Semua orang tidak ingin terjatuh ketika sedang berjalan, menaiki kendaraan. Semuanya ingin selamat. Untuk menghindari kecelakaan lalu lintas, diperlukan sikap taat aturan (rambu-rambu lalu lintas). Pejalan kaki berjalan di sebelah kiri. Di tengah-tengah ada polisi yang mengatur lalu lintas. Yang datang lebih dahulu di dahulukan yang menyusul di akhirkan.
Agar tidak terjadi perselisihan. Diadakan pula peraturan tempat kembali ketika terjadi musibah yang tidak diinginkan.
Demikian pula dalam perjalanan kehidupan ini, tidak ada yang ingin celaka, rusak binasa dan sengsara. Semuanya ingin sehat lahir dan batin, selamat dalam mencapai tujuan. Agar perjalanan yang ditapaki lurus dan selamat, perlu dibuat sebuah peraturan yang mengikat setiap individu. Tempat kembali apabila ditemukan perselisihan. Itulah syariat (hukum) yang diturunkan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala kepada umat manusia dengan perantaraan Nabi-Nya. Hukum yang bersumber dari-Nya adil dan bijaksana. Tidak memihak. Tidak seperti hukum buatan manusia. Ia bagaikan hukum pisau. Tumpul untuk kalangan atas, tajam untuk level grass root. Melukai rasa keadilan kaum dhu’afa dan mustadhafin (tertindas).
Hajat manusia kepada syariat Islam lebih besar melebihi kebutuhannya kepada tabib. Benar, sakit dan sehat, sedih dan gembira tidak bisa lepas dari kehidupan. Tetapi kita dituntut untuk menjaga kesehatan. Jika kita tidak memelihara kesehatan pisik, akan mudah terjangkiti penyakit. Al Wiqayatu khairun minal ‘ilaj (menjaga lebih baik daripada mengobati). Sedia payung sebelum hujan, kata pepatah bahasa Indonesia. Orang kampong pergi ke dukun. Orang kota pergi ke dokter. Tetapi ada sebagian orang desa lebih sehat daripada orang kota, karena mereka lebih banyak memikul pekerjaan yang berat, keringatnya keluar, badannya segar, tulang belulangnya kuat. Yang lebih kuat lagi adalah orang gunung. Setiap hari naik turun gunung ketika pergi ke ladang.
Manusia lebih memerlukan syariat Allah Subhanhu Wa Ta'ala daripada tabib. Tabib hanya bisa memberikan resep memelihara kesehatan pisik, sedangkan syariat untuk menjaga kesehatan jiwa, keturunan, akal, harta, agama, kehormatan diri (HAM). Syariat bukan hasil produk manusia, setelah mengalami uji coba di lapangan. Tetapi, ia datang dari wahyu Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang suci, tidak terkontaminasi oleh kerusakan dan kebatilan.
Ketika seseorang tidak makan dan tidak minum, tubuhnya lemah dan nafasnya berhenti. Tetapi, jika orang tidak berpegang teguh dengan syariat akal dan budinya rusak. Moralitasnya akan hancur. Sekalipun dia bisa hidup, tetapi mengalami krisis makna. Tidak berarti (bermakna) di tengah kehadirannya di dunia ini.
Badan sakit adalah musibah. Perpisahan badan dan nyawa manusia adalah kematian. Kematian bukan merupakan bahaya besar, karena banyak orang yang sakit parah menginginkan kematian. Tetapi, jika kehidupan ini tidak menjunjung tinggi syariat, sekalipun badannya sehat, apalah artinya hidup jika tidak menemukan makna/arti hidup itu sendiri. Justru, banyak orang yang mati, tetapi namanya semakin hidup disebut-sebut oleh generasi di belakangnya. Sedangkan banyak orang yang hidup, menggenggam kekuasaan dan harta, tetapi banyak orang yang menginginkan kematiannya. Bahkan menuntutnya lengser sebelum masa baktinya (khidmahnya) selesai.
Oleh karena itu menghayati syariat Islam (tafaqquh fiddin) harus lebih didahulukan daripada mengetahui ilmu-ilmu yang lain. Karena menyangkut hubungan al-Makhluk dengan al-Khalik. Interaksi hamba dengan Tuhannya. Dan akan menjamin kedamaian, keselamatan kita di dunia yang fana ini menuju kehidupan yang kekal dan abadi. Jangan terbalik, mendahulukan mempelajari ilmu kehidupan dan terlambat menguasai tsaqafah islamiyah. Sehingga, muncullah fenomena manusia yang cerdas otaknya tetapi hatinya kurang peka, perasaannya kurang tajam. Kecerdasan pikiran tidak berbanding lurus dengan kecerdasan spiritual.
Menghayati Rukun Islam
Syariat yang diturunkan kepada para anbiya dan para rasul, tujuannya sama. Yaitu memperkuat komunikasi antara Al-Khalik dan Al-Makhluk (laa ilaha illallah). Antara Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan Abdullah. Karena, dari-Nya kita hadir, dengan izin dan restu-Nya kita menikmati berbagai fasilitas kehidupan, kepada-Nya kita akan kembali. Sekalipun syariat para nabi berlainan, sesuai dengan zamannya. Tetapi berlainan pada aspek kulitnya. Tujuannya satu, untuk menjaga kesucian hati manusia. Tidak ada satu pun perintah agama yang tidak membersihkan jiwa manusia. Ketika terjadi perbedaan yang tajam antara berbagai agama, karena akal dan nafsu manusia ikut bercampur di dalamnnya. Sehingga terjadi perubahan dan penggantian. Tidak orisinil (murni) dan otentik lagi.
Marilah kita belajar untuk tunduk dan patuh kepada syariat-Nya. Dengan tekun menjalankan ibadah. Ibadah adalah cara Allah Subhanhu Wa Ta'ala untuk mengarahkan dan memandu jalan kehidupan kita supaya tidak terjatuh (secara fatal), tersesat dan tergelinci.
Pertama, Kita diperintah untuk menegakkan shalat. Mematuhi adab lahir dan kesopanan batin. Sesungguhnya shalat yang benar adalah yang dihayati bacaannya (al-Hadits). Ash-Shalatu ma ro’aita. Shalat adalah kaifiat (cara yang efektif) untuk taqarrub, tawajjuh, tabattul, tajarrud kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Di dalamnya tersimpan cara jitu untuk membesarkan-Nya dengan segenap anggota tubuh. Diikuti oleh ucapan lidah, gerakan tangan dan kaki, ketundukan kepala dan seluruh panca indra. Semuanya bekerja sama menghadapkan persembahan kepada Dzat Yang Maha Besar.
Kita mulai mengucapkan takbir. Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang Maha Besar. Segala pekerjaan, gerak-gerik, pasang surut, untung dan rugi, naik dan turun, kaya dan miskin, kekuasaan atau kehinaan, semuanya adalah barang yang kecil ketika dihadapkan kebesaran-Nya.
Perbuatan lahir diikuti oleh gerakan batin. Semua anggota tubuh mengucapkan puja dan puji atas berbagai karunia yang diberikan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala kepada kita. Lidah tidak berhenti menyanjung-Nya, bertasbih dan bertakbir. Kita berdiri di hadapan-Nya dengan hati yang tunduk, menyadari dengan insaf bahwa kita hanyalah seorang hamba yang hina dan kecil tidak berarti apa-apa di hadapan kekuasaan-Nya yang luas dan tidak berujung.
Kita bersujud ke tanah dengan kening kita, bagian tubuh yang paling mulia dan kita hormati. Tetapi wajah itu kita tundukkan ke bawah. Untuk membuktikan kepada-Nya bahwa kening hanya kami izinkan untuk patuh kepada-Mu. Ya Rabb. Itulah seorang muslim, yang tidak pernah menundukkan kepala di hadapan siapapun, tetapi hanya tunduk dengan ridha kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
Kita berdiri, dan memohon kepada-Nya, dan kita rukuk tertunduk, di dalamnya kita memuji Dia. Kita bersujud, kita mengharapkan belas kasih-Nya. Kita duduk, kita memohon rahmat dan maghfirah dalam kehidupan kita. Demikianlah kita melakukan shalat sampai selesai.
Sebelum shalat selesai, kita mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan kepada kerabatnya, dan kepada Nabi Ibrahim dan kerabatnya. Karena merekalah yang telah menunjukkan dan merintis jalan ini. Lalu kita menoleh ke kanan dan ke kiri dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” kepada semua makhluk-Nya di sebelah kita.
Artinya, setelah kita kuatkan tali perhubungan antara seorang hamba dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala Yang Maha Besar, kita bawa perasaan demikian ke tengah-tengah pergaulan hidup. Kita sebarkan perdamaian, ketenteraman dan rahmat di alam semesta.
Sebelum kita pergi, kita duduk sejenak, kita susun jari jemari kita, kita hamparkan sayap pengharapan dengan melantunkan bermacam-macam doa, semoga kiranya dikabulkan oleh-Nya. Setelah itu barulah kita berdiri dari tempat duduk, dengan hati yang suci, raut muka yang jernih, sudah sekian lamanya kita telah menghadap ke hadirat Rabbul ‘Izzati.
Adakah suatu ibadah yang lebih bagus dari gerakan shalat? Adakah jalan untuk mencapai kesempurnaan dan kemuliaan diri melebihi shalat? Adakah suatu tanda tunduk yang demikian kuat pengaruhnya melebihi dari shalat?
Ada sebagian orang yang berpandangan, mungkinkah kita mencapai kesucian dan memuji Allah Subhanhu Wa Ta'ala hanya dengan sebatas gerakan badan seperti itu ?. Betul, jika gerakan badan tidak diikuti gerakan batin secara simultan dan stimulan. Kalau kita hanya mensyukuri nikmat Allah Subhanhu Wa Ta'ala hanya dengan hati, tidak diikuti dengan lisan dan perbuatan, maka syukur kita tidak utuh. Sedangkan semua instrumen diri kita merasakan nikmat tersebut. Jadi bersyukur itu harus all out. Dengan hati, lisan dan amal shalih yang membuat pemberinya senang.
Kedua, setelah menegakkan shalat, kita diperintahkan pula mengeluarkan zakat, jika harta kekayaan kita mencapai satu nishab. Yaitu dikeluarkan 2/5% dari jumlah harta. Dengan aturan itu semakin jelas bahwa syariat tidak hanya menekankan dalam memperbaiki hubungan dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala, tetapi juga memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Jadi, Islam memperkokoh hubungan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan memperkuat interaksi sesama manusia (hablul minallah wa hablun minannas). Indikator seseorang itu dicintai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah dicintai sesama manusia.
Maka disyariatkan zakat. Zakat artinya suci. Mensucikan diri sendiri dari karat kekikiran. Membersihkan diri sendiri dari perasaan menyisihkan diri dari sesama manusia. Dan membersihkan harta itu sendiri agar tidak tercampur antara milik kita dan hak orang lain. Yaitu harta yang sepatutnya diterima yang berhak (mustahiq).
Tegasnya, membersihkan masyarakat dari perasaan berkapitalis. Zakat adalah sebuah pendidikan ilahi agar menusia tidak mementingkan diri sendiri, tetapi bersikap peduli dan empati kepada orang lain. Sehingga orang kaya menjadi pelindung si miskin. Tidak akan masuk surga seorang yang kenyang, sedangkan tetangganya dibiarkan kelaparan (al-Hadits). Sesungguhnya orang kafir takut terhadap apa yang diperbuat oleh mukmin yang kaya. Persoalan social akan mudah dipecahkan jika rukun Islam yang berupa zakat ini dilaksanakan.
Ketiga, kemudian diturunkan pula syariat puasa pada bulan Ramadhan. Alangkah indah dan mulia ibadah puasa. Karena mengajarkan manusia mengelola hawa nafsu. Ia melepaskan manusia dari ikatan kebinatangan. Bukankah ahli ilmu pengetahuan, bahwa manusia itu serupa dengan binatang. Yang membedakan hanya akal pikirannya. Syariat puasa membangkitkan kesadaran manusia untuk melepaskan nafsu hewani. Bukankah manusia yang tidak bisa memimpin syahwat perut dan syahwat farjinya sama dengan binatang.
Bila syahwat sudah bisa dikendalikan, tertutuplah jalan-jalan yang semula terbuka digunakan oleh syetan untuk menjerumuskan manusia. Orang yang berpuasa menghentikan makan & minum yang halal, berhubungan dengan istri di siang hari untuk mematuhi perintah Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Dari sini, terdapat pelajaran berkorban. Sekalipun lapar dan nafsu biologis bergejolak, asal Tuhan yang memerintahkan, akan bersikap sami’na wa ‘atha’na. Kita tahan dengan sakitnya lapar dan dahaga, tetapi tidak tahan dengan panasnya api neraka. Maka, akan berangsur-angsur hati merasa ringan untuk menjalankan perintah. Dan siap menunggu intruksi lanjutan yang lebih berat, jika waktunya tiba.
Adakah ibadah yang lebih efektif daripada puasa ?. Bukankah puasa itu membedakan antara manusia biasa dan manusia sejati ?. Bukankah ketika apabila perut sedang lapar, jiwa menjadi bersih, hati menjadi lemah lembut ?. Kecintaan dunia yang memberikan pengaruh yang keras di dalam hati manusia menjadi lunak dengan berpuasa.
Berpuasa bukan menyiksa diri, tetapi mengangkatnya menuju kemuliaan. Tiada perintah ibadah kecuali untuk kemaslahatan manusia. Dengan jalan menahan nafsu dalam berpuasa akan terbukalah kemenangan dalam perjuangan menegakkan kebenaran kelak.
Keempat, syariat haji juga mengandung hikmah yang luar biasa. Tidak merasakan efeknya dalam kehidupan kecuali orang yang bersih. Mustahil orang mengumpulkan harta yang halal, dan siap menanggung resiko perjalanan jauh ke Makkah, jika tidak memiliki spirit berkorban untuk Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Haji adalah wujud pengorbanan kongkrit secara lahir dan batin. Biaya untuk pergi haji akan diganti oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala (pasti kembali kepada pemiliknya), meminjam ungkapan orang yang telah melaksanakan rukun Islam yang kelima ini. Semakin banyak harta kekayaan yang dikeluarkan untuk Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan dilipatgandakan dan menambah kebaikan dirinya.
Masjidil Haram adalah pusat dunia Islam. Disanalah terdapat pusaka-pusaka tua, jejak perjuangan yang telah ditempuh oleh Nabi Ibrahim, yang ridha menyembelih anaknya sendiri karena kecintaannya kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Jalan itu juga telah ditempuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam menanggung berbagai kesulitan di negeri itu ketika membawa cahaya iman di tengah-tengah kegelapan jahiliyah. Bukan gelap mata tetapi kegelapan hati. Di sana terdapat berbagai syiar Allah Subhanhu Wa Ta'ala, berbagai ibrah dari kebesaran Allah Subhanhu Wa Ta'ala, untuk memperbaharui iman.
Wajar, jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa yang pergi mengerjakan haji dengan hati yang tulus, dosanya akan diampuni, sehingga bersih bagaikan bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya.
Bukankah apabila telah terikat tali kecintaan kita dengan seorang sahabat, maka ia akan merasa terhormat jika ia mengajak mampir (singgah) di dalam rumahnya, kita pun merasa bahagia pula bisa menyambut seruan itu ?. Sekarang, bagaimanakah perasaan kita jika yang kita cintai Tuhan kita sendiri. Dan Dia pula mencintai kita. Sebab, sudah sekian lama kita telah menjalin keakraban. Sejak mengucapkan dan melaksanakan tuntutan syahadat tauhid, dan syahadat rasul, melaksanakan ibadah shalat, zakat, puasa.
Indikator (bukti) keakraban hubungan dengan-Nya kita bersedia mampir ke rumah-Nya, baitullah. Kita dipersilahkan dengan hormat sebagai tamu-Nya (dhoifur rahman). Ketika memiliki kesanggupan. Di sana banyak barang yang mulia, sebagai peringatan, seperti Ka’bah itu sendiri disebut Baitullah (rumah Allah Subhanhu Wa Ta'ala), Maqam Ibrahim, Hajar Ismail, sumur Zam-Zam, jumratul ‘aqabah yang tiga, bukit Arafah dll. Diminta-Nya kita berkumpul bersama-sama ke Arafah, sehingga dapat disaksikan suatu pemandangan yang indah, betapa lautan manusia membuktikan keteguhan tali percintaan antara Allah Subhanhu Wa Ta'ala dengan mereka.
Jika demikian dalam rahasia yang dikandung dalam manasikul haji, maka ucapan yang kita lantunkan adalah : Labbaika, Allahumma labbaik ! La syarika laka labbaik ! Ini saya telah datang, aduhai kekasihku, inilah saya Tuhanku, aku tidak mempersekutukan kecintaanku kepada-MU dengan yang lain. Inilah saya.
Sudah sepatutnya, jika ada hadits nabi yang menjelaskan bahwa malaikat berdiri di tiap-tiap persimpangan jalan menghitung dan mencatat nama-nama orang yang pergi menjalankan haji, dan akan dilaporkan kepada Tuhan dan diampuni dosanya.
Labbaik Allahumma labbaik, innal hamda wal mulka laka, la syarika laka !. Inilah hamba-MU ya Tuhanku, segenap pujian dan kekuasaan tetaplah pada-MU, tak bersekutu Engkau dengan yang lain.
Banyak rahasia yang terkandung di dalamnya. Kita diperintah menanggalkan pakaian yang biasa kita pakai. Menggunakan kain yang tidak berjahit. Baik yang kaya ataupun yang miskin berabur menjadi satu. Disuruh menyederhanakan semua perbedaan-perbedaan. Masing-masing menunjukkan bahwa semuanya adalah hamba-Nya yang sama-sama rindu mengharap pintu rahmat dan maghfirah-Nya.
Kita disuruh membuka kepala, tidak boleh bertopi dan bermahkota. Tunjukkan persahabatan yang sejati dan sadarilah kamu bisa hidup dan mati karena kekuasaan-Nya. Kita disuruh thawaf, melempar jumrah. Itulah ibadah yang ghoiru ma’qulil makna (tidak rasional). Ibadah yang hanya menyentuh hati nurani. Demi, si pendosa mengatakan bahwa cinta itu membuat matamu buta. Biarlah mataku buta, sejak mata lahiriyahku tidak melihat alam lagi, tetapi mata batinku terus makrifat kepada Tuhanku.
Kelima, rukun islam disempurnakan dengan syariat Jihad (perlindungan Islam) . Jihad adalah tiang ibadah. Jihad adalah bukti factual kecintaan hamba terhadap Al-Khalik. Tidak sedikit orang yang menjalin kecintaan tanpa berkorban. Betapa banyak orang yang senang menerima tetapi enggan memberi. Jihad adalah mengerahkan jiwa dan raga untuk membela agama Allah Subhanhu Wa Ta'ala dari serangan musuh-musuh-Nya. Hamba yang tercinta itu rela berkorban apa saja untuk yang dicintai-Nya. Sekiranya kematian yang diminta dan barang yang paling berharga dalam perjuangan itu, maka ia rela mati. Dan kalau boleh hidup kembali, ia akan hidup lagi agar dapat membuktikan cinta dengan kematian sekali lagi. Dia sudah melakukan transaksi jual beli dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِي
“Sesungguhnya Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah membeli dari orang-orang beriman akan diri dan harta kekayaan mereka ialah untuk mereka surge mereka berperang di jalan Allah sehingga mereka membunuh atau terbunuh.” (QS. At Taubah (9) : 111).
Jika sudah terbukti indicator (bukti) cinta sejati dengan bersedia berkorban apa saja terhadap yang dicintainya, maka kecintaannya harus utuh (tidak terbelah/bercabang). Agar tidak terjadi kecemburuan. Apakah hakikat jihad dalam Islam itu. Mengapa ia diwajibkan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala kepada orang beriman?
Pertanyaan tersebut bisa diketahui dengan suatu permisalan yang berikut.
Andaikata ada seorang yang mengaku sebagai sahabat (teman dekat) yang mencintai kita. Tetapi perbuatannya pada setiap kecelakaan yang menimpa kita, menjadi saksi tidak mencintai kita. Ia tidak peduli dengan manfaat dan madharat yang menimpa kita. Ia tidak mau mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan ketika terjadi musibah. Bahkan tidak mencegah orang-orang yang mencelakai kita. Bahkan berserikat dengan orang lain/musuh untuk memojokkan kita. Apakah pengakuan dia sebagai sahabat kita akui?
Sekali-kali tidak. Ia mengaku sebagai sahabat hanya dengan lidah, tidak dengan hati yang tulus. Sahabat sejati adalah yang mencintai kita dengan siap berkorban apa saja untuk kita. Menolong dan membela kita dari musuh yang akan mencelakai kita. Jika semua persyaratan pertemanan tersebut tidak ada, maka ia adalah duri dalam daging kita (musuh dalam selimut). Apa arti syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji yang ia lakukan ?.
Maka kiaskanlah perumpamaan diatas dengan pengakuan kita sebagai muslim dan mukmin. Ketika kita mengaku muslim, adalah memiliki kesiapan untuk berkorban. Jadi, makna jihad adalah bahwa di dalam dirimu terdapat fanatisme Islam, kecemburuan (ghirah) terhadap keimanan, cinta kepada agama, dan nasihat yang tulus untuk saudara-saudaramu muslim (jihad ‘aini). Termasuk bagian dari fanatisme adalah jihad fi sabilillah dengan pengertiannya yang khusus, yaitu peperangan yang dilakukan oleh kaum muslimin di hadapan para penjajah peradaban (jihad kifai). Tidak ada yang memicu peperangan tersebut, selain mencari keridhaan Tuhan mereka. Mereka benar-benar telah membersihkan diri dari setiap motivasi duniawi yang rendah (Al Maududi, Mabadiul Islam, hal 118-119).*
Shalih Hasyim, penulis kolomunis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar
No comments:
Post a Comment