Wednesday, February 29, 2012

Islam, Antara Cita dan Fakta (Bagian ke 2)


Hari ini kita menyaksikan sebuah fenomena yang menyedihkan, betapa keindahan dan kemuliaan Islam tidak menjadi magnit power (daya tarik) bagi lingkungan sosialnya? Mengapa Islam yang secara tekstual sebagai rahmat bagi seluruh alam dan ya’lu wa la yu’la ‘alaihi ini tidak dinantikan kehadirannya? Justru, Islam yang menyejukkan dan mencerahkan pikiran dan hati itu mendapatkan citra buruk (stigma negatif), menyimpan keshalihan ritual sekaligus criminal secara sosial?

Inilah sebuah pertanyaan yang memilukan hati kita sebagai seorang Muslim.
Kalau boleh menjawab dengan logika sederhana dan mudah, meminjam sebuah statemen seorang ‘alim dari Mesir, Syeikh Muhammad Abduh: "Al Islamu mahjubun bil muslimin" (keimuliaan Islam ditutupi oleh perilaku oknum orang Islam itu sendiri).

Saya yakin, pernyataan yang diucapkan 50 tahun yang silam itu tidak muncul secara spontan, tetapi melewati sebuah penelitian yang panjang. Bahwa, perilaku yang salah dalam berislam diakibatkan oleh pemahaman yang salah secara fatal tentang islam.

Kesalahan dalam memahami dinul Islam (agama Islam) berefek pada kesalahan krusial dalam mengkomunikasikan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Saya pernah mendengar cerita ekonom Islam, Dr Syafii Antonio di salah satu forum diskusi, bahwa ayah beliau siap masuk Islam dengan beberapa persyaratan, jika orang Islam berhenti dari sikap mental jorok, menghindari korupsi, sandal aman ketika pergi ke masjid, waktu haji berhenti dari berbicara pornografi (rafats) dan meninggalkan kebiasaan senang berdebat. Kebanyakan mereka masuk Islam sebelum menyaksikan perilaku pemeluknya. Kita yakin kesalahan krusial dalam membumikan Islam karena kesalahan fundamental dalam memahami subtansi Islam itu sendiri. Bukankah kita memiliki saham yang besar dalam menodai kemurnian ajaran Islam?

Ÿوَلاَ يُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلاَ كَبِيرَةً وَلاَ يَقْطَعُونَ وَادِياً إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah (9) : 121-122).

"Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan pada sesorang, maka ia memahamkannya dalam urusan agamanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bukankah hari ini kita menyaksikan orang yang menyatakan dirinya Nasrani yang jarang pergi ke gereja, orang islam setahun sekali ke masjid, orang Hindu yang sering absen di kuil, orang yang Yahudi yang tidak pernah menyentuh tempat ibadahnya Sinagog kecuali kepepet.

Lihatlah para ulama terdahulu sejak usia kanak-kanak sudah menghafalkan al-Quran dan isinya 30 juz. Sehingga al-Quran menjadi darah dagingnya.

Sekarang, marilah kita memotret kualitas keislaman umat Islam sekarang, bukankah hari ini kita menyaksikan orang Islam belajar islam setelah pensiun.

Bagaimana mungkin agama yang mulia ini diperjuangkan dari sisa umur dan sisa tenaga?

Pandangan yang sangat ironis belakangan ini, bukankah masjid yang semula dibangun untuk meningkatkan kualitas taqwa (ussisa littaqwa) beralih fungsi menjadi ajang kampanye kepentingan golongan tertentu. Terasa, kurang sakral lagi sebagai media untuk tawajjuh, tabattul dan taqarrub ilallah.

Kita khawatir dengan peringatan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam salah satu sabdanya, masajiduhum ‘amiratun faraghun minal huda (dilihat dari sisi bangunan masjid tersebut mentereng tapi kosong dari petunjuk). Kita tidak at home lagi untuk beribadah di dalamnya. Inilah tanda-tanda kiamat shughra.

Al-Quran Sebagai Manhaj

Jadi, al Quran diturunkan untuk diamalkan, bukan untuk menghiasi dinding-dinding tetapi untuk menghiasi kehidupan manusia secara lahir dan batin. Dengan mengamalkan isinya kehidupan manusia semakin hidup (yang bermakna), tidak sekedar hidup.

Al Quran diturunkan pula bukan untuk dibacakan kepada orang yang telah meninggal, tetapi meluruskan dan mencerahkan perjalanan kehidupan orang yang hidup. Al Quran diturunkan untuk mengatur manusia dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke arah cahaya. Akan tetapi sayang sekali kita sebagai umat Islam, bertolak belakang dengan al Quran.

Kita adalah ummat yang dibimbing dengan spirit Surat Asy-Syura (musyawarah), tetapi kita tidak pandai melakukan musyawarah. Kita adalah ummat yang memiliki surat Al Hadid, tetapi kita tidak pandai membuat industri besi. Kita ummat yang didorong dengan perintah iqra (bacalah), tetapi kenyataannya ummat kita adalah bangsa yang paling bodoh dan terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan.

Kita adalah ummat yang diintrodusir untuk mengembara mencari ilmu, sekalipun ke negeri China, tetapi kita adalah ummat yang sempit pandangan dan miskin wawasan. Kita adalah ummat yang diperintahkan bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia yang disimpan di perutnya, tetapi kita adalah ummat yang tidak pandai berniaga. Bahkan, kita terpuruk secara ekonomi. Kita dimotivasi untuk memiliki kekuatan, tetapi kita terbelakang secara militer pada saat dunia memamerkan kekuatan militernya. Jika demikian keadaannya, betapa rendahnya kedudukan al-Quran di dalam hati kita?

Agar kita menjadi orang-orang yang berorientasi al-Quran, hendaklah al-Quran menjadi penuntun dan pemandu seluruh kehidupan kita (manhaj). Sehingga al-Quran merubah kehidupan kita sebagaimana isi al0Quran – yang kini di hadapan kita yang masih otentik dan orisinil, masih gadis, meminjam istilah Muhammad Abduh – telah merombak pola pikir dan sikap mental para sahabat secara totalitas.

Marilah kita perbaiki pemahaman dan kita luruskan sikap kita yang terlanjur bengkok terhadap kitab suci, dengan ta’wid (pembiasaan membaca sejak usia dini) tilawah yang benar, tasmi’, (mendengarkan dengan merenungi isinya) tafhim (memahami), ta’lim (mengajarkan kepada orang lain), tathbiq (mengamalkan), kemudian mengajak orang lain ke jalan al-Quran tersebut.

Inilah yang dimaksud al-Quran sebagai manhaj. Mendekatkan jarak antara idealitas dan realitas. Mensinergikan antara cita-cita dan fakta di lapangan. Antara tekstual dan kontekstual. Antara pemahaman secara literal dan menerjemahkan di ranah public. Memadukan antara kualitas keilmuan dan keterampilan mengamalkannya. Antara kemampuan menyerap kandungan isinya dan mendokumentasikan dan membahasakannya di benak publik.

Karena, fiqhusy Syariah memerlukan fann (seni) tersendiri dan mengkomunikasikan di lingkungan sosial memerlukan fann (seni) yang lain (fiqhud dakwah), demikian istilah Imam Syafii.

Jadi disamping kita dituntut memahami maddatud dakwah (materi dakwah), tidak kalah pentingnya adalah menguasai maidanud dakwah (obyek dakwah). Jika kita sudah berinteraksi dengan umat, mereka tidak mempertanyakan tentang wacana kita, tetapi apa yang bisa diperankan untuk memberikan pelayanan terhadap mereka.

Yakni menjadikannya tata acuan dalam berpikir, berprilaku dan rujukan tata kelola kehidupan secara infiradi dan jama’i. Kita mustahil mendakwakan al-Quran jika kita sendiri tidak memahaminya dengan benar dan memiliki pengalaman yang unik dalam mengamalkannya. Al Quran bisa menjadi pembelamu (hujjatun laka) atau saksimu yang memberatkan (hujjatun ‘alaika) di akhirat kelak, begitu kata Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.


“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu ?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran Ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat[mendengar dan memperhatikan sambil berdiam diri] (QS. Al Araf (7) : 203-204).”

Untuk mengakhiri muhasabah usb’uiyah (intropeksi pekanan) pada momentum hari Jumat ini baiklah kita mengutip dua ayat firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala dalam surat ash Shaf (61) dan Al Jumu’ah (62).

“Wahai orang-orang yang beriman ! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan ?. (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. Ash Shaf (61) : 2-3).”

Mudah-mudahan kita mampu menjadi individu dan umat terbaik (khoirul bariyyah) sepanjang zaman.*

Baca tulisan PERTAMA

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5

Islam, Antara Cita dan Fakta (Bagian ke 1)


Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah karya tulis ilmiah yang disusun oleh seorang intelektual Mesir Syeikh Muhammad Quthub. Beliau dilahirkan dari keluarga terdidik dan agamis. Rupanya, faktor keluarga yang mengantarkan beliau memiliki reputasi yang baik di dunia Islam. Dosen pasca sarjana di Universitas Ummul Qura' itu pernah pula memperoleh hadiah nobel dunia Islam King Faishal Abdul Aziz atas karya spektakulernya setelah mengalami futur (stagnasi) dan berhasil mengkhatamkan al-Quran sebanyak 15 kali “Manhajut Tarbiyah Al-Islamiyyah Nadhariyyan Wa Tathbiqiyyan.”

Karya tulis beliau yang saya maksud berjudul “Hal Nahnu Muslimun?" (Muslimkah Kita?). Berbagai buku karangan beliau yang pernah saya baca menunjukkan bahwa beliau adalah akademisi inovatif, kreatif dan produktif, yang sangat peduli dengan nasib yang menimpa bangsanya. Beliau saudara kandung Sayid Quthub dan Hamidah Quthub.

Setelah saya bolak-balik buku tersebut, saya sedikit merenung dan lahirlah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik, betapa berat dan strategisnya membangun citra diri sebagai muslim di tengah-tengah lingkungan social kita yang identik “sok sial”. Selanjutnya, saya bisa membuat kesimpulan yang agak mudah dipahami, sesungguhnya persepsi orang lain terhadap jati diri kita yang mewakili lingkungan strategis berbanding lurus dengan keberhasilan kita dalam membangun citra diri. Jika citra diri (gambaran mental) kita positif, orang lain mempersepsikan kita kurang lebih sama. Dan demikian pula sebaliknya.

Saya juga membaca buku komunikasi, psikologi, sejarah, sosiologi sebagai bahan perbandingan (muqaranah) dalam memperkuat kualitas komitmen (iltizam) keberagamaan saya. Menurut Stone (pakar psikologi social), sesungguhnya penampilan adalah fase transaksi social yang menegaskan identitas para partisan (pemeran-serta transaksi social tersebut). Penampilan itu, sebagaimana adanya, bisa dibedakan dengan wacana yang kita konseptualisasikan sebagai teks transaksi. Penampilan dan wacana adalah dua dimensi yang kontradiksi dari transaksi sosial.

Penampilan tampaknya bersifat lebih fundamental. Ia memungkinkan, menopang, menetapkan batas-batas, dan menyediakan ruang bagi (perwujudan) berbagai kemungkinan wacana dengan jalan memastikan kemungkinan-kemungkinan bagi diskusi yang bermakna. Satu amal lebih fasih dari seribu kata-kata (lisanul hal afshahu min lisanil maqal), meminjam sastra Arab.

Bila kita berjumpa dengan orang lain, kita segera mengkategorikan orang lain dalam satu kategori yang terdapat dalam laci memori kita. Kita akan secepatnya mengelompokkannya sebagai mahasiswa, cendikawan, petani, pedagang, atau kiai.

Kita menetapkan kategori orang itu berdasarkan deskripsi verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinestik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistic, dan petunjuk artifaktual.

Proyek Besar Peradaban Kita ?

Al-Hamdulillah wasy syukru lillah, hari ini kita kecipratan nikmat berislam. Berkat perjuangan air mata dan darah yang istiqamah dan tidak mengenal lelah pendahulu kita yang shalih (salafus shalih). Bahkan, kebanyakan mereka mengakhiri hidupnya di medan dakwah. Para wali-wali dahulu datang ke negeri ini, meninggalkan negeri dan tanah tumpah darah mereka mengarungi samudra yang tidak bertepi karena mereka yakin bahwa Islam ini adalah jalan kebenaran dan jalan keselamatan.

Di antara bukti faktualnya pada medan semantik membuktikan, kosa kata yang digunakan bangsa Indonesia adalah inhearent dengan term Islam. Islam yang datang ke Nusantara ini dengan cara damai dan mencerahkan (merubah cara pandang dengan metode yang sistematis) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya bangsa (refleksi dari keyakinan yang dianut). Budaya senyum, sapa, supel, menghormati tamu, tepo sliro, toleran, tegas dalam prinsip, tahan uji dalam menghadapi ujian, paternalistik adalah turunan (derivasi) dari Islam.

Secara historis, Islam adalah ajaran terakhir yang menyempurnakan ajaran nabi-nabi sebelumnya dan terbukti hingga kini masih steril dari berbagai penyimpangan tangan jahil manusia, maka pemeluknya berhak menyebarkan kebenaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Inilah konsekwensi sebagai umat terakhir dari penutup para nabi dan utusan Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Jadi, kewajiban jihad dakwah secara otomatis terpikul pada setiap individu muslim, dalam kedudukan apapun dan dimanapun dan kapanpun. Maka setelah kita berhasil mengirimkan para mujahid dakwah secara terjun bebas di seluruh pelosok nusantara, dilanjutkan ekspansi dakwah ke luar negeri. Ke depan perwakilan Hidayatullah di luar negeri hal yang niscaya. Sehingga kita mengembalikan ketaatan manusia hanya kepada pemilik kehidupan, Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Itulah sebabnya di pundak seorang muslim terpikul tanggung jawab yang tidak ringan. Islam sudah memberikan mediator untuk mengadakan muhasabah yaumiyyah, usbu’iyah, syahriyyah, ‘amiyyah atau marrotan fil ‘umr (sekali seumur hidup), secara berkesinambungan dan radikal. Betulkah kehidupan kita secara individu, keluarga, masyarakat, baik aspek ideologi, sosial, kebudayaan, politik, keamanan merujuk keislaman yang sudah kita anut salama ini? Inilah proyek besar peradaban kita !. Menata ulang persepsi, perasaan, perilaku mereka agar selaras dengan referensi Islam itu sendiri.

Hanya saja, yang perlu menjadi catatan penting, bahwa pesan Islam tidak akan sampai kepada obyek dakwah hanya dengan ceramah-ceramah, makalah-makalah, seminar-seminar, orasi-orasi, diskusi-diskusi, diplomasi-diplomasi (katsratur riwayah). Justru, Islam sampai menerobos dinding-dinding pembatas teritorial dunia ini dengan akhlak/moralitas yang melekat dalam diri para muballigh itu sendiri. Akhlak yang mulia itu merupakan gambaran dari kekokohan iman/keyakinan.

وَقَالَ لِفِتْيَانِهِ اجْعَلُواْ بِضَاعَتَهُمْ فِي رِحَالِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَعْرِفُونَهَا إِذَا انقَلَبُواْ إِلَى أَهْلِهِمْ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
فَلَمَّا رَجِعُوا إِلَى أَبِيهِمْ قَالُواْ يَا أَبَانَا مُنِعَ مِنَّا الْكَيْلُ فَأَرْسِلْ مَعَنَا أَخَانَا نَكْتَلْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

"Ingatlah sesungguhnya para kekasih Allah itu tidak ada ketakutan dan kesedihan hati pada mereka. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa (memelihara iman dengan akhlak) (QS. Yunus (10) : 62-63)."

Jadi, yang menjadi tantangan dakwah ke depan adalah bagaimana kita mendekatkan jarak diri kita dengan refrensi Islam itu sendiri. Setiap individu muslim adalah sebagai alat peraga dakwah. Kita dituntut menjadi al-Quran dan al-Hadits yang beroperasi secara kongkrit di jalan raya, pasar, gedung parlemen, lembaga pendidikan, tempat-tempat wisata, dan di tempat-tempat yang lain. Karena semua medan kehidupan menghajatkan untuk ditemani Islam, agar tidak membuat pemburunya kecewa. Terjangkiti oleh penyakit manusia modern, yaitu krisis makna.

Baca tulisan KEDUA

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5

Tuesday, February 28, 2012

UTM Menggratiskan Penghafal Al-Quran

Penghormatan kepada para penghafal al-Quran (Hafidz) dilakukan sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dengan cara membebaskan atau kuliah gratis.

“Kuliah tidak berbayar itu dimaksudkan untuk memuliakan mereka karena kemampuannya dalam menghafal al-Quran. Kemampuan seperti itu tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Mereka mempunyai kelebihan dan prestasi,’’ demikian pernyataan Prof. Dr. Arifin, MS, Rektor UTM dalam rilis yang dikirim ke kantor redaksi hidayatullah.com, Selasa (28/02/2012).


Guru besar bidang  lingkungan itu menjelaskan  bahwa mereka akan mendapatkan beasiswa penuh termasuk life cost (bea-hidup) hingga menyelesaikan studinya. Bahkan mereka bebas memilih program studi yang tentunya disesuaikan dengan bidang dan minat bakatnya. Kesesuaian minat dan bakat merupakan hal penting untuk kelancaran dan keberhasilan studi. Kesuksesan studi ditandai dengan adanya kompetensi yang menjadi bekal untuk berkompetisi.

Prestasi yang menjadi tolok ukur penerimaan mahasiswa pada sebuah perguruan tinggi negeri (PTN) tidak hanya pada keunggulan akademik, olahraga, seni dan budaya, melainkan juga pada kemampuan dalam menghafal al-Quran.  Oleh karena itu, UTM yang merupakan PTN sejak 2001 lalu menyelenggarakan program penjaringan mahasiswa berprestasi dalam bidang hafalan al-Quran, papar Arifin.

Sasaran jangka panjang program beasiswa bagi penghafal al-Quran yakni tercetaknya generasi yang mampu  mengimplementasikan  al-Quran dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Generasi yang memiliki karakter atau berakhlak baik dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.

Menurut Arifin, alasan memberi bea siswa para para hafidz karena mereka yang mampu menghafal al-Quran mengetahui perihal yang dibolehkan dan dilarang. Perintah dan larangan yang bersumber dari al-Quran menjadi landasan bagi generasi yang berkarakter dan beradab.

Seperti diketahui, saat ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (Kemendikbudnas) mencanangkan pendidikan berbasis pada karakter.  Pendidikan yang berbudi luhur itu diharapkan dapat memproduksi generasi yang tidak hanya pintar tapi juga beradab dan berkeadilan. Penyelewengan dan penyalahgunaan tata aturan bisa dilakukan oleh mereka yang pintar tapi tidak mempunyai akhlak. Namun sebaliknya, generasi cerdas dan beradab tidak akan melakukan hal serupa.

Untuk mendukung program itu, UTM menyediakan sarana, prasarana, dan sumber daya. Satu gedung asrama yang terdiri dari empat lantai tersedia bagi mereka. Saat ini sedang dilakukan pembangunan dua gedung serupa dan pada akhir tahun 2012 direncakan tuntas. Pemondokan yang berkapasitas sekitar 2500 mahasiswa itu dilengkapi dengan sarana pendukung pembelajaran.

Di samping itu, disediakan pula tenaga-tenaga pendamping atau pengasuh yang bertugas untuk melakukan monitoring dan pembinaan mental spiritual secara berkelanjutan.

Adapun cara penerimaan mahasiswa bagi penghafal al-Quran melalui jalur mandiri. Cara tempuh mandiri dilakukan dan diorgansisasi sendiri oleh UTM, tidak lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Nah, bagi yang berminat, informasi lebih lengkap mengenai penerimaan mahasiswa hafidz dapat menghubungi call center 031-3011146, mengirim email ke baak@trunojoyo.ac.id, dan memasuki laman www.trunojoyo.ac.id./a.salim
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5

Ingin Selamat, Solusinya Syariat Islam


Semua orang tidak ingin terjatuh ketika sedang berjalan, menaiki kendaraan. Semuanya ingin selamat. Untuk menghindari kecelakaan lalu lintas, diperlukan sikap taat aturan (rambu-rambu lalu lintas). Pejalan kaki berjalan di sebelah kiri. Di tengah-tengah ada polisi yang mengatur lalu lintas. Yang datang lebih dahulu di dahulukan yang menyusul di akhirkan.

Agar tidak terjadi perselisihan. Diadakan pula peraturan tempat kembali ketika terjadi musibah yang tidak diinginkan.

Demikian pula dalam perjalanan kehidupan ini, tidak ada yang ingin celaka, rusak binasa dan sengsara. Semuanya ingin sehat lahir dan batin, selamat dalam mencapai tujuan. Agar perjalanan yang ditapaki lurus dan selamat, perlu dibuat sebuah peraturan yang mengikat setiap individu. Tempat kembali apabila ditemukan perselisihan. Itulah syariat (hukum) yang diturunkan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala kepada umat manusia dengan perantaraan Nabi-Nya. Hukum yang bersumber dari-Nya adil dan bijaksana. Tidak memihak. Tidak seperti hukum buatan manusia. Ia bagaikan hukum pisau. Tumpul untuk kalangan atas, tajam untuk level grass root. Melukai rasa keadilan  kaum dhu’afa dan mustadhafin (tertindas).

Hajat manusia kepada syariat Islam lebih besar melebihi kebutuhannya kepada tabib. Benar, sakit dan sehat, sedih dan gembira tidak bisa lepas dari kehidupan. Tetapi kita dituntut untuk menjaga kesehatan. Jika kita tidak memelihara kesehatan pisik, akan mudah terjangkiti penyakit. Al Wiqayatu khairun minal ‘ilaj (menjaga lebih baik daripada mengobati). Sedia payung sebelum hujan, kata pepatah bahasa Indonesia. Orang kampong pergi ke dukun. Orang kota pergi ke dokter. Tetapi ada sebagian orang desa lebih sehat daripada orang kota, karena mereka lebih banyak memikul pekerjaan yang berat, keringatnya keluar, badannya segar, tulang belulangnya kuat. Yang lebih kuat lagi adalah orang gunung. Setiap hari naik turun gunung ketika pergi ke ladang.

Manusia lebih memerlukan syariat Allah Subhanhu Wa Ta'ala daripada tabib. Tabib hanya bisa memberikan resep memelihara kesehatan pisik, sedangkan syariat untuk menjaga kesehatan jiwa, keturunan, akal, harta, agama, kehormatan diri (HAM). Syariat bukan hasil produk manusia, setelah mengalami uji coba di lapangan. Tetapi, ia datang dari wahyu Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang suci, tidak terkontaminasi oleh kerusakan dan kebatilan.

Ketika seseorang tidak makan dan tidak minum, tubuhnya lemah dan nafasnya berhenti. Tetapi, jika orang tidak berpegang teguh dengan syariat akal dan budinya rusak. Moralitasnya akan hancur. Sekalipun dia bisa hidup, tetapi mengalami krisis makna. Tidak berarti (bermakna) di tengah kehadirannya di dunia ini.

Badan sakit adalah musibah. Perpisahan badan dan nyawa manusia adalah kematian. Kematian bukan merupakan bahaya besar, karena banyak orang yang sakit parah menginginkan kematian. Tetapi, jika kehidupan ini tidak menjunjung tinggi syariat, sekalipun badannya sehat, apalah artinya hidup jika tidak menemukan makna/arti hidup itu sendiri. Justru, banyak orang yang mati, tetapi namanya semakin hidup disebut-sebut oleh generasi di belakangnya. Sedangkan banyak orang yang hidup, menggenggam kekuasaan dan harta, tetapi banyak orang yang menginginkan kematiannya. Bahkan menuntutnya lengser sebelum masa baktinya (khidmahnya) selesai.

Oleh karena itu menghayati syariat Islam (tafaqquh fiddin) harus lebih didahulukan daripada mengetahui ilmu-ilmu yang lain. Karena menyangkut hubungan al-Makhluk dengan al-Khalik. Interaksi hamba dengan Tuhannya. Dan akan menjamin kedamaian, keselamatan kita di dunia yang fana ini menuju kehidupan yang kekal dan abadi. Jangan terbalik, mendahulukan mempelajari ilmu kehidupan dan terlambat menguasai tsaqafah islamiyah. Sehingga, muncullah fenomena manusia yang cerdas otaknya tetapi hatinya kurang peka, perasaannya kurang tajam. Kecerdasan pikiran tidak berbanding lurus dengan kecerdasan spiritual.

Menghayati Rukun Islam

Syariat yang diturunkan kepada para anbiya dan para rasul, tujuannya sama. Yaitu memperkuat komunikasi antara Al-Khalik dan Al-Makhluk (laa ilaha illallah). Antara Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan Abdullah. Karena, dari-Nya kita hadir, dengan izin dan restu-Nya kita menikmati berbagai fasilitas kehidupan, kepada-Nya kita akan kembali. Sekalipun syariat para nabi berlainan, sesuai dengan zamannya. Tetapi berlainan pada aspek kulitnya. Tujuannya satu, untuk menjaga kesucian hati manusia. Tidak ada satu pun perintah agama yang tidak membersihkan jiwa manusia. Ketika terjadi perbedaan yang tajam antara berbagai agama, karena akal dan nafsu manusia ikut bercampur di dalamnnya. Sehingga terjadi perubahan dan penggantian. Tidak orisinil (murni) dan otentik lagi.

Marilah kita belajar untuk tunduk dan patuh kepada syariat-Nya. Dengan tekun menjalankan ibadah. Ibadah adalah cara Allah Subhanhu Wa Ta'ala untuk mengarahkan dan memandu jalan kehidupan kita supaya tidak terjatuh (secara fatal), tersesat dan tergelinci.

Pertama, Kita diperintah untuk menegakkan shalat. Mematuhi adab lahir dan kesopanan batin. Sesungguhnya shalat yang benar adalah yang dihayati bacaannya (al-Hadits). Ash-Shalatu ma ro’aita. Shalat adalah kaifiat (cara yang efektif) untuk taqarrub, tawajjuh, tabattul, tajarrud kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Di dalamnya tersimpan cara jitu untuk membesarkan-Nya dengan segenap anggota tubuh. Diikuti oleh ucapan lidah, gerakan tangan dan kaki, ketundukan kepala dan seluruh panca indra. Semuanya bekerja sama menghadapkan persembahan kepada Dzat Yang Maha Besar.

Kita mulai mengucapkan takbir. Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang Maha Besar. Segala pekerjaan, gerak-gerik, pasang surut, untung dan rugi, naik dan turun, kaya dan miskin, kekuasaan atau kehinaan, semuanya adalah barang yang kecil ketika dihadapkan kebesaran-Nya.

Perbuatan lahir diikuti oleh gerakan batin. Semua anggota tubuh mengucapkan puja dan puji atas berbagai karunia yang diberikan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala kepada kita. Lidah tidak berhenti menyanjung-Nya, bertasbih dan bertakbir. Kita berdiri di hadapan-Nya dengan hati yang tunduk, menyadari dengan insaf bahwa kita hanyalah seorang hamba yang hina dan kecil tidak berarti apa-apa di hadapan kekuasaan-Nya yang luas dan tidak berujung.

Kita bersujud ke tanah dengan kening kita, bagian tubuh yang paling mulia dan kita hormati. Tetapi wajah itu kita tundukkan ke bawah. Untuk membuktikan kepada-Nya bahwa kening hanya kami izinkan untuk patuh kepada-Mu. Ya Rabb. Itulah seorang muslim, yang  tidak pernah menundukkan kepala di hadapan siapapun, tetapi hanya tunduk dengan ridha kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Kita berdiri, dan memohon kepada-Nya, dan kita rukuk tertunduk, di dalamnya kita memuji Dia. Kita bersujud, kita mengharapkan belas kasih-Nya. Kita duduk, kita memohon rahmat dan maghfirah dalam kehidupan kita. Demikianlah kita melakukan shalat sampai selesai.

Sebelum shalat selesai, kita mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan kepada kerabatnya, dan kepada Nabi Ibrahim dan kerabatnya. Karena merekalah yang telah menunjukkan dan merintis jalan ini. Lalu kita menoleh ke kanan dan ke kiri dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” kepada semua makhluk-Nya di sebelah kita.

Artinya, setelah kita kuatkan tali perhubungan antara seorang hamba dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala Yang Maha Besar, kita bawa perasaan demikian ke tengah-tengah pergaulan hidup. Kita sebarkan perdamaian, ketenteraman dan rahmat di alam semesta.

Sebelum kita pergi, kita duduk sejenak, kita susun jari jemari kita, kita hamparkan sayap pengharapan dengan melantunkan bermacam-macam doa, semoga kiranya dikabulkan oleh-Nya. Setelah itu barulah kita berdiri dari tempat duduk, dengan hati yang suci, raut muka yang jernih, sudah sekian lamanya kita telah menghadap ke hadirat Rabbul ‘Izzati.

Adakah suatu ibadah yang lebih bagus dari gerakan shalat? Adakah jalan untuk mencapai kesempurnaan dan kemuliaan diri melebihi shalat? Adakah suatu tanda tunduk yang demikian kuat pengaruhnya melebihi dari shalat?

Ada sebagian orang yang berpandangan, mungkinkah kita mencapai kesucian dan memuji Allah Subhanhu Wa Ta'ala hanya dengan sebatas gerakan badan seperti itu ?. Betul, jika gerakan badan tidak diikuti gerakan batin secara simultan dan stimulan. Kalau kita hanya mensyukuri nikmat Allah Subhanhu Wa Ta'ala hanya dengan hati, tidak diikuti dengan lisan dan perbuatan, maka syukur kita tidak utuh. Sedangkan semua instrumen diri kita merasakan nikmat tersebut. Jadi bersyukur itu harus all out. Dengan hati, lisan dan amal shalih yang membuat pemberinya senang.

Kedua, setelah menegakkan shalat,  kita diperintahkan pula mengeluarkan zakat, jika harta kekayaan kita mencapai satu nishab. Yaitu dikeluarkan 2/5% dari jumlah harta. Dengan aturan itu semakin jelas bahwa syariat  tidak hanya menekankan dalam memperbaiki hubungan dengan Allah  Subhanhu Wa Ta'ala, tetapi juga memperkuat hubungan dengan sesama manusia. Jadi, Islam memperkokoh hubungan kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan memperkuat interaksi sesama manusia (hablul minallah wa hablun minannas). Indikator seseorang itu dicintai oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah dicintai sesama manusia.

Maka disyariatkan zakat. Zakat artinya suci. Mensucikan diri sendiri dari karat kekikiran. Membersihkan diri sendiri dari perasaan menyisihkan diri dari sesama manusia. Dan membersihkan harta itu sendiri agar tidak tercampur antara milik kita dan hak orang lain. Yaitu harta yang sepatutnya diterima yang berhak (mustahiq).

Tegasnya, membersihkan masyarakat dari perasaan berkapitalis. Zakat adalah sebuah pendidikan ilahi agar menusia tidak mementingkan diri sendiri, tetapi bersikap peduli dan empati kepada orang lain. Sehingga orang kaya menjadi pelindung si miskin. Tidak akan masuk surga seorang yang kenyang, sedangkan tetangganya dibiarkan kelaparan (al-Hadits). Sesungguhnya orang kafir takut terhadap apa yang diperbuat oleh mukmin yang kaya. Persoalan social akan mudah dipecahkan jika rukun Islam yang berupa zakat ini dilaksanakan.

Ketiga, kemudian diturunkan pula syariat puasa pada bulan Ramadhan. Alangkah indah dan mulia ibadah puasa. Karena mengajarkan manusia mengelola hawa nafsu. Ia melepaskan manusia dari ikatan kebinatangan. Bukankah ahli ilmu pengetahuan, bahwa manusia itu serupa dengan binatang. Yang membedakan hanya akal pikirannya. Syariat puasa membangkitkan kesadaran manusia untuk melepaskan nafsu hewani. Bukankah manusia yang tidak bisa memimpin syahwat perut dan syahwat farjinya sama dengan binatang.

Bila syahwat sudah bisa dikendalikan, tertutuplah jalan-jalan yang semula terbuka digunakan oleh syetan untuk menjerumuskan manusia. Orang yang berpuasa menghentikan makan & minum yang halal, berhubungan dengan istri di siang hari untuk mematuhi perintah Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Dari sini, terdapat pelajaran berkorban. Sekalipun lapar dan nafsu biologis bergejolak, asal Tuhan yang memerintahkan, akan bersikap sami’na wa ‘atha’na. Kita tahan dengan sakitnya lapar dan dahaga, tetapi tidak tahan dengan panasnya api neraka. Maka, akan berangsur-angsur hati merasa ringan untuk menjalankan perintah. Dan siap menunggu intruksi lanjutan yang lebih berat, jika waktunya tiba.

Adakah ibadah yang lebih efektif daripada puasa ?. Bukankah puasa itu membedakan antara manusia biasa dan manusia sejati ?. Bukankah ketika apabila perut sedang lapar, jiwa menjadi bersih, hati menjadi lemah lembut ?. Kecintaan dunia yang memberikan pengaruh yang keras di dalam hati manusia menjadi lunak dengan berpuasa.

Berpuasa bukan menyiksa diri, tetapi mengangkatnya menuju kemuliaan. Tiada perintah ibadah kecuali untuk kemaslahatan manusia. Dengan jalan menahan nafsu dalam berpuasa akan terbukalah kemenangan dalam perjuangan menegakkan kebenaran kelak.

Keempat, syariat haji juga mengandung hikmah yang luar biasa. Tidak merasakan efeknya dalam kehidupan kecuali orang yang bersih. Mustahil orang mengumpulkan harta yang halal, dan siap menanggung resiko perjalanan jauh ke Makkah, jika tidak memiliki spirit berkorban untuk Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Haji adalah wujud pengorbanan kongkrit secara lahir dan batin. Biaya untuk pergi haji akan diganti oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala (pasti kembali kepada pemiliknya), meminjam ungkapan orang yang telah melaksanakan rukun Islam yang kelima ini. Semakin banyak harta kekayaan yang dikeluarkan untuk Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan dilipatgandakan dan menambah kebaikan dirinya.

Masjidil Haram adalah pusat dunia Islam. Disanalah terdapat pusaka-pusaka tua, jejak perjuangan yang telah ditempuh oleh Nabi Ibrahim, yang ridha menyembelih anaknya sendiri karena kecintaannya kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Jalan itu juga telah ditempuh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam menanggung berbagai kesulitan di negeri itu ketika membawa cahaya iman di tengah-tengah kegelapan jahiliyah. Bukan gelap mata tetapi kegelapan hati. Di sana terdapat berbagai syiar Allah Subhanhu Wa Ta'ala, berbagai ibrah dari kebesaran Allah Subhanhu Wa Ta'ala, untuk memperbaharui iman.

Wajar, jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa yang pergi mengerjakan haji dengan hati yang tulus, dosanya akan diampuni, sehingga bersih bagaikan bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya.

Bukankah apabila telah terikat tali kecintaan kita dengan seorang sahabat, maka ia akan merasa terhormat jika ia mengajak mampir (singgah) di dalam rumahnya, kita pun merasa bahagia pula bisa menyambut seruan itu ?. Sekarang, bagaimanakah perasaan kita jika yang kita cintai Tuhan kita sendiri. Dan Dia pula mencintai kita. Sebab, sudah sekian lama kita telah menjalin keakraban. Sejak mengucapkan dan melaksanakan tuntutan syahadat tauhid, dan syahadat rasul,  melaksanakan ibadah shalat, zakat, puasa.

Indikator (bukti) keakraban hubungan dengan-Nya kita bersedia mampir ke rumah-Nya, baitullah. Kita dipersilahkan dengan hormat sebagai tamu-Nya (dhoifur rahman). Ketika memiliki kesanggupan. Di sana banyak barang yang mulia, sebagai peringatan, seperti Ka’bah itu sendiri disebut Baitullah (rumah Allah Subhanhu Wa Ta'ala), Maqam Ibrahim, Hajar Ismail, sumur Zam-Zam, jumratul ‘aqabah yang tiga, bukit Arafah dll. Diminta-Nya kita berkumpul bersama-sama ke Arafah, sehingga dapat disaksikan suatu pemandangan yang indah, betapa lautan manusia membuktikan keteguhan tali percintaan antara Allah Subhanhu Wa Ta'ala dengan mereka.

Jika demikian dalam rahasia yang dikandung dalam manasikul haji, maka ucapan yang kita lantunkan adalah : Labbaika, Allahumma labbaik ! La syarika laka labbaik !  Ini saya telah datang, aduhai kekasihku, inilah saya Tuhanku, aku tidak mempersekutukan kecintaanku kepada-MU dengan yang lain. Inilah saya.

Sudah sepatutnya, jika ada hadits nabi yang menjelaskan bahwa malaikat berdiri di tiap-tiap persimpangan jalan menghitung dan mencatat nama-nama orang yang pergi menjalankan haji, dan akan dilaporkan kepada Tuhan dan diampuni dosanya.

Labbaik Allahumma labbaik, innal hamda wal mulka laka, la syarika laka !. Inilah hamba-MU ya Tuhanku, segenap pujian dan kekuasaan tetaplah pada-MU, tak bersekutu Engkau dengan yang lain.

Banyak rahasia yang terkandung di dalamnya. Kita diperintah menanggalkan pakaian yang biasa kita pakai. Menggunakan kain yang tidak berjahit. Baik yang kaya ataupun yang miskin berabur menjadi satu. Disuruh menyederhanakan semua perbedaan-perbedaan. Masing-masing menunjukkan bahwa semuanya adalah hamba-Nya yang sama-sama rindu mengharap pintu rahmat dan maghfirah-Nya.

Kita disuruh membuka kepala, tidak boleh bertopi dan bermahkota. Tunjukkan persahabatan yang sejati dan sadarilah kamu bisa hidup dan mati karena kekuasaan-Nya. Kita disuruh thawaf, melempar jumrah. Itulah ibadah yang ghoiru ma’qulil makna (tidak rasional). Ibadah yang hanya menyentuh hati nurani. Demi, si pendosa mengatakan bahwa cinta itu membuat matamu buta. Biarlah mataku buta, sejak mata lahiriyahku tidak melihat alam lagi, tetapi mata batinku terus makrifat kepada Tuhanku.

Kelima, rukun islam disempurnakan dengan syariat Jihad (perlindungan Islam) . Jihad adalah tiang ibadah. Jihad adalah bukti factual kecintaan hamba terhadap Al-Khalik. Tidak sedikit orang yang menjalin kecintaan tanpa berkorban. Betapa banyak orang yang senang menerima tetapi enggan memberi. Jihad adalah mengerahkan jiwa dan raga untuk membela agama Allah Subhanhu Wa Ta'ala dari serangan musuh-musuh-Nya. Hamba yang tercinta itu rela berkorban apa saja untuk yang dicintai-Nya. Sekiranya kematian yang diminta dan barang yang paling berharga dalam  perjuangan itu, maka ia rela mati. Dan kalau boleh hidup kembali, ia akan hidup lagi agar dapat membuktikan cinta dengan kematian sekali lagi. Dia sudah melakukan transaksi jual beli dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِي

“Sesungguhnya Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah membeli dari orang-orang beriman akan diri dan harta kekayaan mereka ialah untuk mereka surge mereka berperang di jalan Allah sehingga mereka membunuh atau terbunuh.” (QS. At Taubah (9) : 111).

Jika sudah terbukti indicator (bukti) cinta sejati dengan bersedia berkorban apa saja terhadap yang dicintainya, maka kecintaannya harus utuh (tidak terbelah/bercabang). Agar tidak terjadi kecemburuan. Apakah hakikat jihad dalam Islam itu. Mengapa ia diwajibkan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala kepada orang beriman?

Pertanyaan tersebut bisa diketahui dengan suatu permisalan yang berikut.
Andaikata ada seorang yang mengaku sebagai sahabat (teman dekat) yang mencintai kita. Tetapi perbuatannya pada setiap kecelakaan yang menimpa kita, menjadi saksi tidak mencintai kita. Ia tidak peduli dengan manfaat dan madharat yang menimpa kita. Ia tidak mau mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan ketika terjadi musibah. Bahkan tidak mencegah orang-orang yang mencelakai kita. Bahkan berserikat dengan orang lain/musuh  untuk memojokkan kita. Apakah pengakuan dia sebagai sahabat kita akui?

Sekali-kali tidak. Ia mengaku sebagai sahabat hanya dengan lidah, tidak dengan hati yang tulus. Sahabat sejati adalah yang mencintai kita dengan siap berkorban apa saja untuk kita. Menolong dan membela kita dari musuh yang akan mencelakai kita. Jika semua persyaratan pertemanan tersebut tidak ada, maka ia adalah duri dalam daging kita (musuh dalam selimut). Apa arti syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji yang ia lakukan ?.

Maka kiaskanlah perumpamaan diatas dengan pengakuan kita sebagai muslim dan mukmin. Ketika kita mengaku muslim, adalah memiliki kesiapan untuk berkorban. Jadi, makna jihad adalah bahwa di dalam dirimu terdapat fanatisme Islam, kecemburuan (ghirah) terhadap keimanan, cinta kepada agama, dan nasihat yang tulus untuk saudara-saudaramu muslim (jihad ‘aini). Termasuk bagian dari fanatisme adalah jihad fi sabilillah dengan pengertiannya yang khusus, yaitu peperangan yang dilakukan oleh kaum muslimin di hadapan para penjajah peradaban (jihad kifai). Tidak ada yang memicu peperangan tersebut, selain mencari keridhaan Tuhan mereka. Mereka benar-benar telah membersihkan diri dari setiap motivasi duniawi yang rendah (Al Maududi, Mabadiul Islam, hal 118-119).*

Shalih Hasyim, penulis kolomunis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5

Pentingnya Menata Pola Kehidupan Kita


Berapakah usia Anda hari ini? Rasulullah pernah mengatakan, rata-rata umur ummat nya hanya seputar 60-70 tahun saja.

أَعْماَرُ أُمَّتِي بَيْنَ سِتِّيْنَ وَ سَبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنَ يُجاَوِزُ عَلَى ذَلِكَ

“Umur ummatku antara 60-70 tahun. Sangat sedikit di antara mereka yang umurnya melampaui kisaran itu.” (HR. At Tirmidzi 3550, Ibnu Hibban 7/246, Ibnu Majah 4236).

Nah, sekarang, marilah kita hitung dengan matematika sederhana saja. Bisa jadi, kita diberi Allah usia sampai 70 tahun. Tetapi bisa saja tidak. Marilah kita pilih di tengah, anggap saja, kita diberita kemudahan untuk hidup pada usia 50 tahun.

50 tahun telah menghabiskan sekitar 18.250 hari atau setara dengan 458.000 jam. Itu andakan kita menggunakannya 24 jam sehari semalam penuh melakukan aktivitas. Faktanya, kebanyakan manusia membutuhkan istirahat, tidur, nonton, jalan-jalan, berbelanja, bergurau dll.

Anggap saja waktu tidur kita adalah 8 jam/hari. Maka, dalam masa 50 tahun, waktu yang telah kita habiskan untuk tidur memakan waktu 146.000 jam atau sama dengan 16 tahun 7 bulan (dibulatkan 17 tahun). Betapa sia-sianya kita menghabiskan waktu selama 17 tahun hanya untuk tidur.

Selain tidur, umumnya kegiatan manusia di siang hari adalah; bekerja, belajar, mengajar makan, jalan-jalan, istirahat atau ngerumpi. Jika semua waktu itu memakan waktu 4 jam rata-rata. Maka, dalam 50 tahun waktu yang dipakai untuk istirahat,ngerumpi, jalan-jalan dll membutuhkan (18.250 hari x 4 jam) atau 73.000 jam. Ini setara dengan 8 tahun.

Jadi, selama 50 tahun itu pula kegiatan kita untuk tidur, jalan-jalan, ngerumpi, nonton, istirahat memakan waktu 17 tahun + 8 tahun atau menghabiskan waktu 25 tahun.

Jika usia Anda hari ini masih 20-25 tahun, maka tinggal mengurangi 10 tahun “angka sia-sianya”. Maka, hasilnya tetaplah sama, hampir separuh masa kita telah hilang dengan sia-sia.

Pertanyaannya sekarang, berapa sisa waktu yang dipergunakan untuk beribadah dan sebagai bekal menghadap yang Khalik?

***

Alkisah, suatu ketika ada seorang tabi’in bernama Tsabit bin Amir bin Abdullah bin Zubair jatuh sakit. Saat mendengar panggilan azan shalat Maghrib, ia berkata kepada anak-anaknya, Bawalah aku ke masjid ! Anak-anaknya menjawab : Engkau sedang sakit ! Allah memaafkanmu. Ia kembali berkata, Laa ilaaha illallah ! Aku mendengar seruan hayya ‘ala ash-shalah hayya ‘ala al-falah ! dan aku tidak menjawab seruan itu? Demi Allah, Bawalah aku ke masjid. Mereka pun akhirnya membawa ayahnya ke masjid. Ketika sampai pada sujud terakhir dalam shalat maghrib itu, Allah mencabut nyawanya.

Sebagian ulama ada yang menceritakan bahwa lelaki tersebut ketika melakukan shalat shubuh selalu berdoa, Ya Allah, aku memohon kematian yang baik pada-MU. Lalu ia ditanya apa maksud dari kematian yang baik yang ia mohon dalam potongan doanya itu adalah kematian saat bersujud.

Kematian menjemput siapa saja tanpa memandang bulu, masa ajal tiba adalah rahasia dari-Nya, agar manusia siap menghadapinya setiap saat. Siapapun tidak bisa menjamin selamat dalam mabuk kematian (sakaratul maut). Kematian yang indah adalah ketika bersujud, baca al-quran, berjihad di jalan Allah Subhanhu Wa Ta'ala, di majlis ta’lim, majlis zikir dan majlis shalat jamaah. Orang akan mengakhiri kehidupannya berbanding lurus dengan hobinya di dunia. Maka, kita perlu selektif dalam memilih hobi (man syabba, syaaba ‘alaih).

Masalahnya, apakah benar semua kegiatan kita –bekerja, kuliah, istirahat, makan-makan, jalan-jalan kita-- digunakan untuk tujuan puncak, yakni hanya mengabdikan diri kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Andakan persepsi ibadah kita hanya 5 x sehari semalam, berarti semua itu masih memenuhi tujuan penciptaan kita.

Berapa lama shalat yang kita lakukan selama 50 tahun? Atau berapa lama waktu shalat yang telah kita lakukan selama 20-25 tahun usia kita ini?

Untuk sekali shalat , orang menghabiskan waktu 10 menit. Ini berarti dalam 5x shalat (menghabislan waktu sekitar 1 jam). Maka, dalam 50 tahun waktu yang kita digunakan untuk shalat = 18.250 hari x 1 jam = 18.250 jam. Setara dengan 2 tahun.

Masa 50 tahun di dunia hanya 2 tahun untuk shalat? Ini, bagi yang shalat memakan waktu 10 menit. Kalau cara shalat ekspres (super cepat), lalu bagaimana?

Benarkah shalat kita itu mencukupi untuk diterima dan pantas untuk menghadap Allah? Mengapa Anda begitu yakin?

Padahal Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dalam suratnya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz Dzariyat (51) : 56-57).

2 tahun dari 50 tahun kesempatan…itupun belum dapat dipastikan shalat kita memberikan efek pada perubahan pola pikir dan pembentukan akhlak yang mulia.

Sepertinya pahala shalat selama 2 tahun tidak sebanding dengan perbuatan dosa-dosa selama 50 tahun, dalam percakapan yang terkadang dusta, baik direncanakan atau tidak disengaja, ucapan yang menyinggung, memakan harta yang bukan milik kita, menggelapkan dan memalsukan angka-angka dll. Bukankah kita tidak berdaya dalam mengendalikan dosa panca indra kita?

Menata Ulang Pola Hidup

Suatu yang paling mahal dalam kehidupan kita adalah kesadaran tentang misi kehidupan di dunia ini. Tiada kata terlambat, sekalipun waktu demikian cepat, yang berlalu tidak akan kembali. Jangan kita biarkan kehidupan kita ini sia-sia belaka. Hanya memburu dunia, memarginalkan kehidupan akhirat.

Pernahkah kita membayangkan, berapa lamakah umat akhir zaman ini menikmati kehidupannya yang fana ini?

Kehidupan di dunia ini bagaikan berteduh di bawah pohon (halte) untuk menghilangkan kepenatan dalam menempuh perjalanan kehidupan yang jauh. Atau bagaikan mampir untuk membasahi kerongkongan yang sedang kering, karena dahaga.

Dalam ayat di atas disebutkan 1 hari menurut perhitungan Allah Subhanhu Wa Ta'ala adalah 1000 tahun menurut perhitungan kita. Berarti kita hidup tidak lebih dari 1/10 hari menurut perhitungan-Nya. Sekarang kita mencoba untuk mengkalkulasi. Dengan cara ini semoga muncul kesadaran baru untuk tajdidul iman, tajdidul ‘ibadah dan tajdidul akhlaq, tajdidul jihad wal ijtihad wal mujahadah.

Dalam sebuah firmannya, Allah bertanya: "Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman : "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." (QS. Al-Mukminun (23) : 112-114).

Kesimpulannya, sesungguhnya kehidupan di dunia ini --yang seolah kita persepsikan panjang-- hakikatnya sangat singkat. Alangkah sia-sianya jika kita gunakan hanya untuk hal-hal yang tak ada hubungannya dengan ibadah di jalan Allah.

Meminjam istilah Hasan Al Banna, barangsiapa yang mengisi waktunya hanya untuk bersenda gurau berarti melupakan misi kehidupannya. Mudah-mudakan, kita bisa memanfaatkan kesempatan hidup ini jauh lebih baik lagi.*

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5

Selalu Merawat dan Memperbaiki Batin


Pentingnya Merawat dan Memperbaiki Batin." Dalam sebuah kisah sufi yang terkenal, tersebutlah sebuah kisah tentang seorang pemuda ahli ibadah dan seorang pecinta dunia. Suatu hari, si ahli ibadah memasuki hutan yang penuh dengan singa. Melihat kedatangan pemuda ahli ibadah tadi, singa-singa di hutan itu merasa senang dan menyambutnya. Sementara itu, si pecinta dunia yang tatkala itu sedang berburu, baru saja memasuki hutan yang sama. Melihat kedatangan si pecinta dunia dan rombongannya, singa-singa itu mengaum siap menerkam sehingga membuat mereka merasa ketakutan.

Si ahli ibadah melihat kejadian itu dan dia berusaha menenangkan singa-singa tersebut. Maka berkatalah si ahli ibadah kepada si pecinta dunia dan orang-orangnya setelah menenangkan singa-singa ini, “Kalian hanya memperbagus dan memperindah penampilan luar saja, maka kalian takut kepada singa. Adapun kami, kami selalu memperbaiki dan memperbagus batin kami, sehingga singa pun takut kepada kami.”

Kisah di atas memuat pelajaran penting tentang hati sebagai pusat kebaikan. Hati adalah ibarat Raja yang punya hak veto dalam memerintah seluruh anggota jasmani menuju perbuatan baik atau jahat. Untuk merawat dan memperindah hati agar bercahaya, maka seseorang perlu terus-menerus mempertahankan dan mengamalkan kebaikan. Hati akan terus bersih, bening dan bercahaya jika kejahatan terus dihindari, jauh dari debu-debu dengki, riya`, takabbur, dan cobaan dijalani dengan ikhlas.

Memelihara hati bukanlah tugas yang sulit. Ini merupakan tugas yang wajib dilakukan setiap Muslim. Andaikata pun sulit atau mudah, itu harus dilakukan agar hati yang bersih berpendar dengan sinar kebaikan. Hati adalah wajahnya jiwa. Orang yang jiwanya baik, hatinya akan baik. Cara memperbaiki jiwa dengan memperbaiki hati.

Hati, dalam pandangan Imam Abdullah Al-Haddad adalah tempat penglihatan Allah. Sebelum yang lain, Allah melihat hati seseorang terlebih dahulu. Di sisi berbeda, anggota lahir badan kita menjadi tempat perhatian sesama makhluk yang acap dipandang dengan pandangan kekaguman.

Dalam sebuah doanya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengatakan :

"Allahummaj`al Sariiratiy Khairan Min `Alaaniyatiy Waj`al `Alaaniyatiy Shaalihah." (Ya Allah, jadikanlah keadaan batinku lebih baik dari keadaan lahirku dan jadikanlah keadaan lahirku baik). Inilah salah satu doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung permintaan agar menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir.

Pertanyaanya, mengapa nabi menitikberatkan pada batin atau hati? Imam Abdullah menjawab: “Ketika hati baik, maka keadaan lahir akan mengikuti kebaikan itu pula. Ini merupakan sebuah kepastian.” Keyakinan ini didasarkan pada peringatan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri: “Di dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)

Hati Sebagai Pusat Segalanya

Setiap orang pasti menyukai keindahan. Banyak orang yang memandang keindahan sebagai sumber pujian. Ribuan kilometer pun akan ditempuh demi mencari suasana dan pemandangan yang indah. Uang berjuta-juta akan dirogoh untuk memperindah pakaian. Waktu akan disediakan demi membentuk tubuh yang indah.

Perhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang meski pakaiannya tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa dan pangkat, tapi tidak berkurang kemuliaannya sepanjang waktu. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak menempuh ribuan kilo, merogoh harta demi singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, penghargaan terhadap beliau tidak luntur dan menyusut ditelan masa. Beliau adalah orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya. Kunci keindahan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah pangkal kemuliaan sebenarnya.

Hati adalah penggerak, raja, poros, dan pusat segala ibadah. Hati yang thuma`ninah (tenang) akan dapat membuat orang ringan bangun malam, membaca Al-Qur`an, datang ke masjid, dan semua amal shalih lainnya. Hati bisa mengajak kepada kebaikan sekaligus di saat yang sama bisa mengajak kepada kejahatan.

Kita melihat tidak sedikit orang yang mempunyai anggapan bahwa melakukan maksiat tidaklah mengapa asal hati kita baik. Anggapan dan keyakinan seperti ini jelas merupakan kesalahan besar. Menurut Imam Abdullah, orang yang berpendirian semacam ini adalah pendusta besar. Lahir dan batin haruslah berimbang dan sama-sama baik. Seumpama makanan, ia akan diminati orang jika isi dan bungkusnya baik.

Kebaikan yang dibuat-buat juga harus dihindari. Ada orang yang berjalan membungkuk, mengenakan tasbih, pakaiannya pakaian orang saleh. Di balik semua ini, kita melihat dalam batinnya orang seperti ini tertanam cinta dunia mengakar kuat, keangkuhan, kebanggaan pada diri sendiri, serta kegilaan pada pujian. Menurut Imam Abdullah, orang semacam ini adalah orang yang berpaling dari Allah.

Dalam sebuah peristiwa, Sayidina Umar ra. melihat seorang yang berjalan di hadapannya dengan membungkuk sebagai bentuk ke-tawadhu-an. Melihat ini, Sayidina Umar berkata, “Takwa itu bukan dengan cara membungkukkan badanmu. Takwa itu ada di dalam hati.”

Bagaimana jika seseorang tidak mampu memperbaiki batin lebih dari keadaan lahirnya? Menurut Imam Abdullah Al-Haddad, hendaknya ia menyamakan kebaikan lahir dan batin meski idealnya meningkatkan kebaikan batin lebih diutamakan dan disukai.

Orang yang memiliki hati yang bersih, tak pernah absen bersyukur kepada Allah, Penguasa jagat alam raya ini. Pribadinya menyimpan mutu dan pesona. Tak mudah jatuh dalam kesombongan dan kepongahan di kala merebut sesuatu namun tetap istiqamah tunduk pada Allah. 

Orang yang mempunyai hati yang baik akan terus bersikap rendah hati walaupun berpangkat tinggi dan harta melimpah.

Mari bersihkanlah hati ini, beningkanlah dari segala kotoran, isilah dengan sifat-sifat yang baik agar ia tetap terang benderang, bersinar dan bercahaya serta selalu cenderung kepada kebaikan dan takwa.*

Penulis staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa timur
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5

Taqdir Manusia yang telah Ditetapkan

Pada tulisan kali ini, saya coba mengangkat tema hadits tentang taqdir manusia yang telah Allah tetapkan atas manusia. Mudah-mudahan dengan membaca hadits ini akan menambah ketaqwaan kita pada Alloh SWT. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca dengan seksama;
عن أبي عبدالرحمن عبدالله بن مسعود رضي الله عنه قال حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو الصادق المصدوق " إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة

Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.
[Bukhari no. 3208, Muslim no. 2643]
Kalimat, “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya ” maksudnya yaitu Air mani yang memancar kedalam rahim, lalu Allah pertemukan dalam rahim tersebut selama 40 hari. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, “Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan seorang manusia, maka nutfah tersebut mengalir pada seluruh pembuluh darah perempuan sampai kepada kuku dan rambut kepalanya, kemudian tinggal selama 40 hari, lalu berubah menjadi darah yang tinggal didalam rahim. Itulah yang dimaksud dengan Allah mengumpulkannya” Setelah 40 hari Nutfah menjadi ‘Alaqah (segumpal darah)
Kalimat, “kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya” yaitu Malaikat yang mengurus rahim
Kalimat "Sesungguhnya ada seseorang diantara kamu melakukan amalan ahli surga........" secara tersurat menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan amalan yang benar dan amal itu mendekatkan pelakunya ke surga sehingga dia hampir dapat masuk ke surga kurang satu hasta. Ia ternyata terhalang untuk memasukinya karena taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya dengan melakukan perbuatan ahli neraka. Dengan demikian, perhitungan semua amal baik itu tergantung pada apa yang telah dilakukannya. Akan tetapi, bila ternyata pada akhirnya tertutup dengan amal buruk, maka seperti yang dikatakan pada sebuah hadits: "Segala amal perbuatan itu perhitungannya tergantung pada amal terakhirnya." Maksudnya, menurut kami hanya menyangkut orang-orang tertentu dan keadaan tertentu. Adapun hadits yang disebut oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman dari kitab shahihnya bahwa Rasulullah berkata: " Seseorang melakukan amalan ahli surga dalam pandangan manusia, tetapi sebenarnya dia adalah ahli neraka." Menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya semata-mata untuk mendapatkan pujian/popularitas. Yang perlu diperhatikan adalah niat pelakunya bukan perbuatan lahiriyahnya, orang yang selamat dari riya' semata-mata karena karunia dan rahmat Allah Ta'ala.
Kalimat " maka demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya ada seseorang diantara kamu melakukan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. " Maksudnya bahwa, hal semacam ini bisa saja terjadi namun sangat jarang dan bukan merupakan hal yang umum. Karena kemurahan, keluasan dan rahmat Allah kepada manusia. Yang banyak terjadi manusia yang tidak baik berubah menjadi baik dan jarang orang baik menjadi tidak baik.
Firman Allah, “Rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku” menunjukkan adanya kepastian taqdir sebagaimana pendirian ahlussunnah bahwa segala kejadian berlangsung dengan ketetapan Allah dan taqdir-Nya, dalam hal keburukan dan kebaikan juga dalam hal bermanfaat dan berbahaya. Firman Allah, QS. Al-Anbiya’ : 23, “Dan Dia tidak dimintai tanggung jawab atas segala tindakan-Nya tetapi mereka akan dimintai tanggung jawab” menyatakan bahwa kekuasaan Allah tidak tertandingi dan Dia melakukan apa saja yang dikehendaki dengan kekuasaa-Nya itu.
Imam Sam’ani berkata : “Cara untuk dapat memahami pengertian semacam ini adalah dengan menggabungkan apa yang tersebut dalam Al Qur’an dan Sunnah, bukan semata-mata dengan qiyas dan akal. Barang siapa yang menyimpang dari cara ini dalam memahami pengertian di atas, maka dia akan sesat dan berada dalam kebingungan, dia tidak akan memperoleh kepuasan hati dan ketentraman. Hal ini karena taqdir merupakan salah satu rahasia Allah yang tertutup untuk diketahui oleh manusia dengan akal ataupun pengetahuannya. Kita wajib mengikuti saja apa yang telah dijelaskan kepada kita tanpa boleh mempersoalkannya. Allah telah menutup makhluk dari kemampuan mengetahui taqdir, karena itu para malaikat dan para nabi sekalipun tidak ada yang mengetahuinya”.
Ada pendapat yang mengatakan : “Rahasia taqdir akan diketahui oleh makhluk ketika mereka menjadi penghuni surga, tetapi sebelumnya tidak dapat diketahui”.
Beberapa Hadits telah menetapkan larangan kepada seseorang yang tidak mau melakukan sesuatu amal dengan alasan telah ditetapkan taqdirnya. Bahkan, semua amal dan perintah yang tersebut dalam syari’at harus dikerjakan. Setiap orang akan diberi jalan yang mudah menuju kepada taqdir yang telah ditetapkan untuk dirinya. Orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang beruntung maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan yang beruntung sebaliknya orang-orang yang ditaqdirkan masuk golongan yang celaka maka ia akan mudah melakukan perbuatan-perbuatan golongan celaka sebagaimana tersebut dalam Firman Allah :
“Maka Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh keberuntungan”. (QS. Al Lail :7)
“Kemudian Kami akan mudahkan dia untuk memperoleh kesusahan”. (QS.Al Lail :10)
Para ulama berkata : “Al Qur’an, lembaran, dan penanya, semuanya wajib diimani begitu saja, tanpa mempersoalkan corak dan sifat dari benda-benda tersebut, karena hanya Allah yang mengetahui”.
Allah berfirman : “Manusia tidak sedikit pun mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah kehendaki”.(QS. Al Baqarah : 255)

Menuju Peradaban Yang Lebih Berkah


Menuju Peradaban yang Lebih “Diberkahi”. Sejak awal perkembangan Islam, langkah fundamental yang diambil oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk membumikan nilai-nilai Islam, adalah mencari lingkungan yang steril dari kontaminasi dan dominasi hukmu al jahiliyyah (hukum jahiliyah), tabarruj Al Jahiliyyah (tatanan sosial yang mengabaikan moral), Zhan Al Jahiliyyah (gaya hidup yang menuhankan materi), hamiyyatul jahiliyyah (kultur jahiliyah) dalam segala dimensinya.

Membangun Islam dalam lingkungan yang tidak kondusif dengan begitu, laksana menanam benih di lahan yang gersang, kering kerontang. Tentu benih yang ditanam tidak akan tumbuh menjadi tanaman yang subur. Bahkan, kemungkinan besar akan layu. Hidup segan, mati tak mau. "Laa yamuutu wa laa yahyaa."

Umar bin Khathab ketika memimpin upacara pemberangkatan para dai ke berbagai belahan dunia: Fii ayyi ardhin taqo’ anta mas’ulun ‘an Islamiha (di bumi manapun anda berdiam, anda memiliki tugas untuk mengIslamkan penduduknya).

Selama 13 tahun Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya berIslam di Makkah, terbukti hanya beberapa gelintir orang yang menyambut seruannya. Itupun, sebagian besar berasal dari kalangan grass root (mustadh’afin)..Karena lingkungan sosial Makkah didominasi kemusyrikan. Penyakit molimo (minum, mencuri, membunuh, main perempuan, berjudi, memakan riba) yang diderita masyarakat sudah pada stadium akut.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : “Seseorang itu tergantung agama kekasihnya, maka lihatlah kepada siapa ia berteman.” (HR. Ahmad )

Dalam Hadits lain disebutkan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tua lah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari Muslim).

Begitu pentingnya sebuah lingkungan (al Biah), sehingga sastra arab mengatakan : “Nahnu ibnul biah.” (kita adalah produk sebuah lingkungan). Ada ungkapan lain yang senada: “Al Jaaru qabla ddar.” (mencari tetangga yang sepaham/sefikrah terlebih dahulu sebelum membangun rumah). Manusia itu diperbudak oleh kebiasaan dimana ia berdiam, kata sastra Arab. Seseorang yang akrab, dekat dan erat dengan penjual minyak wangi, akan terkena bau wangi, seseorang yang dekat dengan pandai besi, akan kecipratan bau besi. Seseorang yang dekat dengan orang-orang pilihan, ia akan terpengaruh oleh mereka.

Jadi, lingkungan yang Islami merupakan hidden curiculum yang akan merekonstruksi/menata ulang struktur kepribadian penghuninya menjadi Islami. Sebaliknya kawasan yang jahili akan membentuk pola pikir dan sikap mental jahiliyah penghuninya pula.

“Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.”
(HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28).

Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para sahabat As Sabiqun Al Awwalun ( angkatan Islam pertama) itu merasakan bumi Makah terlalu sempit menampung idealisme tauhid, Beliau ekspansi dakwah dan mencari basis teritorial lain yang lebih menjanjikan. Sehingga beliau memilih tanah Thaif sebagai alternatif pertama, tetapi respon kaum Thaif tidak menyenangkan. Bahkan beliau dilempari dengan batu. Kemudian mengadakan hijrah ke Habasyah. Namun imigrasi yang kedua ini kurang lebih sama dengan tujuan hijrah pertama. Sekalipun Raja Habsyi cukup toleran, hanya ghulam (seorang pemuda) yang masuk Islam ketika tertarik melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam makan dengan membaca doa.

Baru setelah hijrah ke Madinah terjadi perkembangan spektakuler baik dari segi kaulitas maupun kuantitas kaum Muslimin. Dalam waktu 10 tahun di Madinah, kaum muslim tercatat 10.000 orang. Peristiwa hijrah ini kemudian dijadikan Khalifah Umar bin Khathab sebagai momentum penetapan tahun baru Islam. Sekalipun banyak peristiwa besar yang mendahuluinya, seperti pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abraha untuk menghancurkan Ka’bah dll. Dari sini titik tolak perubahan totalitas kaum muslimin pertama terjadi. 

Pelajaran Fundamental Hijrah

Ada beberapa pelajaran penting dari peristiwa hijrah ini, dikaitkan “hijrah” modern dengan visi membangunan peradaban Islam ke depan.

Pertama: Reformasi itu dimulai dari level kepemimpinan

Yang perlu diluruskan bahwa hijrah itu tidak identik dengan urbanisasi. Karena hijrah itu menuntut adanya perubahan secara radikal dan total. Dan setiap perubahan itu, berimplikasi sangat jauh. Perubahan itu memerlukan pengorbanan, maka terasa pahit. Apalagi jika seseorang itu telah membangun imperium, kedaulatan, status quo sudah sedemikian kokoh. Dipagari oleh kesetiaan dan hak-hak istimewa. Dalam kondisi demikian, perubahan itu biasanya ditafsirkan dengan instabilitas, anti kemapanan dll.

Dari berbagai teori perubahan, kejatuhan dan kebangunan negara dapat dipahami bahwa perubahan itu akan sukses jika di pelopori dari setiap individu, utamanya kalangan elitis sebuah komunitas. “Taghyiiru khuluqil ummah taabi’un litaghyiiri khuluqil qiyadah,” (perubahan sebuah bangsa berbanding lurus dengan kesiapan berubah di kalangan elit kepemimpinan), kata Ibnu Khaldun. Jika kita getol menyapu lantai rumah, sementara kotoran atapnya dibiarkan menempel, maka lantai akan kotor kembali.

Kedua: Komitmen terhadap regenerasi

Kepimpinan yang baik adalah mempersiapkan penggantinya. Penerus dan pewaris perjuangannya. Sebab usia seorang pemimpin umumnya lebih pendek dibandingkan dengan nilai immaterial, misi yang diperjuangkan. Bahkan ummat Muhammad hanya berumur berkisar 60 sampai 70 tahun (HR. Ahmad). Nilai-nilai moral yang tidak secepatnya diwariskan, maka negara, intitusi, akan kurang dinamis dalam merespon perubahan sekitarnya. Yang dimaksud kader disini adalah seseorang yang dididik, disiapkan, disetting, untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam sebuah keluarga, partai, intitusi, lembaga, negara. Oleh karena itu sebelum Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hijrah, telah mempersiapkan Ali untuk menggantikan tempat tidurnya. Dengan regenerasi maka kesinambungan amal dan transfer nilai akan berjalan dengan baik.

Ketiga: Memperkuat Sandaran Vertikal

Ketika rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sudah dikepung oleh para algojo dari berbagai kabilah Arab untuk menghabisi nyawanya, beliau tetap memiliki kestabilan jiwa. Hal ini merupakan salah satu buah ketargantungannya (ta’alluq) kepada Al Khaliq yang sudah terlatih selama 13 tahun di Makkah. Bahkan pada malam hari, saat memutuskan berangkat secara rahasia bersama kekasihnya Abu Bakar, beliau membacakan salah satu firman Allah Swt. :

وَجَعَلْنَا مِن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدّاً وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدّاً فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ يُبْصِرُونَ

“Dan Kami adakan dihadapan mereka dinding dan dibelakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin 36/9).

Setelah itu para algojo itu tidak bisa mendeteksi kepergian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. karena dibuat mengantuk oleh Allah. Setelah memasuki rumah beliau merasa terheran-heran, ternyata yang menempati tidur Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah anak pamannya Abu Thalib, Ali kw. Betapa terkejutnya mereka. Mereka membuat makar, dan Allah membuat makar yang lebih canggih kepada mereka.

Sebuah bangsa yang dibangun tanpa memperhatikan aspek moral, keterlibatan Tuhan maka ucapkanlah taziyah (ucapan terakhir untuk mayit) kepada bengsa itu. Negara yang dibangun dengan mengabaikan peranan Tuhan, laksana membangun istana pasir atau permukaan balon. Negara itu akan keropos, mudah rapuh oleh tangan jahil penghuninya atau oleh konspirasi eksternal.

Keempat: Membangun sinergi dengan pihak lain

Sesungguhnya eksistensi sebuah peradaban sangat didukung oleh ketrampilannya dalam membangun kerjasama dengan pihak lain. Untuk mendukung keberhasilan hijrah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bekerjasama dengan penggembala kambing orang Nasrani (Abdullah) untuk menghilangkan jejak dan rute yang dilewati. Sehingga beliau dan Abu Bakar menaiki Gua Tsur dengan aman. Tanpa sepengetahuan musuh-musuhnya.

Sesungguhnya ajaran Islam menjunjung tinggi kerjama dalam kebaikan dan taqwa. Dan menolak sinergi dalam perbuatan dosa dan permusuhan.Ciri yang paling menonjol akhlaq Islam dengan agama lain adalah menjunjung tinggi kesepahaman dan tidak menghalalkan segala cara. Bertolak belakang dengan sistem politik Machiavelli. “Al ghoyatu tubarrirul wasaa-il” (segala cara ditempuh, demi mencapai tujuan). Maka ada sebuah pameo; “Tidak ada kawan abadi, yang kekal adalah kepentingan.”

Disamping konsep Islam teguh dalam persoalan prinsip, terbuka pula dalam menerima perubahan-perubahan yang bersifat tekhnikal. Rasulullah telah mengajarkan sikap keterbukaan dalam memandang perbedaan. Perbedaan pandangan adalah suatu fitrah. Bahkan dengan beragam perbedaan itu bisa mendewasakan seseorang. Yang penting, mensiasati dan mengelola perbedaan itu agar menjadi produktif. Islam mengajarkan sepakat dalam persoalan prinsip dan toleran dalam perbedaan yang bersifat non prinsip. Oleh karena itu, kita dituntut menyederhanakan perbedaan dan mengedepankan kesepahaman. Dengan kerjasama yang baik antara berbagai komponen komunitas (pemimpin (Rasulullah), generasi tua (Abu Bakar), kalangan pemuda (Ali krw) kesulitan dan tantangan seberat apapun akan mudah diatasi.

Kelima: Pemberdayaan perempuan

Sesungguhnya wanita adalah saudara laki-laki (syaqoiqur Rijal). Dalam Islam laki-laki dan wanita itu satu kesatuan. Bahkan wanita itu terbuat dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari satu jiwa, maka laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan yang berprestasi akan mendapatkan balasan yang sama.Oleh karena itu Allah memberikan tugas dan kewajiban kepada makhluq-Nya sesuai dengan fungsi kodratinya.

Perempuan yang terdidik dengan baik, memiliki kualitas yang melebihi laki-laki. Asma’ binti Abu Bakar dalam usia belia berhasil mengomandani urusan logistik ketika hijrah. Sekalipun medan yang dilewati terjal, dan nyawanya terancam. Demikianlah perempuan yang berkualitas, mengungguli bidadari. Karena bidadari masuk surga karena takdir. Sedangkan wanita shalihah berhasil karena perjuangan. Ketika masuk surga, menghargai tempat yang dihuni.

Sebaliknya wanita yang dibiarkan bengkok, maka kejahatannya akan melebihi laki-laki. Masih ingatkah kita peristiwa pembedahan dada mayat Hamzah bin Abdul Mutholib, kemudian digigit hatinya. Itulah perbuatan terkutuk yang dilakukan oleh Hindun. Sehingga ketika telah masuk Islam, Rasulullah melihat wajahnya. Terbayang dengan peristiwa yang memilukan/menyayat hati.

Wanita shalihah lebih baik dari bidadari. Karena wanita shalihah berhasil berkat perjuangannya (mujahadah). Ketika masuk surga, ia menghargai posisi yang ditempatinya. Sedangkan bidadari masuk surga secara cuma-cuma (majjanan). Ia tidak merasakan pentingnya tempat yang dihuni (Hadil Arwah, Ibnul Qayyim Al Jauziyah).

Keenam: Membangun pola kepemimpinan Imamah

Ketika di Gua Tsur Abu Bakar merasa cemas, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghiburnya: Laa tahzan innalloha ma’anaa (Jangan takut, sesungguhnya Allah bersama kita). Pada ayat ini beliau menggunakan khithab (pembicaraan) nun jama’ (prular) “ma’anaa”. Disini diambil pelajaran pentingnya berjamaah dalam membangun peradaban.

Berjamaah adalah media yang efektif dan efisien dalam memperkecil konflik. Mengesampingkan perbedaan dan menonjolkan persamaan. Berjamaah adalah fitrah manusia. Dengan berjamaah kita menyadari keterbatasan kita. Keberhasilan kita terwujud didukung oleh pengorbanan pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehadiran kita di bumi ini juga tidak bisa dilepaskan dari kerjasama kedua orang tua kita. Sesungguhnya kita berasal dari percikan-percikan air (qothorot) dan menjadi manusia (fashorot insanan).

Keberhasilan yang dinikmati sendirian, tidak terlalu membahagiakan. Kesusahan yang ditanggung secara kolektif, maka derita menjadi ringan untuk dipikul. Itulah pentingnya kebersamaan. Dan karena kelemahan kita, menuntut adanya kerja sama dengan pihak lain di luar kita. Bahkan menjaga keshalihan kita mustahil terwujud tanpa berjamaah.

Kebenaran tanpa aturan, terkadang dikalahkan oleh kebatilan yang teratur kata Imam Syafii. Dunia ini dikuasai oleh negara Super Power. Namun, yang sedikit kita ketahui, dibalik kekuatan negara adi kuasa itu, terbukti ada kekuatan penekan (jama’atudh dhoghthi) yang diperankan oleh jaringan mafia kejahatan yang terorganisir dengan rapi. Dunia ini dikuasai oleh mafia. Wajar, jika kita menyaksikan media informasi di dunia ini tidak mendidik.

Demikian, beberapa pesan yang bisa dipetik dari hijrah. Yang jelas, “Al Hijratu maadhin ilaa yaumil qiayamah.” (hijrah tetap berlangsung sampai hari kiamat). Baik secara maknawi (hajara, meninggalkan segala bentuk maksiat), pula yang bersifat makani (haajara : meninggalkan lingkungan yang tidak Islami). Ketika Islam belum mendominasi kehidupan. Berbeda dengan haji, hanya diperuntukkan bagi yang mampu. Sebaliknya, selama Islam belum tegak secara de jure dan de vacto, perintah hijrah bersifat wajib sampai hari kiamat sekalipun tidak memiliki apa-apa dan berangkat harus ditempuh dengan berjalan kaki, memakan urat pohon, tempat yang dituju tidak menjanjikan kehidupan dll, menurut jumhur ulama.

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللّهِ يَجِدْ فِي الأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِراً إِلَى اللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلى اللّهِ وَكَانَ اللّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa (4) : 100).

Allah Subhanhu Wa Ta'ala akan memberikan pertolongan kaum muhajir di tempat yang baru dengan berbagai fasilitas yang menggiurkan. Bakkah (lingkungan yang membuat orang menangis) yang semula ditempati Ibu Hajar dan Ismail, menjadi Makkah Al Mukarromah (tempat yang diberkahi dan dimuliakan). Tempat yang membuat daya tarik spiritual bagi yang pernah mengunjunginya. Gua dikelola oleh ashhabul kahfi menjadi pusat dakwah. Penjara dirubah oleh Yusuf menjadi sarana tarbiyah.

Jika di tempat pertama belum ditemukan janji Allah, maka carilah tempat yang lain. Karena di tempat yang baru ini Allah akan membuktikan jaminan-Nya. Bukankah bumi Allah itu luas?

Jika bahan pembuatan pabrik di perut bumi tertentu habis, carilah bumi yang lain. Insya Allah tempat yang baru akan ditemukan limpahan karunia-Nya.*

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Semarang, Jawa Tengah
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah
Red: Cholis Akbar


Rating: 5