Para sejarawan sains Barat mengakui bahwa ilmu kimia merupakan warisan peradaban Islam pada era kekhalifahan. Will Durant dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith, mengatakan, para kimiawan Muslim di zaman kekhalifahan telah meletakkan fondasi ilmu kimia modern.
''Kimia merupakan ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh peradaban Islam,'' papar Durant. Tak heran jika kimiawan Muslim di era keemasan bernama Jabir Ibnu Hayyan ditabalkan sebagai ''Bapak Kimia Modern''. Kontribusi kimiawan Muslim tak hanya diakui di era keemasan, pada zaman globalisasi pun kimiawan Muslim masih berprestasi.
Salah seorang penerus jejak Jabir Ibnu Hayyan di era modern itu bernama Ahmed Hassan Zewail atau Ahmed Zewail. Ia merupakan ahli kimia Muslim yang pernah meraih hadiah Nobel Kimia pada 1999. Penghargaan bergengsi itu diraihnya setelah berhasil spektroskopi femto laser.
Berkat jasanya ilmu kimia memiliki cabang baru yang disebut femtokimia. Atas jasanya itu, Zewail didapuk sebagai ''Bapak Femtokimia''. Zewail terlahir pada 26 Februari 1946 di Damanhur -- yang terletak 60 Km dari kota Alexandria, Mesir. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Sejak remaja, Zewail sangat mencintai ilmu kimia. Bahkan, dia sering menghabisakan waktu berhari-hari untuk melakukan berbagai macam penelitian kimia kecil-kecilan. Kecintaannya terhadap Kimia mendorongnya untuk mendalami ilmu itu dengan sangat serius.
Menurut Zewail, kimia sangat memesona dan memberinya pengalaman-pengalaman yang menakjubkan. ''Kimia menyediakan fenomena laboratorium yang ingin dicoba ulang dan dipahaminya secara terus menerus,'' tuturnya.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, di dalam kamar tidur sendiri, Zewail kecil, sempat merakit sebuah peralatan kecil yang terbuat dari kompor ibunya serta beberapa tabung gelas milik keluraganya untuk mengamati bagaimana sebatang kayu diubah menjadi asap dan cairan.
Selama masa SMA, kegiatan Zewail tak pernah terlepas dari berbagai macam percobaan kimia. Rupanya kimia telah mendarang daging dan menjadi bagian hidupnya. Setamat SM, Zewail memutuskan kuliah di Fakultas Sains Universitas Alexandria, jurusan kimia.
Pada 1967, Zewail lulus dari Fakultas Sains Universitas Alexandria sebagai seorang sarjana kimia dengan meraih predikat cum laude. Melihat prestasinya yang sangat cemerlang di bidang pendidikan, terutama kimia, Zewail akhirnya diangkat sebagai asisten dosen di fakultasnya.
Setelah itu, dia mendapatkan beasiswa S-2 guna mengasah bakat dan ilmunya lebih lanjut. Sebagai seorang asisten dosen dia sangat disukai oleh para mahasiswanya. Sebab selain baik budi pekertinya, dia mampu memberikan penjelasan-penjelasan tentang kimia kepada mahasiswanya dengan baik. Sehingga para mahasiswanya mampu menyerap ilmu yang disampaikannya.
Pada 1969, ia berkesempatan mendapat beasiswa pada prgram doktoral Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Pertama kali menginjakkan kaki dan belajar di Amerika Serikat membuat Zewail merasa sangat kesulitan. Maklum saja, budaya antara Mesir dan Amerika sangat jauh berbeda. Selain itu, kemampuan berbahasa Inggrisnya masih pas-pasan. Meski begitu, Zewail berbekal tekad baja, ia akhirnya mampu belajar di negara tersebut.
Berbekat otak yang encer, Zewail mampu menyelesaikan disertasinya dalam waktu yang singkat, yakni delapan bulan. Topik penelitian yang dikajinya dalam disertasinya itu tentang interaksi molekul dengan cahaya atau disebut spektroskopi pasangan molukeul (dimer). Pada 1974, Zewail meraih gelar doktor.
Begitu menyelesaikan studinya, wilayah Timur Tengah dilanda peperangan dan mengalami pergolakan hebat. Zewail pun memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, Mesir. Ia akhirnya bekerja sebagai peneliti pascadoktoral di Universitas Barkeley selama dua tahun dan melamar posisi dosen ke universitas-universitas ternama di Amerika Serikat.
Setelah menerima beberapa tawaran, ia memutuskan memilih berkarir pada California Institute of Technology di California. Di universitas tersebut, Zewail melakukan penelitian keadaan transisi reaksi kimia.
Keadaan transisi reaksi kimia adalah waktu yang harus dilalui molekul atau atom saat bereaksi. Keadaan ini sangat sulit diamati sebab terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Waktu keadaan transisi yaitu dalam rentang femtodetik (sepuluh pangkat minus 15 detik). Sebagai gambaran, satu femtodetik setara dengan satu detik dibagi 32 juta tahun.
Seperti para ahli kimia yang sudah melakukan penelitian sebelumnya, Zewail menghadapi berbagai macam masalah teknis dalam melakukan penelitian keadaan transisi ini. Bahkan beberapa ilmuwan mengatakan, apa yang dilakukan Zewail itu tidak akan berhasil.
Zewail tak seperti ahli kimia lainnya yang pesimistis. Ia justru tertantang dan sekamin intensif dalam penelitiannya. Saking bersemangatnya, ia sering berada di laboratorium sampai pukul 4 pagi dan menghabiskan bergelas-gelas kopi.
Dia terus saja fokus terhadap penelitiannya. Hingga akhirnya, pada akhir1980-an, Zewail berhasil mengamati keadaan transisi reaksi kimia garam natrium iodida dengan spektotrofotometer baru ciptaannya, yang sumber cahayanya berasal dari laser berdurasi femtodetik.
Meski berhasil dalam penelitiannya, Zewail belum merasa puas. Dia menggunakan alatnya itu untuk meneliti reaksi-reaksi kimia lain dari cairan, padatan, gas, dan bahkan reaksi-reaksi kimia hayati (reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup). Penelitian-penelitian Zewail tersebut diakui dan dipuji sebagai terobosan oleh komunitas ilmiah. Beberapa tahun kemudian, penelitian-penelitan Zewail dan koleganya melahirkan cabang baru ilmu kimia yang disebut femtokimia.
Tidak hanya itu, pada 1999, Zewail pun dianugerahi Hadiah Nobel Kimia. Dengan demikian, Zewail adalah peletak dasar pengembangan femtokimia, sehingga ia layak disebut sebagai Bapak Femtokimia.
Bahkan Zewail pernah dinominasikan menjadi salah satu anggota Presidential Council of Advisors on Science and Technology (PCAST) bagi kepemimpinan Presiden Amerika Serikat yang baru Barack Obama. PCAST berbicara pnajang lebar mengenai edukasi, ilmu pengetahuan, pertahanan, energi, ekonomi, serta teknologi.
Prestasi dan Karya Penerus Jabir Ibnu Hayyan
Atas penemuannya terhadap ilmu femtokimia, Zewail mendapatkan berbagai macam penghargaan. Selain mendapatkan Nobel Kimia, ia juga meraih penghargaan Wolf Prize dalam bidang kimia pada 1993 dari Wolf Foundation. Tolman Medal dan Robert A Welch Award juga sempat dianugerahkan kepadanya pada 1997.
Pada 1999, dia mendapatkan gelar penghormatan tertinggi di Mesir yaitu Grand Collar of the Nile. Zewail juga mendapatkan sempat menerima gelar kehormatan PhD Honoris dari Lund University di Swedia pada Mei 2003. Ia juga tercatat sebagai salah seorang anggota Royal Swedish Academy of Sciences.
Cambridge University juga menganugerahinya gelar Honorary Doctorate in Science pada 2006. Dua tahun kemudian, tepatnya Mei 008, Zewail juga menerima menerima PhD Honoris Causa dari Complutense University of Madrid. Setahun kemudian, ia juga diberikan honorary PhD dalam seni dan ilmu pengetahuan dari University of Jordan.
Kecintaan Zewail terhadap ilmu pengetahuan, terutama kimia membuatnya tak pernah lelah untuk menuliskan berbagai macam cara dia melakukan percobaan kimia, termasuk prosesnya, hingga akhirnya mendapatkan hasil reaksi kimia yang mengagumkan.
Dia terus menerus menulis berbagai macam karya yang berkaitan dengan ilmu kimia untuk membagikan pengetahuannya terhadap kimia kepada semua orang. Sejumlah karya-karya besar Zewail dalam ilmu kimia antara lain: Advances in Laser Spectroscopy I, Advances in Laser Chemistry, Photochemistry and Photobiology, Volume 1 dan 2, Ultrafast Phenomena VII, The Chemical Bond: Structure and Dynamics, Ultrafast Phenomena VIII, serta Ultrafast Phenomena IX.
Selain itu, dia juga menulis karya lainnya bertajuk, Femtochemistry: Ultrafast Dynamics of the Chemical Bond, serta Voyage Through Time: Walks of Life to the Nobel Prize. Buku yang terkait dengan peristiwa Zewail mendapatkan Nobel ini diterjemahkan ke dalam 17 bahasa antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Romania, Hungaria, Rusia, Arabi, Cina, Korea, Indonesia, India
Ia juga menulis buku bertajuk Age of Science, Time (Al Zaman, in Arabic), Dialogue of Civilizations 2007, Physical Biology: From Atoms to Medicine, serta 4D Electron Microscopy.
Selain menulis berbagai macam buku tersebut, Ahmad Zewail juga menjadi editor Encyclopedia of Analytical Chemistry. Hal itu dilakukannya supaya tidak ada kesalahan dalam menuliskan ensiklopedia kimia tersebut.(rpb) www.suaramedia.com
''Kimia merupakan ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh peradaban Islam,'' papar Durant. Tak heran jika kimiawan Muslim di era keemasan bernama Jabir Ibnu Hayyan ditabalkan sebagai ''Bapak Kimia Modern''. Kontribusi kimiawan Muslim tak hanya diakui di era keemasan, pada zaman globalisasi pun kimiawan Muslim masih berprestasi.
Salah seorang penerus jejak Jabir Ibnu Hayyan di era modern itu bernama Ahmed Hassan Zewail atau Ahmed Zewail. Ia merupakan ahli kimia Muslim yang pernah meraih hadiah Nobel Kimia pada 1999. Penghargaan bergengsi itu diraihnya setelah berhasil spektroskopi femto laser.
Berkat jasanya ilmu kimia memiliki cabang baru yang disebut femtokimia. Atas jasanya itu, Zewail didapuk sebagai ''Bapak Femtokimia''. Zewail terlahir pada 26 Februari 1946 di Damanhur -- yang terletak 60 Km dari kota Alexandria, Mesir. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Sejak remaja, Zewail sangat mencintai ilmu kimia. Bahkan, dia sering menghabisakan waktu berhari-hari untuk melakukan berbagai macam penelitian kimia kecil-kecilan. Kecintaannya terhadap Kimia mendorongnya untuk mendalami ilmu itu dengan sangat serius.
Menurut Zewail, kimia sangat memesona dan memberinya pengalaman-pengalaman yang menakjubkan. ''Kimia menyediakan fenomena laboratorium yang ingin dicoba ulang dan dipahaminya secara terus menerus,'' tuturnya.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, di dalam kamar tidur sendiri, Zewail kecil, sempat merakit sebuah peralatan kecil yang terbuat dari kompor ibunya serta beberapa tabung gelas milik keluraganya untuk mengamati bagaimana sebatang kayu diubah menjadi asap dan cairan.
Selama masa SMA, kegiatan Zewail tak pernah terlepas dari berbagai macam percobaan kimia. Rupanya kimia telah mendarang daging dan menjadi bagian hidupnya. Setamat SM, Zewail memutuskan kuliah di Fakultas Sains Universitas Alexandria, jurusan kimia.
Pada 1967, Zewail lulus dari Fakultas Sains Universitas Alexandria sebagai seorang sarjana kimia dengan meraih predikat cum laude. Melihat prestasinya yang sangat cemerlang di bidang pendidikan, terutama kimia, Zewail akhirnya diangkat sebagai asisten dosen di fakultasnya.
Setelah itu, dia mendapatkan beasiswa S-2 guna mengasah bakat dan ilmunya lebih lanjut. Sebagai seorang asisten dosen dia sangat disukai oleh para mahasiswanya. Sebab selain baik budi pekertinya, dia mampu memberikan penjelasan-penjelasan tentang kimia kepada mahasiswanya dengan baik. Sehingga para mahasiswanya mampu menyerap ilmu yang disampaikannya.
Pada 1969, ia berkesempatan mendapat beasiswa pada prgram doktoral Universitas Pensylvania, Philadelphia, Amerika Serikat. Pertama kali menginjakkan kaki dan belajar di Amerika Serikat membuat Zewail merasa sangat kesulitan. Maklum saja, budaya antara Mesir dan Amerika sangat jauh berbeda. Selain itu, kemampuan berbahasa Inggrisnya masih pas-pasan. Meski begitu, Zewail berbekal tekad baja, ia akhirnya mampu belajar di negara tersebut.
Berbekat otak yang encer, Zewail mampu menyelesaikan disertasinya dalam waktu yang singkat, yakni delapan bulan. Topik penelitian yang dikajinya dalam disertasinya itu tentang interaksi molekul dengan cahaya atau disebut spektroskopi pasangan molukeul (dimer). Pada 1974, Zewail meraih gelar doktor.
Begitu menyelesaikan studinya, wilayah Timur Tengah dilanda peperangan dan mengalami pergolakan hebat. Zewail pun memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, Mesir. Ia akhirnya bekerja sebagai peneliti pascadoktoral di Universitas Barkeley selama dua tahun dan melamar posisi dosen ke universitas-universitas ternama di Amerika Serikat.
Setelah menerima beberapa tawaran, ia memutuskan memilih berkarir pada California Institute of Technology di California. Di universitas tersebut, Zewail melakukan penelitian keadaan transisi reaksi kimia.
Keadaan transisi reaksi kimia adalah waktu yang harus dilalui molekul atau atom saat bereaksi. Keadaan ini sangat sulit diamati sebab terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Waktu keadaan transisi yaitu dalam rentang femtodetik (sepuluh pangkat minus 15 detik). Sebagai gambaran, satu femtodetik setara dengan satu detik dibagi 32 juta tahun.
Seperti para ahli kimia yang sudah melakukan penelitian sebelumnya, Zewail menghadapi berbagai macam masalah teknis dalam melakukan penelitian keadaan transisi ini. Bahkan beberapa ilmuwan mengatakan, apa yang dilakukan Zewail itu tidak akan berhasil.
Zewail tak seperti ahli kimia lainnya yang pesimistis. Ia justru tertantang dan sekamin intensif dalam penelitiannya. Saking bersemangatnya, ia sering berada di laboratorium sampai pukul 4 pagi dan menghabiskan bergelas-gelas kopi.
Dia terus saja fokus terhadap penelitiannya. Hingga akhirnya, pada akhir1980-an, Zewail berhasil mengamati keadaan transisi reaksi kimia garam natrium iodida dengan spektotrofotometer baru ciptaannya, yang sumber cahayanya berasal dari laser berdurasi femtodetik.
Meski berhasil dalam penelitiannya, Zewail belum merasa puas. Dia menggunakan alatnya itu untuk meneliti reaksi-reaksi kimia lain dari cairan, padatan, gas, dan bahkan reaksi-reaksi kimia hayati (reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup). Penelitian-penelitian Zewail tersebut diakui dan dipuji sebagai terobosan oleh komunitas ilmiah. Beberapa tahun kemudian, penelitian-penelitan Zewail dan koleganya melahirkan cabang baru ilmu kimia yang disebut femtokimia.
Tidak hanya itu, pada 1999, Zewail pun dianugerahi Hadiah Nobel Kimia. Dengan demikian, Zewail adalah peletak dasar pengembangan femtokimia, sehingga ia layak disebut sebagai Bapak Femtokimia.
Bahkan Zewail pernah dinominasikan menjadi salah satu anggota Presidential Council of Advisors on Science and Technology (PCAST) bagi kepemimpinan Presiden Amerika Serikat yang baru Barack Obama. PCAST berbicara pnajang lebar mengenai edukasi, ilmu pengetahuan, pertahanan, energi, ekonomi, serta teknologi.
Prestasi dan Karya Penerus Jabir Ibnu Hayyan
Atas penemuannya terhadap ilmu femtokimia, Zewail mendapatkan berbagai macam penghargaan. Selain mendapatkan Nobel Kimia, ia juga meraih penghargaan Wolf Prize dalam bidang kimia pada 1993 dari Wolf Foundation. Tolman Medal dan Robert A Welch Award juga sempat dianugerahkan kepadanya pada 1997.
Pada 1999, dia mendapatkan gelar penghormatan tertinggi di Mesir yaitu Grand Collar of the Nile. Zewail juga mendapatkan sempat menerima gelar kehormatan PhD Honoris dari Lund University di Swedia pada Mei 2003. Ia juga tercatat sebagai salah seorang anggota Royal Swedish Academy of Sciences.
Cambridge University juga menganugerahinya gelar Honorary Doctorate in Science pada 2006. Dua tahun kemudian, tepatnya Mei 008, Zewail juga menerima menerima PhD Honoris Causa dari Complutense University of Madrid. Setahun kemudian, ia juga diberikan honorary PhD dalam seni dan ilmu pengetahuan dari University of Jordan.
Kecintaan Zewail terhadap ilmu pengetahuan, terutama kimia membuatnya tak pernah lelah untuk menuliskan berbagai macam cara dia melakukan percobaan kimia, termasuk prosesnya, hingga akhirnya mendapatkan hasil reaksi kimia yang mengagumkan.
Dia terus menerus menulis berbagai macam karya yang berkaitan dengan ilmu kimia untuk membagikan pengetahuannya terhadap kimia kepada semua orang. Sejumlah karya-karya besar Zewail dalam ilmu kimia antara lain: Advances in Laser Spectroscopy I, Advances in Laser Chemistry, Photochemistry and Photobiology, Volume 1 dan 2, Ultrafast Phenomena VII, The Chemical Bond: Structure and Dynamics, Ultrafast Phenomena VIII, serta Ultrafast Phenomena IX.
Selain itu, dia juga menulis karya lainnya bertajuk, Femtochemistry: Ultrafast Dynamics of the Chemical Bond, serta Voyage Through Time: Walks of Life to the Nobel Prize. Buku yang terkait dengan peristiwa Zewail mendapatkan Nobel ini diterjemahkan ke dalam 17 bahasa antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Romania, Hungaria, Rusia, Arabi, Cina, Korea, Indonesia, India
Ia juga menulis buku bertajuk Age of Science, Time (Al Zaman, in Arabic), Dialogue of Civilizations 2007, Physical Biology: From Atoms to Medicine, serta 4D Electron Microscopy.
Selain menulis berbagai macam buku tersebut, Ahmad Zewail juga menjadi editor Encyclopedia of Analytical Chemistry. Hal itu dilakukannya supaya tidak ada kesalahan dalam menuliskan ensiklopedia kimia tersebut.(rpb) www.suaramedia.com
No comments:
Post a Comment