Saturday, December 31, 2011

Kitab Al-Jihad dan Penjelasannya

1. PENGERTIAN JIHAD

Kata jihad dari kata juhd yang berarti kemampuan dan kesukaran. Misalnya jaahada yujaahidu jihaadan au mujaahadah, yaitu apabila seseorang menguras kesanggupan dan mengerahkan segenap kemampuannya serta menanggung segala kesukaran dalam rangka memerangi musuh dan mengenyahkannya.

Jihad tidak disebutkan jihad haqiqi, kecuali bila dimaksudkan mendambakan ridha Allah dan ditujukan untuk meninggikan kalimat-Nya, mengibarkan janji kebenaran, menolak/memberantas kebathilan, dan untuk mengorbankan jiwa dalam rangka menggapai ridha-Nya. Jika jihad dimaksudkan untuk menumpuk kenikmatan duniawi, maka ini tidak disebut jihad haqiqi.

Oleh sebab itu, barangsiapa yang berperang demi memperoleh kedudukan, atau mendapatkan rampasan perang, atau menunjukkan keberanian, atau memperoleh popularitas, maka dia sama sekali tidak mempunyai bagian di akhirat dan tidak memperoleh pahala sedikit pun.

Dari Abu Musa ra, ia berkata: Telah datang seorang laki-laki Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu dia bertanya (kepada Beliau), “Seseorang yang berperang demi mendapatkan harta rampasan perang, dan seseorang yang berperang demi mengejar popularitas, dan seseorang yang berperang guna menunjukkan kehebatannya lalu siapakah (di antara mereka itu) yang di jalan Allah?” Maka jawab Beliau, “Barangsiapa yang berperang untuk menjadikan kalimat (agama) Allah yang tertinggi, maka itulah (jihad) di jalan Allah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VI: 27 no: 2810, Muslim III: 1512 no: 1904, ‘Aunul Ma’bud VII: 193 no: 2500, Tirmidzi III: 100 no: 1697 dan Ibnu Majah II: 931 no: 2783).

2. DORONGAN BERJIHAD

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menegakkan sholat, serta berpuasa  Ramadhan maka hak Allah atasnya untuk memasukkannya ke dalam surga. Ia berjihad di jalan Allah, atau duduk di daerah kelahirannya." Para sahabat pada bertanya, “Bolehkah kami menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?” Jawab Beliau, “Sesungguhnya di dalam surga ada seratus derajat yang Allah persiapkan untuk orang-orang yang berjihad di jalan Allah, yang jarak antara dua derajat seperti antara langit dengan bumi; karena itu, bila kalian hendak memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus; karena ia adalah surga percontohan dan surga yang paling tinggi derajatnya yang di atasnya terdapat ‘Arsy (Allah) Yang Maha Pengasih, dan darinya memancarkan (mata air) sungai-sungai di surga.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2126, ash Shahihah no: 921 dan Fathul Bari VI: 11 no: 2790).

Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Perumpamaan mujahid di jalan Allah seperti perumpamaan orang yang berpuasa lagi menegakkan shalat dengan membaca ayat-ayat Allah yang panjang, ia tidak pernah putus dari puasanya dan tidak (pula) dari shalatnya hingga sang mujahid di jalan Allah itu kembali (ke rumahnya).” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5851, Muslim III: 1498 no: 1878, Tirmidzi III: 88 no: 1669).

Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah segera memberi pahala kepada orang yang pergi (berjihad) di jalan-Nya, yang tidak ada yang mendorongnya pergi kecuali karena iman kepada-Ku dan membenarkan Rasul-rasul-Ku; Dia akan kembalikan ia dengan membawa pahala dan rampasan perang atau akan Dia masukkan ia ke dalam surga.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 92 no: 36, Muslim III: 1495 no: 1876).

3. KEUTAMAAN JIHAD

Dari Masruq, ia berkata: Kami pernah bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud ra tentang ayat ini, WALAA TAHSABANNAL LADZIINA…
(janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat (limpahan) rizki. QS Ali ‘Imran: 169). Kemudian ia menjawab: Sesungguhnya kami pernah (juga) menanyakan ayat itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu Beliau menjawab, “Arwah mereka itu berada dalam rongga-rongga burung yang hijau, ia memiliki banyak lampu gantung yang banyak tangannya yang bergantung pada ‘Arsy. Ia bisa terbang lepas dari surga kapan saja ia mau, kemudian ia kembali (lagi) ke lampu-lampu gantung itu, kemudian Rabb mereka memperhatikan mereka sekali, lalu berfirman kepada mereka (para arwah itu), ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Jawab mereka, ‘Apa (lagi) yang kami inginkan, sedangkan kami bisa terbang lepas dari surga sesuka kami.’ Dia (Allah) berbuat demikian tiga kali kepada mereka. Tatkala mereka melihat dari mereka tidak dibiarkan, terus ditanya, maka mereka berujar, ‘Ya Rabbi, kami ingin agar Engkau mengembalikan (lagi) arwah kami kepada jassad kami sehingga kami bisa gugur di jalan-Mu sekali lagi.’ Tatkala Dia melihat bahwa mereka tidak mempunyai kebutuhan, maka mereka dibiarkan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1068, Muslim III: 1502 no: 1887 dan Tirmidzi IV: 298 no: 4098)

Dari Anas bahwa Rubayyi’ binti al-Bara’, Ummu Haristah bin Suraqah pernah datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu berkata, “Ya Rasulullah, tidaklah engkau menceriterakan kepadaku tentang Haritsah? Dimana ia gugur pada waktu perang Badar terkena anak panah yang tidak diketahui siapa pemanahnya. Jika ia di surga, maka saya bersabar, namun manakala ia tidak demikian, maka saya akan bersungguh-sungguh menangisnya.” Kemudian Beliau bersabda, ;Ya Ummu Haritsah, sesungguhnya ia adlaah macam-macam surga di dalam surga, sedangkan puteramu menempati surga Firdaus  yang paling tinggi.” (Shahih: Shahihul Jam’us Shaghir no: 7852, Fathul Bari VI: 25 no: 2809, Tirmidzi V: 9 no: 3224)

Dari al-Miqdam bin Ma’di Kariba ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang gugur sebagai syahid mendapatkan enam keistimewaan: (Pertama) ia akan diampuni dosa-dosa sejak awal berangkat, (kedua) ia akan melihat tempat duduknya di surga, (ketiga) ia akan diselamatkan dari siksa kubur, (keempat) ia akan terselamatkan dari kepanikan yang luar biasa, (kelima) di atas kepalanya akan dipasang mahkota ketenangan yang terbuat dari yaqut yang lebih baik dari dunia dan seisinya, (keenam) dikawinkan dengan tujuh puluh dua isteri dari bidadari yang bermata jelita dan diberi hak memberi syafa’at kepada tujuh puluh dari kerabatnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2257, Tirmidzi III: 106 no: 1712, Ibnu Majah II: 935 no: 2799)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang gugur sebagai syahid tidak akan merasakan pedihnya terbunuh, melainkan seperti seorang di antara kamu merasa sakit karena dicubit.” (Hasan Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2260, Tirmidzi III: 109 no: 1719 dan Ibnu Majah II: 937 no: 3802 serta Nasa’i  VI: 36).

4. ANCAMAN AGAR TIDAK MENINGGALKAN JIHAD

"Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah", kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS At-Taubah: 38–39)

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dalam surah yang lain:

"Dan belajakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan jangan kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-Baqarah: 195)

Ibnu Katsir menulils bahwa al-Laits bin Sa’ad dari Yazid bin Abi Hubaib dari Aslam Abi ‘Imran, ia berkata, “Ada seorang prajurit dari batalyon Mujahirin maju ke daerah pertahanan musuh di Qasthanthiniyah (Konstantinopel) hingga badannya tertembus anak panah, bersama kami ada Abu Ayyub al-Anshari, lalu orang-orang pada berkomentar, 'Ia mencampakkan dirinya ke jurang kebinasaan.' Kemudian Abu Ayyub berujar, ‘Kami lebih tahu (daripada yang lain) mengenai makna ayat ini. Ayat ini turun pada kami, kami bersahabat dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan kami telah ikut bersamanya dalam banyak peperangan dan kami selalu membelanya. Tatkala Islam telah tersebar dan jaya, kami segenap kaum Anshar mengadakan pertemuan atas dasar cinta. Maka kami mengatakan: "Sungguh Allah telah memuliakan kami dengan bersahabat dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan dengan menolongnya hingga Islam menyebar dan pemeluknya berjumlah besar." Dan dahulu kami lebih mengutamakan Rasulullah daripada keluaga, harta benda, dan anak-anak, kemudian perang berakhir, lalu kami kembali kepada keluarga kami, anak-anak kami, kami tinggal bersama mereka. Lalu turunlah kepada kami ayat (yang artinya). "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS Al-Baqarah: 195). Jadi, kebinasaan itu ialah karena tetap tinggal di rumah, tidak mau berinfak, dan enggan berjihad.”

Riwayat di atas direkam oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Abdun bin Humaid dalam tafsirannya, juga Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Mardawaih, Al-Hafizh Abu Ya’ala al-Mushi dalam musnadnya, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, al-Hakim dalam Mustadraknya. Mereka semua ini bersumber dari hadits Yazid bin Abi Hubaid. Imam Tirmidzi berkata, “Hadist ini Hasan Shahih Gharib.” Imam Hakim menegaskan, “Para perawi sanad riwayat ini dipakai oleh Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 2187, Tafsir Ibnu Katsir I: 228, ’Aunul Ma’bud VII: 188 no: 2495, Tirmidzi III: 280 no: 4053 dan Mustadrak Hakim II: 275)

Dari Ibnu Umar ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kamu melakukan jual beli secara kredit dengan tambahan harga, mengambil ekor-ekor sapi (sebuah perumpamaan dari Rasulullah yang berarti riba atau tambahan), dan kamu merasa puas dengan tanamanmu, serta kamu meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakkan kehinaan kepadamu yang tidak akan dicabut hingga kamu kembali (tunduk patuh) kepada agamamu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 423)

5. HUKUM JIHAD

"Telah diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu. Padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-BAqarah: 216)

Jihad adalah fardhu kifayah, berdasar firman Allah Subhanhu Wa Ta'alat:

"Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai ‘udzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga)." (QS An-Nisaa: 95)

Ibnu Jarir ath-Thabari mengomentari ayat di atas dengan perkataannya, "Allah Yang Maha Tinggi snnjungan-Nya menjelaskan bahwa para mujahid akan mendapatkan keutamaan, dan bahwasanya mereka serta orang-orang yang duduk akan mendapat imbalan yang baik. Kalaulah sekiranya orang-orang yang duduk, yang tidak ikut berperang itu, telah menyia-nyiakan kewajiban, niscaya mereka akan mendapatkan imbalan yang buruk, bukan imbalan yang baik." (Tafsir Ath-Thabari II: 345)

Ketahuilah, bahwa berlandaskan banyak ayat dan hadits yang mengupas persoalan jihad, kita dianjurkan memperbanyak jihad, minimal sekali dalam setahun. Karena Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam semenjak diperintah berjihad tidak pernah vakum dari aktifitas jihad dalam setiap tahun. Sedangkan meneladani Rasulullah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah suatu kewajiban, dan jihad adalah kewajiban yang dikerjakan berulang kali. Adapun ibadah fardhu yang paling sedikit diulangi sekali dalam setahun ialah puasa dan zakat. Lain dengan jihad, manakala ada hajat yang mengharuskan jihad maka dikerjakan lebih dari sekali dalam setahun, atau mengharuskan jihad maka dikerjakan lebih dari sekali dalam setahun, atau berulangkali, karena ia adalah fardhu kifayah. Jadi diukur sesuai dengan kadar kebutuhannya. Wallahu A’lam.

“Akan tetapi satu hal yang seyogyanya kita semua memahami bahwa qital (perang) dalam Islam tidak boleh dimulai sebelum terlebih dahulu ada pengumuman dan takhyir (pemberian alternatif), yaitu menerima Islam atau membayar jizyah (upeti) atau perang. Perang didahului dengan pembatalan perjanjian, bila mereka pernah mengikat perjanjian, dalam kondisi mengkhawatirkan pihak lawan berkhianat. Ahkam niha-iyah (hukum-hukum yang final) menetapkan perjanjian hanya untuk ahludz dzimmah, yaitu orang-orang yang menerima tawaran damai dari Islam dan mau membayar jizyah. Dan tidak ada perjanjian pada selain kondisi seperti ini, kecuali kaum Muslimin dalam keadaan lemah yang menjadikan hukum tertentu dalam keadaan lemah ini sebagai hukum marhali (hukum periodik) yang biasanya diberlakukan dalam keadaan yang menyerupai keadaan di mana sekarang mereka hidup.”

6. ADAB QITAL (ETIKA PERANG)

Dari Buraidah ra ia bercerita: Adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang sahabat sebagai panglima perang, Beliau memberi wasiat khusus kepadanya agar bertakwa kepada Allah Ta’ala dan berbuat baik kepada segenap prajurit yang bersamanya, kemudian Beliau bersabda, “Berperanglah dengan (menyebut) nama Allah, di jalan-Nya hendaklah kalian menumpas orang-orang yang kufur kepada Allah. Berperanglah, namun jangan kalian mencuri (harta rampasan sebelum dibagi oleh panglima) dan jangan (pula) khianat, janganlah kalian mencincang (menyayat-nyayat bangkai) musuh dan jangan (pula) kalian menebas batang leher anak-anak kecil. Oleh sebab itu, manakala kalian berhadapan dengan kubu musuhmu dari kaum musyrikin, serulah mereka kepada tiga hal, apa saja yang mereka terima dari tiga hal tersebut, maka terimalah dan jangan memerangi mereka! Serulah kepada Islam; jika mereka menerima ajakanmu, terimalah kemauan baik dari mereka itu dan tahanlah dirimu dari mereka. Kemudian ajaklah mereka berhijrah dari negeri mereka (sendiri) ke negeri Muhajirin, dan informasikan kepada mereka bahwa manakala mereka melaksanakan ajakan itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang diperoleh kaum Muhajirin itu dan mereka harus melaksanakan kewajiban sebagaimana yang mesti dilaksanakan oleh kaum Muhajirin itu. Jika mereka (tetap) enggan berhijrah dari negeri mereka (sendiri), maka jelaskan kepada mereka bahwa mereka akan diperlakukan seperti orang-orang Arab Muslim yang lain, hukum Allah Subhanhu Wa Ta'ala tetap berlaku atas mereka sebagaimana yang berlaku atas kaum Mukmunin; namun mereka tidak berhak memperoleh ghanimah (yaitu harta rampasan perang yang diperoleh melalui peperangan) dan fai' (yaitu harta rampasan perang yang diperoleh tanpa terjadinya peperangan (tanpa ada perlawanan) sedikit pun, kecuali mereka turut serta berjihad bersama kaum Muslimin. Jika mereka (masih) menolak (tawaran tersebut), tuntutlah mereka agar membayar jizyah; jika mereka memenuhi tuntutanmu, maka terimalah (jizyah) dari mereka itu dan tahanlah dirimu terhadap mereka; jika mereka (tetap) menolak, maka mohonlah pertolongan kepada Allah untuk mengalahkan mereka.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1111, Muslim III: 1356 no: 1731, Tirmidzi II: 431 no: 1429 secara ringkas)

Dari Ibnu Umar ra,  ia berkata: “Didapati seorang perempuan terbunuh di sebagian medan peperangan bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu Beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VI: 148 no: 3015, Muslim III: 1364 no: 1744, ‘Aunul Ma’bud VII: 329 no: 2651, Tirmidzi III: 66 no: 1617 dan Ibnu Majah II: 947 no: 2841).

Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal ra ke penduduk Yaman sebagai da’i. Wasiat yang beliau sampaikan kepadanya (sebagai berikut), “Sesungguhnya engkau (Mu’adz) akan datang kepada suatu kaum Ahli Kitab; karena itu ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tiada Ilah (yang paut diibadahi), kecuali Allah dan bahwasanya aku adalah Rasul-Nya. Jika mereka dalam hal ini ta’at kepadamu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah Ta’ala telah memfardhukan atas mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka dalam ini patuh kepadamu, maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah telah memfardhukan atas mereka zakat yang dipungut dari orang-orang kaya di antara mereka lalu disalurkan kepada orang-orang faqir mereka. Jika dalam hal ini mereka tunduk kepadamu, maka janganlah kamu mengambil harta benda mereka yang berharga dan waspadalah terhadap do’a orang yang teraniaya; karena sesungguhnya antara do’a (tersebut) dengan Allah tidak ada hijab (penghalang).” (Muttafaqun ’alaih).

Friday, December 30, 2011

Pengertian Aiman (Sumpah) dan kajiannya

A. PENGERTIAN AIMAN

Kata aiman huruf hamzah diharakati fathah adalah bentuk jama’ dari yamin (sumpah). Menurut bahasa, kata yamin asal artinya yad ‘tangan’. Kemudian digunakan untuk arti sumpah, karena kebiasaan orang Arab manakala bersumpah masing-masing dari mereka memegang tangan kanan rekannya.

Sedangkan menurut pengertian secara syar’i, kata yamin adalah menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya.

B. DENGAN APAKAH SUMPAH ITU MENJADI SAH?

Sumpah tidak teranggap, tidak sah, kecuali dengan menyebut lafadz Allah, atau salah satu nama-Nya, ataupun salah satu sifat-Nya.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menjumpai Umar bin Khattab yang sedang bepergian di tengah kafilah bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lantas Beliau bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan (menyebut nama) bapak kalian; barangsiapa yang bersumpah, maka bersumpahlah dengan (menyebut nama) Allah, atau diamlah!” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 530 no: 6646, Muslim III: 1267 no: 3 dan 1646, ’Aunul Ma’bud IX: 77 no: 3233 dan Tirmidzi III: 45 no: 1573).

Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Neraka Jahannam selalu bertanya, ’Apakah masih ada tambahan?’ hingga Rabb Yang Memiliki Keperkasaan meletakkan kaki-Nya padanya. Lalu Jahannam berkata, ‘Cukup-cukup, demi Keperkasaan-Mu’. Dan, Dia mengumpulkan sebagian api neraka itu pada sebagian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari XI: 545 no: 6661, Muslim IV: 2187 no: 2848 dan Tirmidzi V: 65 no: 3326).

C. BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT SELAIN NAMA ALLAH ADALAH SYIRIK

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah, maka sungguh ia telah kafir atau musyrik.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6204 dan Tirmidzi III: 45 no: 1574).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian bersumpah, lalu di dalam sumpahnya ia mengatakan, Demi Latta, maka hendaklah ia menyebut, LAA ILAAHA ILLALLAH. Dan barangsiapa berkata kepada rekannya, ’Mari kita main judi’, maka hendaklah ia bershadaqah.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1267 no: 1647, Nasa’i VII: 7, ’Aunul Ma’bud IX: 74 no: 3231 dengan tambahan ”FAL YATASHADDAQ BI SYAI-IN” (Maka hendaklah ia bershadaqah sesuatu), dan Fathul Bari XI: 536 no: 6650 dengan tambahan BILLAATA WAL ’UZZA (=dengan (menyebut nama) Latta dan ’Uzza).

D. SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Sebagian orang ada yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah dengan dalih karena mereka khawatir berdusta dan merujuk pada firman-Nya:

“Dan janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan.” (QS al-Baqarah: 224).

Jawaban atas syubhat ini ialah sebagaimana yang tertuang dalam riwayat berikut.

Dari Mis’ar bin Kidam dari Wabirah bin Abdurrahman bahwa Abdullah berkata, “Sesungguhnya saya bersumpah palsu dengan (menyebut nama) Allah lebih kusukai dari pada saya bersumpah secara jujur (dengan menyebut nama selain-Nya).” (ath-Thabrani dalam al-Kabir IX: 205 no: 8902).

Adapun ayat al-Baqarah itu, maknanya adalah sebagaimana yang diketengahkan Ibnu Katsir rahimahullah dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Janganlah sekali-kali kamu memposisikan sumpahmu sebagai penghalang agar kamu tidak berbuat kebajikan. Akan tetapi bayarlah kafarat untuk menebus sumpahmu, kemudian kerjakanlah kebajikan.”

Ibnu Katsir menulis, ”Masruq, asy-Sya’bi, Ibrahim, an-Nakha’i, Mujahid, Thawus, Sa’id bin Jubair, Athaa’, Ikrimah, Makhul, Az-Zuhri, Hasan al-Bashri, Qatadah, Muqatil bin Hayyan, Rubayyi’ bin Anas, adh-Dhahhak, Atha’ al-Khurasan dan as-Sudi rahimahumullah memiliki penafsiran yang sama dengan Ibnu Abbas.” Selesai (Tafsir Ibnu Katsir I: 266).

E. BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT AGAMA SELAIN ISLAM

Dari Tsabit bin Dhahhak ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut) agama selain Islam dengan dusta dan sengaja, maka ia sebagaimana yang ia katakan.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim I: 105 no: 177 dan 110 dan lafadz ini miliknya, Fathul Bari XI: 537 no: 6652, ’Aunul Ma’bud IX: 83 no: 3240, Tirmidzi III: 50 no: 1583, Nasa’i VII: 6 dan Ibnu Majah I: 678 no: 2098.

Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Siapa saja yang menyatakan, ’Sesungguhnya saya berlepas diri dari Islam,’ Bila ia berdusta maka ia sebagaimana yang nyatakan; jika ia jujur maka dia tidak lagi kembali ke dalam Islam secara utuh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2576, ’Aunul Ma’bud IX: 85 no: 3241, Nasa’i VII: 6 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2100).

F. ORANG YANG DISURUH BERSUMPAH DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH HARUS RIDHA

Dari Ibnu Umar ra, ia berceritera: Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah mendengar seorang shahabat bersumpah dengan (menyebut nama) bapaknya, lalu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Janganlah kamu bersumpah dengan (menyebut nama) bapak-bapakmu! Barangsiapa bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka hendaklah ia jujur. Dan barangsiapa diminta bersumpah dengan (menyebut nama) Allah, maka hendaklah ia ridha; barangsiapa yang tidak ridha kepada Allah, maka bukanlah ia termasuk orang yang dekat dengan Allah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1708 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2101).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Isa bin Maryam pernah melihat seorang laki-laki mencuri, lalu ia bertanya, ‘Apakah engkau telah mencuri?’ Jawab sang laki-laki, ‘Tidak. Demi Dzat yang tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Dia.’ Kemudian Isa berkata, ‘Saya beriman kepada Allah, dan saya mendustakan penglihatanku.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari VI: 478 no: 3444, Muslim IV: 1838 no: 2368, Nasa’i VIII: 249 dan Ibnu Majah I: 679 no: 2102).

G. KLASIFIKASI YAMIN

Yamin (sumpah) terbagi menjadi tiga bagian:

    Al-Yaminul Laghwi (sumpah sia-sia).
    Al-Yaminul Ghamus (sumpah palsu).
    Al-Yaminul Mun’aqadah (sumpah yang sah).

1. Al-Yaminul Laghwi dan Status Hukumnya

Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA'KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah.

Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

“Allah tidak akan menghukm kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman lagi:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maidah: 89).

Dari Aisyah ra (tentang firman Allah), “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah)”, ia berkata, ”Ayat ini turun pada perkataan orang Arab: LAA WALLAAHI, WA BALAA WALLAAHI (=tidak, demi Allah, dan tentu, demi Allah).” (Shahih Abu Daud no: 2789 dan Fathul Bari XI: 547 no: 6663).

2. Al-Yaminul Ghamus dan Status Hukumnya

Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam neraka.

Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, karena Allah Subhanhu Wa Ta'ala menegaskan:

“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).

Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa ditebus dengan kafarah. Yamin, sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun.

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).

Imam ath-Thabari ra menulis, ”Ma’na ayat ini ialah janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah yang kamu ucapkan itu, yang kamu berjanji hendak menyempurnakan perjanjian kepada rekan-rekanmu seperjanjian, janganlah kamu jadikan sebagai penipuan dan pengkhianatan supaya orang-orang percaya betul kepada kalian, sedangkan kalian menyembunyikan niat busuk hendak berlaku curang kepada mereka.” (Tafsir ath-Thabari XIV: 166).

Dari Abdullah bin Amr ra dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Dosa-dosa besar (di antaranya) ialah: menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (tak berdosa), dan sumpah palsu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4601, Fathul Bari XI: 555 no: 6675, Nasa’i VII: 89 dan Tirmidzi IV: 303 no: 5010).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada lima perkara (yang dosanya) tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, (pertama) menyekutukan Allah Subhanhu Wa Ta'ala, (kedua) membunuh jiwa dengan cara yang tidak haq, (ketiga) merampas (harta) orang mukmin, (keempat) melarikan diri pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (kelima) sumpah palsu yang dimaksudkan untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar.” (Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3247 dan al-Fathur Rabbani XIV: 68 no: 220).

3. Al-Yaminul Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya

Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.

Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya, maka ia harus menebus dengan membayar kafarah. Ini didasarkan pada firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:

“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).

“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 - 745.

H. SUMPAH BERGANTUNG PADA NIAT

Dari Umar bin Khattab ra, ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ’alaih: Shahih Bukhari I: 9 no: 1, Muslim III: 1515 no: 1907, ‘Aunul Ma’bud VI: 284 no: 2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413 no: 4227 dan Nasa’i I: 59).

Oleh karena itu, barangsiapa bersumpah untuk melakukan sesuatu, lalu yang diucapkan berlainan dengan yang diniatkan, maka yang teranggap adalah yang diniatkan, bukan yang diucapkan.

Dari Suwaid bin Hanzhalah ra, ia bercerita, ”Kami keluar hendak menemani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersama Wail bin Hujr ra, lalu ia ditahan oleh musuhnya. Kemudian para sahabat keberatan untuk mengucapkan sumpah, lalu saya mengucapkan sumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku, lalu ia dilepaskan. Kemudian, kami datang menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, lalu saya informasikan kepada Beliau bahwa para shahabat merasa keberatan untuk bersumpah, lalu saya bersumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku.” Maka Rasulullah bersabda, ”Engkau benar, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.” (Shahih, Shahih Ibnu Majah no: 1722, Ibnu Majah I: 685 no: 2119 dan ’Aunul Ma’bud IX: 82 no: 3239).

Niat seorang yang bersumpah hanyalah akan dianggap jika ia tidak dimintai untuk bersumpah. Adapun jika ia diminta untuk bersumpah maka sumpah itu tergantung pada niat orang yang meminta sumpah.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya sumpah itu hanya bergantung pada niat orang yang meminta sumpah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1723, Ibnu Majah I: 685 no: 2120, Muslim LXXIII: 1274 no: 21 dan 1653 tanpa kata INNAMAA).

Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Sumpahmu bergantung pada apa yang dibenarkan oleh rekanmu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah: no: 1724, Muslim III: 1274 no: 1653, Ibnu Majah I: 686 no: 2121, ‘Aunul Ma’bud IX: 80 no: 3238 dan Tirmidzi II: 404 no: 1365).

I. TIDAK DIANGGAP MELANGGAR SUMPAH ORANG YANG MENYALAHI SUMPAHNYA KARENA LUPA ATAU KELIRU

Barangsiapa yang bersumpah tidak akan mengerjakan sesuatu, lalu ternyata ia melakukannya karena lupa atau karena keliru, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.” (QS al-Baqarah: 286).

Dalam sebuah hadits disebutkan:

Bahwasannya Allah menjawab, “Ya.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3588 dan Muslim I: 115 no: 125).

J. PENGECUALIAN DALAM SUMPAH

Barangsiapa bersumpah, lalu mengucapkan “INSYA ALLAH”, berarti ia telah melakukan pengecualian, dan tidak dianggap melanggarnya bila ia menyalahinya:

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: Nabiyullah Sulaiman bin Dawud berkata, “(Demi Allah), saya benar-benar akan menggilir tujuh puluh isteri pada malam ini, yang kesemuanya akan melahirkan seorang anak yang akan berperang di jalan Allah.” Kemudian rekannya atau seorang malaikat berkata (kepadanya), “Ucapkanlah, INSYA ALLAH (Jika Allah menghendaki).” Namun dia tidak mengucapkannya dan ia lupa, maka tidak seorangpun di antara isteri-isterinya yang melahirkan seorang anak kecuali satu orang yang melahirkan seorang anak yang cacat. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Andaikata dia mengucapkan INSYA ALLAH, maka ia tidak (dianggap) melanggar sumpahnya, dan ia pasti akan memperoleh hajat (permohonan)nya.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1275 no: 23 dan 1654 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 534 no: 6639 dan Nasa’i VII: 25).

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dan mengucapkan pengecualian (insya Allah), maka jika ia mau boleh merujuk sumpahnya, dan jika ia mau tinggalkan tanpa (dianggap) melanggar sumpahnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1711, Ibnu Majah I: 680 no: 2105, ‘Aunal Ma’bud IX: 88 no: 3245, dan Nasa’i VII: 12).

K. ORANG YANG BERSUMPAH UNTUK MELAKUKAN SESUATU, LALU MELIHAT ADA YANG LEBIH BAIK DARIPADA APA YANG DISUMPAHKAN

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya lebih baik daripada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kafarah!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2004, Muslim III: 1272 no: 13 dan 1650 dan Tirmidzi III: 43 no: 1569).

L. DILARANG TERUS-MENERUS BERSUMPAH

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah diantara manusia. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 224).

Ibnu Abbas ra berkata, “Janganlah sekali-kali kamu menjadikan sumpahmu sebagai penghalang untuk melakukan kebajikan; namun tebuslah sumpahmu dengan membayar kafarah dan kerjakanlah segala kebajikan!” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I: 266).

Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya seorang di antara kamu terus-menerus bersumpah di tengah keluarganya adalah lebih besar dosanya menurut pandangan Allah daripada membayar kafarahnya yang telah diwajibkan Allah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XI: 517 no: 2625 dan Muslim III: 1276 no: 1655).

M. KAFARAH SUMPAH

Barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka kafarahnya salah satu dari tiga alternatif ini:

    Memberi makan sepuluh orang miskin makanan yang biasanya kita berikan kepada keluarga kita.
    Atau memberi pakaian kepada mereka.
    Atau memerdekakan seorang budak.

Kemudian barangsiapa tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif di atas, maka kafarahnya harus berpuasa tiga hari. Tidak boleh membayar kafarah dengan jalan berpuasa selagi mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif itu.

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu, bila kamu bersumpah (lalu kamu melanggar).” (QS al-Maa-idah: 89).

N. BERSUMPAH DENGAN KATA HARAM

Barangsiapa mengatakan, ”Makananku haram atas diriku,” atau, ”Haram atas diriku masuk ke dalam rumah si Fulan,” dan semisalnya yang sejatinya termasuk perbuatan yang tidak diharamkan Allah atasnya, maka jika ia melanggar sumpah termaksud ia harus membayar kafarah sumpah:

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekali membebaskan diri dari sumpahmu.” (QS at-Tahriim: 1-2).

Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah meneguk madu di (rumah) Zainab binti Jahsy (salah satu isterinya) dan tinggal (beberapa hari) bersamanya, kemudian saya dan Hafshah sepakat, (jika) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam masuk ke rumah siapa saja di antara kami berdua, maka hendaklah dia (juga) bertanya kepada Beliau, ”Apakah engkau sudah makan getah pohon? Karena sesungguhnya aku mencium getah pohon padamu.” Maka jawab Beliau, ”Tidak, namun saya hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan minum lagi dan sungguh aku telah bersumpah janganlah engkau menceritakan hal ini kepada siapapun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3553 dan Fathul Bari VIII: 656 no: 4912).

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Tentang (sumpah menggunakan kata) haram ada kafarahnya (kalau dilanggar), (lalu ia membaca ayat), ’LAQAD KAANA LAKUM FII RASUULILLAHI USWATUN HASANAH (=Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik).”
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 737 - 751.

Pengertian Nudzur dan Penjelasannya


1.    PENGERTIAN NADZAR

Nudzur adalah bentuk jama’ dari nadzar, berasal dari akar kata indzar yang berma’na takhwif (memberi ancaman).

Sedang menurut istilah fiqh sebagaimana yang ditegaskan oleh ar-Raghib, bahwa nadzar ialah mewajibkan sesuatu yang tidak wajib karena terjadi suatu perkara.

2.    PENSYARI’ATAN NADZAR

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS al-Baqarah: 270).

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS al-Hajj: 29).

Allah ta’ala telah memuji orang-orang yang menyempurnakan nadzarnya, Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman:

“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merana di mana-mana.” (QS al-Insaan: 7).

Dari Aisyah ra dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya, dan barangsiapa bernadzar hendak durhaka kepada-Nya, maka janganlah ia durhaka kepada-Nya.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 6565, Fathul Bari XI: 581 no: 6696, ’Aunul Ma’bud IX: 113 no: 3265, Tirmidzi III: 41 no: 1564, Nasa’i VII: 17 dan Ibnu Majah I: 687 no: 2126).

3.    DILARANG MENGUCAPKAN NADZAR MU’ALLAQ (BERSYARAT)

Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam  melarang bernadzar, dan Beliau bersabda, ”Sesungguhnya nadzar tidak bisa menolak sesuatu apapun, namun dengannya dapat dikeluarkan (harta) orang yang bakhil.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 576 no: 6693, Muslim III: 260 no: 1639, ‘Aunul Ma’bud IX: 113 no: 3263 dan Nasa’i VII: 16).

Dari Sa’id bin Harits bahwa ia pernah mendengar Ibnu Umar ra berkata: Bukankah mereka telah dilarang dari bernadzar? Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Sejatinya nadzar itu tidak bisa memajukan sesuatu dan tidak (pula) memundurkan (sesuatu); namun sesungguhnya (pemberian) dari orang yang bakhil hanya bisa dikeluarkan melalui nadzar.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XI: 575 no: 6692, Muslim III: 1261 no: 3 dan 1639 tanpa pernyataan Ibnu Umar itu).

4.    KAPAN NADZAR DIANGGAP SAH DAN KAPAN PULA DINILAI TIDAK SAH

Suatu nadzar akan menjadi sah dan berlaku manakala ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan wajib dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini berpijak pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya!” (Takhrij haditsnya sudah termuat pada halaman sebelumnya).

Adapun nadzar untuk suatu kemaksiatan tidak sah, namun pelakunya wajib membayar kafarah sumpah:

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ”Sama sekali tidak ada nadzar dalam kedurhakaan, dan kafarahnya adalah kafarah sumpah.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2590, ’Aunul Ma’bud IX: 115 no: 3267, Tirmidzi III: 40 no: 1562, Nasa’i VII: 26 dan Ibnu Majah I: 686 no: 2125).

Adapun nadzar yang mubah, misalnya seseorang bernadzar hendak menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, atau hendak berdiri di terik matahari, maka nadzar seperti itu tidak berlaku dan tidak punya akibat hukum yang wajib dipenuhi.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah melihat seorang kakek tua renta berjalan berpapah pada kedua puteranya, lalu Beliau bertanya, “Apa-apaan ini?” Jawab kedua puteranya, “Ya Rasulullah, dia bernadzar (naik haji dengan jalan kaki). Kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Wahai kakek, naiklah kendaraan; karena sesungguhnya Allah tidak butuh kepadamu dan tidak pula kepada nadzarmu ini.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1005 dan Muslim III: 1264 no: 1643).

Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki di Mekkah sedang berdiri di terik matahari, lalu Beliau bertanya, “Sedang apa orang ini?” Jawab mereka, “Dia bernadzar puasa dan tidak berteduh pada bayangan hingga malam, tidak berbicara dan terus-menerus berdiri.” Maka sabda Beliau, “Hendaklah ia berbicara, berteduh dan duduk dan sempurnakanlah puasanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2591, Fathul Bari IV: 276 dan ‘Aunul Ma’bud no: 3300).

5.    ORANG YANG BERNADZAR KEMUDIAN TIDAK MAMPU MELAKSANAKANNYA

Barangsiapa bernadzar hendak ta’at, kemudian tidak mampu menyempurnakannya, maka ia harus membayar kafarah sumpah.

Dari Uqbah bin Amir ra dan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda, ”Kaffarah nadzar adalah kafarah sumpah.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 4488, Muslim III: 1265 no: 1645 dan Nasa’i VII: 26).

6.    ORANG YANG BERNADZAR KEMUDIAN MENINGGAL DUNIA

Siapa saja yang bernadzar, lalu wafat sebelum menyempurnakan nadzarnya, maka harus dilaksanakan oleh walinya.

Dari Ibnu Abbas ra bahwa ia berkata: Sa’ad bin Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam perihal ibunya yang mempunyai tanggungan nadzar (lalu) wafat sebelum menyempurnakannya. Maka jawab Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, ”Maka hendaklah engkau menyempurnakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1260 no: 1638 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 583 no: 6698, ’Aunul Ma’bud IX: 134 no: 3283, Tirmidzi III: 51 no: 1586, Nasa’i VII: 21 dan Ibnu Majah I: 689 no: 2132).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 752 - 756.

Definisi Kitabah dan Penjelasannya


1.    PENGERTIAN KITABAH

Kitabah ialah memerdekan seorang hamba dengan catatan si hamba harus menyerahkan uang sekian jumlahnya dalam sekian masa kepada tuannya.

2.    HUKUM  KITABAH

Jika seorang hamba berkata kepada tuannya, “Merdekakanlah saya secara kitabah”, maka tuannya wajib memenuhi permintaannya, bila ia memandang budaknya mampu berusaha mencari dana. Ini dilandasi pada firman Allah:

"Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu berbuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka." (QS An-Nur : 33)

Dari Musa bin Anas, bahwa Sirin pernah minta kemerdekaan secara kitabah kepada Anas –ia (Sirin) mempunyai harta yang banyak-, lalu dia (Anas) menolak. Kemudian dia pergi menemui Umar ra (menginformasikan hal tersebut kepadanya), lalu Umar berkata, “Merdekakanlah ia secara kitabah (tertulis)!” Lalu dia menolak, lantas dipukul oleh Umar dengan kantong air susu sambil membaca ayat (yang artinya), “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” Maka kemudian dia membuat perjanjian merdeka secara kitabah (tertulis) dengannya. (Shahihul Isnad : Irwa-ul Ghalil No: 1760 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907, Fathul Bari V: 184 secara Mu’allaq).

3.    KAPAN HAMBA MUKATAB BISA MERDEKA

Kapan saja hamba mukatab melunasi tanggungannya kepada tuannya, atau dimerdekakannya olehnya, maka ia jadi merdeka. Dan ia tetap menjadi hamba sahaya hingga melunasi sisa tanggungannya.

Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Hamba mukatab itu (tetap) sebagai hamba sahaya selama ada sisa dari mukatabnya (yang belum dilunasinya) (walaupun) satu Dirham.” (Hasan: Shahih Abu Daud No: 3323, Irwa-ul Ghalil No: 1674 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907).

4.    MENJUAL HAMBA MUKATAB

Boleh menjual hamba sahaya mukatab, manakala ia ridha.

Dari Amrah binti Abdurrahman, ia bertutur: Bahwa Barirah datang minta tolong kepada Aisyah Ummul Mukminin ra, lalu Aisyah berujar kepadanya, “Jika keluargamu ingin aku menyerahkan hargamu kepada mereka secara kontan, dan aku memerdekakanmu, (maka) akan aku lakukan.” Kemudian Barirah menceritakan hal tersebut kepada keluarganya, lalu mereka berkomentar, “Jangan kecuali hak ketuanan menjadi milik kita.” Malik berkata bahwa Yahya menegaskan: Amrah berkata bahwa Aisyah menceritkan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sehingga Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (kepada Aisyah), “Belilah ia (Barirah) dan kemudian merdekakanlah ia: karena sesungguhnya hak ketuanan itu menjadi milik penuh bagi yang memerdekakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 194 No: 2564 dan Muslim II: 1141 No: 1504).

5.    HAK KETUANAN

Wala’ (hak ketuanan), ialah orang yang memerdekakan budak berhak menjadi ahli waris dari budak yang telah dimerdekakan itu. Namun harus diperhatikan, bahwa pemilik hak ketuanan itu tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali ketika tidak ada ashabah senasab, sebagaimana yang sudah dijelaskan.

Tidak boleh menjual wala’ dan tidak pula menghibahkannya berdasarkan hadits Ibnu Umar:

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah melarang menjual wala’ dan (melarang pula) mengibahkannya.” (Muttafaqun ’alaih: Mukhtashar Muslim No: 898 dan Fathul Bari V: 167 No: 2535).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 940 - 943.

Thursday, December 29, 2011

Sebab Keraguan Keimanan Seseorang


Komitmen merupakan kunci yang penting dalam membukan kesuksesan hakiki. Sebagaimana uraian yang lalu, salah satu faktor yang mempengaruhi kekuatan komitmen seseorang adalah keimanan seseorang kepada Allah dan hari Akhir.

Dalam konteks keimanan, ada hal penting yang perlu menjadi perhatian kita. Dalam Al Quran, orang beriman di abadikan melalui surat al mu’minuun. Salah satu makna mu’min sendiri di terangkan dalam Al Quran sebagaimana ayat ;

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”.  (Al hujurat 49 : 15)

Jika kita perhatikan ayat diatas, kata-kata ragu yang di tempatkan setelah kata iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa, orang-orang mu’min hanyalah mereka yang telah memiliki keimanan yang mantap tanpa keragu-raguan. Sehingga keragu-raguan, adalah satu hal yang perlu kita cermati bersama.

Keragu-raguan hanya akan terjadi jika seseorang di hadapkan dengan dua pilihan. Mereka yang ragu dengan petunjuk Allah melalui Al Quran, tentunya memiliki pilhan lain selain petunjuk Allah. Yang kemudian dalam Al Quran, dinyatakan dalam beberapa ayat ;

Yang pertama ; mereka menuhankan pikiran mereka, hal ini sebagaimana ayat ;

“Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (Ath Thuur : 52 : 32)

Yang kedua; mereka menuhankan hawa nafsu, hal ini sebagaimana ayat ;

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya” (Al Jaatsiyaah  45 : 23) .

Yang ketiga; hati mereka diliputi dengan syaitan, hal ini sebagaimana ayat ;

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka”. (Muhammad : 47 : 25)

Yang ke empat ; mereka adalah orang-orang yang bodoh… hal ini sebagaimana ayat;

“Ia berkata: "Sesungguhnya pengetahuan (tentang itu) hanya pada sisi Allah dan aku (hanya) menyampaikan kepadamu apa yang aku diutus dengan membawanya tetapi aku lihat kamu adalah kaum yang bodoh." ( Al Ahqoof 46: 23).

Setidaknya, inilah empat hal yang dapat membuat keraguan dalam hati seseorang untuk memilih beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Yang pertama, ia adalah pikirannya atau ilmunya yang tidak berdasarkan petunjuk Allah, yang kedua, ia menuhankan atau menuruti hawa nafsunya, yang ketiga, syaitan telah membuat dirinya menjauh dari petunjuk Allah dengan berbuat dosa, dan yang terakhir adalah kaum yang jahil, atau kaum yang bodoh.

Orang-orang mu’min atau orang yang senantiasa beriman, yang disebutkan dalam Al Quran, adalah mereka yang telah mendapatkan kemantapan iman. Mereka telah membuang keragu-raguan dalam hatinya yang di sebabkan oleh setidaknya ke-empat hal yang tadi telah disebutkan.

Ketika seseorang membuang keraguan dalam hatinya yang disebabkan oleh ke-empat hal tersebut, maka secara otomatis, keimanannya akan bertambah, sehingga sampailah ia pada kemantapan iman.

Kemantapan iman dalam konteks ini adalah iman keimanan yang terkadang naik dan terkadang turun hal ini sebagaimana di sabda Rasulullah saw. Walaupun ia naik dan turun, keimanan tetap berada dalam hatinya. Inilah menunjukkan kemantapan iman seseorang.

Karena dalam hadits lain Rasululah saw juga bersabda mengenai iman, bahwa ia dapat keluar dan masuk. Pada saat iman berada dalam hati baik dalam kondisi naik dan turun, seseorang tidak akan bermaksiat kepada Allah, dan pada saat iman sedang keluar dalam hatinya, maka pada saat itulah seseorang bermaksiat kepada Allah.

Kemantapan iman juga , sangat selaras dengan konsep keikhlasan yang sudah kita bahas sebelumnya. Mereka yang memurnikan ad-dien, adalah mereka yang tidak pernah ragu dalam menjalankan ad-dien secara utuh dan menyeluruh.

Insya Allah, kekuatan iman yang seperti ini, akan sangat berdampak pada komitmen seseorang. Kualitas keimanannya kepada Allah…akan sangat berdampak pada kualitas komitmen yang ia wujudkan kepada dirinya sendiri dan orang lain.

Wallahu’alam


Ref: Doddy Koesdijanto

Definisi Jihad dan Prinsip-Prinsipnya

Meluruskan pemahaman tentang makna jihad adalah suatu keharusan pada masa ini, dimana berbagai kejadian yang melanda manusia, baik itu aksi-aksi peledakan, penculikan, pembajakan, kekerasan dan sebagainya, oleh para pelakunya dinamakan “Jihad” atau ditampilkan kepada publik dengan lebel jihad. Di versi lain, sejumlah manusia, ada yang menganggap hal tersebut sebagai perbuatan yang sama sekali tidak bersumber dari aturan jihad dalam syari’at

Maka melalui goresan pena ini, kami berusaha mengetengahkan kepada para pembaca yang budiman secara ringkas masalah jihad yang kerap dipahami tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam syariat Islam. Mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam meredam berbagai kesalahan persepsi dalam masalah ini. Amiin. Yaa.. Mujibas-Sa-ilin.

Sebelum menguraikan beberapa prinsip penting yang berkaitan dengan jihad, ada baiknya kalau kita menyimak definisi jihad dalam keterangan berikut ini,

Definisi Jihad

Jihad secara etimologi adalah kepayahan, kesulitan, atau mencurahkan segala daya dan upaya. Yaitu mencurahkan segala upaya dan kemampuan untuk mendapat suatu perkara yang berat lagi sulit.

Berkata Ar-Raghib Al-Ashbahâny (w. 502 H) rahimahulläh menerangkan hakikat jihad, “(Jihad) adalah bersungguh-sungguh dan mengerahkan seluruh kemampuan dalam melawan musuh dengan tangan, lisan, atau apa saja yang ia mampu. Dan (jihad) itu adalah tiga perkara; berjihad melawan musuh yang nampak, syaithan dan diri sendiri. Dan ketiganya (tercakup) dalam firman (Allah) Ta’âlâ,

“Dan berjihadlah kalian pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Hajj : 78)” [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulläh berkata, “Jihad kadang dengan hati seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, atau dengan berdakwah kepada Islam dan syari’atnya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan, atau dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum muslimin, atau berperang dengan diri sendiri. Maka jihad wajib sesuai dengan apa yang memungkinkannya.” [2]

Adapun secara terminologi, Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, “Mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir.” [3]

Dalam Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, disebutkan kesimpulan para ahli fiqih bahwa jihad secara istilah adalah muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai, setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.

Al-Hâfizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.” [4]

Dan tidak ada silang pendapat di kalangan para ulama tentang disyari’atkannya jihad fi sabîlillâh. Al-Qur`ân dan As-Sunnah penuh dengan nash-nash yang menunjukkan syari’at jihad, anjuran dan keutamaannya.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur`ân. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah : 111)

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Rabb mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. At-Taubah : 20-22)

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kalian Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih? (yaitu) kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kalian) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kalian sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Ash-Shoff : 10-14)

Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

لَغُدْوَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Sesungguhnya keluar di pagi hari (berjihad) di jalan Allah atau petang hari adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [5]

Dan nash-nash dalam hal ini sangat banyak. Dan disini kami hanya mengisyaratkan akan keutamaan ibadah yang sangat agung ini. Wallâhul Musta’ân.

[1] Dengan perantara Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah pada pembahasan جهاد.

[2] Ibid.

[3] Lihat Fathul Bâri 6/5, Hâsyiyah Ar-Raudh Al-Murbi’ 4/253 dan Nailul Authâr 7/246.

[4] Lihat Fathul Bâri 6/4-5 dan Nailul Authâr 7/246-247.

[5] Hadits Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 2792, 2796, 6568, Muslim no. 1880, At-Tirmidzy no. 1655 dan Ibnu Mâjah no. 2757. Dan semakna dengannya hadits Sahl bin Sa’ad As-Sâ’idy radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 2794, 2892, 3250, 6415, Muslim no. 1881, At-Tirmidzy no. 1652, 1668, An-Nasâ`i 6/15 dan Ibnu Mâjah no. 2756. Dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 2793, 3253, Muslim no. 1882 dan Ibnu Mâjah no. 2755. Serta hadits Abu Ayyûb Al-Anshôri radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim no. 1883 dan An-Nasâ`i 6/15. Dan hadits ini digolongkan mutawâtir oleh Al-Kattâni dalam Nazhmul Mutanâtsir Min Al-Ahâdîts Al-Mutawâtir hal. 153.

Wednesday, December 28, 2011

Teknologi Capung Sebagai Penerbangan


Teknologi Capung Untuk PenerbanganManusia telah mencoba berbagai macam cara untuk dapat terbang. Sejak pesawat terbang pertama dibuat kira-kira seratus tahun yang lalu, ribuan model pesawat udara yang berbeda telah dirancang. Ilmuwan yang tak terhitung jumlahnya telah mencoba membuat mesin terbang yang lebih baik sampai akhirnya mereka mampu membuat mesin terbang terkini dengan disainnya yang mengagumkan.

Lebih Hebat dari Helikopter

Terbang adalah keahlian yang hebat, tapi kegunaannya tergantung pada sejauh mana ia dapat dikendalikan. Sebenarnya, untuk dapat melayang pada posisi tetap di udara atau mendarat di tempat yang diinginkan adalah sama pentingnya dengan kemampuan terbang itu sendiri. Untuk itulah, manusia merancang pesawat terbang dengan kemampuan manuver yang tinggi, yaitu helikopter. Helikopter mampu melayang di udara pada posisi tetap dan lepas landas secara tegak lurus. Karena keuntungan militer inilah, berbagai negara telah menyediakan dana dalam jumlah tak terbatas untuk pengembangan helikopter. Akan tetapi, penelitian terkini telah menemukan fakta yang sangat mencengangkan. Teknologi penerbangan helikopter modern ternyata sangat tertinggal jauh dibanding dengan seekor makhluk mungil yang mampu terbang. Makhluk ini adalah capung.

Sistem penerbangan capung adalah sebuah keajaiban disain dengan teknologi terbang yang mengalahkan semua mesin buatan manusia. Dengan alasan inilah, disain model terakhir helikopter Sikorsky yang terkenal di dunia, dibuat menggunakan disain capung sebagai model. Dalam proyek ini, perusahaan IBM membantu mendisain Sikorsky dengan memuat gambar-gambar capung dalam komputer khusus.

Setelah itu, dengan mengambil contoh capung, ribuan ilustrasi dibuat dalam komputer. Kemudian, dengan mencontoh teknologi terbang capung, dibuatlah model helikopter Sikorsky.

Teknologi Capung Untuk Penerbangan

Singkatnya, tubuh seekor serangga kecil memiliki disain lebih unggul dari rancangan manusia. Teknologi penerbangan capung dan disain sayapnya mengemukakan suatu fakta bahwa makhluk kecil ini memperlihatkan kepada kita disain menakjubkan pada ciptaan Allah. Capung memiliki dua pasang sayap yang ditempatkan secara diagonal pada tubuhnya, ini memungkinkannya melakukan manuver sangat cepat.

Capung dapat mencapai kecepatan lima puluh kilometer per jam dalam waktu sangat singkat, hal yang sungguh luar biasa bagi seekor serangga. Seorang atlit olimpiade dalam perlombaan lari seratus meter, hanya mampu berlari tiga puluh sembilan kilometer per jam.

Giroskop Alami pada Capung

Ada satu persyaratan lagi bagi penerbangan yang baik. Penerbangan sangatlah berbahaya jika tidak didukung oleh sistem penglihatan yang baik. Untuk itulah, pesawat terbang dan helicopter modern memiliki sistem visual canggih. Capung juga memiliki sistem visual teramat canggih: ia memiliki mata mikro berjumlah keseluruhan tiga puluh ribu buah, dan setiap mata mengarah ke titik yang berbeda. Semua informasi dari mata-mata mikro ini diteruskan ke otak capung, yang kemudian mengolahnya seperti komputer. Dengan sistem ini, capung memiliki kemampuan melihat yang luar biasa.

Kemampuan manuver capung lebih unggul dari yang dimiliki helikopter. Misalnya, dengan satu manuver cepat di menit terakhir, capung berhasil menyelamatkan diri dari truk yang datang dari arah berlawanan.

Bahkan capung mampu meloloskan diri dari dua bahaya, yakni ketika ia harus menghindar dari menabrak kaca depan mobil yang sedang melaju ke arahnya dan harus lolos dari burung yang memburunya. Ia berhasil menyelamatkan diri dengan satu manuver cerdas.

Satu permasalahan yang dihadapi pilot, yang seringkali harus melakukan manuver, adalah bahwa setelah suatu manuver, pilot mengalami kesulitan dalam menentukan posisi pesawat relatif terhadap permukaan bumi. Jika pilot kebingungan menentukan posisi bagian atas dan bawah pesawat setelah melakukan manuver, maka pesawat ini dapat mengalami kecelakaan. Para teknisi telah mengembangkan suatu alat untuk mengatasi hal ini, yakni giroskop. Alat ini menunjukan pilot pada garis horisontal yang menandakan posisi horison. Pilot membandingkan garis horisontal ini dengan horison sesungguhnya, dan dengan demikian ia dapat menentukan posisi pesawat dengan cepat. Selama jutaan tahun, capung telah memakai perlengkapan yang mirip dengan yang dikembangkan oleh para teknisi ini. Di depan mata capung terdapat garis horisontal maya pada posisi tetap. Tak menjadi masalah, pada sudut berapa pun ia terbang, ia selalu memposisikan kepalanya sejajar dengan garis horisontal ini.

Ketika posisi tubuh capung berubah selama penerbangan, rambut-rambut di antara badan dan kepalanya menjadi terangsang. Sel-sel saraf pada akar rambut ini mengirimkan informasi ke otot-otot terbang capung tentang posisinya di udara. Hal ini memungkinkan otot-otot tersebut secara otomatis mengatur jumlah dan kecepatan gerak sayap. Dengan demikian, dalam manuver paling sulit sekalipun, capung tidak pernah kehilangan arah atau kendali. Sistem ini sungguh merupakan suatu keajaiban teknik.

Disini, manusia yang berakal akan berpikir. Capung sendiri tidak mengetahui akan sistem luar biasa yang ia miliki. Lalu, siapakah yang meletakan pada tubuh serangga ini sistem penerbangan yang sedemikian kompleks, yang bahkan para insinyur ahli telah menggunakannya sebagai model? Siapakah yang melengkapi serangga ini dengan sayap sempurna, motor yang menggerakkan sayap dan sistem penglihatan yang prima? Siapakah Pencipta disain yang luar biasa ini?

Capung: Diciptakan Sudah Sempurna dan Lengkap

Teori evolusi Darwin, yang mencoba menjelaskan kehidupan dengan peristiwa kebetulan, tak mampu berbicara ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Mustahil bahwa sistem dalam tubuh capung dapat terbentuk melalui evolusi, yakni pembentukan tahap demi tahap secara kebetulan. Hal ini dikarenakan bahwa agar suatu makhluk hidup dapat hidup, semua sistem ini harus ada pada saat yang bersamaan dan telah lengkap. Capung paling pertama di dunia juga pasti muncul dengan mekanisme yang sama mengagumkannya dengan yang dimiliki capung zaman sekarang. Hal ini telah dibuktikan oleh catatan fosil tentang sejarah alam. Catatan fosil menunjukan bahwa capung-capung muncul di bumi pada saat bersamaan secara serentak. Fosil capung tertua yang diketahui ini berusia tiga ratus dua puluh juta tahun. Pada lapisan-lapisan fosil periode lebih awal, tidak dijumpai sesuatu pun yang menyerupai seekor capung. Tambahan lagi, sejak pertama kali capung muncul, catatan fosil menunjukan bahwa ia tidak mengalami evolusi.

Fosil capung tertua benar-benar sama dengan capung-capung yang hidup sekarang. Antara fosil berusia seratus empat puluh juta tahun dengan capung masa kini di sebelahnya tidak ada perbedaan sama sekali. Kenyataan ini sekali lagi membuktikan kekeliruan teori evolusi sekaligus menunjukan dengan sebenarnya bagaimana capung dan semua makhluk hidup di dunia ini muncul menjadi ada. Adalah Allah, Tuhan seluruh alam, yang menciptakan semua makhluk hidup, dan masing-masing dari mereka adalah bukti keberadaan-Nya. Di samping Allah, tak ada kekuatan lain yang mampu menciptakan seekor lalat sekali pun. Fakta ini dinyatakan oleh Allah dalam Alquran:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

Artinya : "Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah." (QS Al-Hajj : 73)

Apa Saja Syarat-Syarat Agar Masuk Surga

Setelah iman sebagai dasar dari seseorang untuk menjadikannya seorang yang beriman dengan Allah dan Rasul-Nya. terdapat amalan-amalan yang menjadi jaminan seseorang untuk mendapatkan tempat di surga. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjadikan rukun Islam sebagai jaminan seseorang jika melakukannya sesuai yang diperintahkan, maka dia dijamin masuk surga.

Hadist dalam shohih Muslim dari Anas bin Malik -rodhiyallahu 'anhu- berkata :

نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِيءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ قَالَ صَدَقَ قَالَ فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَمَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ قَالَ اللَّهُ قَالَ فَبِالَّذِي خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الْأَرْضَ وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ آللَّهُ أَرْسَلَكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِنَا وَلَيْلَتِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِي أَمْوَالِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَنَتِنَا قَالَ صَدَقَ قَالَ فَبِالَّذِي أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ نَعَمْ قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقَ قَالَ ثُمَّ وَلَّى قَالَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ


Artinya : "Ketika kami dilarang untuk bertanya kepada beliau (tentang hal-hal yang tidak penting), kami berharap akan datang seorang badui yang cerdas (mengerti cara bertanya yang baik) maka dia bertanya kepada beliau dan kami akan mendengarkan (dialog tersebut). maka datanglah seorang badui dan berkata : wahai Muhammad, telah datang seorang utusanmu kepada kami dan mengatakan bahwa kamu mengaku bahwa Allah telah mengutusmu. beliau berkata : benar. badui berkata : maka siapakah yang menciptakan langit? beliau menjawab : Allah. badui berkata : dan siapakah yang menciptakan bumi? beliau menjawab : Allah. badui berkata : dan siapakah yang menjadikan gunung dan menciptakan didalamnya berbagai hal? beliau menjawab : Allah. badui berkata : demi Dzat yang menciptakan langit dan bumi dan menjadikan gunung, apakah Allah yang mengutus kamu? beliau menjawab : iya. badui berkata : dan juga, utusan kamu itu mengatakan bahwa telah diwajibkan atas kami sholat 5 (lima) waktu setiap hari dalam sehari semalam. beliau berkata : benar. badui berkata : demi Dzat yang mengutus engkau, apakah Allah yang memerintahkanmu akan hal ini? beliau menjawab : iya. badui berkata : dan utusanmu juga berkata bahwa diwajibkan zakat atas harta-harta kami. beliau berkata : benar. badui berkata : demi Dzat yang mengutus engkau, apakah Allah yang memerintahkanmu akan hal ini? beliau menjawab : iya. badui berkata : utusanmu berkata telah diwajibkan atas kami untuk berpuasa pada bulan ramadhan pada tiap tahunnya. beliau berkata : benar. badui berkata : demi Dzat yang mengutus engkau, apakah Allah yang memerintahkanmu akan hal ini? beliau menjawab : iya. utusanmu juga mengatakan bahwa diwajibkan atas kami pergi haji bagi yang mampu. beliau berkata : benar. Anas berkata : kemudian orang badui itu pergi seraya berkata : demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan melakukan lebih dari hal-hal itu dan juga aku tidak akan menguranginya. kemudian Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam berkata : jika dia benar dengan perkataannya itu maka dia sungguh akan masuk surga." (HR Muslim)

Sumber
Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj, karya Imam An-Nawawi. bab Pertanyaan tentang Rukun Islam.

Tuesday, December 27, 2011

Bilal Philips Mendapatkan Hidayah

Dulu, Bilal Philips pernah dijuluki “Dewa Gitar” di negerinya, Kanada. Kini, ia justru menyerukan agar kaum Muslim sesedikit mungkin mendengarkan petikan gitar, karena “terlalu banyak musik akan menutup hati dari seruan Allah.”

Philips menyatakan, larangan itu bukan hanya untuk gitar, tapi semua aliran musik. “Hati yang diisi dengan musik tidak akan memiliki ruang untuk kata-kata Tuhan,” tulisnya dalam bukunya, Contemporary Issues. Buku ini membahas persoalan-persoalan aktual umat islam, mulai dari perkawinan anak di bawah umur, pemukulan istri, poligami, dan membunuh kaum murtad, hingga homoseksualitas.

Philips berpendapat, Islam tidak melarang semua musik. Namun, musik yang dianjurkan adalah yang dinyanyikan kaum pria dan anak perempuan belum dewasa. Lagu-lagunya pun berisi konten yang dapat diterima umum. “Instrumen senar sebaiknya dihindari,” ia melanjutkan.

Philips adalah imigran asal Jamaika. Masuk ke Kanada di usia 11 tahun, ia mengambil pendidikan gitar. Ia bermain di klub malam selama belajar di Universitas Simon Fraser di British Columbia. Namanya makin terdongkrak setelah itu.

Di puncak kepopulerannya, jiwanya gelisah. Ia memutuskan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk musik negerinya dan menyusul sang ayah yang juga tenaga ahli di Canadian Colombo Plan berpindah ke Malaysia, menjadi penasihat menteri pendidikan. Di negeri jiran itu, ia dikenal sebagai “Jimi Hendrix dari Sabah”.

Tapi setelah memeluk Islam pada tahun 1972, ia meletakkan gitarnya untuk selamanya. Dalam biografi di situs web ia mengatakan, “ketika saya menjadi seorang Muslim, saya merasa tidak nyaman melakukan hal ini dan menyerah baik secara profesional maupun pribadi.”Bagi banyak orang, musik menjadi sumber hiburan dan harapan dari Allah. Musik membawa mereka untuk sementara, seperti obat. “Quran, kata-kata Allah yang penuh dengan bimbingan, juga bisa memainkan peran itu.”

Dalam bukunya, ia juga mengatakan wanita dewasa dilarang untuk bernyanyi. “Pria lebih mudah terangsang daripada perempuan sebagai telah sepenuhnya didokumentasikan oleh studi klinis Masters dan Johnson. “
Tetapi Institut Islam Toronto mengatakan pada situs webnya yang banyak sarjana tidak setuju dengan penafsiran itu, dan mempertimbangkan musik diperbolehkan asalkan tidak mengandung “sensual, menduakan Tuhan, atau tema tidak etis dan pesan subliminal.

“Jadi untuk mengatakan bahwa semua musik dilarang dalam Islam tampaknya tidak tepat. Islam menempatkan kehidupan dunia dan akhirat secara seimbang,” tulis situs ini.

Sohail Raza, juru bicara Kongres Muslim Kanada, mengatakan klaim bahwa Islam tidak mengijinkan musik adalah “benar-benar tak berdasar” dan benar-benar merupakan upaya untuk mencegah imigran Muslim dari integrasi ke dalam masyarakat Kanada.

“Ini adalah orang-orang yang memiliki keengganan untuk sukacita,” kata Raza. “Kami memiliki situasi yang sangat menyedihkan dimana orang-orang seperti Philips yang membawa hal-hal dalam Islam yang benar-benar tidak benar, dan menumbuhsuburkan Islamophobia.”

Philips, yang memiliki gelar dari Universitas Islam Madinah dan Universitas Riyadh, dan mendirikan Universitas Islam Online, tinggal di Qatar tapi tetap menjadi pembicara konferensi yang populer di Kanada. Dia memberikan kuliah tentang “musik dan kencan” di sebuah masjid Toronto April lalu.

Dalam video online-nya, mantan musisi panggilan musik kecanduan jahat. “Intinya adalah bahwa jika musik itu bermanfaat, maka musisi akan menunjukkan manfaat yang dalam hidup mereka,” katanya dalam sebuah video YouTube.

“Apa yang Anda lihat justru adalah bahwa beberapa elemen yang paling korup masyarakat yang ditemukan di antara para musisi. Obat-obatan, penyimpangan dan homoseksualitas, hal ini jenis dan semua korupsi yang ada di sana, orang bunuh diri, “katanya. “Kenyataannya adalah bahwa hal itu sebenarnya tidak membawa sisi, jahat gelap yang memproduksi jenis korupsi antara mereka sendiri dan, pada akhirnya, berakhir sampai merusak elemen masyarakat.”

( kisah Muallaf )

Arab Saudi, Shalat Istisqa (Minta Hujan)

Berbeda dengan Indonesia yang sedang diguyur curah hujan tinggi, Arab Saudi justru kekurangan hujan, sehingga shalat Istisqa digelar di berbagai wilayah kerajaan pada hari Senin (26/12/2011).

Gubernur Makkah Pangeran Khalid Al Faisal menghadiri shalat Istisqa di Masjidil Haram.

Di Madinah, pejabat senior dari kantor gubernuran Sulaiman bin Muhammad Al Jeraish menghadiri pelaksanaan shalat Istisqa di Masjid Nabawi.

Pangeran Muhammad, yang menjabat sebagai gubernur Riyadh, mendatangi Masjid Imam Turki bin Abdullah guna melaksanakan shalat Istisqa.

Dalam khutbahnya di Riyadh mufti Saudi yang juga pimpinan Kibar Al Ulama, Syeikh Abdulaziz bin Abdullah Al Asyeikh, mengajak umat Islam untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya dan memohon agar hujan diturunkan atas mereka.

Arab News (27/12/2011) melaporkan, selain dilakukan di masjid-masjid utama di wilayah Saudi, shalat Istisqa juga digelar di universitas-universitas, sekolah dan berbagai tempat lainnya.

Shalat Istisqa selalu dilaksanakan oleh pemerintah dan warga Arab Saudi di saat mereka kekurangan hujan, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pada 25 April lalu, Raja Abdullah juga memerintahkan agar warga di seluruh negeri melaksanakan shalat untuk meminta hujan kepada Allah. Usai shalat Istisqa di pagi hari, hujan turun di wilayah Riyadh pada siang hari.*

Keterangan foto: Syeikh Abdulaziz bin Abdullah Al Asyeikh memimpin shalat Istisqa di Masjid Imam Turki bin Abdullah, Senin (26/12/2011).[Arab News]


Red: Dija

Sejarah Tentang Abbas Bin Abdullah

Abbas bin Abdul Muththalib radhiallahu anhu, Ia adalah paman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan salah seorang yang paling akrab dihatinya dan yang paling dicintainya.

Karena itu, beliau senantiasa berkata menegaskan, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."

Di zaman Jahiliah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya.

Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam baiat al-Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah.

Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Mekkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah al-Haram.

Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau puteranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama antaranya, Abbas ditemukan, maka iapun menepati nazamya itu

Istrinya terkenal dengan panggilan Ummul Fadhal (ibu Si Fadhal) karena anak sulungnya bemama al-Fadhal. Wajahnya tampan. Ia duduk dibelakang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau menunaikan haji wada-nya. Ia meninggal dunia di Syam karena bencana penyakit amuas. Anak-anaknya yang lain sebagai berikut ; yaitu anak kedua, Abdullah, seorang ahli agama yang mendapat doa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, meninggal di Thaif. Ketiga, Qutsam, wajahnya mirip benar dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ia pergi berjihad ke negeri Khurasan dan meninggal dunia di Samarkand. Keempat, Mabad, mati syahid di Afrika. Abdullah (bukan Abdullah yang pertama), orangnya baik, kaya,dan murah hati meninggal dunia di Madinah. Kelima, Puterinya, Ummu Habibah, tidak banyak dibicarakan oleh sejarah.

Para ahli sejarah berbeda keterangan tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar. Katamya, ia memberitakan kegiatan kaum musyrikin kepada Nabi di Madinah, dan kaum muslimin yang ada di Mekkah banyak mendapat dukungan dari beliau. Kabamya, ia pemah menyatakan keinginannya untuk hijrah ke Madinah, tapi Rasulullah menyatakan, "Kau lebih baik tinggal di Mekah ".

Keterangan kedua ini dikuatkan oleh keterangan Abu Rafi, pembantu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Pada waktu itu, ketika aku masih kanak-kanak, aku rnenjadi pembantu di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Ternyata, pada waktu itu, Islam sudah masuk ke dalam rumah tangganya. baik Abbas maupun Ummul Fadhal, keduanya sudah masuk Islam. Akan tetapi, Abbas takut kaumnya mengetahui dan terpecah-belah, lalu ia menyembunyikan keislamannya."

Ia selalu menemani Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di Kabah. Kaab bin Malik mengutarakan, "Kami (saya dan al-Barra bin Marur) mencari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Kami tidak tahu dan tidak mengenal Rasulullah sebelumnya. Kami bertemu dengan seorang penduduk kota Mekkah. Kami tanyakan di mana kami bisa menemui Rasulullah. Ia balik bertanya, Apakah kalian berdua mengenalnya? Kami menjawab, Tidak!. Ia lalu bertanya, Kalian mengenal Abbas bin Abdul Muththalib, pamannya?

Kami menjawab, Ya! Memang kami sudah mengenalnya karena ia sering datang ke negeri kami membawa dagangan.
Orang tadi lalu berkata, Kalau kalian masuk ke Masjidil Haram, orang yang duduk di sebelah Abbas itulah orang yang kalian cari!".

Kemudian, kami masuk ke Masjidil Haram. Ternyata, kami menemukan Abbas duduk di sana dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam duduk di sebelahnya".

Abbas radhiallahu anhu mempunyai peran penting yang tidak bisa diabaikan dalam baiat al-Aqabah. Ia orang pertama yang berpidato dalam majelis itu. Ia berkata :

"Wahai kaum Khazraj, (pada masa itu, suku al-Aus dan al-Khazraj dipanggil dengan al-Khazraj saja) kalian seperti yang saya ketahui telah mengundang datang Muhammad. Ketahuilah bahwa Muhammad itu orang yang paling mulia di tengah-tengah familinya. Ia dibela oleh orang orang yang sepaham dan orang-orang yang tidak sepaham dengan pikirannya demi memelihara nama baik keluarga. Muhammad sudah menolak tawaran orang lain selain kalian. Kalau kalian memiliki kekuatan, ketabahan, dan pengertian tentang ilmu peperangan, mempunyai kekuatan menghadapi persekutuan dan permusuhan seluruh bangsa Arab, karena mereka akan menyerang kalian dengan satu busur dan satu anak panah, maka camkanlah baik-baik terlebih dahulu, rembukkanlah antara kalian dengan mufakat dan sepakat bulat dalam majelis ini karena sebaik-baik bicara itu ialah yang jujur."

Kata-kata itu menunjukkan pengetahuannya yang luas dan pemikiran yang cerdas tentang berbagai persoalan. Ia ingin mengenali hakikat kaum Anshar dan membangkitkan kesiapsiagaan mereka. Ia lalu berkata lagi, "Cobalah kalian ceritakan kepadaku bagaimana kalian berperang menghadapi musuh?".

Abdullah bin Amru bin Haram bangkit memberikan jawaban, "Percayalah bahwa kami adalah ahli perang. Kami memperoleh keahlian itu berkat kebiasaan dan latihan kami dan berkat warisan nenek moyang kami. Kami lepaskan anak panah kami sampai habis, lalu kami mainkan tombak kami sampai patah, kemudian kami menyerang dengan pedang, berperang tanding hingga tewas atau menewaskan musuh kami".

Cerahlah wajah Abbas mendengarkan keterangan mereka itu dan amanlah rasanya untuk menyerahkan keponakannya itu, seorang yang paling dekat di hatinya. Seperti ada yang ia lupakan, ia berkata lagi, "Kalian mengatakan ahli peperangan. Apakah kalian mempunyai baju besi?".

"Ya, lengkap," jawab mereka.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian membaiat mereka dan Abbas mengambil tangan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengukuhkan baiat itu.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berhijrah ke Yatsrib sedangkan Abbas tinggal di Mekah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar. Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam, tahu bahwa Abbas dan keluarganya dipaksa keluar berperang oleh Quraisy sedangkan mereka tidak berdaya mengelak. Rasulullah bersabda, "Aku tahu ada orang-orang dari Bani Hasyim dan lain-lain yang terpaksa keluar. Mereka tidak mempunyai kepentingan untuk memerangi kami. Siapa di antara kalian yang menjumpai mereka, orang-orang dari Bani Hasyim, janganlah dibunuh; siapa yang menjumpai Abbas bin AbduI Muththalib, paman Nabi Shallallâhu alaihi wasallam., janganlah di bunuh karena ia keluar berperang karena terpaksa".

Keterangan Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. itu tersebar luas di kalangan orang yang pergi ke Badar. Kaum mukminin menerima baik perintahnya itu. Kecuali Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabiah, yang berucap dengan lantang, "Kami membunuh bapak kami, anak-anak kami, saudara-saudara dan keluarga kami, lalu kami akan membiarkan Abbas? Demi Allah, kalau aku menjumpainya, aku akan memancungnya dengan pedangku ini!"

Kata-katanya itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam., lalu beliau berkata kepada Umar ibnul Khaththab, "Ya Aba Hafsah,ada juga orang yang mau menghantam wajah paman Rasullullah dengan pedangnya!"

"Biarkanlah, ya Rasulullah, aku penggal leher Abu Hudzaifah itu dengan pedangku ini. Demi Allah, dia itu seorang munafik," ucap Umar.

Akan tetapi, Rasulullah tidak membiarkan Umar bertindak membunuh kawan-kawanya yang bersalah. Beliau membiarkan mereka bertobat dan menebus dosanya masing-amsing. Ternayta, Abu hudzaifah sangat menyesali kata-katanya itu dan senantiasa mengulang-ulang perkataanya, "Demi Allah, rasanya hatiku tidak aman atas kata-kata yang pernah kaku yucapkan dahulu dan aku senantiasa dikejar-kejar rasa takut olehnya, sebelum Allah memberikan tebusan kepadaku dengan syahadah!" Ternyata, harapannya itu Allah penuhi, ia tewas sebagai syahid dalam Perang Yamamah.

Pada suatu hari, Abbas pergi berhijarah ke Medinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tarikh hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.telah membemberikan sebidang tanah kepadanya berdekatan dengan tempat kediamannya.

Di Madinah terjadi pertengkaran antara seseorang dengan Abbas, yang berakar sejak zaman Jahiliah, di mana orang itu memaki-maki ayah Abbas. Gangguan orang itu terhadap Abbas terjadi berualng-ulang sehingga menyakitkan hatinya, lalu ia ditamparnya. Kabilah orang itu tidak senang hati, mereka siap-siap akan menuntut balas. Mereka berkata, "Demi Allah, kami akan menamparnya seperti ia menampar saudara kami!"

Ancaman mereka itu terdengar oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam , lalu beliau mengumpulkan kaum muslimin dan naik ke atas mimbar, seraya memanjatkan puja dan puji kepada Allah Subhânahu wataâla dan bersabda, "Wahai para hadirin, tahukah kalian, siapa orang yang paling mulia di sisi Allah Subhânahu wataâla?"

"Engkau, ya Rasulullah!" jawab hadirin.
"Tahukah kalian bahwa Abbas itu dariku dan aku darinya? Janganlah kalian mengumpat orang-orang yang sudah mati, jangan sampai menyakiti kita yang masih hidup."

Kabilah orang itu datang mengahadap Rasulullah seraya berkata, "Ya Rasulullah, kami mohon perlindungan Allah dari kegusaranmu, maafkanlah dosa kami, ya Rasulullah."

Pernyataan Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam tersebut menguatkan keterangan Abu Majas radhiallâhu anhu. tentang sabdanya, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakitinya sama dengan menyakitiku."

Pada suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Dan bermohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"

Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang, namun Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan; ia tidak ingin pamannya dibebani tugas pemerintahan. Ia menjawab harapan pamannya itu dengan manis dan penuh pengertian, "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan."

Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam., tetapi malah Ali bin Abi Thalib radhiallâhu anhu yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"

Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali bin Abi Thalib itu, lalu Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam bersabda kepadanya ,"Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."

Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.seorang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah, bahkan ia tidak diberi kesemopatan dan harapan mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.

Untuk yang ketiga kalinya, pamannya itu datang menghadapnya dan berharap dengan penuh kerendahan hati, "Aku ini pamanmu, usiaku sudah lanjut, dan ajalku sudah hampir. Ajarilah aku sesuatu yang kiranya berguna bagiku di sisi Allah!"

Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Menjawab, "Ya Abbas, engkau pamanku dan aku tidak berdaya sedikitpun dalam masalah yang berkenaan dengan Allah, tetapi mohonlah selalu kepada Tuhanmu ampunan dan kesehatan!"

Sesudah Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.menuiakan risalah Alalh Subhânahu wataâla dengan baik, manyampaikan agamaNya yang lengkap kepada para pewarisnya, maka ia kembali ke rahmatullah dengan tenang. Ternyata Abbas orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu.

Abbas hidup terhormat di bawah pemerintrahan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian menyusul pemerintahan Umar ibnul Khaththab radhiallâhu anhu..

Tiap kali Khalifah hendak ke masjid ia selalu harus melewati rumah Abbas. Di atas rumahnya itu terdapat sebuah pancuran air. Pada suatu hari, ketika Khalifah Umar pergi ke masjid dengan pakaian rapi hendak menghadiri shalat jamaah, tiba-tiba pancuran air itu menumpahkan airnya dan mengenai pakaian Umat. Ia kembali pulang untuk mengganti pakaian dan memerintahkan supaya pancuran itu dibuka. Sesudah beliau selesai shalat, datanglah Abbas seraya berkata, "Demi Allah, pancuran itu diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.."

Khalifah Umar menjawab, "Aku mohon kepadamu supaya engkau memasang kembali pancuran itu di tempat yang diletakkan oleh Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam dengan menaiki pundakku."

Abbas menerima baik harapan Umar untuk memperbaiki kesalahannya itu.
Abbas tidak marah, tidak mendendam di dalam hati, tetapi ia mengingatkan Umar bahwa yang meletakkan pancuran itu Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Hati Umar yang terkenal keras dan kuat-kuat tiba-tiba bergetar ketakutan, bagaimana ia memerintahkan mencabut apa yang dipasang Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Ia rela menebus kesalahannya itu dengan menyuruh Abbas menaiki pundaknya untuk mengembalikan pancuran air itu ketempatnya semula. Setelah itu, ia memberikan ciuman cinta dan pengharagaan kepada paman Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam itu.

Masjid Nabawi di Madinah kian hari kian menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin dari hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya. Khalifah Umar berpikir akan memperluasnya dengna membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua bangunan yang ada disekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdullah Muththalib. Apa mungkin ia menyumbangkan harganya kelak di Baitulmal ataukah ia akan menerima harga ganti ruginya?

Khalifah Umar datang menemuinya seraya berkata, "Ya Abal Fadhal, engkau lihat, masjid sudah sempit sekali karena banyaknya orang shalat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada disekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul Muminin yang belum. Kalau kamar-akmar Ummuhatul Muminin rasanya tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi rumahmu jual-lah kepada kami berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal supaya bisa meluaskan bangunan masjid."

Abbas menjawab, "Aku tidak mau."
Umar berkata; "Pilihlah satu diantara tiga: engkau menjual berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari Baitulmal di daerah manapun di Madinah yang engkau kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada muslimin untuk meluaskan masjid mereka."

Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima semaunya."

Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.

Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Kaab."

Keduanya pergi menemui Ubai bin Kaab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan dimintai pendapatnya.

Ubai berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam bersabda, "Allah Subhânahu wataâla pernah mewahyukan kepada Nabi Daud, Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana. Nabi Daud lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis. Dalam perencanaan itu mengenai rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk mengambilnya dengan paksa. Allah Subhânahu wataâla lalu mewahyukan kepadanya, Hai Daud, aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku pemaksaan itu bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya! Nabi Daud menjawab, Ya Allah, aku lakukan pada anakku! Allah berfirman lagi, Siapa anakmu?""

Khafilah Umar tidak bisa lagi menahan marahnya, lalu ia menyambar baju Ubai bin Kaab dan menggiringnya ke masjid seraya berkata, "Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di hadapan kaum muslimin!"

Ia membawanya ke tengah-tengah halaqah yang diselenggarakan shahabat Rasulullah di masjid Nabawi, dimana antara lain terdapat Abu Dzar radhiallâhu anhu.Umar lalu berkata kepada para hadirin, "Saya mengharap dengan nama Allah, adakah diantara kalian yang mendengarkan Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.berbicara tentang Baitul Maqdis, ketika Alalh memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan rumah-Nya tempat orang menyebut-nyebut namaNya?"

Abu Dzar radhiallâhu anhu menjawab "Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang lain, "Ya, saya juga mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang menyambung, "Saya juga mendengar!"

Khalifah Umar radhiallâhu anhu lalu berkata kepada Abbas radhiallâhu anhu, "pergilah! Aku tidak akan menuntutmu membongkar rumahmu."

Abbas radhiallâhu anhu berkata, "Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan mengalah."

Memang Khalifah Umar radhiallâhu anhu bertindak setengah memaksa karena proyek itu menyangkut kepentingan kaum muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah. Akan tetapi, apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya. Ia harus tunduk dan menerima baik syariat Allah dan RasulNya. Sesudah Abbas melihat ketundukan Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas haknya yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi ia benar-benar berjuang demi kesehjahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk menyerahkan rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum muslimin.

Demikian tokoh-tokoh model "sekolah Rasulullah" dan "sekolah Al-Quranul Karim" radhiallahu anhum ajmain. Mereka angkatan kaum muslimin yang pertama, yang telah membawa panji Islam ke seluruh jagat raya ini, yang telah membangkitkan peradaban umat manusia, yang mengajar dan mendidik manusia maju dan mengenali peradaban antara agama kebenaran dan kebatilan.

Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadilah paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing. Umar menganjurkan kepada muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan itu. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat. Kaab masuk menemui Khalifah Umar seraya mengutrarakan, "Ya Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."

Umar berakta, "Ini dia paman Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan bani Hasyim."

Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu, kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepadaMu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"

Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah Subhânahu wataâla, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu".

Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini, umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama diri kami dan keluarga kami. Ya Allah, kami memohon belas kasih-Mu atas nama makhluk-Mu yang tidak bicara, atas nama hewan ternak kami. Ya Allah, hujanilah kami dengan hujan keselamatan yang berdaya guna. Ya Allah, kami mengadukan semua bencana orang yang menderita kelaparan, telanjang, ketakutan, dan semua orang yang menderita kelemahan. Ya Allah selamatkan mereka dengan hujan-Mu sebelum mereka berputus asa dan celaka. Sesungguhnya, tidak akan berputus asa dengan rahmat karunia-Mu kecuali orang-orang yang kafir."

Ternyata doanya itu langsung diterima dan disambut Allah Subhânahu wataâla. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah Subhânahu wataâla dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Mekah dan Madinah."

Abbas hidup terhormat, baik oleh kaum muslimin maupun oleh para Khulafaur Rasyidin. Kalau ia berjalan dan berpapasan dengan Umar atau Utsman yang sedang berkendaraan, keduanya turun dari kendaraannya, seraya berkata, "Paman Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.!"

Sudah menjadi sunnatullah, setiap permulaan ada penghabisannya, setiap perjalanan ada perhentiannya, demikian pula dengan Abbas radhiallâhu anhu, perjalanan hidupnya terhenti dan kembali ke rahmatullah menyusul keponakkannya Shallallâhu alaihi wasallam dan rekan-rekannya yang lain, pada hari Jumat tanggal 12 Rajab 32 Hijrah, dalam usia 82 tahun, dan dikebumikan di al-Baqi di Madinah, rahimullah wa radhiallahuanhu.

Sebab Turunya Ayat

Dalam Perang Badar yang berkecamuk antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, Abbas berhasil ditawan oleh Abul Yusr, Kaab bin Amru, yang menurut Ahli sejarah kedua tangannya kurus dan perawakannya juga lemah, sedangkan Abbas seorang yang tinggi besar. Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam bertanya keheranan, "Ya Abal Yusr, bagaimana kau bisa menawan Abbas?"

"Ya Rasulullah, aku dibantu oleh seorang yang belum pernah kulihat sebelum dan sesudah itu (lalu ia mengutarakan ciri-ciri dan perawakan orang itu)," jawab Abul Yusr.

"Kau dibantu oleh seorang malaikat yang pemurah," sabda Rasulullah.
Ketika Abbas jatuh sebagai tawanan, pertanyaan pertama yang terlontar adalah tentang keadaan Muhammad kepada yang menawannya, "Bagaimana keadaan Muhammad dalam peperangan ini?"

"Allah memuliakan dan menenangkannya," jawabnya.

"Segala sesuatu selain Allah rusak. Kini, apa maumu?" tanya Abbas

"Rasulullah melarang kami membunuhmu," jawabnya.

"Itu bukan kebaikannya yang pertama."

Abbas diborgol dan dikumpulkan bersama tawanan perang lainya. Kiranya, ikatannya terlalu keras sehingga ia merintih kesakitan. Ternyata rintihan itu terdengar oleh Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Beliau gelisah dan tidak bisa memejamkan matanya. Berapa orang shahabat yang melihatnya belum tidur, menegurnya, "Wahai Nabi Allah, sudah jauh malam, engkau belum tidur?"

"Aku mendengar riuntihan Abbas," jawab Nabi.
Orang itu lalu pergi melonggarkan ikatannya, kemudian Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.bertanya lagi, "Mengapa sekarang aku tidak mendengarkan rintihannya?"

"Aku longgarkan ikatannya, ya Rasulullah," jawab shahabat
"Lakukanlah juga terhadap semua tawanan lainnya," perintah Nabi.

Pagi harinya, semua tawanan dihadapkan kepada Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Akhirnya, sampai giliran Abbas.
Nabi Shallallâhu alaihi wasallam bersabda, "Ya Abbas, tebuslah dirimu dan keponakanmu aqil bin Abi Thalib, Naufal bin al-Harits, dan teman karibmu Utbah bin Amru bin Jahdam karena engkau seorang kaya."

"Ya Rasulullah, saya ini seorang Muslim, tetapi saya dipaksa ikut berperang oleh mereka," ucap Abbas.
"Allah saja yang Maha Tahu dengan keislamanmu itu: kalau pengakuanmu itu benar, Allah akan mengganjarmu, namun aku melihatmu dari segi lahirmu maka bayarlah tebusanmu itu."
Aku tidak mempunyai uang, ya Rasulullah."

"Mana uang yang kau simpan pada Ummul Fadhal, isterimu, ketika kau hendak keluar ikut berperang, lalu pesanmu kepadanya, Kalau aku tewas dalam peperangan, uang itu dibagi-bagikan antara kau, Fadhal, Abdullah, Ubaidullah, dan Qatsam.?" tanya Rasulullah.

"Dari mana kau tahu ini padahal aku tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun?" tanya Abbas keheranan.
"Allah Subhânahu wataâla Yang memberitahukan rahasiamu itu," jawab Nabi.
"Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan engkau benar-benar rasul Allah, bahwa kau seorang yang jujur."

Pada saat itu, turunlah firman Allah Subhânahu wataâla.
"Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu:"Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu". Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.,S. al-Anfal: 70)

Abbas berkomentar, "Allah berkenan menepati janji-Nya kepadaku, memberikan kebaikan lebih dari apa yang diambil: 20 uqiyah diganti dengan 20 orang budak. Kini, aku sedang menantikan pengampun-Nya. Aku diberi kuasa mengurus air zamzam dan aku bisa merasa bangga lebih dari itu, meskipun aku memiliki semua harta penduduk kota Mekkah. Kini, aku sedang menantikan pengampunan-Nya."

Akan tetapi, darimana ia memiliki harta bila membeli dua puluh orang budak dan tiap budak memiliki modal edar yang diperdagangkan?
Ibnu Saad dalam bukunya, ath-Thabaqat al-kubra, menyebutkan bahwa al-Ala bin al-Hadhrami mengirimkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Harta benda sebanyak 80.000. Belum pernah Nabi menerima lebih dari itu. Kemudian Nabi Shallallâhu alaihi wasallam mengundang kaum muslimin. Begitu mereka melihat timbunan harta itu, penuh sesaklah masjid dengan orang-orang. Nabi Shallallâhu alaihi wasallam membagi-bagikan hartra itu seolah-olah tanpa perhitungan dan pertimbangan, masing-masing diberikan segenggam.

Abbas datang, lalu berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam., "Ya Rasulullah, aku telah memberikan tebusanku dan tebusan Aqil bin Abi Thalib dalam perang Badar. Aqil tidak punya uang penggantinya. Berikan aku dari uang ini!"

Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam tertawa lebar sehingga terlihat gigi taringnya, lalu bersabda, "Harta itu diambil seperlunya; yang lain dikembalikan!"

Ia lalu pergi dengan mengambil seperlunya, seraya berucap, "Janji Allah kepadaku, yang satu sudah ditepati dan yang lain aku belum tahu!"

Renungan

Abas bin Abdul Muththalib radhiallâhu anhu, paman Rasululah Shallallâhu alaihi wasallam dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh sahabat yang ikut mengibarkan panji Islam dan menyebarkan dakwahnya.

Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam baiat al-Aqabah al-Kubra, ia bertindak sebagai seorang penasihat dan perunding ahli, menyertai keponakannya dalam majelis itu, membentangkan sikapnya dengan tepat, dan mengamati sikap kaum Anshar yang hendak menerima kedatangannya ke Madinah dengan cermat.

Ia memberikan gambaran kepada mereka akan bahaya dan resiko yang akan mereka hadapi sepanjang hidup mereka jika menerima Muhammad Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Bangsa Arab tidak akan membiarkan Muhammad dan dakwahnya berkembang dengan mulus kecuali kalau mereka terpaksa.

Pada akhir perundingan, sesudah ia yakin bahwa kaum Anshar dari Yastrib itu terdiri atas para pahlawan yang berbudi luhur yang bisa dipercaya dan menerima keponakannya, barulah ia bangkit mempertemukan tangan Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam dengan tangan wakil kaum Anshar itu sebagai tanda baiat disetujui dan janji setia dimulai, disertai doa harap kepada Allah Subhanahu wataala mudah-mudahan persekutuannya yang luhur akan melindungi agama-Nya dan Dia memberi taufiq dan hidayah-Nya.

Ketika Nabi Shallallâhu alaihi wasallam. Hijrah ke Yastrib, Abbas menyatakan hasratnya akan menyusul ke sana. Akan tetapi, beliau mencegahnya dan menganjurkan supaya tinggal di Makkah saja dulu supaya bisa mendukung semangat kaum mustadhafin di Mekah yang belum bisa hijrah meninggalkan Mekah.

Abbas patuh kepada perintah Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam. Itu. ia tinggal di Mekkah bersama kelompok kaum muslimin yang belum sanggup pergi berhijrah, menyiapkan kesempatan dan bekal mereka, menutup utang-utang mereka, mengamati gerak-gerik kaum Quraisy supaya selalu diketahui Rasulullah Shallallâhu alaihi wasallam.dan tidak bisa mengadakan serangan mendadak kepada mereka.

Pada permulaan Islam, Abbas banyak melunasi utang kaum muslimin yang fakir misjkin. Pada zaman kita sekarang ini, alangkah perlunya kita kepada seorang Abbas modern yang sudi menyelamatkan umat agar tidak menjadi mangsa pengikut komunis dan kapitalis Barat, dan berdiri tegak membendung invasi ideologi dan kristenisasi di kalangan kaum muslimin.

Ia menjadi tawanan dalam Perang Badar, ia diborgol dan diringkus bersama tawanan yang lain. Ketika borgolnya dilonggarkan, para tawanan yang lain pun harus dilonggarkan.

Tawanan lain harus, membayar uang tebusan, Abbas pun harus membayar uang tebusan diri dan keluarganya. Itulah Islam, tidak ada sistem famili atau keluarga, tidak mengutamakan kawan atau kenalan. Tolak ukur keutamaan seseorang hanyalah karena ketakwaan dan amal salehnya.

Pada suatu hari, Khalifah Umar ibnul Khaththab yang terkenal sebagai penakluk kekaisaran Romawi dan Persia itu, mencabut pancuran air dari rumah Abbas. Sesudah diberitahukan bahwa pancuran itu dahulu dipasang oleh kedua tangan Rasulullah sendiri. Umar menggigil ketakutan; apakah ia akan menyingkirkan apa yang diletakkan Rasulullah? Beranikah ia membongkar apa yang dibangun Rasulullah? Umar resah dan gelisah atas perbuatannya. Ia mengumpat dan mengutuk kelancangannya itu. Barulah ia puas sesudah Abbas menerima baik sarannya untuk mengembalikan pemasangan pancuran.

Tiba giliran Umar untuk memperluas masjid Nabawi. Sebagai khalifah kaum muslimin, sebagai panglima Angkatan Perang Islam, ia mempunyai kekuatan penuh untuk merampas dan mengganti rugi dari Baitul mal, demi kepentingan kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan hukum agama.

Sikap Umar untuk menggusur rumah Abbas itu rupanya kurang berkenan di hatinya, meskipun ia akan diganti rugi. Ia tidak mau menjual apa yang diberikan Rasulullah itu dan tidak sudi menerima ganti ruginya. Ia berikan sebagai sedekah karena Allah, demi kepentingan kaum muslimin, sesudah Umar bersikap lemah-lembut tidak disertai paksaan dan kekuasaannya. (kisah)