Monday, October 31, 2011

Kajian Adab-Adab Tentang Makan

Dalam melakukan kegiatan sehari-hari seorang muslim tak kan lepas dari akhlak yang harus dilaksanakan dalam menjalankan aktifitasnya, salah satunya yaitu ketika makan. sejak zaman Rosul, islam telah mengajarkan bagaimana penganutnya beretika saat hendak makan  maupun setelah makan. Berikut adalah beberapa etika makan dalam islam :

a. Memulai makan dengan mengucapkan Bismillah.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian hendak makan, maka ucapkanlah: ‘Bismilah.’ Dan jika ia lupa untuk mengucapkan Bismillah di awal makan, maka hendaklah ia mengucapkan ‘Bismillahi Awwalahu wa Aakhirahu (dengan menyebut nama Allah di awal dan diakhirnya).’” (HR. Daud Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Ibnu Majah: 3264)

b. Hendaknya mengakhiri makan dengan pujian kepada Allah.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa telah selesai makan hendaknya dia berdo’a: “Alhamdulillaahilladzi ath’amani hadza wa razaqqaniihi min ghairi haulin minni walaa quwwatin. Niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Daud, Hadits Hasan)

Inilah lafadznya,

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وََرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حوْلٍ مِنِّي وَ لاَ قُوَّةٍ

“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan ini kepadaku dan yang telah memberi rizki kepadaku tanpa daya dan kekuatanku.”

Atau bisa pula dengan doa berikut,

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَنْدًا كثِيراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيهِ غَيْرَ (مَكْفِيٍّ وَ لاَ) مُوَدَّعٍ وَ لاَ مُسْتَغْنَيً عَنْهُ رَبَّناَ

“Segala puji bagi Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah puja-puji yang memadai dan mencukupi dan meski tidaklah dibutuhkan oleh Rabb kita.” (HR. Bukhari VI/214 dan Tirmidzi dengan lafalnya V/507)

c. Hendaknya makan dengan menggunakan tiga jari tangan kanan.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan menggunakan tiga jari.” (HR. Muslim, HR. Daud)

d. Hendaknya menjilati jari jemarinya setelah maakan sebelum mencuci tangannya.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila salah seorang diantara kalian telah selesai makan maka janganlah ia mengusap tangannya hingga ia menjilatinya atau minta dijilati (oleh Isterinya, anaknya).” (HR. Bukhari Muslim)

e. Apabila ada sesuatu dari makanan kita terjatuh, maka hendaknya dibersihkan bagian yang kotornya kemudian memakannya.

Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila ada sesuap makanan dari salah seorang diantara kalian terjatuh, maka hendaklah dia membersihkan bagiannya yang kotor, kemudian memakannya dan jangan meninggalkannya untuk syaitan.” (HR. Muslim, Abu Daud)

f. Hendaknya tidak meniup pada makanan yang masih panas dan tidak memakannya hingga menjadi lebih dingin, hal ini berlaku pula pada minuman. Apabila hendak bernafas maka lakukanlah di luar gelas, dan ketika minum hendaknya menjadikan tiga kali tegukan.

Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menghirup udara di dalam gelas (ketika minum) dan meniup di dalamnya.” (HR. At Tirmidzi)

g. Hendaknya menghindarkan diri dari kenyang yang melampaui batas.

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak ada bejana yang diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), maka jika tidak mau, maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk bernafasnya.” (HR. Ahad, Ibnu Majah)

h. Makan memulai dengan yang letaknya terdekat kecuali bila macamnya berbeda maka boleh mengambil yang jauh.

Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Wahai anak muda, sebutkanlah Nama Allah (Bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari apa-apa yang dekat denganmu.” (HR. Bukhari Muslim)

i. Hendaknya memulai makan dan minuman dalam suatu jamuan makan dengan mendahulukan (mempersilakan mengambil makanan terlebih dahulu) orang-orang yang lebih tua umurnya atau yang lebih memiliki derajat keutamaan.

j. Ketika makan hendaknya tidak melihat teman yang lain agar tidak terkesan mengawasi.

k. Hendaknya tidak melakukan sesuatu yang dalam pandangan manusia dianggap menjijikkan.

l. Jika makan bersama orang miskin, maka hendaklah kita mendahulukan mereka.

Maroji’:
Disadur dari: Adab adab Harian Muslim, Ibnu Katsir

Sunday, October 30, 2011

Kajian Gempa Di Masa Kejayaan Islam

Fenomena alam berupa gempa bumi, sejak awal menjadi kajian ilmuwan Muslim. Al-Kindi, misalnya, yang merupakan ahli matematika, fisika, dan astronomi, membuat tulisan berjudul The Science of Winds in the Bowels of the Earth, which Produce Many Earthquakes and Cave-in.

Ibnu Sina, yang dikenal sebagai seorang ilmuwan dan dokter, juga menyampaikan pandangannya mengenai gempa bumi. Ia mengutip sejumlah ilmuwan Yunani yang mengaitkan gempa bumi dengan tekanan gas yang tersimpan di dalam bumi dan kemudian berusaha keluar dari bumi.

Namun, Ibnu Sina tak sepenuhnya sependapat dengan pandangan para ilmuwan Yunani tersebut. Jadi, ia menentang teori mereka dengan memberikan penjelasan dari pemikirannya sendiri dan mengembangkan teorinya sendiri.

Ibnu Sina mengungkapkan, gempa terkait dengan tekanan besar yang terperangkap dalam rongga udara yang ada di dalam bumi. Tekanan ini, bisa datang dari air yang masuk ke dalam rongga bumi dan menghacurkan sejumlah bagian bumi.

Dalam esai panjangnya, Ibnu Sina memberikan sebuah metode untuk mengatasi dampak gempa bumi. Ia menyarankan masyarakat untuk menggali dan membuat sumur di tanah, supaya tekanan gas menurun. Sehingga, getaran akibat gempa bumi berkurang.

Beberapa sejarawan mengatakan, setelah abad ke-10 dan ke-11 teori para ilmuwan Muslim tentang penyebab gempa lebih menekankan pada sisi religius. Mereka berpikir bahwa gempa merupakan fenomena alam yang telah ditetapkan Tuhan.

Namun, pendapat lain mengemuka, para ilmuwan Muslim mengadopsi filsafat logika dan fisik, untuk menjelaskan penyebab terjadinya gempa bumi sejak abad ke-10. Pendekatan itu, agak dihindari menjelang periode berakhirnya kekuasaan Mamluk.

Sejumlah ilmuwan lain dalam periode klasik Islam yang menulis tentang gempa bumi, antara lain, Al-Biruni, Ibnu Rusyd, Jabir bin Hayyan. Mereka membahas gempa bumi dalam buku yang mereka tulis dalam bidang meteorologi, geografi, dan geologi.

Pada masa-masa berikutnya, kajian ilmiah tentang gempa bumi terus dilakukan oleh ilmuwan Muslim. Abu Yahya Zakariya' ibn Muhammad al-Qazwini, ahli geografi, astrnomi, fisika, abad ke-12 asal Persia, menyampaikan teorinya mengenai gempa.

Menurut Al-Qazwini, gempa bumi disebabkan oleh adanya gas bertekanan tinggi sampai menjadi cairan, kemudian berusaha keluar dari dalam bumi sehingga proses ini, selain menyebabkan gempa juga gunung berapi.

Ilmuwan yang sezaman dengan Al-Qazwini, yaitu Al-Tifashi, menambahkan, penumpukan gas menyebabkan tekanan terhadap bumi dan akhirnya menimbulkan gempa. Ia berpendapat, tekanan gas yang sangat kuat menggerakkan kerak bumi.

Ada pula ilmuwan lain, Al-Nuwayri yang hidup sekitar tahun 1373, mengadopsi teori pseudo-fisik yang mengatakan setiap wilayah di bumi memiliki kaitan dengan pegunungan Qaf, yang mengelilingi bumi. Saat Tuhan ingin menghukum manusia, Dia menggerakkan kaitan itu.

Sementara, studi awal mengenai bagaimana bertahan dari gempa bumi, ditulis seorang ilmuwan Mesir, Jalaluddin Al-Suyuti, yang hidup sekitar tahun 1505. Ia tak mengikuti teori fisik tentang gempa bumi yang diadopsi Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Qazwini, maupun Al-Tifashi.

Sebaliknya, Al-Suyuti malah menerima teori pseudo-fisik gunung Qaf dan menceritakan bahwa gempa bumi dan bencana alam lainnya adalah hukuman dari Tuhan terhadap orang-orang berdosa. Dia kemudian membuat catatan 130 gempa bumi yang terjadi di berbagai wilayah Muslim.

Rupanya karya Al-Suyuti menginspirasi karya-karya orang lain untuk menuliskan gempa bumi. Muridnya, Al-Dawudi, menambahkan informasi tentang delapan gempa bumi yang terjadi di Kairo, Mesir. Murid lainnya, Abdulqadir Al-Syadzili, hidup pada 1528, melakukan hal sama.

Al-Syadzili menuliskan pengalamannya saat mengalami dua gempa bumi. Lalu, ada Badr Al-Din Al-Ghazzi, yang pada 1576 memberikan informasi tentang tiga gempa bumi yang terjadi di Damaskus, Suriah. Najm Al-Din Al-Ghazzi menuliskan 12 gempa bumi di sejumlah tempat.

Menurut laman Muslimheritage, dari tinjauan catatan seismik di Arab, menujukkan adanya fenomena langit dan fenomena di permukaan bumi yang menyertai gempa bumi. Pada waktu itu terjadi gempa bumi yang disebabkan oleh sebuah komet atau meteor.

Pada tahun 1500 terjadi gempa bumi ringan di Kairo. Kala itu orang-orang melihat bintang-bintang di langit tercerai-berai. Pada tahun 1504 terlihat bintang jatuh di Yaman yang disertai dengan serpihan-serpihan materi bintang, lalu diikuti dengan terjadinya gempa bumi.

Pada tahun 1511 terdapat meteor yang terbang dari timur menuju ke utara dan itu diikuti oleh gempa bumi yang berlangsung selama tiga bulan di Kota Moza, Yaman. Sejumlah catatan pada masa itu juga menuliskan bahwa gerhana dan badai pun menyertai terjadinya gempa bumi.

Tak heran jika kemudian mereka menganggap indikasi akan datangnya gempa bumi jika ada meteor, gerhana, atau fenomena alam lainnya yang terjadi. Bahkan, astrologi juga terkadang ikut digunakan untuk memprediksi terjadinya gempa bumi.

Merespons gempa
Selain mengurai kajian tentang gempa bumi, ilmuwan Muslim juga menyampaikan pandangannya mengenai apa yang bisa dilakukan masyarakat dalam menghadapi gempa. Termasuk bagaimana mendirikan bangunan agar bisa tahan gempa.

Di daerah-daerah yang rawan gempa, arsitek-arsitek Muslim menyampaikan serangkaian teori. Mereka menegaskan, agar bagunan memiliki fondasi yang kuat dan dalam. Dinding juga harus memiliki dimensi besar untuk menyangga kubah ketika terjadi gempa.

Dengan demikian, bangunan tidak runtuh saat digoyang gempa. Ini terbukti dengan masih tegak berdirinya monumen-monumen Islam yang ada di Kairo. Bangunan-bangunan itu mampu bertahan dari gempa besar pada 1992 dan masa-masa sebelumnya.

Pada masa kekuasaan Islam, masyarakat bereaksi secara berbeda-beda saat menghadapi gempa. Sejumlah orang segera menuju masjid dan gereja untuk berdoa. Namun, sebagian orang lainnya bergegas menuju area terbuka, kemudian membangun tenda pengungsian.

Ini terjadi pada 1431, saat gempa melanda Granada dan juga sejumlah gempa yang terjadi di Levant. Pada 1504, saat Kota Zayla, Yaman, diguncang gempa, warganya pergi ke area terbuka, yaitu pantai. Di sejumlah wilayah rawan gempa, mereka membangun gubuk kayu.

Gubuk tersebut dibangun di disamping rumah mereka, yang biasanya digunakan untuk bermalam saat terjadi gempa. Sebagian lain menghabiskan malam di area terbuka atau perahu.

Saat Bencana Memantik Penyakit

Bencana alam, seperti gempa bumi, seringkali disertai dengan merebaknya wabah penyakit atau epidemik. Biasanya, kondisi ini dipicu oleh mayat yang tak segera dikuburkan atau kamp-kamp pengungsian di lokasi yang tak dapat dikatakan higienis.

Sejumlah ilmuwan Muslim juga menorehkan buah pemikirannya dalam karya-karya mereka, terkait dengan merebaknya epidemik ini. Sebut saja, Qusta Ibnu Luqa, hidup pada abad ke-9, yang menuliskan buku yang disebut Contagion atau infeksi.

Dalam karyanya itu, ia menggambarkan bagaimana penyakit menular
dari seseorang yang sakit ke orang yang sehat. Ibnu Luqa menyatakan bahwa proses tersebut dipengaruhi oleh udara sekitar dan infeksi. Ia menjelaskan pula tentang penyakit yang disebabkan oleh angin.

Biasanya, para pengungsi akibat bencana alam, juga diterpa angin kencang hingga membuat mereka menderita penyakit. Pada abad ke-10, ada ilmuwan lain yang menulis mengenai epidemik, yaitu Al-Tamimi. Ia memberikan sejumlah penjelasan.

Di antaranya adalah prosedur higienis untuk menghindari infeksi saat terjadi epidemik. Ia juga memberikan penjelasan bagaimana cara mengatasi penyakit yang dibawa oleh udara. Abu Sahl Al-Masihi juga memberikan kontribusi besar.

Al-Masihi hidup di masa yang sama dengan Al-Tamimi. Sejumlah kalangan menilai, buku karya Al-Masihi lebih perinci dibandingkan karya Al-Tamimi. Dalam manuskripnya sebanyak 19 halaman, ia mengelompokkan penyakit epidemik, penyebabnya, dan cara pengobatannya.

Karyanya, dibagi menjadi empat bagian di antaranya adalah bagaimana epidemik mengganggu tubuh manusia dan pencegahan serta pengobatan terhadap setiap jenis epidemik. Ia juga memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara epidemik (al-Waba) dan endemik.

Menurut Al-Masihi, ada tiga penyebab terjadinya epidemik, yaitu kelembaban dan kehangatan udara yang berlebihan, udara kering yang berlebihan, dan udara sedang berubah ke dalam sebuah kondisi yang abnormal.(rpb) www.suaramedia.com

Penggunaan Aksara Pegon dan Melayu

Membedakan huruf Arab pegon dengan huruf Arab asli sangat mudah. M Irfan Shofwani dalam bukunya Mengenal Tulisan Arab Melayu menerangkan bahwa penulisan Arab pegon menggunakan semua aksara Arab Hijaiyah dilengkapi dengan konsonan abjad Indonesia yang ditulis dengan aksara Arab yang telah dimodifikasi.

Modifikasi huruf Arab ini dikenal sebagai huruf jati Arab Melayu yang berwujud aksara Arab serapan yang tak lazim. Misalnya, untuk konsonan nga, Arab pegon menggunakan huruf ain atau ghain dengan tiga titik di atasnya. Sedangkan, untuk konsonan p diambil dari huruf fa dengan tiga titik di atasnya dan sebagainya. Selain itu, huruf Arab pegon meniadakan syakal (tanda baca) layaknya huruf Arab gundul.

Namun, sumber lain menyebutkan, huruf Arab pegon hampir selalu dibubuhi tanda baca vokal. Ini berbeda dengan huruf Jawi yang ditulis gundul (tanpa tanda baca). Bahasa Jawa memang memiliki kosakata vokal yang lebih banyak daripada bahasa Melayu. Sehingga, vokal perlu ditulis untuk menghindari kerancuan.

Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Syamsul Hadi menjelaskan, kata pegon berasal dari bahasa Jawa pego yang artinya tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa. Hal ini, menurutnya, disebabkan banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan. Penje lasan itu diperkuat oleh Titik Pudji astuti dalam tulisan Aksara pegon: Sarana Dakwah dan Sastra dalam Budaya Jawa. Menurutnya, teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon yang artinya sesuatu yang berkesan menyimpang.

Lebih lanjut, ia mengatakan, penamaan ini mungkin disebabkan jumlah aksara yang diparalelkan dengan aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Ada pertanyaan yang muncul, mengapa dikatakan aneh, pego, dan menyimpang? Tentu saja karena bahasa Jawa lebih tepat jika ditulis dengan aksaranya sendiri, yakni aksara Jawa.

Menurut Prof Syamsul Hadi, hampir semua khazanah keagamaan Jawa, yakni sastra suluk, kitab kuning, terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan, ataupun jenis sastra berbentuk syiiran, ditulis dengan Arab pegon. Namun, penulisan bahasa Jawa dengan huruf Arab pegon tidak terbatas saja pada khazanah naskah keagamaan. Tetapi, huruf Arab pegon juga dipakai untuk penulisan pada umumnya, terutama di kalangan pesantren.

Seperti halnya yang terjadi di tanah Melayu, penulisan bahasa Jawa dengan huruf pegon tidak terbatas pada khazanah naskah keagamaan, tetapi juga dipakai untuk penulisan pada umum nya, terutama di kalangan pesantren. Dalam tulisan pegon juga dikenal jenisjenis naskhi, riqi, dan tsulutsi. Selain ketiga jenis tulisan itu, pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon berharakat dan pegon gondhul (tak berharakat).

Huruf Arab Melayu
Drs UU Hamidy MA, staf pengajar pada Universitas Riau, dalam tulisannya mengenai naskah Arab Melayu mengungkapkan bahwa para cendekiawan Riau sudah menggunakan huruf Arab Melayu untuk kegiatan penulisan mereka sejak abad ke-19, yaitu tahun 1800-an. Huruf Arab Melayu dipakai secara penuh, seperti dalam karya-karya Raja Ali Haji. Naskah-naskah yang mempergunakan huruf Arab Melayu dan angka-angka Arab orisinal antara lain adalah Kanun Kerajaan Riau Lingga, Bustan Al Kati -bin, serta Salasilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji. Begitu juga dengan Syair Abdul Muluk yang diperkirakan merupakan karya Raja Zaleha dan Raja Ali Haji, Bughyat al-Ani Fi Huruf Al Maani karya Raja Ali Kelana.

Naskah-naskah kuno Riau yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu memiliki halamanhalaman kitab atau naskah yang tidak lagi menggunakan angka Arab orisinal (seperti angka-angka untuk halaman Alquran), namun telah dimodifikasi menjadi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 0. Naskah-naskah tersebut antara lain adalah Babal Qawaid, Syair Sahimsah terjemahan Raja Haji Abdullah, Undang-Undang Polisi Kerajaan Riau-Lingga, dan Kisah Iblis Menghadap Nabi Muhammad karya Muhammad bin Haji Muhammad Said.

Menurut Hamidy, ciri atau tandatanda huruf Arab Melayu yang dipergunakan pada masa itu agak berbeda dengan huruf Arab Melayu yang dikenal sekarang. Dalam naskah Riau, sistem huruf Arab Melayu boleh dikatakan sebagian besar memberi tanda saksi untuk tiap bunyi vokal, seperti bunyi a, i, u, (alif, waw, dan ya). Sistem ini mempermudah cara membacanya dan kemungkinan salah baca menjadi lebih kecil.

Berbeda dengan sistem penulisan Arab Melayu sekarang yang hanya memberi saksi pada bunyi vokal pada suku kata kedua dan suku terakhir pada setiap kata. Oleh karena banyak bunyi vokal yang dihilangkan, sebuah kata bisa dibaca dalam beberapa kemung kinan bunyi vokal. Dalam sistem ini, bunyi (ucapan) kata harus diperhitungkan dalam konteks kalimat.

Sistem penulisan Arab Melayu seperti dalam naskah-naskah lama Riau terus digunakan oleh para pengguna bahasa Melayu di Semenanjung Malaka (sekarang bernama Malaysia), Singapura, dan Brunei Darussalam. Suku tertutup diberi tanda dengan alif, wau, dan ya sehingga naskah lebih mudah dibaca. Meskipun demikian, tambah Hamidy, beberapa pengarang Riau, seperti Haji Abdurrahman Siddiq dan Haji Abdurrahman Yakub, tetap mempergunakan huruf Arab Melayu dengan angka Arab tanpa perubahan bentuk sama sekali. Hanya Syair Hari Kiamat karya Tuan Guru Abdurrahman Siddiq yang memakai angka Arab model Latin pada nomor halaman kitabnya.

Syamsul Hadi, dalam makalahnya yang berjudul Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indo ne sia menerangkan, pada naskah tulis an tangan, biasanya terdapat perbedaan penggunaan jenis-jenis huruf Arab, yakni tulisan naskhi, riqi, dan tsulutsi.

Jenis naskhi biasanya dipergunakan untuk tulisan pada umumnya. Tulisan riqi digunakan untuk penulisan cepat. Adapun jenis tsulutsi yang indah dipergunakan untuk judul-judul naskah. Mes -kipun kaidah baru dengan penambahan tanda diakritik berkaitan dengan adanya perbedaan vokal ataupun konsonan pada bahasa Arab dan Melayu, jenis tulisan yang dipakai masih juga sama, tidak ada jenis tulisan baru model Melayu. dia/rid/sya/berbagai sumber


Disiplin Ilmu dalam Naskah Melayu

Disiplin ilmu yang ditulis para ulama Nusantara tidak terbatas pada pengetahuan agama, tetapi juga disiplin ilmu lainnya. Dr Kun Zachrun Istanti SU dalam Teks Melayu: Warisan Intelek Masa Lampau Indonesia-Malaysia mengklasifikasi bidang-bidang pengetahuan yang ditulis dalam naskahnaskah Melayu kuno di antaranya adalah sejarah, sastra, ilmu tradisional, obat-obatan, dan perundangundangan.

Sejarah
Karya sastra sejarah Melayu ada berbagai macam, di antaranya Misa Melayu, Salasilah Melayu dan Bugis, Hikayat Patanu, Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Banjar, Silsilan Kutai, Tambo Minangkabau, dan Hikayat Merong Mahawangsa. Karya-karya ini kaya akan pengetahuan tentang pikiran dan keadaan susunan masyarakat Melayu pada zaman itu. Dalam Sejarah Melayu, tergambarkan adat raja-raja, pantang larang, dan hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang untuk rakyat. Dalam Sejarah Melayu, juga digambarkan adanya penaklukan oleh Malaka dan hubungan negeri Malaka dengan Majapahit, Siam, dan Cina.

Sastra kitab
Sastra kitab pada zaman kegemilangan Islam di Nusantara umumnya berisi ajaran agama Islam. Sastra kitab dapat menjadi rujukan mengenai Islam bagi orangorang Melayu. Karena, pada waktu itu, masyarakat Melayu masih sedikit yang memahami bahasa Arab. Kebanyakan sastra kitab ini merupakan terjemahan atau hasil transformasi karya-karya Arab. Bidang pengetahuan yang terdapat dalam sastra kitab adalah ilmu tauhid, fikih, hadis, dan tasawuf. Contoh sastra kitab adalah Shifa al-Qulubkarya Nuruddin Arraniri bertanggal 2 Ramadhan 1225 H (Senin, 1 Oktober 1810 M). Karya ini menerangkan pengertian kalimat syahadat dan kepercayaan kepada Allah.

Ilmu tradisional
Karya sastra Melayu juga berisi ilmu tradisional yang berupa pengajaran, pemahaman, dan amalan secara formal, misalnya ilmu bintang, ilmu ramal, tabir mimpi, dan firasat. Pembahasannya berkisar tentang kedudukan bintang dan pengaruhnya terhadap kejadian alam dan kehidupan manusia, kepercayaan terhadap kekuatan gaib dan benda-benda lain yang dihubungkan dengan penyakit dan amalan hidup, kepercayaan terha dap tabir mimpi, dan firasat. Kepercayaan-kepercayaan ini diamalkan oleh masyarakat Melayu masa lampau da lam kehidupan sehari-hari dan memengaruhi hidup mereka. Contoh karya sastra Melayu yang berisi ilmu tradisional adalah Tabir Mimpi. Isinya tentang tafsir mimpi dan fatwa orang Melayu masa lampau tentang alamat pergerakan bagian tubuh tertentu, waktu yang sesuai untuk bepergian, dan tanda apabila ada binatang masuk ke rumah atau kampung pada hari tertentu.

Obat-obatan
Selain disiplin ilmu di atas, karya Melayu juga ada yang membahas masalah obat-obatan Melayu tradisonal. Naskah seperti ini dikenal dengan nama Kitab Tib(obat, penyembuh), yang biasa digunakan sebagai panduan untuk mengobati berbagai penyakit. Bahan dasar obat-obatan itu berasal dari sumber daya alam, seperti flora dan fauna. Karya sastra dalam Kitab Tibtersebut antara lain tentang obat masuk angin, demam, pilek, sakit kepala, sakit perut, sakit gigi, dan sebagainya.

Kitab undang-undang
Kitab undang-undang dalam karya sastra Melayu ini berupa tata tertib dan adat istiadat Melayu yang diwariskan secara turun-temurun. Karena itu, tak heran bila ada daerah-daerah tertentu yang mengedapan hukum daerah (adat) dibandingkan hukum positif. Dan, bagi sekelompok masyarakat, bila sudah mematuhi (menjalankan) hukum adat, tak perlu lagi menjalani hukum lainnya. rid


Persebaran Naskah Melayu Dari Indonesia ke Afrika hingga Eropa

Masuknya Islam ke Nusantara menandai peralihan dari tradisi lisan menjadi tulisan. Namun, sampai dengan tahun 1500 M, tradisi penulisan dalam wujud teks belum dilakukan. Ide atau gagasan dan nilai-nilai masih disampaikan secara lisan. Beberapa karya sastra yang kental dengan corak kelisanannya adalah tekateki, peribahasa, pantun, dan mantra.

Setelah huruf Arab dikenal oleh masyarakat Melayu, barulah dimulai penulisan ilmu pengetahuan dengan huruf Arab, terutama Arab Jawi. Hal ini mengindikasikan bahwa huruf Jawi ini berperan besar dalam mengomunikasikan khazanah intelektual Muslim di Nusantara.

Naskah-naskah Melayu kuno menyebar ke berbagai kawasan di Nusantara, seperti di Aceh, Minangkabau, Riau, Siak, Bengkulu, Sambas, Kutai, Ternate, Ambon, Bima, Palembang, Banjarmasin, dan daerah-daerah yang kini masuk kawasan Malaysia dan Singapura. Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri. Di Indonesia, naskah-naskah itu disimpan di museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah.

Ketika itu, aktivitas penulisan berkembang sangat marak, karena didukung dengan hadirnya beberapa percetakan di sejumlah kawasan, seperti Rumah Cap Kerajaan di Lingga; Mathbaat al-Riauwiyah di Penyengat, dan Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Munculnya ketiga percetakan itu memungkinkan karya para intelektual Muslim dapat dicetak dengan baik. Akhirnya, beberapa karya pun menyebar hingga ke berbagai daerah.

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan berapa jumlah karya Melayu yang sudah dicetak. Apalagi, hampir setiap saat, karya itu semakin banyak ditemukan. Namun, ada beberapa penelitian yang mencoba mendatanya. Chambert-Loir (1980), ahli perpustakaan dari Prancis, memperkirakan ada sekitar 4.000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 28 negara.

Ismail Husain (1974) memperkirakan ada sekitar 5.000 naskah Melayu dan lebih kurang seperempatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta. Sedangkan, Russel Jones memperkirakan jumlahnya sampai pada angka 10 ribu.

Adapun 28 negara tempat penyebaran naskah-naskah Melayu yang diutarakan Chambert-Loir (1999) adalah Afrika Selatan, Amerika, Austria, Australia, Belanda, Belgia, Brunei, Ceko-Slovakia, Denmark, Hongaria, India, Indonesia, Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Malaysia, Mesir, Norwegia, Polandia, Prancis, Rusia, Singapura, Spanyol, Srilanka, Swedia, Swiss, dan Thailand.

Intelektual perempuan
Yang menarik di antara karya-karya tersebut terdapat sejumlah penulis dari kaum perempuan. Raja Safiah mengarang Syair Kumbang Menginderadan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bo doh. Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji, seorang intelektual Melayu tersohor yang kita kenal dengan karya besarnya Gurindam Dua Belas.

Pengarang perempuan yang juga sangat terkenal waktu itu adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali Haji itu menulis Syair khadamuddin, Syair Seligi Tajam Bertimbal, Syamsul Anwar, dan Hikayat Shariful Akhtar.

Selain nama-nama tersebut, masih terdapat beberapa nama intelektual perempuan yang memiliki kepedulian dalam pengembangan kesusastraan Melayu. Di antaranya adalah Salamah binti Ambar yang menulis dua buku dengan judul Nilam Permatadan Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Ada pula Khadijah Terung yang menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-laki dan Perempuan.(rpb) www.suaramedia.com

Sejarah Islam, Penemuan Masjid Kuno

KHARTOUM (SuaraMedia New) – Sebuah penemuan terbaru mengenai Masjid di Utara Sudan mungkin menjadi bukti berdirinya Masjid pertama di Afrika dan dengan cepat mengubah pandangan tentang sejarah Islam di dunia.

"Beberapa bulan lalu seorang guru dari sekolah di Khartoum mengunjungi Nawa untuk menghadiri sebuah pernikahan. Disana, dia mendengar kabar mengenai sebuah Masjid kuno, lalu memutuskan untuk mengambil gambarnya dan menulis artikel mengenai Masjid tersebut di surat kabar", Dr. Hasan Al-Shaiqi, seorang profesor ilmu Islam di Universitas Internasional Afrika di Khartoum , menuturkan pada IOL.

"Saya dihubungi dan pergi ke Nawa guna melakukan penyelidikan". Ketika dia telah berada di tempat tersebut, Al-Shiqi, yang menuliskan secara luas mengenai para Sahabat Afrika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan tabis (pengikut para Sahabat), menyaksikan reruntuhan batu dengan tulisan Arab terukir di salah satu sisinya : "Semoga Allah mengampuni Yazid ibnu Abi Habib".

Kisah Yazid ibnu Abi Habib, seorang tabis Nubia dan seorang ahli yang hidup di Mesir pada dua Hijriah, telah menjadi bahan studi Al-Shiqi selama lebih dari sepuluh tahun.

"Saya sedang mencari bahan-bahan mengenai para Sahabat Afrika ketika saya mengetahui tentang Yazid, seorang tabis Nubia dari Utara Sudan. Beliau menjadi bahan tesisku yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku".

Dia menjelaskan, ibnu Abi Habib, adalah putra seorang tahanan perang Nubia yang dibawa dari Dongola ke Mesir.

Ibnu Abi Habib tumbuh di Al-Fostat (Kairo lama) sebagai mawla (budak), namun dia dimerdekakan karena kehebatannya dalam memelajari ilmu pengetahuan Islam, terutama Hadits (perkataan dan perilaku Rasulullah SAW.

"Sebagian hidupnya dihabiskan di bawah kekuasaan Khalifah Umar ibnu Abd al-Aziz, dimana beliau diangkat menjadi mufti di Mesir", lanjutnya.

Khalifah Umar memerintahkan untuk mengumpulkan dan membukukan Hadits.

"Yazid berperan penting dalam mengumpulkan sekitar 500 Hadits".

Al-Shaiqi juga menjelaskan fakta mengenai beberapa murid ibnu Abi Habib, termasuk Al-Layth ibnu Saad, yang juga dikenal sebagai seorang ahli dari Mesir.

Seorang ahli Hadits dari Asia Tengah, Bukhari dan Muslim juga merupakan murid beliau yang terkenal.

Di tempat Masjid tersebut, Al-Shaiqi menemukan beberapa kemiripan dengan Masjid lain disekitarnya.

"Dilihat dari bentuk dan konstruksinya, Masjid tersebut mirip seperti Masjid Abdullah ibnu Abi Sarh di Dongola lama".

Ibnu Sarh adalah seorang tokoh pemimpin Islam yang mencoba menaklukkan Nubia (Utara dan Pusat Sudan serta Selatan Mesir saat ini) pada abad ke delapan Masehi, dimana terjadi pertempuran dahsyat dan akhirnya diakhiri dengan perjanjian perdamaian dengan penduduk Nubia.

Perjanjian tersebut, yang dikenal dengan Baqt, menyatukan Mesir dan Nubia selama enam abad , dan diizinkannya pembangunan Masjid di ibukota Nubia, Dongolia, bagi para Musyafir.

Sementara penemuan terbaru Masjid tersebut membuka hubungannya dengan Yazid, namun masih dibutuhkan lebih banyak penelitian dan penggalian", kata Al-Shiqi.

Dr. Hassan Husein dari Korporasi Artifak dan Museum Nasional menyetujui hal tersebut.

"Penelitian lebih lanjut mengenai Masjid tersebut harus segera dilakukan", katanya kepada IOL.

Hussein mengeluh monumen Islam di Sudan tidak mendapat perhatian dan perawatan, namun dia berharap penemuan tersebut dapat mengubahnya.

"Saya berharap penemuan ini dapat menghasilkan lebih banyak pencarian dan dukungan".

Al-Shiqi berharap penemuan tersebut dapat merubah pandangan sebagian masyarakat terhadap sejarah Islam di Nubia.

"Masjid tersebut mungkin dapat menjadi bukti bahwa Yazid dan masyrakat Nubia di Mesir lainnya kembali ke tanah leluhur untuk menyebarkan Islam ke keluarga mereka".

Seorang ahli sejarah IUA, Hassan Maki berpikir penemuan tersebut mungkin dapat merevolusi pendapat masyarakat mengenai bagaimana cara Islam meyebar di Nubia.

Sementara sebagian besar para ahli sejarah berpendapat bahwa Islam masuk ke Nubia pada abad ke 14 Masehi yang ditandai runtuhnya kerajaan Dongolia, penemuan tersebut diharapkan dapat memberi informasi tambahan.

"Hal ini dapat berarti bahwa akar dari Islam di daerah tersebut sangat lama, sekitar abad pertama atau kedua Hijriah (abad ketujuh atau delapan Masehi)  Oleh http://www.suaramedia.com

Khazanah Islam - Membaca Tanda Alam

Bercengkerama dengan alam telah melahirkan kemahiran tersendiri bagi umat Islam. Para ilmuwan Muslim kemudian juga memiliki ilmu pengetahuan mengenai alam semesta. Misalnya, menentukan ke mana arah angin dan memperkirakan terjadinya badai.

Ilmu pengetahuan ini, yang kemudian disebut meteorologi, menularkan manfaat bagi para pelaut Muslim, misalnya, dalam upaya mereka mengarungi ganasnya samudra dan menentukan waktu harus melaut. Pun, masyarakat umum dalam mengantisipasi terjadinya badai.

Ilmuwan Muslim mengenal beragam jenis badai berbahaya dan dampak yang ditimbulkannya. Dan tentunya, mereka perlu memperkirakan kedatangan badai tersebut. Filolog Arab pada awal masa Islam menyebutkan ada sejumlah karya ilmuwan Muslim mengenai bidang ini.

Dalam sebuah risalah disebutkan terdapat 100 kata yang menguraikan tentang jenis angin menurut dampaknya, kualitas, dan arah angin tersebut. Termasuk, angin ribut dan topan. Kian banyak buku tentang meteorologi seiring penerjemahan buku-buku Yunani.

Pada abad kesembilan, ilmuwan Muslim, Al-Kindi, menghasilkan sebuah karya yang terkait dengan masalah meteorologi. Bahkan, ia dikenal sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan percobaan dalam ilmu bumi, termasuk meteorologi.

Al-Kindi juga menulis buku berjudul Risala fi l-Illa al-Failali l-Madd wa l-Fazr. Salah satu hal yang ia jelaskan di dalam bukunya adalah soal angin. Menurut dia, angin terkait dengan pergerakan udara, termasuk ke tempat-tempat lebih rendah.

Selain itu, Al-Kindi juga melakukan percobaan di laboratoriumnya. Dalam percobaan itu, Al-Kindi menemukan bagaimana udara yang sangat dingin berubah wujud menjadi air. Dia mengambil botol kaca lalu memenuhi botol tersebut dengan salju dan menutupinya secara rapat.

Lalu, pada permukaan botol tersebut udara berubah menjadi air, seperti botolnya mengeluarkan titik-titik air. Melalui percobaan itu, ia pun meluruskan pandangan sejumlah orang. Ia mengatakan, air atau salju tak dapat melewati kaca.

Pada abad ke-12 dan ke-13, Al-Tifashi yang hidup antara 1184 hingga 1253, mengikuti jejak Al-Kindi. Ia membuat definisi tentang angin ribut, yaitu angin yang mengembangkan kekuatannya dan naik ke atmosfer. Ada pula, ilmuwan Muslim bernama Al-Qazwini (1203-1283).

Al-Qazwini juga mengulang ide Al-Kindi. Ia membuat sebuah definisi yang hampir sama dengan apa yang telah dinyatakan Al-Tifashi. Namun, ia memberikan definisi yang lebih perinci. Pengetahuan tentang angin kemudian dikembangkan lebih jauh.

Langkah ini dilakukan oleh Ahmed Ibn Majid, yang berasal dari Ras al-Khaymah yang sekarang lebih dikenal Uni Emirat Arab dan Sulayman al-Mahri dari Yaman. Kedua orang tersebut merupakan navigator kapal dan pengetahuan tentang angin sangat berguna bagi pekerjaan mereka.

Sebagai navigator kapal, mereka memanfaatkan ilmu tersebut dalam menjalankan profesinya. Dalam pembicaraannya mengenai topan, Al-Mahri  mengatakan, sangat perlu seorang navigator untuk tahu banyak tentang topan dan tanda-tanda datangnya.

Tanda-tanda yang biasanya menyertai datangnya topan adalah meningginya temperatur air laut, hujan lebat, dan perubahan angin yang begitu tiba-tiba. Sedangkan Al-Mahri, menyebut ada lima jenis topan di Samudra India yang biasa menerjang kapal yang berlayar.

Salah satu jenis topan yang ada dalam daftar Al-Mahri adalah topan 40. Ini merupakan topan urutan ketiga dalam daftarnya. Menurut dia, topan jenis ini biasanya menghantam Laut Hurmuz. Ibn Majid juga berbicara mengenai topan.

Menurut Ibn Majid, ada topan yang menerjang laut dalam beberapa tahun dan hilang pada beberapa tahun lainnya. Topan memiliki tanda-tanda saat datang. Di antaranya adalah meningkatnya debu di daratan dan laut.

Tanda lainnya, petir dan awan menutupi langit. Ini terjadi saat langit tertutup awan yang warnanya seperti warna kulit sapi. Setelah mengetahui hal ihwal angin, navigator menentukan langkah yang harus dipersiapkan sebelum dan saat berlayar.

Seorang navigator akan meminta sejumlah awak kapal untuk meneliti lambung kapal saat masih berada di daratan. Ini untuk meneliti apakah ada bahan pembuat kapal yang tak memenuhi standar dan menuliskannya.

Tak hanya itu, para awak kapal juga diminta untuk terus memeriksa peralatan berlayar setiap saat. Ini perlu dilakukan agar semua peralatan dalam keadaan baik dan bisa segera diperbaiki bila terjadi kerusakan.

Selain itu, ada langkah lain yang juga perlu dilakukan, yaitu mempertimbangkan antara kapasitas kapal dengan beban kargo dan muatan yang dibawa penumpang ke dalam kapal. Bahkan, ada urutan siapa yang bertanggung jawab jika prosedur ini dilanggar.

Pertama yang bertanggung jawab adalah kapten kapal. Selanjutnya, pemilik barang atau para pedagang yang biasanya membawa muatan dalam kapal. Ini jika mereka telah diingatkan mengenai kelebihan beban muatan.

Pemilik kapal juga dimintai pertanggungjawabannya jika terbukti terlibat dalam pelanggaran tersebut. Ada pula langkah yang biasa direkomendasikan kepada para navigator untuk menghindari hantaman topan, yaitu kembali ke pelabuhan terdekat.

Kasus seperti ini pernah terjadi pada Sabtu, 13 November 1518. Saat itu, sejumlah kapal yang meninggalkan Alexandria menuju Istanbul, terpaksa harus kembali ke pelabuhan Rosetta karena adanya topan yang menghadang mereka.

Membawa perahu penyelamat seperti yang lazim ada pada kapal-kapal besar di masa sekarang, telah dilakukan pada masa itu. Ini merupakan langkah kehati-hatian dalam menghadapi badai yang terjadi di tengah samudra.

Perahu penyelamat yang ditempatkan di kapal induk, telah diketahui dan digunakan oleh para navigator Muslim dan Arab selama masa periode klasik Islam, yaitu pada abad kesembilan hingga ke-13.

Biasanya perahu-perahu tersebut digunakan ketika kapal induk tak dapat lagi menahan hantaman badai. Selain itu, perahu itu juga bisa digunakan untuk perjalanan laut jarak pendek saat musim angin tiba.

MENYINGKAP RAHASIA HUJAN

Tak hanya persoalan angin yang telah menarik perhatian ilmuwan Muslim. Gejala alam lainnya juga menarik perhatian mereka. Pada abad ke-9, ada Ibnu Doraid Al-Azdi yang me nulis sebuah buku yang dalam terjemahan bahasa Inggris berju dul Description of Rain and Clouds.

Dalam buku yang berisi 27 bab itu, Ibnu Doraid memberikan penjelasan ilmiah tentang hujan dan awan. Selain itu, buku ini juga membahas perkiraan cuaca; deskripsi awan, baik corak maupun warna mereka; gerakan awan; akumulasi; serta penebalan dan perubahan bentuk awan.

Ibnu Doraid pun memberi gambaran mengenai jenis curah hujan dan efeknya terhadap tanah dan sumber daya air tanah. Seperti dikutip muslimheritage, ia memberikan penjelasan mengenai Al-Hammaa dan Al-Hawwaa atau awan hitam yang menjadi merah.

Selain hujan dan awan, Ibnu Doraid menjelaskan kilat. Ia membagi kilat berdasarkan intensitas cahayanya. Al-hafo merupakan kilat yang paling lemah, Al-wamed bentuknya mirip senyum kecil, dan Al-wallaf adalah kilat yang menyerang dua kali.

Dengan mengetahui gerak dan penyebaran awan serta intensitas kilat, Ibnu Doraid memperkirakan jumlah dan tingkat kelebatan hujan. Ia menjelaskan pula jenis intensitas hujan, antara lain Ghait Thare atau hujan deras.

Seabad kemudian, Ibnu Wahshiyyahe, seorang ahli di bidang pertanian dari Irak, menulis buku berjudul Kitab al-Falaha al-Nabatiya. Buku ini berisi pembahasan mengenai perkiraan cuaca, perubahan atmosfer, dan tanda turunnya hujan berdasar fase bulan.

Dengan adanya perkiraan cuaca, kemudian diketahui awal musim tanam secara tepat. Ini melahirkan kemajuan yang berarti bagi umat Islam dalam bidang pertanian. Para petani pun bisa merencanakan penanaman sejumlah tanaman dan panen dalam setahun.

Ada pula Ibn al-Haytham, lebih dikenal Alhazen, yang pada 1021 memperkenalkan bukunya yang berjudul Kitab Optik. Ia membahas soal pergantian masa. Salah satu penjelasannya mengenai senja yang ia yakini disebabkan oleh pembiasan atmosfer.

Alhazen juga menyatakan, senja baru akan mewujud saat matahari berada 19 derajat di bawah cakrawala. Ia pun menerbitkan kitab lainnya sebagai pelengkap Kitab Optik, yaitu Risalah fi l-Daw atau risalah tentang cahaya.

Dalam Risalah fi l-Daw, Alhazen memberikan penjelasan tentang meteorologi, pelangi, kepadatan atmosfer, dan berbagai fenomena langit lainnya, termasuk gerhana, matahari terbenam, dan cahaya bulan.(rpb) www.suaramedia.com

Sejarah Islam, Sir Sayid Ahmad Khan

Dia menerima penghargaan dan gelar dari pemerintah Inggris, tapi ia mengembalikan semua hadiah yang diberikan mereka padanya. Sir Sayid Ahmad Khan dikenal sebagai seorang tokoh pembaru di kalangan umat Islam India pada abad ke-19. Dia dilahirkan di India pada tahun 1817. Nenek moyangnya berasal dari Semenanjung Arab yang kemudian hijrah ke Herat, Persia (Iran), karena tekanan politik pada zaman dinasti Bani Umayyah.

Dari Herat mereka hijrah ke Hindustan (India) dan menetap di sana. Ayahnya bernama al-Muttaqi, seorang ulama yang saleh. Ahmad Khan memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau dari keturunan Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Talib. Karena itulah dia bergelar sayid. lbunya seorang wanita cerdas dan pandai mendidik anak-anaknya. Ahmad Khan memulai pendidikannya dalam pengetahuan agama secara tradisional.

Di samping itu beliau juga mempelajari bahasa Persia dan bahasa Arab, matematika, mekanika, sejarah dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Beliau pun banyak membaca buku-buku ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu. Hal ini menjadikannya sebagai seorang yang luas ilmu pengetahuannya, berpikiran maju, dan dapat menerima ilmu pengetahuan modern. Sejak sang ayah meninggal tahun 1838, Ahmad Khan mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena ibunya enggan menerima tunjangan pensiun dari istana.

la bekerja pada Serikat India Timur, kemudian ia pindah bekerja sebagai hakim di Fatehpur (1841). Selanjutnya ia dipindahkan ke Bignaur. Dan pada tahun 1846 ia kembali lagi ke Delhi. Masa delapan tahun di Delhi merupakan masa yang paling berharga dalam hidupnya karena ia dapat melanjutkan pelajarannya. Ketika terjadi pemberontakan umat Hindu dan umat Islam terhadap penguasa Inggris pada tanggal 10 Mei 1857, Ahmad Khan berada di Bignaur sebagai salah seorang pegawai peradilan.

Dalam peristiwa ini ia tidak ikut memberontak, bahkan banyak membantu melepaskan orang-orang Inggris yang teraniaya di Bignaur. Atas jasa-jasanya, pemerintah Inggris menganugerahkan gelar Sir dan memberikan berbagai hadiah kepadanya. Ahmad Khan menerima gelar tersebut, tetapi ia menolak hadiah-hadiah itu, kecuali kesempatan untuk berkunjung ke Inggris pada tahun 1869. Kesempatan tersebut dimanfaatkan olehnya untuk meneliti lebih jauh sistem pendidikan serta menyaksikan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Inggris.

Ahmad Khan pun menjelaskan kepada pemerintah Inggris bahwa dalam pemberontakan di tahun 1857, umat Islam tidaklah memainkan peran utama. Hal itu dijelaskan lewat buku yang berisikan catatan kronologis pemberotakan tersebut (Tarikhi Sarkhasi Bijnaur/1858). Buku lainnya, berjudul Asbab Baghawat-i Hind (1858) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, The Causes of the Indian Revolt (Sebab-sebab Revolusi India), juga menceritakan hal yaang sama. Ahmad Khan berhasil mendamaikan umat Islam dengan pemerintah Inggris.

Dia pun berusaha keras untuk memajukan umat Islam India dan kembali menulis beberapa buku yang menyiratkan bahwa umat Islam hendaknya bekerja sama dengan pemerintah Inggris untuk mencapai kesejahteraan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukunya antara lain Risalah tentang Orang-orang Saleh (Risalat Khair Khawahan Musulman) dan Hukum Memakan Makanan Ahli Kitab (Ahkam Ta'am Ahl al-Kitab). Setelah berhasil mendamaikan umat Islam dan pemerintah Inggris, Ahmad Khan mulai memunculkan ide-idenya dalam rangka memajukan umat Islam.

Menurut Ahmad Khan, umat Islam terbelakang, bodoh, dan miskin, karena mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana yang dimiliki oleh negara Eropa lainnya. la berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern dan teknologi adalah hasil pendayagunaan akal yang maksimal. Sejalan dengan itu, Alquran sangat mendorong umat Islam untuk mempergunakan akal dalam bidang-bidang yang sangat luas, walaupun jangkauan akal tersebut terbatas. Sir Ahmad Khan kemudian mendirikan lembaga pendidikan pertama yaitu Sekolah Inggris di Mudarabad pada tahun 1861.

Untuk menunjang lembaga pendidikan tersebut, Sir Ahmad Khan pada tahun 1864 mendirikan The Scientific Society (Translation Society) sebagai lembaga penerjemahan ilmu pengetahuan modern ke dalam bahasa Urdu. la juga membentuk Panitia Peningkatan Pendidikan Umat Islam dan Panitia Dana Pembentukan Perguruan Tinggi Islam. Pada setiap kesempatan, Sir Ahmad Khan selalu mengemukakan pendapatnya bahwa satu-satunya cara untuk mengubah pola berpikir umat Islam India dari keterbelakangannya adalah melalui pendidikan.

Beliau pun mencurahkan segala perhatiannya pada bidang ini hingga akhir hayatnya. Aligarh Muslim University yang berdiri tahun 1920 (sekarang masih eksis) adalah wujud karya nyata sang ulama. Menerobos pakem di negaranya, sistem sekolah ini mengadopsi konsep pendidikan modern bagi generasi muda. Kiprah perguruan tinggi inilah yang membuatnya dijuluki sebagai bapak pendidikan modern India. Sejumlah tokoh penting pernah mempunyai sangkutan sejarah dengan perguruan tinggi ini.

Sebut misalnya tokoh pergerakan nomor satu India mahatma Gandhi dan Ishwari Prasad. Mantan presiden India, Zakir Hussain dan presiden Maldives, Abdul Ghayoom juga pernah tercatat sebagai siswa perguruan tinggi ini. Perguruan tinggi ini memiliki 12 fakultas yang semuanya diunggulkan, yaitu seni budaya, ilmu sosial, sains, Life Sciences, bisnis, teknik dan teknologi, kedokteran, pengobatan tradisional, hukum, pertanian, manajemen, dan teologi. Saat ini, mahasiswa di Aligarh datang dari seluruh dunia, terutama Asia Barat, Asia Tenggaram, dan Afrika. Para mahasiswa ini tinggal dalam asrama.(rpb) www.suaramedia.com

kisah Ilmuwan Muslim, Ibnu Juljul

Bergelut dengan ilmu, bukan hal yang asing bagi Abu Da'ud Sulayman bin Hassan, yang akrab dipanggil Ibnu Juljul. Sejak usia dini, ia telah akrab dengan beragam bacaan dan ilmu pengetahuan. Hingga kemudian, ia dikenal di bidang medis dan pengobatan herbal.

Bahkan, karya-karya Ibnu Juljul dalam pengobatan herbal, menjadi rujukan banyak ilmuwan lainnya. Ia memang tak hanya mumpuni dalam praktik pengobatan herbal. Namun, ia pun rajin menggerakkan penanya untuk menuangkan buah pemikirannya. Ibnu Juljul, lahir di Kordoba, Spanyol, pada 994. Sejak masa kanak-kanak, ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan telah tertanam dalam dirinya. Ia banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Saat berusia 10 tahun, ia telah belajar tata bahasa dan tradisi masyarakatnya.

Ketika usia Ibnu Juljul beranjak 15 tahun, ia mulai bersentuhan dengan ilmu kedokteran. Padahal, pada masa sekarang, ilmu kedokteran baru dipelajari secara mendalam di bangku kuliah. Tak heran, jika di usianya yang masih belia, ia menguasai ilmu kedokteran.

Di sisi lain, Ibnu Juljul juga terampil dalam pengobatan herbal. Dan rupanya, ia memang sejak semula juga sangat tertarik dengan obat-obatan, terutama yang berhubungan dengan herbal, obat alami yang banyak diekstrak dari tumbuh-tumbuhan. Ia juga mendalami farmasi.

Kemahirannya di bidang pengobatan mengantarnya memasuki gerbang istana. Menurut situs Muslimheritage, Ibnu Juljul pernah bekerja sebagai dokter pribadi Al-Mu'ayyad Billah Hisyam, seorang khalifah yang berkuasa pada 977 hingga 1009.

Selain mempraktikkan keahlian medisnya, Ibnu Juljul juga banyak menuliskan karya-karya di bidang medis. Tak hanya itu, upaya mendalami ilmu pengobatan terus ia lakukan. Dalam hal ini, ia banyak berbagi pandangan dan berlatih dengan Albucasis.

Albucasis merupakan nama tenar Abu al-Qasim Khalaf bin Abbas Al-Zahrawi. Saat itu, Albucasis adalah dokter bedah ternama di Kordoba. Ia menemukan penyakit hemofilia, di mana penderitanya, jika luka darahnya akan terus mengalir dan sulit membeku.

Dalam kariernya sebagai dokter, Albucasis menulis buku yang sangat terkenal berjudul At-Tasrif liman 'Ajiza 'an at-Ta'lif (Metode Pengobatan). Ibnu Juljul dan Abulcasis tak hanya berbagi pandangan, tetapi juga bersama-sama menuliskan pemikirannya di bidang medis.

Mereka bersama-sama menulis saat masa-masa terakhir kekhalifahan di Andalusia, Spanyol. Di sisi lain, Ibnu Juljul juga menghasilkan karyanya sendiri. Sejarawan terkenal dari Baghdad, Irak, Bin Abi Usaybi'a, menyatakan, Ibnu Juljul menulis buku sejarah pengobatan. Buku itu berjudul Atibba'wa'l Tabaqat al-Hukama . Buku tersebut telah beberapa kali diedit.

Ibnu Juljul mengawali tulisan dalam bukunya itu dengan menguraikan tentang riwayat ayahnya yang juga ahli obat-obatan. Pada bab-bab selanjutnya, ia menuliskan para ahli obat-obatan yang sangat terkenal sebagai para pendahulunya di Andalusia.

Selain itu, Ibnu Juljul mengungkapkan soal hubungan dan komunikasi yang terjalin antara kekhalifahan di Timur dan Andalusia. Ia pun mengisahkan bagaimana banyaknya para mahasiswa menempuh perjalanan dari tempat yang jauh untuk mencari ilmu pengetahuan.

Ibnu Juljul mempelajari ilmu pengobatan herbal yang dilakukan oleh Pedanius Dioscorides, seorang dokter Yunani kuno, ahli farmasi, dan ahli botani. Dioscorides sering bepergian guna mencari bahan-bahan jamu dari seluruh wilayah Romawi dan Yunani.

Dia juga menulis lima jilid buku dalam bahasa Yunani asli. Salah satu bukunya yang terkenal berjudul  De Materia Medica (Masalah-masalah yang berhubungan dengan medis). Berdasarkan ajaran dalam buku milik Dioscorides, Ibn Juljul membuat sebuah karya berjudul Maqalah .

Dalam karyanya itu, Ibnu Juljul menuliskan berbagai macam tumbuhan yang penting bagi obat-obatan, termasuk sifat tumbuh-tumbuhan tersebut. Lalu, dia juga menuliskan efek dari penggunaan tumbuh-tumbuhan itu bagi organ tubuh tertentu.

Tumbuh-tumbuhan untuk herbal yang ditulisnya sebanyak 28 jenis berasal dari India atau yang perjalanannya melalui rute perdagangan India, dua  dari Yaman, dua dari Mesir, satu dari Ceylan, satu dari Khwarizm, dan dua dari kota yang dekat dengan Kordoba. Dalam bukunya itu, Ibnu Juljul kadang-kadang menuliskan nama orang yang pertama kali menggunakan tumbuhan tersebut untuk pengobatan atau orang yang menceritakan fungsi dan efek penggunaan tumbuhan pada tubuh manusia.

Ibnu Juljul, juga membahas tentang batu Bezoar yang dapat digunakan untuk melawan semua racun. Batu tersebut memiliki warna yang kekuning-kuningan dengan garis-garis putih. Selain itu, dia juga pernah membahas soal Ribas. Mengutip pedagang kepercayaannya, Ibnu Juljul mengungkapkan, Ribas merupakan sejenis sayuran yang rasanya masam. Ribas bisa didapatkan di pegunungan yang tertutup salju. Apa yang diungkapkan dalam bukunya sarat dengan pengalaman dan pengetahuan Ibnu Juljul di bidang medis.

Banyak dipelajari
Karya Ibnu Juljul tentang pengobatan herbal, dipelajari pula oleh banyak ilmuwan lainnya. Di antara ilmuwan yang mempelajari karya Ibnu Juljul, adalah ahli botani yang bernama Al-Ghafiqi. Ia mengoleksi beragam jenis tumbuhan dari Spanyol maupun Afrika. Selain itu, Al-Ghafiqi juga membuat catatan yang menggambarkan secara rinci tentang jenis-jenis tumbuhan yang dikoleksinya itu. Bahkan, seorang ahli sejarah dari Barat, George Sarton, mengatakan, Al-Ghafiqi merupakan ahli botani paling cerdas pada masanya.

Sejumlah kalangan mengatakan, deskripsi tentang tumbuh-tumbuhan yang dibuat Al-Ghafiqi diakui sebagai karya paling membanggakan yang pernah dibuat seorang Muslim. Karya fenomenal Al-Ghafiqi berjudul Al-Adwiyah al-Mufradah. Buku milik Al-Ghafiqi, menginspirasi Abdullah Ibnu Ahmad Ibn Al-Baitar atau Ibnu Baitar, untuk meneliti tumbuh-tumbuhan. Ia juga dikenal sebagai salah satu ahli botani sekaligus obat-obatan di Spanyol pada abad pertengahan.

Selain terinsipirasi Al-Ghafiqi, Ibnu Baitar juga mengutip empat belas tulisan tentang obat-obatan herbal milik Ibn Juljul. Padahal, Al-Baitar merupakan ahli botani yang hebat. Terbukti, ia mengoleksi dan mencatat 1.400 jenis tanaman obat.

Catatan dan koleksi tersebut, Ibnu Baitar peroleh saat ia menjelajahi pesisir Mediteranian dari Spanyol ke Suriah. Salah satu karya Al-Baitar yang paling termasyhur berjudul Al-Mughani-fi al Adwiyah al Mufradah. Dari banyaknya para ahli botani dan medis yang mengutip karya Ibnu Juljul, menunjukkan bahwa karyanya di bidang pengobatan herbal merupakan karya hebat dan teruji. Karya Ibnu Juljul dianggap sebagai karya yang memiliki nilai tinggi.

Bahkan, karya Ibnu Juljul tak hanya menjadi rujukan ilmuwan di wilayah Andalusia, namun juga oleh ilmuwan luar negeri seperti Maroko. Kontribusi Ibnu Juljul di dunia medis, sangat berharga bagi penggunaan tanaman untuk obat, bahkan di dunia modern.

Dunia Islam dan Tumbuhan

Ajaran agama untuk menggali ilmu pengetahuan telah mendorong Muslim untuk mengenal banyak ilmu. Segala upaya mereka kerahkan untuk menekuni sebuah, bahkan beragam ilmu. Termasuk, ilmu pengobatan yang menggunakan tumbuhan.

Ketertarikan pada tumbuhan tak hanya melahirkan ahli pengobatan herbal. Namun, juga melahirkan perkembangan menakjubkan di bidang pertanian. Termasuk, teknik baru dalam mengembangkan tanaman, bahkan pembangunan bendungan dan irigasi.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan ilmuwan Muslim soal tanaman ini, kemudian lahirlah ilmu tentang pengobatan herbal. Dalam banyak literatur Islam di abad pertengahan, kehidupan tumbuh-tumbuhan erat kaitannya dengan ilmu kedokteran dan agronomi.

Sejak Al-Asma'i yang hidup pada 740 hingga 828, seorang ilmuwan terkenal pada masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid menuliskan Kitab al-Nabat wa-'l-Shajar, ilmuwan Muslim tak lagi merasa ragu untuk menggunakan istilah botani.

Bahkan kemudian, para filolog Muslim menggambarkan tanaman secara sistematis. Beragam jenis tumbuhan digolongkan menurut jenisnya. Ada tanaman masuk dalam golongan pohon, bunga, sayur-sayuran, dan semak-semak. Pohon juga dibagi menurut kualitas yang dapat dimakan dari kulit dan biji buah-buahan pohon tersebut.(rpb) www.suaramedia.com

Sejarah Revolusi Pertanian Di Era Islam

Lahan pertanian telah lama menjadi karib umat Islam. Dalam konteks ini, umat Islam tak sekadar mengolah lahan. Namun, mereka juga mengenalkan sistem dan cara pengolahan lahan pertanian secara lebih modern. Termasuk, cara tanam dan penggunaan irigasi.

Bahkan, pada awal abad ke-9, sistem pertanian modern menjadi pusat kehidupan ekonomi dan organisasi di negeri-negeri Muslim. Pertanian di Timur Dekat, Afrika Utara, dan Spanyol, didukung sistem pertanian yang maju.

Sebab, praktik pertanian di sana telah menggunakan irigasi yang baik dan pengetahuan yang sangat memadai. Fakta ini menunjukkan bahwa metode pertanian yang dipraktikkan merupakan metode paling maju di dunia.

Umat Islam memiliki kuda-kuda terbaik, ternak domba, dan kemampuan membudidayakan kebun buah-buahan dan sayuran. Mereka tahu bagaimana cara membasmi serangga dan menggunakan pupuk dengan dosis yang tepat.

Selain itu, mereka juga telah memiliki kecakapan dalam mencangkok pohon dan tanaman untuk menghasilkan varietas baru. Tak heran jika kemudian lahir varietas tanaman yang unggul dan menambahkan keragaman tanaman yang ada.

Sejumlah jenis tanaman yang sebelumnya tak dikenal, juga diperkenalkan oleh umat Islam. Pohon jeruk, misalnya, dibawa umat Islam dari India ke Arab sebelum abad ke-10. Pohon ini kemudian diperkenalkan ke wilayah lainnya.

Pada akhirnya, pohon jeruk ini juga dikenal di Suriah, Asia Kecil, Palestina, Mesir, dan Spanyol. Berawal dari Spanyol, lalu pohon jeruk tersebut menyebar ke seluruh wilayah yang ada di Eropa Selatan.

Budidaya tebu dan pemurnian gula juga disebarkan oleh orang-orang Arab Muslim dari India melalui Timur Dekat, kemudian dibawa tentara Salib ke negara-negara Eropa. Kapas pertama kali dibudidayakan di Eropa oleh bangsa Arab.

Pencapaian umat Muslim dalam bidang pertanian mampu pula diwujudkan di tanah Arab, yang sebagian besar merupakan lahan kering. Ini terwujud dengan menggunakan sistem irigasi yang terorganisasi dengan baik.

Khalifah sebagai pemimpin pemerintahan, membiayai pemeliharaan kanal-kanal besar demi kepentingan pertanian. Sungai Efrat dialirkan ke Mesopotamia, sedangkan air dari Tigris dialirkan ke Persia.

Tak hanya itu, pemerintahan Islam juga membangun sebuah kanal besar yang menghubungkan dua sungai di Baghdad. Kekhalifahan Abbasiyah merupakan dinasti yang memelopori pengeringan rawa-rawa agar digunakan untuk pertanian.

Saat memerintah, mereka pun merehabilitasi desa-desa yang hancur dan memperbaiki ladang yang mengering. Pada abad ke-10, di bawah kepemimpinan pangeran-pangeran Samanid, daerah antara Bukhara dan Samarkand, Uzbekistan berkembang pesat.

Tak heran jika kemudian, daerah tersebut ditetapkan sebagai salah satu dari empat surga dunia. Tiga wilayah lainnya adalah Persia Selatan, Irak Selatan, dan kawasan yang ada di sekitar Damaskus, Suriah.

Berdasarkan catatan sejarah dan komentar para ilmuwan termasuk dari Barat, sistem pertanian pada era Spanyol Muslim merupakan sistem pertanian yang paling kompleks dan paling ilmiah, yang pernah disusun oleh kecerdikan manusia.

Hal ini terjadi karena kaum Muslim memperkenalkan banyak perubahan. Salah satu bukti, pada masa itu seluruh Eropa hancur di bawah perbudakan, namun tanah di bawah kekuasaan Islam mengalami kemajuan pesat di bidang pertanian.

Salah seorang cendekiawan berkebangsaan Inggris, Joseph McCabe, mengungkapkan, di bawah kendali Muslim Arab, perkebunan di Andalusia jarang dikerjakan oleh budak. Tapi, perkebunan dikerjakan oleh para petani sendiri.

Di sepanjang Sungai Guadalquivir, juga terdapat 12 ribu desa yang berkecukupan, bahkan makmur. Revolusi pertanian Islam telah diawali pada abad ke-7. Negeri-negeri Islam berkembang pesat dan memiliki masyarakat makmur dari hasil pertanian.

Para ahli geografi awal mengungkapkan, terdapat 360 desa di Fayyum, sebuah provinsi di selatan Kairo, Mesir, yang masing-masing dapat menyediakan kebutuhan makanan bagi penduduk seluruh Mesir setiap hari.

Di sisi lain, terdapat 12 ribu desa di sepanjang Guadalquivir, Spanyol, yang memiliki lahan pertanian subur. Ada pula 200 desa di sepanjang Sungai Tigris, Irak, yang pertaniannya juga maju.

Bukti lain, yang menunjukkan kemajuan umat Islam di bidang pertanian, yakni adanya sebuah sensus yang dilakukan pada abad ke-8 di Mesir. Dalam sensus itu, dari 10 ribu desa di Mesir, tak ada desa yang memiliki bajak kurang dari 500 unit.

Wilayah-wilayah yang kemudian berada di bawah kekuasaan pemerintah Islam, juga mengalami perubahan ke arah kemajuan yang drastis. Banyak wilayah yang sebelumnya tak maju, namun di bawah pemerintah Islam, kemajuan kemudian terwujud.

Pada masa pra-Islam, Mediteranian kuno pada umumnya hanya bisa memanen tanaman saat musim dingin. Itu pun, satu bidang lahan hanya mampu menghasilkan satu jenis tanaman setiap tahunnya.

Namun, datangnya Islam ke sana membuat segalanya berubah. Sebab, Muslim yang datang ke wilayah itu
memperkenalkan berbagai macam tanaman baru. Dengan demikian, garapan pertanian pun kian beragam. Seorang ahli agronomi Andalusia, seperti Al-Tignarî yang berasal dari Granada, membuat referensi tentang tanaman-tanaman yang memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pertanian yang cukup signifikan.

Salah seorang orientalis dari Prancis, Baron Carra de Vaux, bahkan menyebutkan, sejumlah tumbuhan dan hewan yang berasal dari Timur dibawa ke Spanyol oleh umat Islam. Tumbuhan dan hewan itu, kata dia, digunakan untuk beragam kebutuhan. Jadi, tak hanya untuk keperluan pertanian maupun peternakan, tapi tumbuhan dan hewan itu digunakan juga untuk keperluan pengembangan perkebunan, status kemewahan, perdagangan, dan seni.

De Vaux membuat sebuah daftar. Tumbuhan dan hewan itu adalah tulip, bakung, narcissi, lili, melati, mawar, persik, plum, domba, kambing, kucing Anggora, ayam Persia, sutra, dan katun. Salah satu tanaman penting yang diperkenalkan oleh umat Islam di Spanyol adalah tebu. Sedangkan kapas, mulai dibudidayakan di Andalusia pada akhir abad ke-11. Andalusia kemudian mampu berswasembada kapas.

Bahkan kemudian, para petani di Andalusia mampu mengekspor kapas hingga ke luar negeri. Di sisi lain, pengenalan tanaman baru kelak melahirkan sistem pertanian yang kompleks. Termasuk, pembangunan irigasi. Semula sebidang lahan hanya menghasilkan sekali panen satu macam tanaman per tahun. Namun, dengan makin beragamnya tanaman dan adanya irigasi, petani mampu panen tiga atau lebih tanaman per tahun.

Dengan produksi pertanian yang semacam ini, penduduk kosmopolitan di kota-kota Islam, termasuk yang ada di Spanyol, mampu memenuhi kotanya dengan beragam produk buah dan sayuran yang sebelumnya tak dikenal di Eropa.

Paling tidak, ada beberapa faktor penyebab revolusi pertanian Islam yang akhirnya sampai ke Spanyol. Yaitu, pengenalan tanaman baru oleh umat Islam, penggunaan irigasi yang intensif, dan penggunaan serta pengolahan tanah yang lebih baik.

Selain itu, faktor lain yang juga sangat menentukan adalah banyaknya karya ilmiah, yang memperkenalkan inovasi pertanian dan ilmu pengetahuan tentang pertanian.

Mereka yang Berjasa

Kemajuan pertanian di wilayah Islam, termasuk di Spanyol, tentu tak lepas dari kontribusi ahli pertanian Muslim. Mereka menyumbangkan pemikiran-pemikirannya dalam buku-buku tentang pertanian. Karya mereka menjadi panduan dalam pengembangan pertanian kala itu.

Abu'l Khair, seorang ahli pertanian di Spanyol pada abad ke-12, misalnya, menulis Kitab Al-Filaha yang berisi tentang hal ihwal pertanian. Dalam kitabnya itu, ia menuliskan empat cara untuk menampung air hujan dan membuat perairan buatan.

Khair menegaskan perlunya penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek. Ia juga menguraikan tentang proses pembuatan gula yang sebelumnya telah diungkapkan ilmuwan lainnya, Ibn Al-Awwam.

Proses pembuatan gula diawali dengan memanen tanaman tebu yang telah dewasa. Lalu, tebu-tebu tersebut dipotong menjadi potongan-potongan kecil yang kemudian dihancurkan dengan cara dimasukkan ke dalam alat penekan.

Setelah itu, ekstrak tebu direbus dalam jangka waktu tertentu lalu hasilnya disaring. Hasil saringan ekstrak tebu itu dimasak lagi sampai tinggal seperempat bagian dari jumlah semula. Kemudian, ekstrak tebu yang terakhir ini dituangkan ke dalam cetakan tanah liat.

Ekstrak tebu yang dimasukkan ke dalam cetakan-cetakan berbentuk khusus itu, disimpan di tempat teduh hingga mengeras atau mengkristal. Langkah selanjutnya, gula dikeluarkan dari cetakan dan dikeringkan di tempat yang teduh.

Gula tersebut digunakan untuk pemanis minuman maupun sebagai bahan campuran membuat makanan atau kue-kue yang sangat lezat. Di sisi lain, sisi tanaman tebu tak dibuang sia-sia. Namun, dijadikan makanan kuda, sebagai sumber kekuatan dan energi.

Ada pula ahli pertanian dari Damaskus Suriah, Riyad al-Din al-Ghazzi al-Amiri (935/1529). Dia menulis sebuah buku tentang pertanian yang perinci. Secara umum, para penulis Arab kuno menuliskan tentang pertanian dalam berbagai subjek.

Di antaranya, soal jenis lahan pertanian dan pilihan tanah, pupuk kandang dan pupuk lain, alat pertanian dan karya budidaya, sumur, mata air, saluran irigasi, tanaman, pembibitan, penanaman, pemangkasan, dan pencangkokan buah.

Mereka juga membahas soal budidaya serealia, kacang-kacangan, sayuran, bunga, umbi-umbian, dan tanaman untuk parfum. Pun, tentang tumbuhan dan hewan beracun serta pengawetan buah.(rpb) www.suaramedia.com

Sejarah Islam, Sayyid Qutb

Quthb lahir dengan nama lengkap Sayyid Quthb Ibrahim Husein asy-Syadzili pada tanggal 9 Oktober 1906 M. (1326 H.) di Musya, sebuah pedesaan yang terletak di dekat kota Asyut, hulu Mesir. Ayahnya pernah aktif di Partai Nasional pimpinan Musthofa Kamil, hal ini mungkin yang menanamkan pada diri Quthb kesadaran politik yang tinggi.

Perjalanan intelektual Quthb dimulai dari desa di mana dia lahir dan dibesarkan. Di bawah asuhan orangtuanya, Quthb berhasil menghafal Alquran dalam usia relatif dini, 10 tahun. Menyadari bakat tersebut, orangtuanya memindahkan keluarga ke Hilwan, daerah pinggiran Kairo, agar Quthub memperoleh kesempatan masuk ke Tajhiziyah "Dar al-Ulum" (nama lama dari Universitas Cairo).

Pada tahun 1929, Quthb kuliah di Dar al-Ulum dan memperoleh gelar Sarjana Muda di bidang Pendidikan pada tahun 1933, kemudian bekerja sebagai pengawas pada Departemen Pendidikan. Tahun 1949 ia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk memperdalam pengetahuannya di bidang Pendidikan selama 20 tahun, tepatnya di Wilson's Teacher's College Washington dan Stanford University California.

Sekembalinya dari Amerika, Quthb bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin karena kekagumannya pada Hasan Al-Banna, pendiri gerakan tersebut. Quthb menjadi tokoh penting dalam kelompok ini. Pada tahun 1954, Quthb diangkat menjadi Pemimpin Redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Namun, baru dua bulan terbit, harian tersebut dibredel oleh pemerintahan Gammal Abdul Nasser.

Menurut Quthb, saat itu Ikhwanul Muslimin menghadapi situasi yang hampir sama dengan situasi masyarakat saat Islam datang untuk pertama kalinya, yaitu kebodohan tentang akidah Islam dan jauh dari nilai-nilai etik Islam (jahiliyah). Namun sayangnya, kesucian niat dan semangatnya dalam memperjuangkan orang banyak mengantarnya ke penjara pada 13 Juli 1955.

Pada tahun 1964 Quthb dibebaskan atas permintaan Abdul Salam Arif, Presiden Irak, yang mengadakan kunjungan ke Mesir. Saat itu, menurut informasi Abdul Hakim Abidin, salah seorang sahabatnya, Abdul Salam meminta Quthb untuk ikut bersamanya ke Irak, tetapi dia menolak seraya menyatakan, "Ini adalah medan perjuangan yang tidak bisa saya tinggalkan".

Setahun kemudian (1965) ia kembali ditangkap. Presiden Nasser menguatkan tuduhannya bahwa Quthb berkomplot untuk membunuhnya. Berdasarkan UU No. 911 tahun 1966, Presiden mempunyai kekuasaan untuk menahan siapa pun yang dianggap bersalah.

Sayyid Quthb diadili oleh Pengadilan Militer pada tanggal 12 April 1966. Tuduhannya sebagian besar berdasarkan tulisannya, Ma'alim fi ath-thariq, di mana isinya dianggap berupaya menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan. Kemudian, pada 21 Agustus 1966 Sayyid Quthb bersama Abdul Fattah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan dihukum mati.

Quthb dihukum gantung bersama dua orang sahabatnya pada 29 Agustus 1966. Pemerintah Mesir tidak menghiraukan protes dari Amnesti Internasional yang memandang proses peradilan militer terhadap Sayyid Quthub sama sekali bertentangan dengan rasa keadilan.

Sejak saat itu Quthb dijuluki sebagai Syahid bagi kebangkitan Islam, yang rela mengorbankan nyawanya di tiang gantungan.

Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an, Sarana Dakwah dari Balik Jeruji Penjara

Umej Bhatia (peneliti di Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Harvard, AS), dalam A Critical Reading of Sayyid Quthb's Qur'anic Exegesis, mengatakan, pada kondisi sosial dan politik itulah karya-karya Sayyid Quthb tentang pergerakan melawan penguasa tiran harus dipahami. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an (Di Bawah Naungan Alquran) merepresentasikan gagasan-gagasan pergerakan tersebut.

Umej Bhatia menilai, tafsir Fi Zhilal al-Qur'an menyajikan cara baru dalam menafsirkan Alquran yang belum pernah dilakukan oleh ulama-ulama klasik. Sayyid Quthb memasukkan unsur-unsur politik dan ideologi dengan sangat serasi. Boleh dibilang, tafsir yang satu ini paling unik karena menjadikan Alquran sebagai pijakan utama untuk melakukan revolusi politik dan sosial.

Tampaknya, menurut Umej, Sayyid Quthb dipengaruhi oleh dua ulama agung sebelumnya, yakni Muhammad Abduh dan Rashid Ridho. Tafsir  Al-Mannar karya kedua ulama tersebut lebih memfokuskan penafsiran Alquran dalam konteks sosial masyarakat ketimbang mengupas makna kata per kata. "Akan tetapi, Sayyid Quthb selangkah lebih maju daripada kedua pendahulunya itu. Ia berhasil mengolaborasikan teori-teori sosial Barat ke dalam pesan-pesan agung Alquran," kata Umej.

Penilaian serupa juga disampaikan oleh Dr Ahzami Samiun Jazuli, pakar tafsir Alquran dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menurut Ahzami, tafsir yang ditulis oleh Sayyid Quthb ini merupakan tafsir haraki (tafsir pergerakan) atau tafsir dakwah. Sang ulama tidak menggunakan  manhaj(metode) penulisan tafsir seperti ulama-ulama terdahulu, misalnya tafsir tahlili (tafsir analitis) yang memulai penafsiran dari penjelasan kata dalam ayat Alquran.

"Sayyid Quthb tidak menjelaskan panjang lebar makna kata dalam suatu ayat. Tidak pula menerangkan secara detail aspek-aspek  fiqhiyyah (hukum-hukum fikih) karena pembahasan semacam itu sudah banyak dikupas dalam kitab-kitab tafsir klasik," jelas Ahzami.

Alquran bagi Sayyid Quthb merupakan kitab pedoman hidup yang komprehensif ke arah kehidupan yang diridhai Allah SWT. Oleh sebab itu, ia menamai tafsirnya itu  Fi Zhilal al-Qur'an supaya umat Islam benar-benar berada dalam tuntunan dan naungan Alquran.

Tafsir  Fi Zhilal al-Qur'an merupakan hasil dari dinamika akademis, politik, dan sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual yang mendekati Alquran dari perspektif ilmu pengetahuan. Namun, juga menggunakan pendekatan atas dasar pengalaman hidup sang penulis. Tidak mengherankan, kata Ahzami, kalau kitab tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di seluruh dunia, terutama mereka yang aktif dalam gerakan dakwah.

Dr Muchlis Hanafi, ahli tafsir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, melihat fenomena tafsir  Fi Zhilal al-Qur'anini dari sudut pandang yang berbeda. Menurutnya, ada beberapa aspek yang menonjol dalam karya Sayyid Quthb itu. Di antaranya adalah  al-zauq al-adabi (ketinggian nilai sastra). Sayyid Quthb, menurut Muchlis, menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dengan gaya bahasa yang sangat indah. Sehingga, punya kekuatan magnetik dan pengaruh yang besar terhadap pembacanya.

Kelebihan lainnya, menurut Muchlis, adalah  al-wihdah al-maudhu'iyyah (kesatuan tema). Setiap surat yang ia tafsirkan diawali dengan mukadimah. Dan, mukadimah itu menjelaskan secara komprehensif isi surah sehingga tampak benang merah dan kesatuan tema sebuah surah.

Metode ini bukanlah hal baru dalam tradisi penafsiran Alquran, tetapi Sayyid Quthb berhasil menggunakannya dengan sangat baik. Saat ini, dapat disaksikan sebuah tafsir kontemporer yang bernilai tinggi. Namun demikian, tafsir ini tidak serta-merta lolos dari kritik para pegiat tafsir Alquran.

Dari segi metodologi, banyak yang menilai bahwa Sayyid Quthb melanggar tata aturan penafsiran Alquran yang dianut oleh para ulama salaf. Ia terlalu banyak menggunakan akal daripada merujuk pada Alquran, hadis Nabi SAW, dan tradisi para sahabat.

Ide-ide revolusioner
Umej Bhatia berpendapat bahwa penjara dan penyiksaan berperan penting dalam membentuk karakter pemikiran Sayyid Quthb. Umej memakai istilah  prison perspective (perspektif penjara) bagi perspektif Sayyid Quthb dalam penafsiran Alquran. Yaitu, sebuah cara pandang korban keganasan rezim otoriter terhadap realitas sosial politik di masanya.

Kepahitan pengalaman politik Sayyid Quthb mendorongnya menyerukan konsep  hakimiyatullah(kekuasaan hanya milik Allah) sebagaimana diusung oleh Abu al-'Ala al-Maududi di Pakistan. Hakimiyatullah berarti kekuasaan harus dikembalikan kepada Allah, bukan dikuasai manusia zalim yang melanggar hukum-hukum Tuhan. Umat Islam wajib berjihad mengembalikan tata aturan itu sesuai dengan doktrin Alquran.

Untuk itu, menurut Sayyid Quthb, perlu ada gerakan  At-Thali'ah al-Islamiyah , yaitu menyiapkan generasi Muslim baru yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran Allah serta mendidik mereka untuk menjadi pemimpin umat di masa depan. Ide-ide pergerakan dan perlawanan Sayyid Quthb itu tampak jelas dalam mukadimah tafsirnya pada surah Al-An'am.

Ia memaparkan konsep masyarakat ideal sesuai dengan tuntunan Islam; berseru kepada para juru dakwah untuk konsisten berada di jalan ini; serta menancapkan akidah agar sistem pemerintahan yang terbentuk kelak tidak melanggar tata aturan yang ditetapkan Allah SWT. "Orang-orang yang tidak memiliki akidah adalah pribadi-pribadi jahiliyah. Kejahiliyahan mereka memenuhi akal, pikiran, dan hati," tegas Sayyid Quthb.

Dalam pemaparannya tentang tatanan sosial politik yang ideal menurut doktrin Islam, Sayyid Quthb tidak segan-segan melabeli status 'kafir' kepada para penguasa zalim atau yang melanggar hukum Allah. Ini mengundang respons beragam dari banyak kalangan, bahkan dari ulama sendiri.

Dr Yusuf al-Qardhawi menilai bahwa pemikiran takfir (pengkafiran pada Muslim lain) dalam karya Sayyid Quthb sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut mayoritas umat Islam di dunia. Pemikiran ini, tambah Qardhawi, juga tidak mencerminkan pemikiran gerakan Ikhwan al-Muslimin karena pemikiran takfir sama sekali tidak selaras dengan pemikiran organisasi itu.

Pernyataan Qardhawi tersebut disanggah sejumlah tokoh Ihkwan al-Muslimin. Menurut mereka, Sayyid Quthb tidak keluar dari Ahlussunnah wal Jamaah. Semua pemikiran Sayyid Quthb selaras dengan  manhajIkhwan al-Muslimin, tidak ada satu pun yang menyalahi kaidah dan dasar organisasi tersebut. Quthb, menurut mereka, juga tidak pernah mengafirkan kelompok Islam lain dan tidak pernah mendakwahkan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah.

Menawarkan Pemecahan Problem Umat
Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an ditulis oleh Sayyid Quthb selama kurang lebih 15 tahun, yaitu sejak tahun 1950-ah hingga 1960-an. Pada mulanya, ia memulai menulis tafsirnya itu atas permintaan rekannya, Said Ramadhan, redaktur majalah  Al-Muslimun yang terbit di Kairo dan Damaskus.

Sang mufasir menyambut baik permintaan itu dan memberi nama rubrik tersebut  Fi Zhilalil Quran. Tulisan pertama yang dimuat adalah penafsiran surah Alfatihah, kemudian surah Albaqarah. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Sayyid Quthb memutuskan menyusun satu kitab tafsir sendiri yang juga ia beri nama  Fi Zhilalil Quran .

Karya beliau lantas dicetak dan didistribusikan oleh penerbit al-Bab al-Halabi. Penerbitan pertamanya tidak langsung berjumlah 30 juz, namun tiap satu juz. Setiap juznya terbit dalam dua bulan sekali. Proses penyempurnaan penafsiran selanjutnya diselesaikan dalam penjara.

Edisi pertama dalam bentuk 30 juz diterbitkan pada tahun 1979. Sejak saat itu, persebarannya meluas hingga mencapai hampir seluruh negara Muslim di dunia. Umej Bhatia mencatat, kitab tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, Turki, Urdu, Bengali, Indonesia, dan Melayu.

Di negara-negara Arab, volume penjualan tafsir  Fi Zhilal al-Qur'an bak kacang goreng. Selama bertahun-tahun, tafsir itu menjadi  best seller. Menurut cerita Syekh Abdullah Azzam, pada pertengahan 1980-an, jika di Lebanon ada percetakan mulai bangkrut, kemudian pemiliknya mencetak  Fi Zhilalill Quran dan juga buku-buku Sayyid Quthb yang lain, percetakan tersebut selamat dari kebangkrutan.

Gaya bahasa dan kualitas penafsiran Sayyid Quthb merupakan daya pikat utama bagi para pembaca untuk menyelami samudra ilmu Alquran. Di dalamnya tersaji konsep-konsep Islam modern tentang jihad, masyarakat jahiliyyah dan Islam, serta ummah .

Konsep-konsep tersebut menumbuhkan kesadaran baru akan gerakan sosial politik berdasarkan doktrin Islam. Tak ayal, banyak peneliti Barat yang melabeli Sayyid Quthb sebagai pengusung radikalisme, ekstremisme, fundamentalisme, atau atribut-atribut yang menjurus pada nuansa kekerasan lainnya.

Tentang konsep umat, Sayyid Quthb mengutarakan bahwa pembentukan pribadi umat harus berdasarkan keimanan yang kokoh, optimisme pada rahmat dan pertolongan Allah, serta rasa percaya diri sebagai umat terbaik yang diutus Allah di muka bumi ini. Segala permasalahan umat, menurutnya, harus dicarikan solusinya dari kitab Allah SWT dan sunah nabi.

"Keimanan berimplikasi pada sikap pasrah dan menyerah kepada hukum-hukum Allah. Jiwa-jiwa yang tulus akan menerima segala sistem hukum dan perundangan Islam secara sukarela. Tidak terdetik satu penentangan pun sejak aturan tersebut dikeluarkan. Juga, tak ada sedikit pun keengganan untuk melaksanakannya ketika hukum itu diterima," kata Sayyid Quthb dalam mukadimah surat Al-An'Am.

Secara umum, tema yang ditekankan dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an meliputi gagasan tentang hubungan antarsesama manusia. Allah SWT, menurutnya, menghendaki sebuah bangunan sosial yang harmonis berdasarkan keimanan dan cinta kasih. Konsep ini menghindarkan terbentuknya kekuasaan tiran yang menebarkan kebencian, kebodohan, dan kekafiran. (rpb ) www.suaramedia.com

Ilmuwan Muslim, Banu Musa Bersaudara

Seperti mendiang ayahnya, Banu Musa bersaudara menitipkan sesuatu yang berharga sepeninggal mereka. Sebelumnya, ayah Banu Musa bersaudara telah menitipkan mereka ke orang-orang terpelajar dan tepercaya hingga mereka menjadi cendekiawan.

Kitab al-Hiyal atau Kitab Perangkat Mekanik merupakan hal bernilai yang ditinggalkan Banu Musa bersaudara. Melalui kitab ini, mereka memberikan warisan berguna bagi perkembangan teknik dan arsitektur dalam dunia Islam.

Banu Musa bersaudara hidup pada abad ke-9. Mereka adalah ilmuwan yang sangat aktif berkegiatan di Bayt al-Hikmah, Baghdad, Irak. Ini merupakan sebuah tempat yang terkenal dengan perpustakaan dan penerjemahan beragam ilmu pengetahuan.

Banu Musa terdiri atas tiga bersaudara. Yang pertama adalah Abu Ja'far Muhammad ibn Musa ibn Shakir yang hidup antara tahun 803-873. Dia memiliki keahlian khusus di bidang astronomi, teknik, geometri, dan fisika. Kemudian, ada juga Ahmad bin Musa ibn Shakir yang hidup antara tahun 803-873.

Ahmad memiliki keahlian khusus di bidang teknik dan mekanik. Selain itu, juga ada Al-Hasan bin Musa ibn Shakir yang hidup antara tahun 810-873. Dia pun memiliki keahlian yang sangat dikuasainya, yaitu bidang rekayasa dan geometri.

Banu Musa bersaudara merupakan putra-putra dari Musa ibn Shakir yang bekerja sebagai ahli astrologi Khalifah al-Ma'mun. Pada saat Musa ibn Shakir meninggal, dia meninggalkan anak-anaknya yang masih muda dalam lingkungan kekhalifahan.

Musa memercayakan anak-anaknya untuk dibimbing oleh Ishaq bin Ibrahim al-Mus'abi, mantan gubernur Baghdad. Dalam bidang pendidikan, ia menitipkan anak-anaknya kepada Yahya bin Abu Mansur. Seorang cendekiawan yang bergiat di Bayt al-Hikmah.

Dalam kitabnya, Banu Musa bersaudara menciptakan rancangan pembuatan air mancur dalam beragam teknik dan trik. Mereka menerapkan beragam prinsip geometri dan fisika untuk membuat air mancur.
Kitab tersebut juga memuat tujuh model atau rancangan air mancur.

Rancangan pertama mengenalkan bentuk dasar yang ditemukan dalam semua air mancur. Rancangan lainnya menunjukkan pembuatan air mancur yang lebih rumit. Tentu, itu memerlukan ketelitian dan kemampuan teknik yang lebih tinggi.

Dalam kitabnya itu, Banu Musa bersaudara misalnya memberi penjelasan mengenai pembuatan air mancur yang bentuk pancaran airnya bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk lain secara periodik.

Banu Musa bersaudara juga menguraikan, setiap air mancur memiliki tunas yang menjadi tempat pipa-pipa membentuk air mancur yang memancar dan memiliki bentuk yang unik. Biasanya, dalam tunas itu terdapat dua kompartemen.

Pada bagian bawah, tekanan air terakumulasi sebelum air tersebut dilepaskan melalui pipa yang ada di kompartemen atas. Bentuk air mancur yang memancar keluar tergantung bagaimana kompartemen atas diatur.

Paling tidak, terdapat tiga bentuk dasar air yang memancar keluar dari sebuah air mancur, yaitu bentuk lili, perisai, dan tombak. Air mancur lainnya merupakan bagian dari rancangan hebat yang bisa memasukkan dua bentuk pancaran air mancur dalam sebuah tunas.

Pada air mancur jenis ini, dua bentuk pancaran air mancur bisa terbentuk secara bersamaan. Ada pula pancaran air mancur yang berubah secara periodik, misalnya berubah dari sebuah tombak ke sebuah perisai, kemudian kembali lagi ke pancaran air berbentuk tombak.

Untuk membuat pancaran air yang keluar bergantian dan berbentuk seperti tombak dan perisai, diperlukan pengaturan yang sangat cermat dan teliti. Pengaturan harus seimbang dengan memerhatikan prinsip-prinsip fisika.

Keseimbangan bertindak sebagai sebuah saklar yang menentukan bagaimana air dari kanal utama didistribusikan ke setiap bak. Salah satu bak difungsikan untuk memancarkan air dalam bentuk tombak, sedangkan bak yang satunya untuk memancarkan air dalam bentuk perisai.

Bak ini ditempatkan pada air mancur dan tersembunyi dari pandangan publik. Bak tersebut berfungsi sebagai akumulator tekanan. Dengan demikian, bak tersebut menyediakan pasokan air yang cukup dan tekanan untuk menciptakan efek air mancur yang diinginkan.

Dalam sebuah rancangan, Banu Musa bersaudara mendesain sebuah bak yang menentukan bentuk air yang keluar. Selanjutnya, mereka merancang air mancur dengan roda gerigi dan katup canggih yang memungkinkan bentuk pancaran air berubah dari satu bentuk ke bentuk lain.

Penemuan cara pembuatan air mancur oleh Banu Musa bersaudara memberikan efek besar bagi kemajuan arsitektur Islam. Sebab, air mancur itu sangat berguna untuk mempercantik taman dengan meletakannya di antara pepohonan atau dalam sebuah kolam yang indah.

Dalam berbagai catatan sejarah Islam, terungkap bahwa umat Islam menjadi umat pertama yang menggunakan media air dalam rancangan sebuah taman. Pun, memanfaatkan media air untuk memperindah ruangan, baik di rumah, masjid, istana, maupun taman umum.

Sayangnya, hanya ada sedikit naskah sejarah yang menyebutkan dan mengisahkan keberadaan air mancur pada masa kekhalifahan al-Ma'mun. Bahkan, Banu Musa bersaudara tak banyak pula menuliskan bagaimana setiap perangkat yang mereka temukan digunakan.


Segudang Karya Banu Musa Bersaudara

Buah pemikiran Banu Musa bersaudara tak sebatas pada rancangan air mancur. Mereka menorehkan sejumlah rancangan dalam Kitab al-Hiyal. Mereka juga menemukan sejumlah mesin otomatis dan alat mekanik lainnya.

Beberapa penemuan lainnya yang berhasil diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya adalah katup, mesin yang bisa diprogram, seruling otomatis, perangkat trik mekanik, lampu badai, lampu otomatis, tekanan diferensial, dan masker gas.

Banu Musa bersaudara juga menemukan sebuah alat yang dikenal sebagai alat musik mekanik paling awal. Alat musik ini disebut sebagai hydropowered organ, kemudian sering digunakan dan diproduksi hingga pertengahan abad ke-19.

Alat musik penemuan mereka lainnya disebut seruling otomatis yang merupakan salah satu mesin yang bisa diprogram untuk pertama kalinya. Tak hanya itu, Banu Musa bersaudara juga meninggalkan karya-karya mereka dalam bidang matematika.

Kitab Pengukuran Pesawat dan Figur Berbentuk Bola merupakan salah satu risalah matematika paling terkenal dari karya Banu Musa bersaudara. Dalam kitab ini, mereka membahas masalah yang dipikirkan Archimedes, ahli matematika, fisika, dan astronomi dari Yunani.

Archimedes membahas pengukuran lingkaran pada bola dan silinder. Di sisi lain, Abu Ja'far Muhammad ibn Musa ibn Shakir, yang berusia paling tua di antara tiga bersaudara itu, juga dikenal sebagai perintis astrofisika dan mekanika langit.

Abu Ja'far Muhammad, dalam bukunya, memberikan penjelasan tentang gerakan bola. Dalam buku tersebut, dia juga menuliskan penemuannya tentang benda-benda langit yang menjadi subjek dalam hukum fisika bumi.

Karya Abu Ja'far Muhammad lainnya adalah pembahasan tentang gerakan bintang dan hukum tarik-menarik. Ia mengungkapkan adanya gaya tarik-menarik antara benda-benda langit. Hal ini membuktikan bahwa hukum gravitasi Newton berlaku secara universal.

Sementara itu, Ahmad ibn Musa ibn Shakir, adik Abu Ja'far Muhammad,  yang ahli mekanik, menuliskan karya tentang perangkat mekanik. Sedangkan, Al-Hasan ibn Mu-sa-ibn Sha-kir yang berusia paling muda dan ahli geometri menuliskan karya tentang elips.(rpb) www.suaramedia.com

Sejarah Islam Di Kota Cordova

Apa sih yang dimaui oleh umat Islam zaman ini?
Oke, umat Islam mempunyai zaman lampau yang begitu gemilang. Tetapi firdaus yang kemilau di abad pertengahan itu sudah hilang. Umat Islam juga mempunyai eksemplar sejarah yag sering diimpikan sebagai model terbaik untuk ditiru pada zaman ini, yaitu pengalaman sejarah pada masa Nabi di Madinah.

Tetapi contoh itu sudah begitu jauhnya, sehingga banyak orang Islam di zaman ini mulai berpikir-pikir ulang: apakah praktis menjadikan contoh kehidupan di kota kecil di abad tujuh masehi itu sebagai "matriks sosial" untuk membina kehidupan umat Islam di abad 21 ini? Kalaulah model zaman Nabi itu mau dicontoh, apakah harus sama persis, sesuai dengan pesan Nabi, "shallu kama ra'aitumuni ushalli", shalatlah sebagaimana aku shalat? Apakah kita dikehendaki untuk "persis" seperti Nabi dalam hal shalat saja, atau dalam seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain? Mungkinkah itu? Bagaimana caranya?Atau kita perlu "persis" dalam semangat etiknya saja? Sekiranya model Nabi mau dimodifikasi, bagaimana caranya? Sejauh mana modifikasi itu tidak terjatuh kepada bid'ah yang dilarang oleh Nabi sendiri? Ataukah bid'ah justru perlu? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menghantui umat Islam zaman sekarang. Tak ada jawaban tunggal pada pertanyaan semacam ini. Masing-masing golongan dalam Islam mempunyai pemikiran sendiri-sendiri. Bahkan satu golongan bisa membentak golongan yang lain karena jawaban-jawaban yang berbeda atas pertanyaan itu.

Minggu yang lalu, saya membaca kolom pendek tulisan Thomas L Friedman yang dimuat di New York Times edisi 5 Mei 2002, bertajuk "Listening to the Future". Tom yang menulis buku laris berjudul Lexus and Olive Tree itu menceritakan suatu "momen" kecil yang, bagi saya, menyimpulkan dengan ringkas dan baik masalah pokok yang dihadapi oleh umat Islam zaman ini.

Di Pesantren Darun Najah, Ulujami, Jakarta Selatan, Tom bertemu dengan seorang santri yang dengan baik mengkritik kebijakan-kebijakan luar negeri Amerika Serikat, terutama yang berkaitan dengan masalah Palestina.

Amerika, kata santri itu, menirukan retorika yang sudah 'klise' di mana-mana, dikendalikan oleh Yahudi, dan bla-bla-bla. Di ujung komentar si santri itu, Tom bertanya nakal, "Kamu kepengin pergi ke dan belajar di Amerika?" Saya kutip saja kata-kata santri itu sebagaimana diriwayatkan oleh Tom, "Of course I would! Because if I go there, I can understand how that world really thinks. Because until now I only read about it in newspapers and only see it in TV."

Ada yang tak terungkap dalam jawaban si santri itu, tetapi implisit bisa terbaca di sana, yaitu keinginan untuk mencicipi kehidupan modern di negeri asalnya sendiri. Semua anak-anak Islam, dengan perkecualian pada sejumlah kasus yang sangat terbatas, ingin pergi ke Barat, ke negeri-negeri maju, belajar di sana, menyaksikan sendiri bagaimana modernitas bekerja, dan mencontohnya --kalu bisa-- saat pulang kelak. Tak ada anak Islam yang senang terperosok dalam tempurung keterbelakangan sepanjang umur. Dan memang begitulah keadaannya: jutaan anak-anak Islam melancong ke Barat, belajar cara mengkriya sistem kehidupan modern di sana, dan mencoba memodifikasikannya untuk negara mereka masing-masing. Mereka bisa berasal dari Mesir, Palestina, Irak, Siria, Aljazair, Tunisia, Malaysia, Brunei, juga Indonesia.

Tetapi, mereka juga tetap seorang muslim yang sadar bahwa mereka hidup dalam dan menghidupi "pandangan dunia" yang sangat beda dengan yang mereka jumpai di negeri-negeri tempat mereka belajar. Mereka tetap ingin mempertahankan --katakan saja-- "otentisitas" berdasarkan tradisi mereka sendiri. Seperti kalimat yang baik dari Samuel Huntington dalam "The Clash of Civilization" ketika menggambarkan orang-orang Jepang yang minum Coca Cola, tetapi hati mereka tetap bertaut dengan Shintoisme, maka anak-anak Islam itu juga persis sama: mereka belajar "keterampilan" di Barat, tetapi hati dan pikiran mereka tetaplah bertaut pada Islam; mereka bisa dengan terampil menguasai teknik mutakhir di negeri seberang itu, tetapi hati mereka tetap tidak bisa tunduk pada semangat faustian dan prometean yang menjadi semangat dasar perikehidupan ilmiah di sana.

Singkatnya, yang dimaui oleh umat Islam zaman ini, tampaknya, adalah satu pokok soal ini: bagaimana menjadi modern, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam. Dalam rumusan yang populer di Arab: bagaimana mencapai al-hadatsah atau kemoderenan, dengan tetap mempertahankan al-ashalah atau keaslian.

Kota Madinah adalah simbol keaslian bagi umat Islam: di sanalah, untuk pertama kali, cita sosial-politik Islam yang indah-indah dari "kayangan" itu diterjemahkan secara konkret oleh Nabi. Tetapi, Islam setelah wafatnya Nabi terus berkembang dan meluas, serta menyerap unsur-unsur baru dari luar dirinya, sehingga mencapai puncak "daya kreatifnya" dalam sebuah kota bernama Cordova di Spanyol. Kota itu bisa menjadi simbol komederenan Islam di masa klasik, dan bisa dijadikan sebagai "pemandu" bagi orang-orang Islam di zaman ini untuk mencapai cita-cita mereka agar menjadi "moderen dan otentik" sekaligus.

Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa kemoderenan adalah cita-cita universal setiap manusia. Hanya, mereka menghendaki suatu komederenan yang tidak mencerabutkan mereka dari tradisi yang mereka miliki. Kemoderenan yang terlalu "agresif" menyerang tradisi yang berbeda-beda itu, pada akhirnya, seperti dicatat oleh Karen Armstrong dalam "Battle for God", malah akan menimbulkan "backlash", serangan balik, dalam bentuk fundamentalisme.

Yang menjadi masalah sekarang adalah: sebagian orang Islam lebih suka menengok secara sepihak kepada contoh di Madinah saja, tetapi melupakan contoh-contoh yang berkembang setelah sejarah Madinah itu selesai. Ada semacam anggapan bahwa Islam sebagaimana berkembang di kawasan-kawasan luar Madinah itu adalah kurang "asli", sedikit (atau malah banyak) tercampur dengan kebudayaan-kebudayaan di luar Islam.

Contoh Cordova agaknya kurang diminati oleh umat Islam zaman ini. Semboyan yang selalu diuarkan adalah "kembali kepada Quran dan Hadis". Akan ditaruh di mana sejarah umat Islam yang empat belas abad itu? Ataukah sejarah merupakan barang rongsokan yang tak berguna? Pada akhirnya toh Quran dan Hadisitu sebuah teks yang harus diterjemahkan ke dalam bumi yang nyata. Bumi tempat Quran dan Hadis itu diterjemahkan, ya, tak lain adalah Madinah
dan (jangan lupa) Cordova.

Kalau boleh mengenalkan suatu neologisme, saya akan menggunakan istilah "Islam Mardova", yakni Islam sebagaimana diterjemahkan dalam dua konteks sejarah yang saling memprasyarati, yaitu sejarah Madinah dan Cordova; Islam yang otentik dan modern sekaligus, sebagaimana dikehendaki oleh anak-anak Islam zaman ini.(de) www.suaramedia.com