasalahan-permasalahan terdahulu yang diurutkan atas permasalahan ini, dan bahwasanya kesemuanya boleh dan tidak mengapa dengannya, maka akad ini menjadi sah.

Faidah:

Telah beredar dari Majma’ Fiqh Islami bentuk-bentuk yang dibolehkan dalam akad ini, dimana mereka menyebutkan yang mendekati 9 bentuk, kita sebutkan sebagiannya di antaranya:

1.    Akad sewa beserta janji untuk menjual di akhir tempo waktu, yakni: melakukan akad sewa lalu pihak penyewa menjanjikan pihak yang menyewa mobil ini dengan angsuran pembayaran, dengan janji memberikan hak milik kepadanya di masa akhir waktu dengan membayar sebesar segini dan segini. Majma’ Fiqh Islami memfatwakan kebolehannya akan bentuk seperti ini sepanjang memenuhi tiga kaidah terdahulu.

2.    Akad sewa beserta janji untuk menjual di akhir tempo waktu dengan harga pasar, yakni; keduanya bersepakat atas angsuran pembayaran, juga bersepakat bahwasanya kelak pada akhir waktu pihak penyewa melakukan akad jual beli kepada pihak yang menyewa, tetapi dengan harga pasar, maka dilihat sebagaimana yang menyamai mobil ini sekarang, lantas dijual kepadanya.

Peringatan:
Jual beli dengan harga pasar adalah perkara yang diperselisihkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memandang boleh, yakni jikalau ia berkata: Saya menjual kepada anda barang ini dengan harga yang beredar dikalangan manusia atau yang berujung kepadanya harga pasar

3. Akad sewa yang dibarengi dengan janji hibah (pemberian), yakni terlaksana untuknya akad atas     mobil ini dengan angsuran semacam ini dan seterusnya, dan pihak penyewa menjanjikan padanya jika telah sempurna pelunasan angsurannya, dia akan menghibahkan mobil ini. Ini juga gambaran yang diperbolehkan Majma’ Fiqh Islami

4    Akad sewa yang diikuti dengan hibah yang terkait dengan syarat berupa pelunasan angsuran pembayaraan pada kriteria terdahulu dan menjanjikannya untuk memilikinya. Pada kriteria ini ada menjadikan hak kepemilikan dengan hibah atas dasar pelunasan angsuran pembayaran, yakni ia mengatakan; “Jika anda dapat melunasi angsuran pembayaran pada waktunya, maka saya akan memberikan hak milik mobil kepada anda.

Bentuk seperti ini juga diperbolehkan oleh Majma’ Fiqh Islami.
Akad sewa dan bagi orang yang disewakan ada tiga pilihan diakhir waktu tempo:
Pertama: Mengembalikan barang-barang kepada pihak penyewa.
Kedua: Memiliki barang-barang tersebut dengan membayar sesuai harga yang disepakati keduanya
Ketiga: Melanjutkan akad sewa menyewa
Gambaran ini juga diperbolehkan oleh Majma’ Fiqh Islami

Penulis : Kholid Bin Ali Al Musyaiqih

No comments:

Post a Comment