Allah Subhanhu Wa Ta'ala Mengharamkan Zina dan Sebab-Sebab yang Mengarah Kepadanya
Kaidah syari’at yang suci menegaskan bahwa ketika Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan sebab-sebab, jalan serta wasilah yang mengarah kepadanya. Hal ini untuk mewujudkan maksud dari pengharaman sesuatu tersebut, mencegah agar tidak sampai kepadanya atau mendekatinya. Disamping menjaga agar tidak terjadi perbuatan dosa serta ke-madharat-an yang menimpa individu ataupun masyarakat.
Sekiranya Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sesuatu, namun membolehkan wasilah yang mengarah ke sana, niscaya akan terjadi kontradiksi atas pengharaman tersebut. Sangat mustahil syari’at Rabb semesta alam mengandung unsur seperti itu.
Perbuatan zina adalah kekejian yang besar, sangat buruk, dan sangat berbahaya terhadap kewajiban-kewajiban agama. Oleh karenanya, pengharaman zina telah diketahui dalam agama secara pasti. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa: 32).
Oleh karenanya, Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sebab-sebab yang mengarah kepada perbuatan zina seperti ikhtilath (campur baur antara laki-laki dengan perempuan, red.), perempuan yang menyerupai laki-laki maupun sebaliknya, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan keraguan, fitnah, dan kerusakan.
Renungkanlah rahasia agung yang terkandung dalam rahasia-rahasia dan mukjizat Al-Qur’an Al-Karim. Ketika Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyebutkan kekejian zina dan pelarangannya secara tegas pada pembukaan surat An-Nur, mulai dari awal hingga ayat ke tiga puluh tiga. Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyebutkan tiga belas wasilah untuk menanggulangi perbuatan dosa tersebut serta menjaga agar tidak menimpa masyarakat muslim yang masih menjaga nilai-nilai kesucian. Wasilah tersebut berupa amalan, ucapan, dan kemauan.
Pertama, menyucikan pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan dengan hukuman had.
Kedua, membersihkan diri dengan jalan menjauhkan pernikahan dari pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan, kecuali setelah ia bertaubat dan diketahui kebenaran taubatnya.
Kedua wasilah diatas berkaitan dengan perbuatan (amaliyah).
Ketiga, membersihkan lisan dari menuduh seseorang telah melakukan perbuatan zina. Bagi siapa saja yang menuduh seseorang telah melakukan zina namun tidak dapat mendatangkan bukti, maka baginya dikenakan hukuman qadzaf.
Keempat, membersihkan lisan suami dari menuduh istrinya telah melakukan perbuatan zina tanpa bukti. Kalau hal itu terjadi, maka ia dikenai hukuman li’an.
Kelima, membersihkan jiwa dan menutup hati dari prasangka buruk terhadap sesama muslim berkaitan dengan perbuatan zina.
Keenam, membersihkan kemauan dan menahannya dari menyebarkan kekejian dikalangan kaum muslimin. Sebab, dengan tersebarnya perbuatan tersebut akan melemahkan orang-orang yang mengingkarinya dan sebaliknya, akan menguatkan golongan fasiq dan orang-orang yang menyetujui tindakan tersebut. Oleh karenanya, siksaan bagi golongan ini lebih pedih dari yang lainnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nur: 19).
Kesenangan menebarkan kekejian akan mengundang semua wasilah keburukan yang mengarah pada perbuatan zina tersebut, baik dengan ucapan, perbuatan, bentuk persetujuan, termasuk mendiamkannya.
Ketujuh, tindakan preventif secara umum, yaitu dengan cara membersihkan jiwa dari was-was dan bisikan jahat yang merupakan awal langkah setan yang ditiupkan ke dalam jiwa kaum mukminin agar mereka terjerumus ke dalam perbuatan dosa. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh pada mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar.” (QS. An-Nur: 21).
Kedelapan, disyari’atkannya meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain agar seseorang tidak terjerumus pada melihat aurat pemilik rumah.
Kesembilan, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat wanita yang bukan mahramnya.
Kesepuluh, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat laki-laki yang bukan mahramnya.
Kesebelas, diharamkannya bagi kaum wanita untuk memperlihatkan perhiasannya kepada laki-laki yang bukan mahramnya.
Kedua belas, larangan melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki, seperti seorang wanita menghentakkan kakinya agar terdengar suara gelang kakinya sehingga menarik perhatian orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit.
Ketiga belas, perintah untuk menjaga kesucian bagi orang-orang yang tidak mampu menikah dan melakukan sebab-sebab yang dapat membantuk melaksanakan perintah tersebut.
Diantara etika hubungan pergaulan antara kaum laki-laki kepada sesama laki-laki yaitu tetap merupakan kewajiban bagi mereka untuk tetap menutup aurat.
Adapun hak wanita terhadap sesamanya yaitu menutup aurat dihadapan wanita lain dan diharamkan seorang wanita menyebutkan ciri-ciri wanita lain kepada suaminya. Sedangkan sebab terbesar yang dapat menjaga agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina adalah kewajiban hijab bagi kaum muslimah. Hijab tersebut berfungsi untuk menjaga mereka dan menjaga kehidupan mereka tetap berada dalam kesucian, senantiasa menjaga rasa malu, menghindari perkataan kotor, dan untuk menghindarinya dari tingkal laku yang tidak bermoral.
Referensi : Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid, Menjaga Kehormatan Muslimah: Daar An-Naba’
Kaidah syari’at yang suci menegaskan bahwa ketika Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan sebab-sebab, jalan serta wasilah yang mengarah kepadanya. Hal ini untuk mewujudkan maksud dari pengharaman sesuatu tersebut, mencegah agar tidak sampai kepadanya atau mendekatinya. Disamping menjaga agar tidak terjadi perbuatan dosa serta ke-madharat-an yang menimpa individu ataupun masyarakat.
Sekiranya Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sesuatu, namun membolehkan wasilah yang mengarah ke sana, niscaya akan terjadi kontradiksi atas pengharaman tersebut. Sangat mustahil syari’at Rabb semesta alam mengandung unsur seperti itu.
Perbuatan zina adalah kekejian yang besar, sangat buruk, dan sangat berbahaya terhadap kewajiban-kewajiban agama. Oleh karenanya, pengharaman zina telah diketahui dalam agama secara pasti. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa: 32).
Oleh karenanya, Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sebab-sebab yang mengarah kepada perbuatan zina seperti ikhtilath (campur baur antara laki-laki dengan perempuan, red.), perempuan yang menyerupai laki-laki maupun sebaliknya, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan keraguan, fitnah, dan kerusakan.
Renungkanlah rahasia agung yang terkandung dalam rahasia-rahasia dan mukjizat Al-Qur’an Al-Karim. Ketika Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyebutkan kekejian zina dan pelarangannya secara tegas pada pembukaan surat An-Nur, mulai dari awal hingga ayat ke tiga puluh tiga. Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyebutkan tiga belas wasilah untuk menanggulangi perbuatan dosa tersebut serta menjaga agar tidak menimpa masyarakat muslim yang masih menjaga nilai-nilai kesucian. Wasilah tersebut berupa amalan, ucapan, dan kemauan.
Pertama, menyucikan pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan dengan hukuman had.
Kedua, membersihkan diri dengan jalan menjauhkan pernikahan dari pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan, kecuali setelah ia bertaubat dan diketahui kebenaran taubatnya.
Kedua wasilah diatas berkaitan dengan perbuatan (amaliyah).
Ketiga, membersihkan lisan dari menuduh seseorang telah melakukan perbuatan zina. Bagi siapa saja yang menuduh seseorang telah melakukan zina namun tidak dapat mendatangkan bukti, maka baginya dikenakan hukuman qadzaf.
Keempat, membersihkan lisan suami dari menuduh istrinya telah melakukan perbuatan zina tanpa bukti. Kalau hal itu terjadi, maka ia dikenai hukuman li’an.
Kelima, membersihkan jiwa dan menutup hati dari prasangka buruk terhadap sesama muslim berkaitan dengan perbuatan zina.
Keenam, membersihkan kemauan dan menahannya dari menyebarkan kekejian dikalangan kaum muslimin. Sebab, dengan tersebarnya perbuatan tersebut akan melemahkan orang-orang yang mengingkarinya dan sebaliknya, akan menguatkan golongan fasiq dan orang-orang yang menyetujui tindakan tersebut. Oleh karenanya, siksaan bagi golongan ini lebih pedih dari yang lainnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nur: 19).
Kesenangan menebarkan kekejian akan mengundang semua wasilah keburukan yang mengarah pada perbuatan zina tersebut, baik dengan ucapan, perbuatan, bentuk persetujuan, termasuk mendiamkannya.
Ketujuh, tindakan preventif secara umum, yaitu dengan cara membersihkan jiwa dari was-was dan bisikan jahat yang merupakan awal langkah setan yang ditiupkan ke dalam jiwa kaum mukminin agar mereka terjerumus ke dalam perbuatan dosa. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh pada mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar.” (QS. An-Nur: 21).
Kedelapan, disyari’atkannya meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain agar seseorang tidak terjerumus pada melihat aurat pemilik rumah.
Kesembilan, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat wanita yang bukan mahramnya.
Kesepuluh, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat laki-laki yang bukan mahramnya.
Kesebelas, diharamkannya bagi kaum wanita untuk memperlihatkan perhiasannya kepada laki-laki yang bukan mahramnya.
Kedua belas, larangan melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki, seperti seorang wanita menghentakkan kakinya agar terdengar suara gelang kakinya sehingga menarik perhatian orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit.
Ketiga belas, perintah untuk menjaga kesucian bagi orang-orang yang tidak mampu menikah dan melakukan sebab-sebab yang dapat membantuk melaksanakan perintah tersebut.
Diantara etika hubungan pergaulan antara kaum laki-laki kepada sesama laki-laki yaitu tetap merupakan kewajiban bagi mereka untuk tetap menutup aurat.
Adapun hak wanita terhadap sesamanya yaitu menutup aurat dihadapan wanita lain dan diharamkan seorang wanita menyebutkan ciri-ciri wanita lain kepada suaminya. Sedangkan sebab terbesar yang dapat menjaga agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina adalah kewajiban hijab bagi kaum muslimah. Hijab tersebut berfungsi untuk menjaga mereka dan menjaga kehidupan mereka tetap berada dalam kesucian, senantiasa menjaga rasa malu, menghindari perkataan kotor, dan untuk menghindarinya dari tingkal laku yang tidak bermoral.
Referensi : Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid, Menjaga Kehormatan Muslimah: Daar An-Naba’
No comments:
Post a Comment