Monday, February 20, 2012

Peran Stakeholder Perbankan Syariah


Harmonisasi Peran Stake Holder Perbankan Syariah (Pemerintah, Ulama Dan Bank Syariah) : Sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja Bank Syariah Di Indonesia." Sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia diawali dengan berdirinya Bank Muammalat Indonesia (BMI) pada November 1991, yang akhirnya diikuti oleh keluarnya peraturan tentang perbankan yaitu, UU No 7 tahun 1992 yang membolehkan operasional bank dengan sistem bagi hasil di Indonesia.

    Namun setelah muncul nya UU No 10 tahun 1998, yang mengatur tentang dual banking-system yaitu peraturan yang membolehkan setiap bank konvensional membuka sistem pelayanan syariah di cabangnya membuat perkembangan bank syariah berjalan sangat cepat, perkembangan selanjutnya adalah terbitnya UU No 23 tahun 1999 mengenai proses pendirian dan jaringan bank umum syariah (BUS), pengaturan kelembagaan bank umum konvensional (BUK) yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS), pendirian Kantor Cabang Syariah (KCS), dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Perkembangan selanjutnya adalah keluarnya fatwa tentang haram nya bunga bank yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2003, keluarnya fatwa ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap laju pertumbuhan industri perbankan syariah. Hal ini terlihat dengan terjadinya over likuiditas perbankan syariah yang mencapai 300 miliar rupiah pada saat itu. Pertumbuhan industri perbankan syariah yang saat ini dapat dilihat dengan munculnya 3 bank umum syariah dan 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia. Perkembangan ini dapat dilihat dengan tumbuhnya 3 bank umum syariah yaitu Bank Muammalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia serta terdapat 22 unit usaha syariah di beberapa bank konvensional di Indonesia. ( Statistik Perbankan Syariah-Bank Indonesia)

Berbagai produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah antara lain: (1) produk pengumpulan dana, terdiri dari: giro wadi’ah, tabungan mudharabah, dan deposito mudharabah; (2) produk pembiayaan: murabahah, bai’ as salam, bai istishna’, ijarah, musyarakah, mudharabah. (3) produk jasa; al-wakalah, al-hawalah, kafalah, dll

POTENSI BANK SYARIAH DALAM PEREKONOMIAN

Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk memberdayakan perekonomian ummat, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 105,70 persen, lebih tinggi daripada LDR pada perbankan nasional yang rata-ratanya hanya sebesar 64 persen, dengan tinginya tingkat FDR bank syariah mencerminkan bahwa fungsi intermediasi bank syariah dapat tercapai dengan optimal. Selain itu apabila dilihat dari prosentase pembiayaan berdasarkan golongan pembiayaan, sektor UMKM merupakan fokus pembiayaan bank syariah dengan prosentase pembiayaan mencapai 70 persen dari seluruh total pembiayaan Rp23,23 triliun, lebih tinggi daripada sektor korporasi yang hanya mencapai 30 persen.

Bank syariah lebih mencerminkan prinsip keadilan melalui mekanisme pembiayaan bagi hasil dengan skema distribusi pendapatan yang merata karena lebih fokus pada pemberdayaan UMKM. Hal ini terjadi karena jumlah populasi UKM pada 2006 mencapai 48,9 juta unit usaha atau sekitar 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia, sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang atau 96,18 persen terhadap seluruh tenaga kerja Indonesia atau sebanyak 46,28 persen dari jumlah total penduduk Indonesia. Selain itu sektor UMKM memiliki potensi yang sangat luar biasa, yaitu sekitar 57 persen kebutuhan barang dan jasa serta sekitar 19 persen produk ekspor merupakan hasil produksi UMKM dan mampu memberikan kontribusi 2-4 persen pertumbuhan nasional. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM (Menegkop & UKM), sektor UKM menyumbang 53,3 persen atau sebesar Rp1.778,7 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2006 yang mencapai Rp3.338,2 triliun ( www.menkokesra.go.id).

Menurut Siti Ch. Fadjriah (2007), Pembiayaan dengan menggunakan sistem syariah lebih cocok diterapkan dalam membiayai sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) karena lebih memberikan kepastian dan tidak terbebani akibat kenaikan suku bunga karena skema pembiayaan pada bank syariah tidak mengacu pada system bunga yang dapat mengakibatkan terjadinya kemungkinan negative spread. Selain itu bank syariah mempunyai risiko yang lebih kecil dari pada bank konvensional yang terkait dengan risiko bunga (Hilmy, 2005), diantaranya:

    Risiko negative spread, terjadi karena kemungkinan kenaikan tingkat suku bunga yang sangat tinggi yang dapat mengakibatkan kemungkinan terjadinya kredit macet.

    Risiko praktik “bank dalam bank” (BDB). Praktik BDB adalah praktik “bank gelap” yang dilakukan oleh penguasa bank (oknum) tetapi dilakukan di dalam bank yang legal. Ketika BDB berjalan lancar, maka keuntungannya diambil cukong. Tetapi, apabila BDB bermasalah, misal non performing loan (NPL, pinjaman bermasalah), bank harus menanggung masalah likuiditasnya, yaitu oknum perbankan menghindar dan risikonya dapat dialihkan ke bank.

    Risiko kompetisi bunga dan hadiah. Pada bank sistem bunga, bank lebih mudah menarik DPK, dengan menawarkan kenaikan suku bunga atau hadiah. Bunga dan hadiah adalah janji pasti (fixed income) sehingga sangat menarik bagi DPK. Semua Bank dengan system bunga akan terlibat dalam persaingan menaikkan tingkat suku bunga dan pemberian hadiah. Bila ada Bank yang tidak ikut, maka bank itu ditinggalkan nasabah dan bank terancam kegiatan operasionalnya. Sehingga memaksa hampir semua bank dengan operasi system bunga untuk ikut berkompetisi dalam persaingan penjaringan DPK walaupun dengan beban bunga itu dirasakan beban berat.

    Risiko spekulasi. Spekulasi yang biasa dilakukan pada bank dengan system bunga di antaranya ialah dalam jual beli valas.

KELEMAHAN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH

Dalam Perkembangannya bank syariah mengalami beberapa kendala diantaranya adalah rendahnya market share perbankan syariah yang total asset nya baru mencapai 1,66 persen dari seluruh total asset bank di perbankan nasional sehingga menyebabkan peran bank syariah dalam memberdayakan perekonomian ummat menjadi kurang optimal. Kondisi saat ini pertumbuhan asset perbankan syariah terkesan melambat, sehingga perkembangan laju pertumbuhannya tidak begitu pesat seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini terjadi karena perbankan syariah terkesan mengerem penerimaan dana pihak ketiga (DPK) karena bank syariah tidak bisa melakukan pembiayaan secara menyeluruh kepada pengusaha karena terkait asas prudential banking dan prospek usaha yang kurang bagus ( Tempo, 21 Oktober 2007).

Statistik Perbankan Syariah Terhadap Total Bank Posisi Agustus 2007 (Triliun rupiah)
Islamic Bank
Total Banks
Nominal
Share
Total Asset
30,145
1.66%
1 ,820,388
Depoosit Fund
23,309
1.67%
1 ,392,668
Credit/Financing Extended
24,638
2.76%
893,497
FDR/LDR
105.70 %
64.16 %
                 (Sumber: Statistik Perbankan Syariah-Bank Indonesia September 2007)



Padahal Bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar untuk menggerakkan ekonomi ummat, karena tingkat rasio penyaluran dana pihak ketiga (FDR) kepada nasabah pada bank syariah sangat besar, yaitu sebesar 105,70 persen lebih tinggi daripada bank konvensional rata-rata hanya sebesar 64 persen. Dengan tingginya tingkat FDR tersebut, bank syariah mempunyai peluang yang besar untuk menumbuhkan iklim investasi dan jiwa entrepreneurship nasabah yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengangguran di masyarakat. Minimnya total asset bank syariah disebabkan oleh faktor-faktor antata lain yaitu:

Pertama, kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat tentang produk-produk bank syariah, sehingga banyak masyarakat yang belum menggunakan jasa layanan keuangan bank syariah. Kedua, terbatasnya pakar dan SDM yang ahli dalam perbankan syariah. Ketiga, kurang inovatif dan minimnya produk yang dapat mengakomodir kebutuhan nasabah. Keempat, sistem regulasi atau perundang-undangan yang belum memadai. Kelima, dukungan Pemerintah dinilai masih kurang dalam upaya pengembangan bank syariah. Hal ini dilihat dari dari sisi alokasi dana yang dikeluarkan untuk edukasi, sosialisasi dan promosi tentang bank syariah masih sangat minim. Keenam, kurangnya instrumen moneter yang berbasis syariah untuk membantu kebutuhan likuiditas dan instrumen investasi bank syariah. Ketujuh, terjadi pajak ganda dalam suatu transaksi produk pembiayaan di bank syariah (murabahah), sehingga menyebabkan produk tersebut kurang kompetitif.

Selain masalah tersebut bank syariah juga kurang memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya memberdayakan ekonomi ummat, hal ini terlihat dari portofolio pembiayaannya yang masih didominasi oleh pembiayaan non-bagi hasil, yaitu pembiayaan murabahah dan ijarah. Hal ini terlihat dalam statistik pembiayaan bank syariah, bahwa tingkat pembiayaaan murabahah hampir mencapai 60 persen, sedangkan pembiayaan bagi hasil (musyarakah dan mudharabah) hanya mencapai sekitar 35 persen.

Dengan kondisi tersebut sungguh ironis, karena berdasarkan prinsip dasar produk tersebut, bank syariah sesungguhnya memiliki core product pembiayaan bagi hasil, yang dikembangkan dalam produk pembiayaan musyarakah dan mudharabah (Muhammad, 2005). Hal ini berarti keberadaan bank syariah harus mampu memberikan kontribusi yang meningkatkan pertumbuhan sektor riil. Fungsi tersebut akan terwujud bila bank syariah menggunakan akad profit and loss sharing (mudharabah dan musyarakah) sebagai core productnya (Beik, 2005) dalam (Muhammad, 2005).

Menurut (Beik, 2007) tingginya pembiayaan non-bagi hasil dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya inflasi, dimana harga komoditas barang cenderung meningkat selain itu, skema murabahah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan produktivitas barang dan jasa. Tingginya pembiayaan non-bagi hasil tidak hanya menimbulkan masalah bagi dunia usaha, tetapi juga mengakibatkan rendahnya perolehan pendapatan bank syariah itu sendiri, karena walaupun dengan risiko yang lebih tinggi produk pembiayaan bagi hasil dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar daripada produk pembiayaan non-bagi hasil, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan bank syariah itu sendiri. Selain itu menurut (Agustianto, 2007) Pembiayaan non bagi hasil sesungguhnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangkan sektor riel, karena bentuknya dominan konsumtif Dengan tingginya pembiayaan non bagi hasil, mengindikasikan bank syariah terkesan sangat menghindari risiko .

SOLUSI PERMASALAHAN

Upaya pengembangan kinerja dan daya saing industri perbankan syariah membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari stake holder perbankan syariah, yaitu pemerintah, ulama, perbankan syariah maupun masyarakat umum. Sehingga perlu di lakukan sinergisitas peran masing-masing pemegang kepentingan untuk saling bekerja sama mengembangkan industri perbankan syariah.

Peran Pemerintah

Keberpihakan pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan, yaitu dalam mendukung perkembangan perbankan syariah, yang dapat direalisasikan dengan pengeluaran kebijakan-kebijakan yang mendukung. Ironisnya peran tersebut belum terlihat nyata, hal ini terlihat dari belum keluarnya UU khusus tentang perbankan syariah yang mengatur kegiatan operasional bank dan adanya pajak ganda dalam suatu transaksi bank syariah, selain itu penyediaan instrumen moneter yang sesuai prinsip syariah masih kurang sehingga dapat menghambat perkembangan likuiditas perbankan syariah karena bank syariah terkesan menahan laju pertumbuhan DPK karena mengalami kendala dalam penyaluran dana karena tidak cukupnya instrumen syariah yang digunakan untuk melakukan investasi, kondisi ini sangat berbeda dengan bank konvensional yang diuntungkan dengan adanya SBI sehingga mampu menarik DPK dalam jumlah yang besar.

Oleh karena itu kontribusi dari pihak pemerintah sebagai regulator yang paling diharapkan saat ini dalam pengembangan industri perbankan syariah adalah :

Pertama, mengeluarkan UU khusus yang mengatur tentang perbankan syariah, sehingga dalam kegiatan operasionalnya bank syariah dapat bergerak dengan optimal, serta mampu menarik investor asing untuk ikut serta mengembangkan bank syariah karena ada kejelasan hukum dan perundang-undangan yang mengaturnya.

Kedua, menerbitkan Undang-undang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dengan terbitnya UU SBSN maka penerintah dapat menarik dana yang melimpah dari investor timur tengah yang sedang menikmati untung besar akibat lonjakan harga minyak dunia, namun yang lebih penting dengan adanya SBSN, pemerintah dapat menerbitkan sukuk negara yang menjadi produk investasi alternatif bagi bank syariah dalam menyalurkan DPK nasabah dan menjadi media pengelolaan likuiditas, dimana bank syariah dapat menginvestasikan dana seoptimal mungkin, tetapi juga dapat dicairkan sewaktu-waktu bila bank syariah membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Dengan adanya sukuk negara diharapkan bank syariah dapat menarik DPK dengan jumlah yang besar tanpa ada kesulitan untuk menyalurkan nya ke sektor yang produktif .

Ketiga, menghapus pajak ganda atas transaksi keuangan bank syariah, dalam transaksi pembiayaan bank syariah (murabahah) dikenai pajak ganda, sehingga produk ini menjadi kurang kompetitif dan dapat menjadikan ekonomi biaya tinggi karena dapat bersifat inflatoar, sehingga dengan dihapuskan nya pajak ganda dalam transaksi ini diharapkan produk pembiayaan ini ini lebih diminati oleh nasabah.

Keempat, meningkatkan simpanan dana pemerintah di bank syariah, dengan adanya simpanan dana dari pemerintah, menyebabkan struktur DPK bank syariah menjadi kuat sehingga bank syariah dapat mengelola dana yang murah dan mampu mengambil pilihan investasi yang beragam yang mampu memberikan tingkat keuntungan yang di harapkan sehingga mampu memberikan imbal hasil yang kompetitif kepada nasabah. Contoh riil dari upaya ini dapat dilakukan melalui institusi Departemen Agama (Depag) yang mengeluarkan kebijakan pengelolaan dana haji oleh industri perbankan syariah.

Kelima, melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang produk-produk perbankan syariah. Hal ini sudah terlihat dengan adanya pencantuman logo IB (Islamic Banking) di situs maupun publikasi Bank Indonesia ataupun program “AYO KE BANK”.

Keenam, mengeluarkan serangkaian kebijakan yang mendung perkembangan industri keuangan syairah, di antaranya dapat di lakukan melalui pelatihan SDM atau kegiatan lain yang dapat meningkatkan kualitas SDM industri perbankan syariah, keringanan biaya dalam pembukaan office channeling untuk meningkatkan kualitas dan akses pelayanan nasabah maupun meningkatkan kinerja industri perbankan syariah

Ketujuh, menaikkan bagi hasil instrumen uang bank syariah, yaitu SWBI minimal mendekati dengan perolehan bunga SBI bank konvensional, sehingga bank syariah dapat menempatkan dananya untuk sementara di SWBI sebelum diinvestasikan ke sektor produktif. Menurut Riawan Amin (2007) dengan dinaikkannya bagi hasil SWBI yang mendekati SBI bank konvensional dapat tercipta iklim persaingan yang seimbang diperbankan nasional.

Namun dalam penyimpanan dana bank syariah di SWBI sebaiknya dibatasi baik jumlah maupun batas waktunya, karena dengan naiknya bagi hasil SWBI mendekati instrumen SBI pada bank konvensional, dikhawatirkan perilaku bankir syariah akan menjadi sama dengan bank konvensional, yaitu terkesan menghindari risiko sehingga menempatkan dana DPK dalam jumlah besar ke instrumen SWBI yang akhirnya peran perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi dalam pembangunan masyarakat yang berkeadilan tidak berjalan dengan optimal.

Peran Ulama

Ulama mempunyai kedudukan yang sangat vital dikalangan masyarakat, terutama masyarakat religius. Ulama ditempatkan sebagai penerus para nabi sebagai pembawa risalah kebenaran, sehingga keteladanannya sangat diharapkan dalam pengembangan bank syariah kedepan. Peran ulama bukan hanya pada aspek ibadah mahdhah saja, seperti yang terlihat pada materi bahasan dakwah para ustadz di masjid melalui khutbah jum’at, majelis ta’lim yaitu mengenai aspek ibadah saja, tetapi juga mencakup berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya untuk kesejahteraan hidup ummat manusia. Menurut (Agustianto, 2007) ulama mempunyai peran yang sangat penting dalam memasyarakatkan perbankan syariah di kalangan masyarakat, karena ulama mempunyai figur penggerak, motivator dan dinamisator masyarakat menuju perubahan yang lebih baik melalui ucapan dan perilaku ulama yang dapat dijadikan teladan dan panutan oleh masyarakat. Sehingga nanti diharapkan dalam melakukan kegiatan dakwahnya, cakupan bahasan mengenai aspek muamalah yaitu mengenai perbankan syariah maupun lembaga keuangan syariah lainnya hendaknya disampaikan ke kalangan masyarakat.

Selain itu, penggunaan masjid sebagai sarana sosialisasi, edukasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang produk-produk lembaga keuangan syariah sangat menentukan keberhasilan dalam pengembangan bank syariah

Peran Bank Syariah

Upaya yang dilakukan bank syariah merupakan faktor yang terpenting dan paling utama bagi pengembangan bank syariah ke depan untuk memberdayakan perekonomian ummat, karena bank syariah sendiri yang menjadi subjek dan motor penggerak dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan diharapkan mendukung perkembangan bank syariah itu sendiri. Namun saat ini perbankan syariah mengalami masalah-masalah yang cukup kompleks dalam upaya pembangunan ekonomi masyarakat. Sehingga dalam upaya pengembangan ke depan, bank syariah harus mensinkronkan fungsi dan tujuan bank syariah, artinya dalam pengembangan ke depan bank syariah harus menyesuaikan sesuai fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang ikut berperan serta dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, dengan tetap memperhatikan tujuan bank syariah tersebut yaitu meningkatkan pertumbuhan market share baik deposit fund maupun financing fund untuk meningkatkan peran perbankan syariah dalam pembangunan ekonomi masyarakat yang berkeadilan.

Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh bank syariah untuk meningkatkan peran dan fungsinya dalam memberdayakan ummat adalah sebagai berikut :

Pertama, Meningkatkan kualitas SDI bank syairah, peningkatan SDI bank syariah sangat penting karena berkaitan erat dengan kualitas produk-produk yang dikeluarkan oleh bank syariah. Menurut (Ramzi Zuhdi, 2007), keterbatasan SDI yang andal pada bank syariah menyebabkan bank syariah terkesan mengerem laju pertumbuhan DPK bank syariah. Hal ini terjadi karena SDI di perbankan syariah masih terfokus pada sektor jasa dan perdagangan sehingga sektor-sektor lain yang lebih produktif seperti industri pertambangan dan pembangkit tenaga listrik belum bisa dikelola dengan optimal.

Kedua, Inovasi produk-produk yang sesuai syariah, kebutuhan inovasi terhadap produk syariah merupakan suatu kebutuhan yang mendesak karena untuk meningkatkan market share dan daya saing bank syariah secara berkelanjutan dibutuhkan inovasi produk untuk menghasilkan produk baru yang menawarkan kemudahan bertransaksi dan mampu memenuhi kebutuhan nasabah yang semakin kompleks terhadap suatu produk syariah. Menurut (Agustianto, 2007) Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Langkah yang mudah untuk digunakan saat ini adalah dengan mengadopsi produk-produk perbankan syariah diluar negeri yang sudah maju perkembangan bank syariahnya dan melakukan rekayasa finansial, misalnya menerbitkan produk tabungan dengan berbagai macam fasilitas transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah untuk diterapkan di Indonesia.

Ketiga, Kepatuhan terhadap prinsip syariah, kepatuhan terhadap prinsip syairah merupakan syarat yang sangat penting untuk meningkatkan image bank syariah terhadap nasabah, karena dengan adanya kepatuhan terhadap prinsip syariah bank syariah mampu menghasilkan produk dan sistem operasional yang sesuai dengan prinsip syariah. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dapat menjadi ciri khas yang melekat dan membedakannya dengan bank konvensional, contohnya dalam pembiayaan profit and loss sharing yang seharusnya tanpa adanya jaminan (collateral), dengan prinsip trust financing pembiayaan bagi hasil dapat menjadi produk inti bank syariah untuk menarik nasabah, sehingga dengan produk ini diharapkan adanya anggapan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional dapat dihilangkan karena dapat menghambat pertumbuhan bank syariah itu sendiri. Kepatuhan terhadap prinsip syariah dapat ditingkatkan melalui optimalisasi peran DPS di bank syariah, sehingga produk dan operasional industri perbankan syariah tidak keluar dari koridor syariah.

Keempat, Optimalisasi pembiayaan profit and loss sharing (musyarakah dan mudharabah). Pembiayaan bagi hasil merupakan produk inti bank syariah yang membedakannya dengan sistem fixed-rate return dalam sistem bunga bank konvensional dan optimalnya pembiayaan profit and loss sharing sangat menentukan kualitas pembiayaan bank syariah itu sendiri, selain itu pembiayaan bagi hasil lebih mencerminkan prinsip keadilan karena terdapat prinsip saling berbagi hasil dan risiko antara kedua belah pihak terhadap usaha yang dibiayai. Oleh karena itu bank syariah mempunyai peluang yang sangat besar dalam membangun perekonomian ummat yang berkeadilan melalui optimalisasi pembiayaan bagi hasil karena rasio dana pihak ketiga yang disalurkan ke nasabah (FDR) bank syariah mencapai 105,70 persen, lebih tinggi daripada bank konvensional yang rata-rata sebesar 60 persen. Selain itu pambiayaan bagi hasil berpotensi menghasilkan return yang lebih tinggi daripada pambiayaan non bagi hasil apabila dijalankan dengan memperhatikan prinsip prudential banking dengan mengantisipasi risiko yang akan muncul terhadap jenis usaha yang akan dibiayai.

Kelima, Meningkatkan kualitas pelayanan dan jasa perbankan syariah, untuk meningkatkan daya saing perbankan syariah maka peningkatan kualitas pelayanan dan jasa merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Hal ini terjadi karena pertumbuhan jumlah nasabah bank syariah yang kompleks. Nasabah tidak hanya membutuhkan bank sebagai tempat transaksi keuangan yang sesuai syariah, tetapi juga membutuhkan suatu produk yang memberikan jasa pelayanan kebutuhan lain yang dapat memberikan fasilitas dan kemudahan kepada nasabah. Alternatif ini dapat di tempuh dengan melakukan kerjasama dengan bank maupun lembaga lain dalam hal produk, layanan, dan jaringan untuk memenuhi kebutuhan nasabah.

Keenam, meningkatkan akses pelayanan dan sistem teknologi informasi bank syariah. Peningkatan teknologi informasi dan akses pelayanan bertujuan untuk menciptakan kepuasan pelanggan melalui penciptaan produk baru dan kualitas pelayanan. Menurut Ani Sulasiah (2007), kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Apabila pelayanan yang diterima nasabah sesuai dengan harapan pelanggan maka pelanggan akan merasa puas, sebaliknya apabila pelayanan yang diberikan kepada nasabah tidak sesuai dengan harapan pelanggan maka pelanggan akan merasa tidak puas.

Kepuasan pelanggan sangat erat kaitannya dengan service excellence, yaitu suatu bentuk pelayanan dimana kualitasnya lebih baik dari yang dijanjikan, lebih baik dari yang diperkirakan pelanggan, dan rata-rata yang lebih baik daripada kualitas layanan perusahaan pesaing. Ada beberapa unsur pokok dalam service excellence dalam Fandy Tjiptono (2002) dalam Ani Sulaisiah (2007), yaitu antara lain;

Kecepatan Pelayanan. Pelayanan uang cepat dan akurat dapat tercapai melalui ketersedian teknologi dan sarana yang memadai serta ketersediaan tenaga yang terampil dalam system pengoperasianya.

Kenyamanan dalam pelayanan. Kenyamanan dalam pelayanan bagi perusahaan jasa adalah merupakan bagian dari produk yang ditawarkan oleh karena itu, tingkat kenyamanan dalam pelayanan akan menentukan tingkat kepuasan pelanggan.

Keramahan pelayanan. Keramahan dalam pelayanan kadang dapat mentralisir kekurangan – kekurangan yang lain. Keramahan dalam pelayanan hendaklah diberikan secara ikhlas dan efektif.

Kebenaran Pelayanan. Kebenaran di dalam pelayanan dipengaruhi oleh ketelitian petugas, tersedianya sarana pendukung, ada tidaknya kerja sama yang baik antar unit atau antar sesama karyawan.

Langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatn kualitas dan akses pelayanan adalah dengan melakukan Office Channeling di cabang bank-bank konvensional untuk membuka layanan syariah. Penerapan kebijakan Office Channeling ini bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap jasa dan layanan keuangan syariah serta dapat menghemat biaya untuk penyediaan teknologi informasi dengan pemanfaatan fasilitas dan teknologi informasi pada bank konvensional. Selain itu upaya peningkatan kualitas dan akses pelayanan dapat dilakukan adalah menjalin aliansi dengan mitra strategis seperti bank syariah, lembaga keuangan syariah lain, maupun instansi-instansi lain. Kerjasama aliansi diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan syariah untuk melakukan simpanan ataupun penarikan tunai tanpa harus datang langsung ke bank yang dituju.

Ketujuh, Meningkatkan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat tentang manfaat produk-produk bank syariah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat umum, sehingga peningkatan akses layanan syariah dipengaruhi oleh sisi permintaan masyarakat dengan mau menggunakan jasa layanan bank syariah. Peningkatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat harus secara berkelanjutan yang bertujuan untuk:

Memperluas cakupan wilayah edukasi melalui kerjasama dengan media massa baik media cetak maupun elektronik untuk meningkatkan awareness masyarakat terhadap kelembagaan, produk dan jasa layanan industri perbankan syariah.

Memperluas dan mengintensifkan program edukasi masyarakat, melalui integrasi program edukasi dengan materi kurikulum sekolah dengan memberikan materi tentang system keuangan, perbankan maupun ekonomi yang sesuai prinsip syariah di lingkungan sekolah baik.

Meningkatkan cakupan program, sasaran dan wilayah edukasi melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait baik formal maupun non formal untuk meningkatkan permintaan masyarakat terhadap jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.

Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap fungsi, peranan dan kelembagaan perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional, sehingga tercipta brand awareness di benak nasabah.

Kedelapan, Fokus terhadap potensi tipe nasabah yang rasionalis . Sebuah keadaan yang memprihatinkan dimana lebih dari 80 persen penduduk di indonesia adalah muslim, tapi tidak memberikan manfaat yang berarti bagi perkembangan bank syariah itu sendiri karena market share nya baru sekitar 1,66 persen. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia adalah tipe nasabah rasionalis yang mengharapkan nilai tambah dan kepuasan pelanggan yang lebih tinggi, sehingga diharapkan dalam melakukan pendekatan ke masyarakat bank syariah dapat menawarkan nilai tambah yang lebih tinggi dari bank konvensional. Karena kondisi saat ini sangat memungkinkan terjadinya migrasi nasabah bertipe rasionalis menjadi nasabah bank syariah, karena pada saat ini terjadi kecenderungan bahwa tingkat SBI berada pada tingkat yang rendah yaitu 8,25 persen dan dimungkinkan lagi dapat turun pada level yang lebih rendah, menyebabkan nasabah yang bertipe rasionalis pindah menjadi nasabah bank syariah yang berpotensi mampu memberikan imbal bagi hasil yang lebih tinggi daripada bank konvensional.

Kesembilan, lebih berpihak pada pengembangan Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM). Upaya pemberdayaan ummat yang berkeadilan dapat tercapai apabila bank syariah lebih berpihak kepada UMKM, karena UMKM mempunyai potensi yang sangat besar yaitu mampu menyerap lebih dari 98 persen tenaga kerja dan jumlahnya mencapai lebih dari 90 persen sektor usaha di Indonesia. Sehingga memungkinkan terjadinya pemerataan pendapatan dan dapat mengurangi pengangguran secara signifikan.

Kesepuluh, menawarkan imbal bagi hasil yang kompetitif, langkah ini digunakan untuk menarik nasabah yang bertipe rasionalis yang menginginkan bagi hasil yang lebih tinggi dari pada return tingkat suku bunga pada bank konvensional. Strategi ini dapat dilakukan dengan efisiensi dan pengelolaan DPK yang dilakukan oleh menajer investasi yang andal dengan menggunakan prinsip manajemen risiko pada pembiayaan kreditnya, sehingga sektor usaha yang dibiayai oleh bank syariah dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang tinggi yang pada akhirnya imbal bagi hasil kepada nasabah dapat menjadi kompetitif.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Peningkatan daya saing bank syariah tidak hanya dilihat dari jumlah total asset saja, tetapi lebih dilihat dari kemampuan untuk memberikan manfaat dan nilai tambah kepada nasabah serta mampu memberdayakan perekonomian ummat secara umum. Sehingga upaya pengembangan bank syariah diharapkan dapat menyelaraskan pertumbuhan market share dan permodalan yang kuat dengan tetap memberikan dampak yang positif terhadap perekonomian ummat yang sesuai prinsip syariah melalui pembiayaan yang berkualitas yang mampu memberikan manfaat kepada ummat.

Upaya pengembangan kinerja dan daya saing industri perbankan syariah membutuhkan peran serta dan komitmen yang kuat dari stake holder perbankan syariah, yaitu pemerintah, ulama, perbankan syariah maupun masyarakat umum. Sehingga perlu di lakukan sinergisitas peran masing-masing pemegang kepentingan untuk saling bekerja sama mengembangkan industri perbankan syariah.

SARAN

Dalam upaya pengembangan industri perbankan syariah di perlukan kerjasama dengan pihak-pihak yang pemegang kepentingan dalam perkembangan industri perbankan syariah di masa yang akan datang. Para stake holder perbankan syariah mempunyai peran dan fungsi yng berbeda-beda sesuai dengan karakteristik tugas dan wewenangnya masing-masing, yang dapat di integrasikan secara bersama-sama untuk kemajuan perkembangan industri perbankan syariah.

Bentuk harmonisasi peran dan fungsi stake holder perbankan syariah dapat di implementasikan melalui komunikasi yang efektif dan dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan masing-masing pihak yang saling mendukung pihak lain untuk pengembangan industri perbankan syariah di masa yang akan datang.

REFERENSI

Muhammad. 2005. Permasalahan Agency Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: UII Yogyakarta

Bank Indonesia. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Bulan September 2007. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah: Bank Indonesia.

Beik, Irfan Syauqi. 2007. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. Jakarta: pesantrenvirtual.com.

Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007

Agustianto. 2007. Peranan Ulama dalam Sosialisasi Perbankan Syariah. Jakarta: pesantrenvirtual.com

Amin, Riawan. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007

Republika.co.id. 2007. Situs resmi harian umum republika.

Agustianto. 2003. Sepuluh Pilar Pengembangan Bank Syariah. Jakarta: Pelita.or.id. Harian Umum Pelita.

Fadjriah, Siti Ch. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM. http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A34&cdate=15-APR-2005&inw_id=356756.

Kiryanto, Ryan. 2005. Sistem syariah lebih cocok untuk pembiayaan UKM, dalam www.bisnis.com.

Zuhdi, Ramzi. 2007. Berebut Triliunan Rupiah di Syariah. Jakarta: Tempo hal 88, edisi 21 Oktober 2007.

Suliasih, Ani. 2007. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Tabungan Pada Bank Muamalat Indonesia Kediri. Skripsi. Malang : Universitas Brawijaya Malang.

S.E., Hilmy. 2005. Risiko Bank Syariah lebih Kecil. Jakarta : Harian umum Republika edisi 06 Juni 2005.

http://www.menkokesra.go.id/content/view/3391/1/.
http://oegloer.multiply.com/journal
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5

No comments:

Post a Comment