Pengantar Ilmu Fiqh |
Mukadimah." Sudah menjadi tugas manusia untuk menjadi khalifah Allah di bumi. Ketika Allah mengamanahkan bumi ini, manusia ditugaskan oleh Allah untuk beribadah kepadaNya. Diantara bagian paling vital dalam ibadah itu adalah memakmurkan jagad raya demi kemaslahatan manusia. Agar fungsi kekhalifahan mereka terlaksana dengan baik dan benar, tentu saja manusia mesti menguasai ilmu yang akan mengatur semua prilaku mereka.
Realita menunjukkan bahwa semakin hari dunia kita semakin mencengangkan. Berbagai kemajuan teknologi selalu terjadi, baik di dunia medis, dunia informasi, dll.. Berbagai kemajuan ini di satu sisi merupakan rahmat bagi penghuni kolong langit, karena merupakan bentuk fasilitas yang membantu manusia untuk semakin mudah dan cepat dalam beraktifitas.
Bagi seorang muslim, tentu saja semua kemajuan itu tidak akan terlepas dari cara pandangnya dengan kaca mata agama. Akan timbul setumpuk pertanyaan di fikiran mereka, seperti; Apa bentuk teknologinya? Untuk apa gunanya? Siapa yang menemukan dan siapa yang boleh memanfaatkannya? Bagaimana menurut islam memanfaatkan teknologi yang baru ditemukan ini? Bagaimana cara memilikinya, dengan akad apa? Apa saja yang mesti dilakukan? Bagaimana cara pemanfaatannya yang benar? Kapan saja boleh memanfaatkannya? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Syariat islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan manusia dan seluruh ranah apapun yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada satupun permasalahan dalam dunia manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak ada satupun perbuatan manusia kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat. Karena hukum Allah berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang disampaikan oleh para ulama ushul fiqh. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji perbuatan manusia dari perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fiqh.
Setiap pengkaji sebuah ilmu -sebelum mendalaminya- mereka mesti mengetahui dasar-dasar sebuah ilmu. Agar ilmu yang akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian paripurna. Dasar-dasar sebuah ilmu ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi` `asyarah al `ilm. Karena seseorang yang tidak tahu apa yang sedang ditekuninya, akan berdampak terhadap kesia-siaan, yang tidak mendatangkan faidah dalam pencariannya. Sebagian ulama mengatakan
من حرم الأصول حرم الوصول
orang-orang yang tidak menguasai dasar-dasar sebuah ilmu, maka ia tidak akan sampai (kepada puncak pencapaian paripurna sebuah ilmu)
Mabadi` `asyarah al `ilm sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, seperti yang terdapat di dalam nazham berikut:
إن مبادِي كلِّ فنٍّ عشرةْ *** الحدُّ والموضوعُ ثم الثمرةْ
ونسبةٌ وفضلُهُ والواضعْ *** والاسمُ لاستمدادُ حكمُ الشارعْ
مسائلٌ والبعض ُبالبعضِ اكتفى *** ومن درى الجميعَ حازَ الشرفا
Dalam makalah pengenalan ilmu Fiqh ini, kita akan membahas tentang pengantar ilmu fiqh seperti yang dipaparkan oleh nazham di atas.
A. Definisi Fiqh
a. Secara etimologi
Secara etimology, fiqh berasal dari kalimat
1. Faqaha (فقَه), yang bermakna: paham secara mutlak, tanpa memandang kadar pemahaman yang dihasilkan.
2. Faqiha (فقِه), yang bermakna memahami maksud dari perkataan pembicara ketika terjadi komunikasi. Pengertian ini lebih khusus dibandingkan pengertian sebelumnya.
3. Faquha (فقُه), yang bermakna bahwa fiqh sudah menjadi karakter ilmiah dan kepakaran. Pengertian ini lebih khusus lagi dibandingkan pengertian sebelumnya.
b. Secara terminologi
Secara teriminologi Qadhi Baidhawi mendefinisikan fiqh :
العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من الادلة التفصيلية
Ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil terperinci.
Jikalau kita memandang kepada pengertian secara etimologi, maka istilah fiqh bersifat general terhadap ilmu aqidah, ilmu akhlaq dan ilmu fiqh. Namun fiqh ketika diartikan dengan definisi secara terminologi, maka fiqh sudah menjadi satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, berbeda dengan dua disiplin ilmu lainnya; akidah dan akhlaq.
Hubungan ilmu fiqh dengan ushul fiqh
Definisi Fiqh: Ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil terperinci.
Definisi Ushul Fiqh menurut Qadhi Baidhawi :
Mengetahui fiqh dalil–dalil secara global, cara berdalil dengan dalil-dalil yang bersifat global, serta mengetahui keadaan pengkaji dalil.
Setelah mengetahui definisi kedua ilmu maka kita ketahui bahwa kedua ilmu memilki perbedaan objek kajian. Ushul fiqh fokus terhadap dalil secara global dan Fiqh fokus terhadap pengkajian dalil secara terperinci. Dikaji lebih dalam, para ulama kemudian menyimpulkan bahwa antara kedua ilmu memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan, diantaranya :
1. Ilmu fiqh menjadi asas terbentuknya ilmu ushul fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, terpisah dari ilmu lainnya.
Semakin luasnya daerah penguasaan islam semakin kompleks juga permasalahan yang terjadi. Maka dibutuhkan perangkat kaidah untuk menafsirkan Al Quran dan sunnah dari sisi amaly, agar agama samawi ini bisa diamalkan sebagaimana mestinya dengan tafsiran dari orang-orang yang berkompeten. Dengan adanya tuntutan seperti ini, maka dengan sendirinya melahirkan ilmu Ushul Fiqh di dalam diri para ulama.
2. Fiqh dibangun di atas ilmu Ushul Fiqh, sebagai proses falsafi pemikiran untuk menghasilkan produk Fiqh.
Ketika seorang faqih membahas permasalahan fiqh, menulis kitab, mengajarkannya, dan berfatwa, maka ilmu Ushul Fiqh akan terlebih dahulu muncul di pikirannya. Di dalam pikirannya akan muncul bahwa ayah A bisa berhujjah dengannya, hadits B adalah mansukh, sahabat telah ijma` dalam masalah C. Dengan mengetahui hal-hal tersebut mereka mencoba mengumpulkan dalil, menganalisa dan menelurkan sebuah kesimpulan berupa hukum syariat.
3. Untuk mengetahui definisi ilmu Ushul Fiqh, maka mesti mengetahui definisi ilmu Fiqh, yang merupakan sebagai bagian dari kalimat murakkab ilmu Ushul Fiqh.
Sebagaimana dimaklumi bahwa Ushul Fiqh merupakan sebuah disiplin ilmu yang terdiri dari 2 kata; ushul dan fiqh. Maka tidak mungkin dipahami definisi Ushul Fiqh kecuali ketika dipahami masing-masing kata yang menjadi susunan dari nama ilmu Ushul Fiqh.
4. Ilmu Fiqh merupakan sumber (masdar) bagi ilmu Fiqh
Para ahli ushul sepakat bahwa sumber (istimdad) dari ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu Aqidah, Ilmu Arabiyyah dan Ilmu Furu` (Fiqh). Seorang faqih yang ingin menguasai fiqh dengan baik, ia tidak boleh mengabaikan penguasaan terhadap ilmu ushul fiqh, agar bangunan pemikirannya tetap utuh dalam mengkaji Fiqh. Apalagi dalam melakukan ijtihad terhadp setiap peristiwa yang terjadi sepanjang zaman yang sangat variatif.
Fiqh sebagai tafsir amaly dari nash syariat
Penjelasan hukum syariat dari segi ushul, furu`, berupa ibadat, muamalat dan segala pembahasan yang berhubungan dengannya -sebagaimana disebutkan di dalam kitab-kitab ushul dan furu` yang bisa diyakini keotentikannya- merupakan sebagai penjelasan dan tafsiran dari Al Qur`an dan sunnah yang sudah instant diamalkan oleh umat secara terperinci.
Eksisnya kitab-kitab syariat yang mendokumentasi permasalahan ushul dan furu` yang diriwayatkan dari satu generasi kepada generasi lainnya -yang diyakini keotentikannya- merupakan bentuk pejagaan Allah terhadap kitabNya, sebagaimana disebutkan di dalam QS: Al Hijr: 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Sebagaimana dijelaskan oleh ayat bahwa Allah akan menjaga syariatnya dari berbagai bentuk penyelewengan, perubahan, pengurangan dan penambahan, maka sebagai wujud kesempurnaan penjagaan Allah untuk menjaga keotentikan syariat adalah dengan menjaga kitab-kitab syariat yang merupakan penjelas dari syariat bagi umat.
Oleh karena itu setiap masa kita temukan para ulama, pelajar ilmu agama yang giat mempelajari syariat islam, membukukan, dan menyebarkan ajaran syariat dalam berbagai disiplin ilmu. Penjagaan mereka terhadap kitab-kitab syariat adalah sebagai bentuk terhadap penjagaan terhadap kemurnian Al Qur`an dan sunnah. Karena penjagaan terhadap kebenaran dan keotentikan syariat islam sangat ditentukan dengan pemahaman yang benar terhadap sumber syariat. Logika manusia mengakui bahwa tidak akan mungkin terjamin keotentikan syariat kecuali dengan pemahaman yang benar terhadap syariat islam.
B. Nama ilmu Fiqh
Ilmu Fiqh terkadang dikenal juga dengan Ilmu Ahkam, karena objek kajian Fiqh adalah perbuatan mukallaf dari segi hukum. Terkadang Fiqh juga dikenal dengan Ilmu Furu`, karena Fiqh merupakan kebalikan dari kajian tentang masalah prinsip (ushul), yang dibahas oleh ilmu tersendiri, yaitu ilmu Tauhid.
C. Mengetahui sumber-sumber dari ilmu fiqh (istimdad).
Para ahli ushul sepakat bahwa pokok pengambilan hukum syariat adalah 4: Al Qur`an, sunnah, ijma` dan qiyas. Karena hukum ada yang ditetapkan dengan wahyu atau selain wahyu. Hukum yang ditetapkan dengan wahyu; ada yang bersifat matlu (Al Qur`an) dan ada yang bersifat ghairu matlu (sunnah). Hukum yang ditetapkan dengan selain wahyu; ada yang ditetapkan dengan pendapat yang shahih dan selainnya. Pendapat yang shahih apabila menjadi pendapat jamaah maka akan menjadi ijma`, namun apabila masih merupakan pendapat individu, hanya akan menjadi qiyas.
Adapun istihsan, istishab, mashalih mursahalah, dll. bukanlah menjadi sumber yang disepakati oleh para ahli ushul, namun merupakan cabang dan perpanjangan dari sumber-sumber hukum yang disepakati, dalam upaya untuk mengenali hukum dari dalil-dalil yang sudah disepakati.
Para generasi salaf ketika dihadapkan kepada sebuah kejadian dalam kehidupan mereka, maka mereka memeriksa penjelasannya di dalam Al Qur`an. Ketika tidak ditemukan, mereka kemudian memeriksa hadits, apakah sudah ada hadits yang menjelaskan tentang permasalahan tersebut? Ketika tidak ditemukan, mereka kemudian mendatangi para ulama, apakah dalam masalah yang dihadapi telah ada nash Al Qur`an dan sunnah yang menjelaskannya? Jikalau mereka menemukan, maka mereka kemudian mulai berijtihad untuk mengistinbath hukum, apabila belum bisa dipahami secara rinci. Jikalau tidak juga menemukan, maka mereka mulai melakukan qiyas permasalahan yang belum diketahui hukumnya terhadap permasalahan yang telah diketahuinya dengan bersandarkan kepada nash, karena adanya kesamaan `illat diantara kedua hukum yang dikaji.
Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa ijtihad para fuqaha yang terhimpun di dalam ilmu fiqh tidaklah produk akal manusia belaka, akan tetapi sebagai penjabaran dari al Qur`an dan sunnah. Para mujtahid bukanlah sembarang orang, akan tetapi memeiliki syarat tertentu dan harus memenuhi kaidah-kaidah berijtihad yang telah dijelaskan di dalam ilmu Ushul Fiqh. Maka mengamalkan ijtihad mereka berarti mengamalkan al Qur`an dan sunah. Justru ketika kita menemukan dalil dan berusaha berijtihad dari dalil yang kita temukan, sedangkan kita bukan seorang mujtahid, akan menyebabkan kita mengamalkan dalil berdasarkan hawa dan agama bersumber dari akal kita!
D. Mengetahui permasalahan yang dikaji dalam ilmu fiqh.
Fiqh islami sebagai sebuah ilmu yang fokus terhadap perbuatan manusia dari segi kajian hukum, secara garis besar mencakup pembahasan tentang permasalahan yang berhubungan dengan seluruh perbuatan yang bersifat ibadat dan muamalat. Dalam perincian lebih lanjut, ulama berbeda pendapat tentang pembahasan Fiqh, apakah terdiri dari 4 bab utama atau lebih? Mereka berbeda berdasarkan kepada perbedaan mereka dalam mengklasifikasikan permasalahan Fiqh ke dalam induk permasalahan yang tepat menurut mereka.
Fiqh islami juga mencakup kajian tentang hukum konvensional, yang terdiri dari:
1. Undang-undang konvensional yang bersifat umum (al qanun al `am), yang terdiri dari;
a. Undang-undang konvensional luar negeri (kharijiy), seperti hubungan internasional.
b. Undang-undang konvensional dalam negeri (dakhily), seperti perundangan tata negara, perdata, pidana, administrasi, keuangan dll.
2. Undang-undang konvensional yang bersifat khusus (al qanun al khas), mencakup tentang perundangan sipil. perdagangan, kelautan, peradilan, dll..
E. Mengetahui tema/objek yang menjadi kajian ilmu Fiqh.
Para ulama sepakat bahwa objek kajian (maudhu`) dari ilmu Fiqh adalah perbuatan para mukallaf yang dilihat dari sisi hukum. Selaku hamba Allah, maka tidak ada satupun dari perbuatan mereka, kecuali akan berhubungan erat dengan hukum yang telah digariskan oleh Allah. Karena perkembanagn perbuatan dan prilaku manusia selalu berubah dan berkembang seiring dengan perjalanan waktu, maka fiqh akan berkembang sesuai dengan perkembangan perbuatan manusia. Berbagai permasalahan kontemporer yang belum tercantum di dalam kitab-kitab fuqaha juga menjadi objek kajian ilmu fiqh. Karena fiqh tidak terbatas pada masa para sahabat sampai para imam mazhab sehingga matangnya konsep-konsep fiqh sebuah mazhab.
Dengan banyaknya permasalahan baru di dunia manusia, maka dibutuhkan para mujtahid baru yang akan menyelesaikan permasalahan umat hari ini dari perspektif syariat. Karena syariat islam bukanlah sebuah barang antik, yang hanya terdapat di dalam kitab-kitab klasik, akan tetapi harus aplikatif di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Hari ini kita hidup di zaman ini dengan beragam permasalahan yang tidak sama dengan zaman para imam membangun mazhab. Kita tidak lagi hidup di zaman para imam mazhab. Karena kita tidak hidup hanya di satu zaman, tapi zaman terus bergulir!
F. Mengetahui para pengonsep/ pengasas ilmu Fiqh.
Para ahli ushul sepakat bahwa ucapan paca mujtahid bagi para muqalid yang tidak sanggup untuk berijtihad bagaikan nash syariat bagi para mujtahid. Ini bukan karena perkataan para mujtahid menjadi hujjah bagi manusia dan bisa menetapkan hukum, sebagaimana ucapan Rasul Saw. akan tetapi karena ucapan mereka berpijak kepada nash-nash syar`i. Mereka adalah orang-orang yang telah berjuang maksimal dalam mengkaji dan menganalisa dalil-dalil yang ada, berilmu luas, bersikap adil, memiliki pemahaman yang lurus dan bertujuan hanya untuk menjelaskan syariat sebagaimana mestinya dan menjaga nash-nash syariat agar tetap otentik.
Taqlid kepada para imam dalam ijtihad mereka bukanlah berarti kita meninggalkan alqur`an dan sunnah, akan tetapi justru ini adalah realisasi berpegang kepada Al Qur`an dan sunnah. Karena ayat Al Qur`an dan hadits dari Nabi Saw. tidaklah sampai kepada kita kecuali melalui perantaraan mereka dan mereka adalah orang-orang yang sangat alim terhadap makna, keadaan nash yang dilihat dari sisi; shahih, hasan, dha`if, mursal, mutawatir, mashur, ahad, dll.. dibandingkan generasi setelah mereka. Sebagaimana kita ketahui juga mereka adalah orang-orang yang berilmu mapan, bertalenta mumpuni, bermental agama yang sangat militan dan memiliki cahaya hati yang terang benderang. Mereka memahami, mengkaji, menganalisa ayat-ayat Al Qur`an dan hadits dan menelurkan hukum-hukum syariat dengan mematuhi kaidah-kaidah syariat.
Mazhab dalam fiqh islami
Mazhab (مذهب) dari segi bahasa berarti: nama (istilah) untuk terhadap tempat pergi.
Istilah ini kemudian diambil dan dijadikan istilah untuk menyatakan hukum-hukum yang dipilih oleh para imam/mujtahid.
Sebagai konsekuensi dari sunnatullah terhadap anugerah akal yang dilimpahkan kepada para makhluqNya, maka para imam kemudian berbeda-beda metode dalam memahami dan menggali hukum dari sumber-sumber hukum. Dari penyebab perbedaan para fuqaha kita ketahui bahwa sumber hukum mereka tetap sama, hanya perbedaan metodelah yang menyebabkan mereka berbeda dalam menetapkan hukum syariat berdasarkan ijtihad mereka. Perbedaan mereka tidaklah berasal dari perbedaan mereka dari segi sumber syariat.
Secara garis besar, perbedaan ulama bisa disebabkan karena beberapa faktor, diantaranya:
1. Perbedaan mereka dari segi Qiraat.
2. Perbedaan kadar perolehan para imam terhadap hadits.
3. Keraguan merka dalam menetapkan hadits untuk menentukan keotentikannya.
4. Perbedaan mereka dalam memahami nash dan tafsirnya.
5. Memahami makna musytarak dari segi lafaz.
6. Ragu-ragu dalam menetap lafaz, apakah berbentuk hakikat atau majaz?
7. Terjadinya pertentangan secara zahir diantara nash secara zhahir
8. Tidak adanya nash dalam sebuah masalah
Bermazhab apakah sebuah kemestian?
Ulama ushul sepakat bahwa setiap muslim boleh bermazhab, namun mereka tidak boleh fanatik dengan mazhab masing-masing. Bermazhab sejatinya adalah sebuah kehebatan peradaban umat islam bukan sebagai sebuah bentuk keterbelakangan dan kejumudan.
Semua kita sepakat bahwa agama islam adalah agama samawi yang bersumber dari wahyu. Ajaran universal yang bersumber dari wahyu ini bisa diketahui dengan cara naql (riwayat) dan akal. Proses naql terkhusus pada permasalahan yang dijelaskan oleh nash dan produk nash yang sudah dipatenkan oleh para pakarnya sebagai ajaran syariat. Ajaran-jaran tersebut diterima dari Rasul Saw. yang dilanjutkan dari sahabat kepada para generasi selanjutnya dan selanjutnya, sampai kepada generasi hari ini. Sedangkan proses akal merupakan penggalian terhadap permasalahan-permasalahan yang belum disebutkan oleh nash dan belum dihasilkan oleh ijtihad para mujtahid sebelumnya yang kiat kenal juga dengan ijtihad. Dari dua proses ini maka dikenal kaidah:
ان كنت ناقلا فصحة ومداعيا فالدليل
Jikalau anda menyatakan bahwa anda menukilkan, maka anda harus bisa membuktikan kesahihan nukilan dan jikalau anda mendakwa bahwa anda menghasilkan sendiri, maka anda harus mengemukakan dalil.
Dari paparan di atas kita ketahui bahwa untuk menjamin keotentikan syariat, maka ajaran syariat harus diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya secara berkesinambungan (ittishal sanad) dan dengan sanad yang disampaikan oleh periwayat yang tsiqat (bisa terpercaya riwayatnya). Ketika kita mendalami ilmu fiqh dan meniliki kitab-kitab fuqaha, maka akan kita dapati bahwa ilmu yang kita pelajari dan warisan ilmu yang ditorehkan di dalam turats adalah sebuah proses periwayatan yang bisa dibuktikan keotentikan ajarannya sebagai ajaran syariat islam, bukan syariat produk manusia. Karena keilmuan tersebut merupakan ilmu Kitab, ilmu sunnah dan ijtihad para fuqaha, hasil penggalian terhadap Al Qur`an dan sunnah. Ilmu-ilmu tersebut kemudian diwariskan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya.
Selain diwariskan ilmu-ilmu tersebut dianalisa dan dikritisi. Ijtihad yang masih bersifat mujmal kemudian dijelaskan, yang masih bersifat mutlaq dijelaskan muqayyadnya, ijtihad yang masih mengandung multi interpretasi kemudian ditarjih. Masalah-masalah yang belum diutarakan oleh mujtahid sebelumnya, digali hukumnya oleh para mujtahid berikutnya dengan kaidah yang sama. Kemudian ijtihad mereka dibukukan dalam karya-karya emas yang menghiasi perjalanan peradaban gemilang umat islam. Dengan demikian maka ajaran syariat yang sampai kepada kita hari ini sudah menjadi konsep praktis yang siap pakai.
Kendatipun setiap orang bermazhab dengan mazhab tertentu, namun ia tidak diwajibkan untuk komitmen dengan satu mazhab saja. Sebagian ulama mengatakan bahwa seseorang boleh berpindah dari satu mazhab kepada mazhab lainnya. Berikut pendapat ulama tentang kemestian bermazhab dengan mazhab tertentu.
Mazhab pertama:
Jalal Al Mahally menyatakan bahwa setiap mukallaf yang awam -yang belum sampai kepada derajat mujtahid- mesti bermazhab dengan mazhab tertentu, yang diyakininya lebih rajih dibandingkan dengan mazhab-mzhab lainnya atau sama kuatnya. Meskipun pada realitanya pendapat yang diambilnya adalah pendapat yang marjuh menurut pendapat yang mukhtar.
Mazhab kedua:
Tidak mesti bermazhab dengan mazhab tertentu pada setiap kejadian yang dialaminya. Ia bebas untuk mengamalkan ijtihad dari mujtahid yang ia kehendaki. Dan ini adalah pendapat yang sahih. Oleh karena itu sangat masyhur kita kenal pernyataan yang menyatakan bahwa: “bagi orang awam tidak ada mazhab tertentu, mazhabnya adalah mazhab muftinya.”
Dari pemaparan diatas diketahui bahwa setiap orang boleh mengambil mazhab yang ia kehendaki selama bersumber dari mujtahid yang memiliki legalitas syariat. Tidak ada kewajiban kepada setiap orang untuk komitmen dengan mazhab tertentu, kecuali komitmen untuk melaksanakan syariat islam yang benar dengan perantaraan ijtihad para mujtahid, karena kelemahan mereka untuk memahami syariat secara langsung dari al Qur`an dan Sunnah.
Bukankah ketika sakit, semua orang sepakat untuk berobat kepada para dokter? Ketika ingin membangun bangunan, orang-orang sepakat untuk mendatangi para arsitek? Ketika memperbincang ekonomi, orang-orang sepakat mendatangi ekonom? Ketika ada permasalahan agama, kenapa semuanya ngotot untuk angkat bicara, tidak menyerahkannya kepada ulama?! Bukankah permasalahan agama seharusnya yang lebih diipercayakan kepada ahlinya?!
G. Mengetahui nisbah ilmu fiqh kepada ilmu yang lain.
Ilmu fiqh merupakan ilmu yang terlahir sebagai hasil dari pengkajian terhadap ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu ilmu fiqh menginduk kepada ilmu ushul fiqh. Ulama mengatakan:
ولا فقه لمن لا يعرف أصول الفقه
Tidak akan mungkin menguasai fiqh bagi orang-orang yang tidak menguasai ushul fiqh.
Imam Zarkasyi di dalam kitab Bahrul Muhith menyebutkan bahwa:
Para ahli ushul fiqh ibarat para dokter yang tidak memiliki obat, sedangkan para ahli fiqh bagaikan para penjual obat yang memiliki segala macam obat, akan tetapi ia tidak mengetahui obat yang bermanfaat dan yang mendatangkan mudharat.
Terkadang ilmu fiqh dimaknai dengan ilmu syariah atau sebaliknya. Meskipun ada korelasi kuat di antara keduanya. Oleh karena itu perlu kita kaji sekelumit perbedaan dan kesamaan diantara kedua istilah ini.
Korelasi antara fiqh dan Syariah
Fiqh bermakna: Ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil terperinci.
Syariah bermakna: hukum-hukum syariat yang ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hambaNya melalui Rasul Saw.
Berdasarkan definisi diatas maka syariah ini mencakup 3 sisi ajaran dalam syariat islam:
1. Sisi yang berhubungan dengan akidah, yang menjadi kajian dalam ilmu tauhid.
2. Sisi yang berhubungan dengan perbuatan lahir manusia yang menjadi kajian ilmu akhlaq
3. Sisi yang berhubungan dengan perbuatan lahir manusia yang dikenal dengan istilah fiqh
Dari pengertian diatas maka dipahami bahwa fiqh lebih khusus dibandingkan syariah, karena fiqh hanya mengkaji satu bagian dari syariah yang terdiri dari 3 komponen utama. Meskipun belakangan istilah syariah lebih akrab diistilahkan untuk fiqh dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan fiqh.
Korelasi antara Fiqh, Fatwa dan Qadha
Fiqh bermakna: Ilmu yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat bersifat `amaly (yang berasal dari istinbath terhadap) dalil-dalil terperinci.
Fatwa bermakna: menjelaskan hukum syariat terhadap peristiwa yang terjadi dengan tanpa adanya kelaziman (untuk mengikutinya bagi mustafti)
Qadha bermakna: menjelaskan hukum syariat terhadap peristiwa yang terjadi dengan adanya kelaziman (untuk mengikutinya, bagi pihak yang sudah bersetuhan dengan wilayah ini)
Dari tiga komponen ini Nampak perbedaan bahwa fiqh adalah kumpulan dari hukum-hukum syariat, sedangkan fatwa dan qadha adalah proses menjelaskan hukum-hukum tersebut ketika terjadinya sebuah peristiwa yang dialami oleh seorang mukallaf, yang dipandang dari sisi agama. Dari dua pengertian tadi juga diketahui perbedaan antara fatwa dan qadha yang memiliki benang merah pada spesifikasi “kelaziman” untuk mengikutinya atau tidak.
H. Mengetahui keutamaan (faedah) mempelajari ilmu fiqh mempelajarinya.
Ilmu Fiqh merupakan ilmu yang sangat mulia dan menjadi ilmu primer yang mesti diketahui oleh setiap muslim, karena Fiqh mengkaji tentang rukun islam. Selain itu, ilmu ini merupakan ilmu yang berhubungan dengan seluruh perbuatan manusia dan menentukan terhadap kebenaran perbuatan mereka yang dilihat dari perspektif syariat. Dengan fiqh seseorang mengetahui cara beribadah kepada Allah dan mengetahui halal dan haram yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk mahkluqNya. Dengan penguasaan fiqh, seseorang bisa menjalani kehidupan berada di dalam koridor syariat Allah yang lurus.
I. Mengetahui tujuan mempelajari ilmu fiqh
Mempelajari Fqh membuahkan terlaksananya ibadat dan muamalat secara benar serta meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, yang merupakan anugerah terbesar dari Allah Swt..
J. Mengetahui hukum mempelajari ilmu fiqh
a. Fardhu Ain
Mempelajari ilmu Fiqh terhadap permasalahan yang tidak boleh seorang muslimpun tidak mengetahuinya adalah fardu ain bagi setiap muslim. Ilmu-ilmu tersebut sering kita kenal dengan istilah ما علم من اليد بالضرورة atau dengan istilah ما لا يسع المسلم يجهله. Ilmu tersebut merupakan ilmu primer yang mesti diketahui oleh seorang muslim bagaikan kebutuhan mereka kepada makanan pokok yang merupakan kebutuhan primer manusia.
b. Fardu Kifayah
Mempelajari ilmu Fiqh secara lebih mendalam terhadap setiap permasalahan-permasalahan fiqh adalah fardu kifayah bagi setiap muslim. Apabila tidak ada muslim yang mempelajari ilmu fiqh secara mendalam pada satu wilayah (dalam radius wilayah yang sudah boleh mengqashar shalat), maka mereka akan berdosa.
c. Sunnah
Mempelajari ilmu Fiqh secara lebih mendalam pada seluruh permasalahan Fiqh setelah terpenuhinya kewajiban fardhu ain dan fardhu kifayah.
Penutup
Fiqh islami adalah sebuah ilmu yang sangat subur dan mampu menjawab setiap permasalahan umat. Ketika kita mengamalkan fiqh bukan berarti beramal dengan produk akal manusia, akan tetapi tetap beramal dengan Al Qur`an dan sunnah yang otentik dengan perantaraan ijtihad para ulama yang kompeten. Belakangan pengajaran fiqh tidak segiat para ulama beebrapa kurun waktu lalu. Warisan berharga emas para ulama pun hanya terpendam di dalam kitab-kitab klasik sebagai sebuah nostalgia. Ini mengakibatkan konsep syariat islam yang merupakan rahmat bagi sekalian alam dan bersifat universal gagal diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari muslim.
Kepada para peserta PAKASI giatlah untuk mempelajari warisan para ulama dan pahamilah dengan benar konsep-konsep fiqh yang sudah matang sejak dulu kala. Pelajari dengan penuh keinsafan dan objektif dengan nurani yang jujur untuk tujuan mulia. Jangan hanya menuding fiqh islami atau hanya bisa berbangga dengan sejarah emas peradaban umat islam, tapi jadilah para mujtahid baru yang akan menyelesaikan pemasalahan umat hari ini dan esok!
Daftar pustaka
1. Al Qur`an
2. Sunnah
3. Muhammad Hasanain Makhluf, Bulughu Al Sul Fi Madkhal `Ilm Al Ushul, Darul Bashair, Kairo, cet. ke -I, 2009.
4. Prof. DR. Ali Jumu`ah, dkk., Mausu`ah Al Tasyri` Al Islamy, Majlis Al A`la Li Al Syuun Al Islamiyyah, Kairo, 2006.
5. Nukhbah Min Asatidzah Kuliyat Al Syariah Wa Al Qanun Bi Al Qahirah, Al Samy Fi Tarikh Al Tasyri` Al Islamy, Kuliyah Syariah Wa Al Qanun Jami`at Al Azhar, Kairo, 2003.
6. Lajnah Min Asatidzah Qism Al Fiqh Bi Kuliyat Al Syariah Wa Al Qanun Bi Al Qahirah, Al Bahts Al Fiqh, Kuliyah Syariah Wa Al Qanun Jami`at Al Azhar, Kairo, 2003.
7. DR. Ali Husain Abdul Nabi, Durus Fi `Ilmi Ushul Fiqh Li Ghair Al Hanafiyah, Kuliyah Syariah Wa Al Qanun Jami`at Al Azhar, Kairo, tanpa tahun.
8. Prof. DR. Ali Jumu`ah. Al Ajwibah Al Sadidah Li Ba`dhi Al Masail Al `Aqidah `Inda Ahli Sunnah Wa Al Jama`ah, Dar Al Sundus, Kairo, cet ke- I, 2009.
9. Nashiruddin Al Baidhawy, Nihayatu Al Sul, Dar Ibn Hazm, Lebanon, cet. ke – I, 1999, tahqiq dan takhrij: DR. Sya`ban Muhammad Ismail.
Oleh: Alnofiandri Dinar, Lc
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
No comments:
Post a Comment