Wednesday, November 30, 2011

Kisah Cat Stevens Masuk Islam

Yusuf Islam dalam arsip foto 10 Juli 2007 menggendong cucunya didampingi istri tercinta Fauzia Islam (kanan) dan putri kandungnya Asmaa Islam ketika dia menerima anugerah kehormatan atas sumbangsihnya terhadap kemanusiaan dari Universitas Exeter di Devon, selatan Inggris.
Kisah seorang artis yang bernama Cat Stevens yang (alhamdulillah) menjadi seorang muslim, kemudian ia dipanggil dengan nama Yusuf Islam. Inilah kisahnya seperti yang ia ceritakan, kami menukilnya secara ringkas.

“Aku terlahir dari sebuah rumah tangga Nasrani yang berpandangan materialis. Aku tumbuh besar seperti mereka. Setelah dewasa, muncul kekagumanku melihat para artis yang aku saksikan lewat berbagai media massa sampai aku mengganggap mereka sebagai dewa tertinggi. Lantas akupun bertekad mengikuti pengalaman mereka. Dan benar, ternyata aku menjadi salah seorang bintang pop terkenal yang terpampang di berbagai media massa. Pada saat itu aku merasa bahwa diriku lebih besar dari alam ini dan seolah-olah usiaku lebih panjang daripada kehidupan dunia dan seolah-olah akulah orang pertama yang dapat merasakan kehidupan seperti itu.

Namun pada suatu hari aku jatuh sakit dan terpaksa di opname di rumah sakit. Pada saat itulah aku mempunyai kesempatan untuk merenung hingga aku temui bahwa diriku hanya sepotong jasad dan apa yang selama ini aku lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan jasad. Aku menilai bahwa sakit yang aku derita merupakan cobaan Ilahi dan kesempatan untuk membuka mataku. Mengapa aku berada disini? Apa yang aku lakukan dalam kehidupan ini?

Setelah sembuh, aku mulai banyak memperhatikan dan membaca seputar permasalahan ini, lantas aku membuat beberapa kesimpulan yang intinya bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasad. Alam ini pasti mempunyai Ilah. Selanjutnya aku kembali ke gelanggang musik namun dengan gaya musik yang berbeda. Aku menciptakan lagu-lagu yang berisikan cara mengenal Allah. Ide ini malah membuat diriku semakin terkenal dan keuntungan pun semakin banyak dapat aku raih. Aku terus mencari kebenaran dengan ikhlas dan tetap berada di dalam lingkungan para artis. Pada suatu hari temanku yang beragama Nasrani pergi melawat ke masjidil Aqsha.

Ketika kembali, ia menceritakan kepadaku ada suatu keanehan yang ia rasakan di saat melawat masjid tersebut. Ia dapat merasakan adanya kehidupan ruhani dan ketenangan jiwa di dalamnya.

Hal ini berbeda dengan gereja, walau dipadati orang banyak namun ia merasakan kehampaan di dalamnya. Ini semua mendorongnya untuk membeli al-Qur’an terjemahan dan ingin mengetahui bagaimana tanggapanku terhadap al-Qur’an. Ketika aku membaca al-Qur’an aku dapati bahwa al-Qur’an mengandung jawaban atas semua persoalanku, yaitu siapa aku ini? Dari mana aku datang? Apa tujuan dari sebuah kehidupan? Aku baca al-Qur’an berulang-ulang dan aku merasa sangat kagum terhadap tujuan dakwah agama ini yang mengajak untuk menggunakan akal sehat, dorongan untuk berakhlak mulia dan akupun mulai merasakan keagungan Sang Pencipta.

Semakin kuat perasaan ini muncul dari jiwaku, membuat perasaan bangga terhadap diriku sendiri semakin kecil dan rasa butuh terhadap Ilah Yang Maha Berkuasa atas segalanya semakin besar di dalam relung jiwaku yang terdalam.

Pada hari Jum’at, aku bertekad untuk menyatukan akal dan pikiranku yang baru tersebut dengan segala perbuatanku. Aku harus menentukan tujuan hidup. Lantas aku melangkah menuju masjid dan mengumumkan keislamanku.

Aku mencapai puncak ketenangan di saat aku mengetahui bahwa aku dapat bermunajat langsung dengan Rabbku melalui ibadah shalat. Berbeda dengan agama-agama lain yang harus melalui perantara.”

Demikianlah Yusuf Islam memeluk agama Islam. Setelah masuk Islam ia tidak hanya duduk di tempat ibadah menyembah Allah yang telah menguasai hatinya dengan kecintaan, namun ia melakukan aktifitas untuk kemaslahatan agama ini. Ia ikut andil di dalam berbagai lembaga dan yayasan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan sosial. Semoga Allah memberinya ganjaran yang baik atas sumbangsih yang telah ia berikan kepada kita, agama Islam dan kaum muslimin.

Subahanallah..saya sendiri menjadikan nada dering ponsel dengan lirik-lirik Yusuf Islam, Sungguh..tidaklah ALLAH Subhana wa Ta’ala memandang status sosial,ras, warna kulit, jabatan dan lain sebagainya untuk beroleh hidayah-Nya. Sesungguhnya..ALLAH menunjuki orang-orang yang Ia kehendaki, sedang ALLAH tiada akan menunjuki orang-orang yang aniaya.





Sumber: Serial Kisah Teladan, oleh Muhammad Shalih al-Qahthani

Tuesday, November 29, 2011

Revolusi Rakyat Mesir Masih Berjuang

Revolusi Mesir masih belum berakhir. Revolusi rakyat Mesir yang dimulai sejak Januari – Februari lalu dan berhasil menggulingkan Fir’aun modern Mesir, Husni Mubarok, ternyata masih menyisakan berbagai persoalan, terutama bagaimana masa depan politik Mesir. Demonstrasi pun kembali terjadi, dan pemilu parlemen rencananya akan digelar hari ini, Senin (28/11/2011). Rakyat Mesir tetap tidak percaya kepada dewan militer.

Mesir, Demonstrasi sehari-hari

Pasca digulingkannya Fir’aun modern Mesir, Husni Mubarak, rakyat Mesir belum juga merasakan keadilan dan kedamaian hakiki. Dewan Militer yang mengambil alih pemerintahan pasca tergulingnya Husni Mubarak ternyata dinilai setali tiga uang dengan pendahulunya tersebut. Rakyat Mesir pun kembali berdemonstrasi, revolusi berlum berhenti.

Demonstrasi yang terbaru yang dilakukan oleh rakyat Mesir telah menewaskan 41 orang. Beberapa korban terakhir tewas di wilayah Ismailiya dan Alexandria. Rakyat Mesir yang diwakili para pengunjuk rasa menuntut penguasa militer menyerahkan kekuasaan kepada otoritas sipil.

Pada demonstrasi terbaru, sebagian titik terjadinya Kairo, tepatnya di Lapangan Tahrir. Di lapangan itu jugalah para pengunjuk rasa berkumpul untuk menggulingkan Husni Mubarak pada Februari lalu.

Demonstran terus berusaha mendesak Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir (SCAF) untuk menyerahkan kekuasaaan kepada otoritas sipil. Mereka ingin menunjukkan kekuatan rakyat yang besar kepada pihak militer yang kini mengusai Mesir pasca Husni Mubarak lengser. Sebelumnya pemimpin SCAF Hussein Tantawi telah berjanji akan menyerahkan kekuasaan ke sipil setelah pemilihan presiden pada pertengahan 2012 mendatang.

Militer gelar pemilu parlemen

Demi memanipulasi tuntutan rakyat, militer Mesir rencananya akan menggelar pemilu parlemen hari ini, Senin 28 November 2011. Seperti dilansir Reuters, ketidakpercayaan terhadap Dewan Militer meletus sejak beberapa minggu terakhir dan melahirkan demonstrasi rakyat yang kini telah menewaskan 41 orang. Pada pemilihan ini, para calon wakil rakyat, bertarung untuk memperebutkan 498 di majelis rendah parlemen yang akan berlangsung selama 12 hari hingga awal Januari 2012.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat, organiasi HAM, dan para kandidat telah berupaya keras untuk mendidik para pemilih menjelang pemungutan suara. “Saya tidak memiliki petunjuk tentang kandidat di kabupaten saya dan saya tidak percaya pihak manapun, karena saya belum pernah melihatnya berpolitik,” kata salah seorang warga Wael Aly.

Untuk mengantisipasi banyaknya masyarakat yang belum mengetahui Pemilu ini, beberapa media setempat, termasuk tokoh masyarakat melakukan kampanye tata cara pemilu, termasuk pihak televisi memberikan 337 jam iklan gratis untuk partai dan kampanye kesadaran bagi warga negara

“Saya takut bahwa kita akan berakhir dengan sebuah parlemen yang lemah yang tidak akan cukup kuat untuk mengambil tindakan,” kata Aly. “Semoga Allah bersama kita.” tambahnya.

Rakyat Mesir tidak percaya militer

Bagaimana tanggapan rakyat Mesir, terutama para demonstran terhadap rencana pemilu perlemen yang akan digelar dewan militer pada hari ini (28/11) masih belum diketahui. Pastinya, mereka sangat anti dan menolak campur tangan dewan militer dalam pemerintahan Mesir ke depan.

Hal ini terbukti dengan penolakan rakyat Mesir kepada Perdana Menteri yang baru saja diangkat. Baru sehari menjadi Perdana Menteri Mesir, Kamal Al-Ganzuri ditolak oleh masyarakat Mesir. Warga Mesir menganggap Ganzuri tak ubahnya seperti pemimpin Mesir sebelumnya.

Ribuan demonstran yang ketika itu memadati Tahrir Square langsung menolak ditunjuknya Ganzuri oleh Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF). Ganzuri dianggap bukan sosok yang pas untuk memimpin masa transisi di Mesir.

“Kami tidak ingin seseorang yang telah dipilih oleh Dewan Militer, kami ingin seorang warga sipil yang bersama kami di Tahrir selama revolusi, seseorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat,” kata pengunjuk rasa, Omar Abdel Mansur, seperti dilansir AFP, Sabtu (26/11/2011).

Salah seorang pengunjuk rasa lainnya, Muhammad Khattab (30) berteriak lantang, “Para pemuda Tahrir telah mengusulkan (beberapa) nama, satu dari mereka layak dipilih,” teriak Khattab.

Khattab melanjutkan, kesalahan terbesar rakyat Mesir adalah mereka selama ini cuma berfikir untuk menggulingkan Husni Mubarak, tanpa berfikir regenerasi yang tepat untuk memimpin Mesir.

“Kesalahan kita dalam revolusi (Januari-Februari) adalah berpikir bahwa kita hanya untuk menggulingkan Mubarak.”

Bagaimana masa depan Mesir selanjutnya? Wallahu’alam bis showab!

Sumber : (Arrahmah.com)
(M Fachry/arrahmah.com)

Sunday, November 27, 2011

Kajian Cara Menilai Sebuah Kejujuran

Kejujuran adalah tanda bukti keimanan. Orang mukmin pasti jujur. Kalau tidak jujur, keimanannya sedang diserang penyakit munafik.

Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Apakah mungkin seorang mukmin itu kedekut?”

Baginda menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: “Tidak.” (HR Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’)

Apa yang boleh dipelajari daripada hadis ini ialah seorang mukmin tidak mungkin melakukan pembohongan.

Kejujuran adalah pangkal semua perbuatan baik manusia. Tidak ada perbuatan dan ucapan baik kecuali kejujuran.

Oleh sebab itu, Allah menyuruh orang-orang mukmin agar selalu berkata benar dan berlaku jujur. Ini diperintah oleh Allah melalui firman-Nya yang bermaksud:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang jujur dan benar. (al-Ahzab: 70)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

“Kamu semua wajib bersikap jujur kerana kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada syurga”. (HR Ahmad, Muslim, at-Tirmizi, Ibnu Hibban)

Kejujuranlah yang menjadikan Ka’b bin Malik mendapat keampunan langsung dari langit sebagaimana Allah jelaskan dalam surah at-Taubah. Kejujuranlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang Muslim daripada seksa api neraka di kemudian hari.

Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlak, dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap, akhlak tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia.

Di sinilah pentingnya kejujuran bagi kehidupan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

“Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan-akan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan.” (HR Abu Dunya)

Ada tiga tingkatan kejujuran :

Pertama, kejujuran dalam ucapan, iaitu kesesuaian ucapan dengan realiti.
Kedua, kejujuran dalam perbuatan, iaitu kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
Ketiga, kejujuran dalam niat, iaitu kejujuran tertinggi di mana ucapan dan perbuatan semuanya hanya untuk Allah.
Seorang mukmin tidak cukup hanya jujur dalam ucapan dan perbuatan, tapi harus jujur dalam niat sehingga semua ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan harus berlandaskan mencari keredaan Allah.

Jelaslah kejujuran memainkan peranan penting dalam kehidupan seorang Islam yang ingin mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Seorang yang jujur tidak akan berdolak-dalik apatah lagi bermain kata-kata apabila berhadapan dengan sesuatu perkara.

Jika dia berada di pihak yang benar sudah pasti dia tidak akan takut untuk menzahirkan kejujuran atas keyakinan bahawa kebenaran pasti mengalahkan kebatilan.

Kejujuran inilah yang mendorong Umar Ibnul-Khattab memiliki tanggung jawab luar biasa dalam memerintah khilafah Islamiyah sehingga pernah berkata, “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Baghdad (padahal beliau berada di Madinah), pasti Umar akan ditanya kelak: “Mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?”

Bangsa yang tak henti-hentinya diterpa musibah dan krisis sangat memerlukan manusia-manusia jujur, baik dalam ucapan, perbuatan, mahupun niat.

Referensi : Achmad Satori Ismail

Berikut Hal-Hal Yang Mengurangi Wibawa

Hal-hal yang mengurangi wibawa

Hal-hal yang mengurangi “al-muruah” (wibawa) seseorang muslim di hadapan umum :

1. Makan minum berdiri/berjalan/dengan tangan kiri
2. Bersendawa keras
3. Banyak tertawa, terbahak-bahak
4. Banyak bercanda, banyak bicara, humor porno
5. Merokok
6. Bersalaman dengan bukan mahram
7. Menguap tanpa di tutup, ngupil
8. Buang angin terdengar walau bercanda pada keluarga sekalipun
9. Bau badan yang dibiarkan
10. Mata yang liar
11. Buang hingusan/ludah/sampah sembarangn
12. Kurang sopan bicara/berpakaian apatah lagi yang membuka aurat.

(Abdlmslim – KH Muhammad Arifin Ilham)

Kajian Etika Berdo’a

Sesuatu yang amat mulia dari seorang hamba pada Rabb-Nya adalah do’a. Ini disebabkan karena pada saat berdo’alah seorang hamba lebih menyatakan ketundukan dan kerendahan dirinya kepada Allah, penuh harap kepada-Nya memohon diberikan rahmat dan dijauhkan dari murka-Nya. Dan itulah arti dari pada ibadah yang sebenarnya.
Dari Abu Hurairahرضي الله عنه  berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :

ليس شيءٌ أكرم على الله من الدعاء

“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah dari pada do’a.” [HR.Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban, dan Al Hakim, ia berkata hadits shahih, Adz Dzahabi menyetujui].

Allah berfirman :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka ( jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku.” [QS.Al Baqarah : 186].

Karena itu, do’a juga termasuk dalam ibadah utama. Bahkan Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk berdo’a dan marah kepada siapa pun yang enggan untuk berdo’a kepada-Nya. Allah berfirman :

وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين

“Dan Tuhanmu berfirman : Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdo’a kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [QS. Ghafir : 60].
Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :

ومن لم يدع الله يغضب عليه

“Barangsiapa yang tidak berdo’a maka Allah marah kepadanya.” [HR. Ahmad, Tirmidzi, ibnu Majah, dan Bukhari dalam Adab Al Mufrad].

Rasulullah صلى الله عليه وسلم  juga memberikan perhatian yang besar dalam hal ini. Selain Beliau sendiri  bermudawamah –membiasakan diri- dengan banyak berdo’a, Beliau pun mengajarkan lafadz-lafadz dengan do’a-do’a tertentu sebagaimana dirinya mengajarkan surat-surat  Al Qur’an. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam berdo’a perlu bertaqayyud (membatasi diri) dengan do’a-do’a yang ma’tsur (diriwayatkan) dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم .
Mengingat do’a adalah ibadah yang hanya dapat ditujukan kepada Allah, maka wajib bagi kita untuk meluruskan pemahaman dan cara kita dalam berdo’a.
Beberapa hal yang patut untuk diperhatikan dan diluruskan dalam berdo’a adalah :

1.Senantiasa berdo’a kepada Allah baik ketika ditimpa musibah maupun tidak. Allah berfirman :

وإذا مس الإنسانَ الضرُّ دعانا لجنبه أوقاعداً أو قائماً فلما كشفنا عنه ضُرُّه مرّ كأن لم يدعنا إلى ضُرٍّ مسهُّ

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring , duduk, atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya dia (kembali) melalui (jalannya) yang sesat , seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.” [QS. Yunus : 12].

2.Tidak bermalas-malasan dalam berdo’a.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :

أعجِزُ الناس من عجز عن الدعاء وأبخلهم من بخل بالسلام

“Orang yang paling lemah adalah yang lemah (malas) untuk berdo’a dan orang yang paling kikir adalah yang kikir dalam bersalam.” [HR. Abu Ya’la, Thabrani, dan ibnu Hibban, dengan sanad yang shahih].

3.Tidak melampaui batas dalam berdo’a, seperti berdo’a dengan suara nyaring dan keras.
Allah berfirman :

ادعوا ربكم تضرعاً وخُفية إنه لايحب المعتدين

“Berdo’alah  kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut , sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [QS. Al A’raf : 55].

Dan termasuk dalam kategori melampaui batas dalam berdo’a, antara lain :

a.Terlampaui mendetail (merinci) permohonan dalam berdo’a.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah رضي الله عنها  :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستحب الجوامعَ من الدعاء ويدعُ سِوى ذلك

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم  biasa memilih untuk berdo’a dengan do’a-do’a yang jami’ (umum) dan meninggalkan yang selain itu.” [HSR. Ahmad dan Abu Daud].

b.Mendo’akan kecelakaan untuk diri sendiri, keluarga dan harta.
Allah berfirman :

ويدع الإنسانُ باشرِّ دعاءه بالخير وكان الإنسانُ عجولاَ

“Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebgaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” [QS. Al Isra’ : 11].

Demikianlah Allah melarang hamba-hamba-Nya berdo’a untuk kejelekan bagi dirinya dan orang lain, sekalipun seorang bapak atau Ibu yang mendo’akan kejelekan kepada anaknya sewaktu marah, karena dikhawatirkan do’a tersebut bertepatan dengan waktu dimana saat itu Allah menerima dan mengabulkan do’a hamba-Nya. Sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :

لاتدعوا على أنفسكم ولا تدعوا على أولادكم ، ولا تدعوا على أموالكم ، لا توافقوا من الله ساعةَ يسأل فيها عطاءً فيستجيب لكم

“Janganlah kamu berdo’a untuk (kecelakaan) terhadap dirimu begitupun terhadap anak-anakmu dan terhadap harta bendamu, jangan sampai nanti do’amu itu bertepatan dengan saat dimana Allah sedang memenuhi permohonan, sehingga do’a burukmu itu benar-benar terkabul.” [HR.Muslim].

c.Menyatakan dalam berdo’a : “Kabulkanlah jika Engkau menghendaki.”
Disebutkan dalam hadits :

عن أنسٍ بن ملكٍ رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا دعا أحدَكم فليعزم المسألةَ ولا يقولنّ : أللهم إنْ شئت فأعطني فإنه لا مُستكرهُ له

“Dari Anas bin Malik رضي الله عنه , bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم  jika seorang diantara kalain berdo’a maka hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam memohonkannya. Dan janganlah ia berdo’a : “Ya Allah  jika Engkau menghendaki, anugerahkanlah aku.”  Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat memaksa –Nya.” [HR. Bukhari dan Muslim].

d.Berdo’a memohon terjadinya dosa ataupun terjadinya pemutusan silaturrahim.
Rasulullahصلى الله عليه وسلم  bersabda :

لايزال يُستجابُ للعبدِ مالم يدع بإثمٍ أو قطيعةِ رحمٍ مالم يستأجل

“Akan selalu do’a seorang hamba dikabulkan selama ia tidak berdo’a untuk sebuah dosa, atau (berdo’a) untuk memutuskan silaturrahim serta selama ia tidak meminta dikabulkan dengan segera.” [HR. Muslim].

4.Tidak tergesa-gesa dalam mengharapkan terkabulnya do’a.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bersabda :

يُستجابُ لأحدِكم مالم يعجل يقول دعوتُ فلم يُستجب لي

“Akan selalu dikabulkan do’a seorang diantara kalian selama ia tidak meminta dikabulkan dengan segera, ia berkata : “Saya sudah berdo’a tetapi belum dikabulkan permohonanku.” [HR. Bukhari].

Berkata Umar bin Khattab : “Saya tidak terlalu mementingkan terkabulnya do’a tetapi yang terpenting bagiku adalah do’a itu (adalah ibadah) sehingga apabila kepentinganku adalah do’a maka ijabahnya  akan mengikuti.”

5.Tidak meninggalkan do’a karena lelah dan bosan.
Allah berfirman memuji sifat-sifat malaikat-malaikat-Nya :

وله من في السماواتِ والأرضِ ومن عنده لا يستكبرون عن عبادته ولا يستحسرون . يُسبحون الليلَ والنهارَ لا يفتُرون

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang dilangit dan dibumi. Dan Malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” [QS. Al Anbiya : 19-20].

6.Tidak berdo’a dengan hati yang lalai.
Rasulullahصلى الله عليه وسلم  bersabda :

واعلموا أن الله لا يستجيبُ دُعاءً من قلب غافل لاه

“Dan ketahuilah ! Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do’a yang datang dari hati yang lalai dan lengah.” [HR. Tirmidzi dan Thabrani dari Abu Hurairah dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani].

7.Mengangkat kedua tangan dalam berdo’a.
Rasulullahصلى الله عليه وسلم  bersabda :

إن اللهَ حيٌ كريمٌ يستحيي إذا رفع الرجلُ إليه يديه أن يرُدَهما صفراً خائبين

“Sesungguhnya Allah yang Maha hidup dan Maha pemurah merasa malu jika seseorang mengangkat kedua  tangannya (berdo’a) kepada-Nya dikembalikan kosong tidak mendapat apa-apa.” [HR.Abu Daud dan Tirmidzi dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani].

8.Senantiasa memulai do’a dengan pujian kepada Allah dan Shalawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم .
Rasulullahصلى الله عليه وسلم  bersbda :

إذا صلى أحدكم فليبدأ بتحميد الله والثناء ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعوا بماشاء

“Apabila seseorang diantara kalian berdo’a, maka hendaklah ia memulai dengan Alhamdulillah dan pujian-pujian kepada Allah, lalu bershalawat kepada Nabi dan kemudian ia berdo’a dengan apa yang ia kehendaki.” [HSR. Abu Daud].

Demikian beberapa hal yang patut diperhatikan dan diluruskan oleh setiap muslim ketika berdo’a. Tertolak atau terkabulnya sebuah do’a adalah hak prerogatif Allah.

Maka selama kita mengikhlaskan do’a hanya kepada Allah semata dan sesuai dengan adab dan syarat-syarat yang dicontohkan oleh Rasulullah, maka insyaAllah Allah akan mengabulkannya, dan Dia Maha mendengar semua do’a.
Wallahu’alam

Maraji’ :
Tashhiihud Du’a, karya Syeikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, hal 57-70

Kajian Ustadz Alfi Syahar, MA

Kabar Gembira Bagi Seorang Ibu dan Bapa

Wahai para ibu dan para bapak, wahai para pendidik, marilah rehat sejenak bersama kami. Marilah kita duduk melingkar, bersimpuh sejenak melemaskan penat dan meletakkan beban barang semasa. Ijinkan kami mengusap peluh kalian. Sementara kalian beristirahat, kami hendak mengabarkan kepada kalian sebuah khabar yang mulia nan menyejukkan. Simaklah penuturan kami ini, penuturan yang akan senantiasa berulang bagi kalian para pendidik yang mulia

Kami mengetahui betapa beratnya tugas mendidik generasi perempuan di masa kini, masa yang seakan tiada menyisakan kesempatan untuk rehat bagi para pejuang pendidikan yang ikhlas. Karena dimasa ini, gelombang arus seretan kejahatan makin liar menerpa, dari depan, belakang, samping kanan dan kiri, bahkan dari atas dan dari bawah. Hari-hari selalu kita temui kasus-kasus buruk hasil ulah dan polah anak didik, tidak perlu disebut satu per satu disini, karena engkaupun juga tahu. Semoga dengan khabar baik yang hendak kami sampaikan ini menambah daya juang kita semua, memompa semangat yang mulai pudar.

Khabar baik nan menyenangkan ini datang dari lisan Kekasih Umat, Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam yang tidaklah keluar dari lisannya bersalah dari hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Ketahuilah bahwa mendidik anak perempuan itu akan menjadi penghalang dari api neraka.

Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata: “Ada seorang wanita masuk besama dua anak perempuannya seraya meminta diberi sesuatu. Akan tetapi aku tidak mendapatkan sesuatu untuk diberikan kecuali sebutir buah kurma. Aku berikan sebutir buah kurma tersebut kepadanya. Kemudian si ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Sementara ia sendiri tidak makan. Kemudian mereka keluar dan pergi. Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Datang dan masuk kepada kami, aku beritahukan kisah ini kepadanya. Kemudian beliau berkata: “Barangsiapa yang diuji dengan mendapatkan anak peremuaan kemudian ia berbuat baik kepada mereka (dengan mendidiknya) maka anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari sentuhan api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nyata dan terasa betapa tingginya kasih sayang ibu yang tak terhingga, menembus akal rasio yang ada. Fokus dari sabda tsb ada pada terhalangnya sang pendidik dari api neraka. Sementara dari kisah yang lain, fokus penekanan Rasulullah bertambah dengan dimasukkannya ke surga.

Diriwayatkan oleh Aisyah ra. ia berkata: “Aku kedatangan seorang ibu miskin yang membawa kedua anak perempuannya. Aku berikan kepadanya tiga butir buah kurma. Kemudian ia memberikan masing-masing dari kedua anaknya satu butir kurma dan yang satu butir lagi ia ambil untuk dimakan sendiri. Akan tetapi, ketika ia akan memakannya, kedua anaknya itu memintanya. Akhirnya satu butir kurma itu dibelah dua dan diberikan kepada mereka berdua. Kejadian itu mengagumkanku. Maka, aku ceritakan hal itu kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dengan demikian beliau bersabda: “Allah Subhanhu Wa Ta'ala. mengharuskan ibu itu masuk surga atau membebaskannya dari neraka disebabkan kasih sayangnya terhadap anak perempuannya.” (HR. Muslim)

Kejadian ini persis dengan kejadian yang dikisahkan pada hadits yang sebelumnya. Akan tetapi, pengorbanan seorang ibu dalam kejadian di hadits ini lebih nampak dan sifat itsar (memperioritaskan orang lain daripada diri sendiri)nya lebih besar, dimana ia tidak makan sedikit pun dan mendahulukan kedua anaknya. Itsar, ah sebuah terminologi yang kian lapuk dimasa ini.

Dan tahukah tempat anda kelak dimana, wahai para pendidik yang mulia? Anda akan menempati tempat yang membuat iri setiap hati yang beriman. Sebuah tempat yang hanya dimiliki oleh orang-orang istimewa. Itulah tempat yang dekat dari sisi Nabi yang mulia.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. telah bersabda: “Barangsiapa mengurus dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa maka ia datang di hari kiamat bersamaku.” Beliau merapatkan jari-jemarinya. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini terdapat bisyaroh (kabar kembira) yang besar bagi orang yang dikaruniai dua anak perempuan kemudian ia merawat dan mendidiknya dengan baik, dimana ia nanti di hari kiamat masuk dalam kelompok Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, dan senantiasa menyertai beliau sebagaimana jari telunjuk dan jari tengah yang akan selalu berdampingan dan dekat ketika digenggamkan. Hal ini cukup menjadi keutamaan dan kebanggaan karena orang yang berada di sisi Rasulullah pada hari yang penuh dengan rasa bingung dan goncang hati Insya Allah akan terjamin dan aman dari kekacauan yang terjadi pada hari itu.

Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa yang mengurus dua anak perempuan maka aku dan dia akan masuk surga seperti ini.” Beliau berisyarat dengan dua jarinya (telunjuk dan jari tengah). (HR. Tirmidzi)

Pengertian hadits ini adalah bahwa orang seperti itu akan termasuk assabiqunal-awwalun (yaitu orang-orang yang lebih dahulu) dalam masuki surga.

Sementara kekhawatiran akan teks khabar yang selalu menyebut dua anak perempuan tampak menggayuti kalbu sebagian orang. Tetapi, lagi-lagi Islam adalah syariat yang sempurna. Kesempurnaannya lebih jauh dan lebih tinggi dari apa yang kita bayangkan. Mengenai keutamaan merawat dan mendidik satu anak perempuan saja, Sang Kekasih juga telah mengabarkan.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mempunyai satu anak perempuan kemudian ia tidak menguburkannya hidup-hidup, tidak menghinakannya dan tidak mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan maka Allah akan memasukannya ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah menerangkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin masuk surga, yaitu dengan berbuat ihsan terhadap anak perempuan, diantara rinciannya sebagai berikut:

1. Merawatnya hidup dan tidak menguburkannya hidup-hidup seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
2. Memuliakan, memelihara dengan baik dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, kebanggaan dan penghormatan tanpa merendahkan ataupun menghinakan
3. Tidak mengutamakan anak laki-laki ketimbang anak perempuan dalam memperlakukan mereka

Masih belum puas jika kami belum juga mengabarkan kepada kalian Hadits yang lain, simaklah kelanjutannya.

Diriwayatkan dari Uqbah bin Nafie ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. bersabda, “Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan kemudian ia sabar atas (merawat dan mendidik) mereka serta ia memberi makan dan minum mereka dari apa-apa yang ia dapatkan maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang baginya dari api neraka di hari kiamat.” (HR. Ahmad)

“Barangsiapa yang menanggung dua atau tiga anak perempuan; dua atau tiga saudara perempuan hingga mereka meninggal dunia atau ia lebih dahulu meninggal dunia maka aku dan dia seperti dua ini.” (Shahih al Jami’)

Beliau berisyarat dengan dua jarinya; telunjuk dan jari tengah.

Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa yang mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian ia bertakwa kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala. Dan menanggung keperluan mereka maka ia kan bersamaku di surga.” Beliau berisyarat dengan jari jemarinya.

Bagaimana kini perasaan anda, wahai sang murabbi (pendidik)? Resapilah khabar-khabar nubuwwah itu, hiruplah bersama setiap helaian nafas anda. Hiruplah yang panjang dan sedalam-dalamnya. Kita semua memerlukan itu untuk bersiap menghadapi amanah generasi perempuan ini.

Telah kami sampaikan khabar mulia diatas, kini bangkitlah kembali! Kita sudah berehat barang sejenak, sekarang berdirilah. Rapikan kembali pakaian kita, susun dan atur kembali bekal yang kita punyai. Bersama kita bergandengan tangan, bersama kita beratur dalam berisan, berjuang sekuat kemampuan, mengusahakan semampu yang kita bisa tahan. Mari kita tunaikan tugas mulia mendidik dan merawat generasi perempuan. Semoga Allah Subhanhu Wa Ta'ala membimbing dan menguatkan setiap langkah kita, amin.

*Mahasiswa S3 Keio University, Yokohama, Jepang.

*sumber: Ziyaadatul khasanaat fii tarbiyatil banaat, Muhammad bin Ali al-‘Arfaj, diunduh dari islamhouse[dot]com.

Diharamkannya Zina dan Sebab-Sebabnya

Allah Subhanhu Wa Ta'ala Mengharamkan Zina dan Sebab-Sebab yang Mengarah Kepadanya
Kaidah syari’at yang suci menegaskan bahwa ketika Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan sebab-sebab, jalan serta wasilah yang mengarah kepadanya. Hal ini untuk mewujudkan maksud dari pengharaman sesuatu tersebut, mencegah agar tidak sampai kepadanya atau mendekatinya. Disamping menjaga agar tidak terjadi perbuatan dosa serta ke-madharat-an yang menimpa individu ataupun masyarakat.

Sekiranya Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sesuatu, namun membolehkan wasilah yang mengarah ke sana, niscaya akan terjadi kontradiksi atas pengharaman tersebut. Sangat mustahil syari’at Rabb semesta alam mengandung unsur seperti itu.

Perbuatan zina adalah kekejian yang besar, sangat buruk, dan sangat berbahaya terhadap kewajiban-kewajiban agama. Oleh karenanya, pengharaman zina telah diketahui dalam agama secara pasti. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa: 32).

Oleh karenanya, Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan sebab-sebab yang mengarah kepada perbuatan zina seperti ikhtilath (campur baur antara laki-laki dengan perempuan, red.), perempuan yang menyerupai laki-laki maupun sebaliknya, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan keraguan, fitnah, dan kerusakan.

Renungkanlah rahasia agung yang terkandung dalam rahasia-rahasia dan mukjizat Al-Qur’an Al-Karim. Ketika Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyebutkan kekejian zina dan pelarangannya secara tegas pada pembukaan surat An-Nur, mulai dari awal hingga ayat ke tiga puluh tiga. Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyebutkan tiga belas wasilah untuk menanggulangi perbuatan dosa tersebut serta menjaga agar tidak menimpa masyarakat muslim yang masih menjaga nilai-nilai kesucian. Wasilah tersebut berupa amalan, ucapan, dan kemauan.

Pertama, menyucikan pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan dengan hukuman had.

Kedua, membersihkan diri dengan jalan menjauhkan pernikahan dari pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan, kecuali setelah ia bertaubat dan diketahui kebenaran taubatnya.

Kedua wasilah diatas berkaitan dengan perbuatan (amaliyah).

Ketiga, membersihkan lisan dari menuduh seseorang telah melakukan perbuatan zina. Bagi siapa saja yang menuduh seseorang telah melakukan zina namun tidak dapat mendatangkan bukti, maka baginya dikenakan hukuman qadzaf.

Keempat, membersihkan lisan suami dari menuduh istrinya telah melakukan perbuatan zina tanpa bukti. Kalau hal itu terjadi, maka ia dikenai hukuman li’an.

Kelima, membersihkan jiwa dan menutup hati dari prasangka buruk terhadap sesama muslim berkaitan dengan perbuatan zina.

Keenam, membersihkan kemauan dan menahannya dari menyebarkan kekejian dikalangan kaum muslimin. Sebab, dengan tersebarnya perbuatan tersebut akan melemahkan orang-orang yang mengingkarinya dan sebaliknya, akan menguatkan golongan fasiq dan orang-orang yang menyetujui tindakan tersebut. Oleh karenanya, siksaan bagi golongan ini lebih pedih dari yang lainnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nur: 19).

Kesenangan menebarkan kekejian akan mengundang semua wasilah keburukan yang mengarah pada perbuatan zina tersebut, baik dengan ucapan, perbuatan, bentuk persetujuan, termasuk mendiamkannya.

Ketujuh, tindakan preventif secara umum, yaitu dengan cara membersihkan jiwa dari was-was dan bisikan jahat yang merupakan awal langkah setan yang ditiupkan ke dalam jiwa kaum mukminin agar mereka terjerumus ke dalam perbuatan dosa. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh pada mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar.” (QS. An-Nur: 21).

Kedelapan, disyari’atkannya meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain agar seseorang tidak terjerumus pada melihat aurat pemilik rumah.

Kesembilan, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat wanita yang bukan mahramnya.

Kesepuluh, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat laki-laki yang bukan mahramnya.

Kesebelas, diharamkannya bagi kaum wanita untuk memperlihatkan perhiasannya kepada laki-laki yang bukan mahramnya.

Kedua belas, larangan melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki, seperti seorang wanita menghentakkan kakinya agar terdengar suara gelang kakinya sehingga menarik perhatian orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit.

Ketiga belas, perintah untuk menjaga kesucian bagi orang-orang yang tidak mampu menikah dan melakukan sebab-sebab yang dapat membantuk melaksanakan perintah tersebut.

Diantara etika hubungan pergaulan antara kaum laki-laki kepada sesama laki-laki yaitu tetap merupakan kewajiban bagi mereka untuk tetap menutup aurat.

Adapun hak wanita terhadap sesamanya yaitu menutup aurat dihadapan wanita lain dan diharamkan seorang wanita menyebutkan ciri-ciri wanita lain kepada suaminya. Sedangkan sebab terbesar yang dapat menjaga agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina adalah kewajiban hijab bagi kaum muslimah. Hijab tersebut berfungsi untuk menjaga mereka dan menjaga kehidupan mereka tetap berada dalam kesucian, senantiasa menjaga rasa malu, menghindari perkataan kotor, dan untuk menghindarinya dari tingkal laku yang tidak bermoral.

Referensi : Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid, Menjaga Kehormatan Muslimah: Daar An-Naba’

Kajian Keutamaan Menundukan Pandangan

Jagalah Hati, Tundukkan Pandangan

Menundukkan pandangan bukan berarti harus menundukkan kepala sehingga berjalan tak fokus arah, atau memejamkan mata hingga tidak melihat sama sekali. Secara bahasa, غَضُّ البَصَرِ (gadh-dhul bashar) berarti menahan, mengurangi atau menundukkan pandangan.

Maksudnya adalah menjaganya dan tidak melepas kendalinya hingga menjadi liar. Pandangan yang terpelihara adalah apabila seseorang memandang sesuatu yang bukan aurat orang lain, lalu ia tidak mengamat-amati keelokan parasnya, tidak berlama-lama memandangnya, dan tidak memelototi apa yang dilihatnya. Singkatnya, menahan dari apa yang diharamkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala dan Rasul-Nya untuk kita memandangnya.

Dalil Kewajiban Menahan Pandangan

1. Dari al-Qur’an

Allah Subhaanahu Wata’ala berfirman, artinya,

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.” (QS. an-Nur [24]: 30-31)

Para ulama tafsir menyebutkan bahwa kata ‘min’ dalam ‘min absharihim’ maknanya adalah sebagian, untuk menegaskan bahwa yang diharamkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala hanyalah pandangan yang dapat dikontrol atau disengaja, sedangkan pandangan tiba-tiba tanpa sengaja dimaafkan. Atau untuk menegaskan bahwa kebanyakan pandangan itu halal, yang diharamkan hanya sedikit saja.

Berbeda dengan perintah memelihara kemaluan yang tidak menggunakan kata min karena semua pintu pemuasan seksual dengan kemaluan adalah haram kecuali yang diizinkan oleh syariat saja (nikah).

Larangan menahan pandangan didahulukan dari menjaga kemaluan karena pandangan yang haram adalah awal dari terjadinya perbuatan zina.

Berkata Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy—rahimahullah, “Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang menjadikan mata itu berdosa karena memandang hal-hal yang dilarang berdasarkan firman Allah Subhaanahu Wata’ala yang artinya,

“Dia mengetahui khianatnya (pandangan) mata dan apa yang disembunyikan oleh hati”. (QS. Ghafir: 19).

Ini menunjukkan ancaman bagi yang menghianati matanya dengan memandang hal-hal yang dilarang.”

Imam al-Bukhary—rahimahullah—berkata, “Makna dari ayat (an-Nuur: 31) adalah memandang hal yang dilarang karena hal itu merupakan pengkhianatan mata dalam memandang.” (Adhwa` al-Bayan 9/190).

2. Dalil dari Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
Dari Jarir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang pandangan tiba-tiba (tanpa sengaja), lalu beliau memerintahkanku untuk memalingkannya.” (HR. Muslim).

Maksudnya, jangan meneruskan pandanganmu, karena pandangan tiba-tiba tanpa sengaja itu dimaafkan, tapi bila diteruskan berarti disengaja.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan seorang perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain. Seorang laki-laki tidak boleh bersatu (bercampur) dengan laki-laki lain dalam satu pakaian (selimut), dan seorang perempuan tidak boleh bercampur dengan perempuan lain dalam satu pakaian (selimut).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud & Tirmidzi).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu Anhu, “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya, karena yang pertama itu boleh (dimaafkan) sedangkan yang berikutnya tidak.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud dan dinyatakan hasan oleh al-Albani).

Imam An-Nawawy mengatakan, “Pandangan kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa.”

الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ، وَزِنَاهُمَا النَّظَرُ

“Dua mata itu berzina, dan zinanya adalah memandang.” (Muttafaq ‘alaih).

Imam Bukhari dalam menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan lainnya pun dapat berzina.

Akibat Negatif Memandang yang Haram

1 Rusaknya hati
Pandangan yang haram dapat mematikan hati seperti anak panah mematikan seseorang atau minimal melukainya. Segala peristiwa bermula dari pandangan, dan api yang besar itu berasal dari percikan api yang kecil. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin jika berbuat dosa maka akan ada satu noda hitam di hatinya, jika ia bertaubat dan berlepas dari dosanya maka hatinya akan menjadi bersih, namun jika dosanya bertambah maka noda hitam tersebut akan semakin bertambah hingga menutupi hatinya, itulah noda yang disebutkan oleh Allah Azza Wajalla dalam al-Qur`an (artinya), “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya dosa yang mereka perbuat itu menutupi hati mereka.”
2. Terancam jatuh kepada zina
Ibnul Qayyim—rahimahullah—berkata bahwa pandangan mata yang haram akan melahirkan lintasan pikiran, lintasan pikiran melahirkan ide, sedangkan ide memunculkan nafsu, lalu nafsu melahirkan kehendak, kemudian kehendak itu menguat hingga menjadi tekad yang kuat dan biasanya diwujudkan dalam amal perbuatan (zina).

Akses terhadap pornografi yang begitu mudah, hingga kalangan anak-anak sekalipun telah menjadi pemicu meningkatnya pemerkosaan dan seks bebas. Semuanya berawal dari mata yang khianat terhadap larangan-larangan Allah Azza Wajalla.

3. Lupa ilmu

Imam Waki’ bin Jarrah salah seorang guru Imam Syafi’i berkata, “Sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

Kebiasaan seseorang menahan pandangan dari hal-hal yang diharamkan akan menjadikan hatinya bersih. Kebersihan hati memudahkan masuknya nur atau cahaya petunjuk dari Allah Subhaanahu Wata’ala kedalamnya.

Sebaliknya kebiasaan memandang hal-hal yang diharamkan Allah, seperti aurat orang lain maka akan menjadikan hatinya kotor dengan kemaksiatan dan dosa yang lama-kelamaan semakin menutupi kebersihan hatinya sehingga sulit ditembus oleh nur hidayah-Nya.

4. Turunnya bala’
Amr bin Murrah berkata, “Aku pernah memandang seorang perempuan yang membuatku terpesona, kemudian mataku menjadi buta. Kuharap itu menjadi kafarat penghapus dosaku.”
5. Menambah lalai terhadap Allah Azza Wajalla dan hari akhirat

    6. Rendahnya nilai mata yang memandang yang haram dalam pandangan syariat Islam

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jika seseorang melongok ke dalam rumahmu tanpa izinmu, lalu kau sambit dengan kerikil hingga buta matanya, tak ada dosa bagimu karenanya.” (Muttafaq ‘alaih).

Manfaat Menahan Pandangan
Di antara manfaat menahan pandangan adalah:

Membebaskan hati dari pedihnya penyesalan, karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka penyesalannya akan berlangsung lama.
Hati yang bercahaya dan terpancar pada tubuh terutama mata dan wajah, begitu pula sebaliknya jika seseorang mengumbar pandangannya.
Terbukanya pintu ilmu dan faktor-faktor untuk menguasainya karena hati yang bercahaya dan penuh konsentrasi.
Mempertajam firasat dan prediksi
Syuja’ Al-Karmani berkata,
“Siapa yang menyuburkan lahiriyahnya dengan mengikuti sunnah, menghiasi batinnya dengan muraqabah, menundukkan pandangannya dari yang haram, menahan dirinya dari syahwat, dan memakan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah.”
Menjadi salah satu penyebab datangnya mahabbatullah (kecintaan dari Allah Subhaanahu Wata’ala).
Al-Hasan bin Mujahid berkata,

غَضُّ البَصَرِ عَنْ مَحَارِمِ اللهِ يُوْرِثُ حُبَّ اللهِ.

“Menahan pandangan dari apa yang diharamkan Allah akan mewarisi cinta Allah.”

Faktor-faktor Penyebab Mampu Menahan Pandangan
Di antara faktor yang membuat seseorang mampu menahan pandangannya adalah:

Hadirnya pengawasan Allah dan rasa takut akan siksa-Nya di dalam hati.
Menjauhkan diri dari semua penyebab mengumbar pandangan.
Meyakini semua bahaya mengumbar pandangan.
Meyakini manfaat menahan pandangan.
Melaksanakan pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk segera memalingkan pandangan ketika melihat yang haram.
Memperbanyak puasa.
Menyalurkan keinginan melalui jalan yang halal (pernikahan).
Bergaul dengan orang-orang shaleh dan menjauhkan diri dari persahabatan akrab dengan orang-orang yang rusak akhlaknya.
Selalu merasa takut dengan su’ul khatimah ketika meninggal dunia.

Wallahul Musta’an wailaihi at Tuklan

Dari berbagai sumber (Al Fikrah Edisi17/10 Juli 2007)(wahdah/af)

Saturday, November 26, 2011

Kajian Dzikir, Bersyukur, dan Beribadah

Ada banyak ibadah yang menjadi kewajiban seorang muslim dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, salah satu diantaranyanya adalah Dikir, Bersyukur, dan Beribadah dengan baik. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berpesan kepada para sahabat, “Wahai sahabatku, hendaklah kalian tidak meninggalkan doa  Allohumma a’innii ‘alaa Dzikrika wasyukrika wahusni ‘ibaadatika, Ya Allah tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu serta beribadah dengan baik”.

Dzikir

Amalan dzikir tidaklah mudah diterapkan, terkadang kita ingat pada saat tertentu, tetapi lupa pada saat yang lain. Dzikir merupakan benteng dari godaan syetan untuk melakukan larangan-larangan-Nya. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dalam QS Al-Mujadillah 19: ”Syetan telah mengusai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah, mereka itulah golongan syetan. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan syetan itulah golongan yang merugi”.

Artinya, apabila diri kita sudah dikendalikan oleh syetan, maka kita akan lupa mengingat Alloh dan berpotensi untuk melakukan larangan-larangan-Nya. kita akan menjadi sahabat syetan, dan termasuk kelompok yang merugi. Oleh karena itu, bentengilah diri kita dengan selalu berdzikir kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

Dalam surat Al-Ahzab 41-42, Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, Dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”.

Dikir juga merupakan syarat mutlak jika ingin menang dalam berdakwah, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Anfal 45: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi musuh, maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Alloh sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”.

Syukur

Allah Subhanhu Wa Ta'ala memerintahkan kepada kita untuk selalu bersyukur setiap saat, sementara dalam realitasnya kita susah melakukannya. Sehingga pantaslah Allah berfirman dalam QS al-Araf 10: “… Amat sedikitlah kamu bersyukur”.
Jika kita bicara terhadap nikmat yang diberikan Allah Subhanhu Wa Ta'ala, apakah kita tidak berfikir betapa banyaknya nikmat lisan, telinga, mata, kesehatan,dll yang kita dapatkan. Sekiranya kita menghitung nikmat tersebut, tidaklah dapat terhitung.

Imam al-ghozali bertanya kepada murid, apakah kaliah senang jika mata kalian diambil Allah dan diberi uang 100 dinar?, sang murid menjawab  tidak. Lalu sang imam bertanya kembali, apakah kalian senang juga seandainya kaki dan tangan diambil Allah dan diberi uang 200 dinar?, sang murid menjawab lagi, tidak. Sang iman berkata, inilah bukti kalian kurang bersyukur kepada Alloh, karena pada saat Allah  memberikan musibah masih banyak kenikmatan-kenikmatan lain yang diberikan kepada kalian. sehingga, jadilah orang-orang  yang selalu bersyukur, karena Allah akan menambah nikmatnya bagi hamba yang selalu bersyukur.

Baik dalam Beribadah

Dalam hal ini, seharusnya dalam melaksanakan ibadah (shalat, puasa, dakwah, jihad,dll) didasari oleh niat  ikhlas semata-mata ingin mendapatkan keridhoan dan pahala dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala.

“Dikutip dari ceramah subuh, tgl 9 April 2009 di Mesjid Darussalam Kota Wisata Cibubur”

Catatan dikutip oleh : Admal Syayid
Sumber Gambar : u must b lucky
Dikutip dan Ringkas Judul oleh situs Dakwah Syariah

Rating: 5

Kajian Tentang Cara Mensucikan Diri

Setiap muslim hendaknya berusaha sungguh-sungguh mensucikan diri (Tazkiyatun Nafs) dengan menjalankan apa yang di perintah dan menjauhi apa yang dilarang Allah dan rosulnya. Tiada waktu dalam sisa hidup, dilakukan untuk berjuang menjalaninya, sampai akhir hayat menjemput.

Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan acuan, sebagai bahan evaluasi apakah proses Tazkiyatun Nafs yang kita lakukan sudah berhasil atau belum. Indikator tersebut adalah sebagai berikut:
Iman bertambah kuat, bagus, dan kokoh. Tahan atas godaan syetan untuk menegakkan kebatilan.
Tumbuh semangat beramal shaleh di tengah masyarakat.
Mampu menahan hawa nafsu, yang mendorong untuk menghalalkan segala cara dan merampas hak orang lain.
Mampu menghindarkan diri dari maksiat kepada Allah. Sebaliknya melaksanakan ketaatan dalam segala bentuk persoalan.
Menerima takdir Allah dan tidak membencinya, diawali dengan usaha terbaik.
Tidak pernah bosan beribadah kepada Allah. Ber-dzikir saat bekerja, belajar dan lain sebagainya.
Tidak pernah jenuh menghadapi godaan syetan. Dalam dirinya takut jatuh saat melangkah hidup, baik di tengah maupun akhir hidupnya.
Kerjanya hanya berusaha mencari ridho Allah. Kekayaan dan jabatan hanya sebagai sarana untuk mencapai rido Allah, bukan sebagai tujuan utama hidup.
Mudah diberi nasehat, saat melakukan kesalahan.
Tidak pernah berhenti berdoa, dan menyadari atas kelemahaan diri atas-Nya.
Selalu bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang dilakukan selama beramal.
Mampu menghindari diri dari pekerjaan sia-sia.
Mengubah kejahatan dengan kebaikan.
Bagaimana cara untuk mewujudkan indikator di atas?, caranya adalah sebagai berikut:
Memperkuat keimanan secara terus menerus
Berusahan tidak melanggar perintah Allah
Memelihara dan waspada diri terhadap adzab Allah
Memelihara keikhlasan dan beribadah dan beramal
Mengutamakan / konsentrasi akhirat
Mengutamakan keridhoan Allah atas segala-galanya.

“Dikutip dari Khutbah Jum’at, Mesjid Toyota -Astra Motor,″

 Catatan dikutip oleh : Admal Syayid

Zakat Merupakan Ajaran Pokok Islam

Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengutus seorang sahabat bernama Muaz bin Jabal ke negeri Yaman. Ia ditugaskan sebagai duta besar Rasulullah menyampaikan ajaran islam kepada penduduk setempat. Sesaat sebelum berangkat rosul berpesan, Wahai Muaz, ajaklah mereka mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhamad utusan Allah. Jika mereka sudah mengakuinya, maka ajaklah melaksanakan shalat. Apabila mereka sudah taat shalat, maka ajaklah membayar zakat. Jika sudah taat, ajaklah ber-shoum, dan setelahnya ajaklah berhaji ke baitullah.

Berdasarkan kisah di atas, sesungguhnya zakat merupakan kewajiban pokok ajaran islam yang harus dimengerti oleh muslim, seperti halnya kewajiban Sholat, Shoum dan Haji. Setelah Rasulullah wafat, ada sekelompok manusia yang dicap sebagai murtad. Mereka ada dua golongan yaitu golongan yang mengaku dirinya nabi, dan golongan orang yang tidak mau membayar zakat. Kasus ini selanjutnya dibawa ke sang khalifah Abu Bakar Sidiq. Berdasarkan musyawarah para shahabat, disepakati bahwa orang murtad tersebut wajib diperangi karena mereka bukan muslim lagi. Maka terkenalah dalam sejarah islam adanya perang melawan orang-orang murtad.

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dalam al-Quran, “Wahai muhamad ambillah dari sebagian harta mereka sebagai sodaqoh (zakat), untuk membersihkan dan mensucikan mereka”. Para ulama bersepakat, jika seseorang tidak mau membayar zakat, maka pemerintahan (islam) berhak mengambil secara paksa sesuai takarannya. Bahkan rosululloh membolehkan mengenakan denda setengah dari hartanya.

Maka, marilah kita munculkan kesadaran membayar zakat dengan cara melakukan evaluasi masing-masing (self assesment) sebelum ada yang memerangi atau mengambil harta kita secara paksa.

Dalam islam dikenal ada dua jenis zakat, yakni zakat fitr dan zakat mal. Zakat fitr dibayarkan terkait datangnya idul fitri. Tujuannya membersihkan orang yang berpuasa dan memberikan makan orang miskin di hari raya. Sehingga saat hari raya, tidak ada orang yang tidak makan. Jenisnya berupa makanan pokok berupa gandum, kurma, tepung, dll. Aslinya waktu membayar zakat fitr adalah di malam takbiran, namun dibolehkan juga dibayar dipercepat asal tidak lewat dari shalat I’d. Zakat fitr diwajibkan bagi muslim yang mampu untuk diri dan tanggungannya, termasuk bayi yang lahir di malam takbiran.

Yang kedua adalah zakat mal atau zakat harta. Banyak jenis dari zakat ini yakni pertanian, perdagangan, pertambangan, binatang ternak, emas perak, harta karun, alat tukar uang (dinar, dirham, rupiah, dolar, yen, dll). Bagi kita yang umumnya berprofesi sebagai pengusaha atau karyawan, cara mudah melakukan self assesment untuk membayar zakat mal adalah sebagai berikut:

Hitunglah semua aset yang dimiliki  baik dari jenis tabungan, deposito, asuransi jamsostek, simpanan emas, atau surat berharga yang sudah mengendap selama 1 tahun. Rumah dan kendaraan yang dipakai sendiri tidak termasuk harta yang wajib dizakatkan.
Kurangi dengan utang yang jatuh tempo bulan berjalan.
Keluarkan 2.5persen dari total asset di atas. Inilah nilai zakat yang wajib kita keluarkan.
“Dikutip dari Kultum Tarawih, 14 Agustus 2011, Mesjid Darussalam Kota Wisata Cibubur, Narasumber Sofwan Jauhari Lc, M.Ag”
Referensi : Admal Syayid

Kajian Perkara Yang Merusak Amal

1. Kufur, Syirik, Murtad, dan Nifaq.

Wahai orang Muslim, wahai hamba Allah! Ketahuilah, siapa yang mati dalam keadaan kafir atau musyrik atau murtad, maka segala amal yang baik tidak ada manfaatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti shadaqah, silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lainnya. Sebab di antara syarat taqarrub adalah mengetahui siapa yang didekati. Sementara itu orang kafir tidak begitu. Maka secara spontan amalnya menjadi rusak dan sia-sia.

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman: "Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [Al-Baqarah: 217].

"Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia pada akhirat termasuk orang-orang yang merugi." [Al-Maidah: 5].

"Dan sesunggunya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: 'Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi'." [Az-Zumar: 65].

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman, mengabarkan tentang keadaan semua rasul: "Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya leyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." [Al-An'am: 88].

Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: "Apabila orang-orang mengumpulan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian untuk satu hari dan tiada keraguan di dalamnya, maka ada penyeru yang berseru: 'Barangsiapa telah menyekutukan seseorang dalam suatu amalan yang mestinya dikerjakan karena Allah, lalu dia minta pahala di sisi-Nya, maka sesungguhnya Allah adalah yang paling tidak membutuhkan untuk dipersekutukan'." [HR. At-Tirmidzi 3154, Ibnu Majah 4203, Ahmad 4/215, Ibnu Hibban 7301, hasan].

2. Riya'.

Celaan terhadap riya' telah disebutkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala: "... seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu sperti batu yang licin dan diatasnya ada tanah, kemudian batu itu mejadilah bersih (tidak bertanah). Mereka itu tidak menguasai sesuatu sesuatu apapun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir." [ Al-Baqarah: 264].

Rasullullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya yang aku paling takutkan atas kamu sekalian ialah syirik kecil, yaitu riya'. Allah berfirman pada hari kiamat, tatkala memberikan balasan terhadap amal-amal manusia, 'Pergilah kepada orang-orang yang dulu kamu berbuat riya' di dunia, lalu lihatlah apakah kamu mendapatkan balasan bagi mereka?" [HR. Ahmad 5/428, 429, shahih].

Maka dari itu jauhilah riya', karena ia merupakan bencana amat jahat, yang bisa menggugurkan amal dan menjadikannya sia-sia. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang riya' adalah pertama kali menjadi santapan neraka, karena mereka telah menikmati hasil perbuatannya di dunia, sehingga tidak ada yang menyisa di akhirat.

Ya Allah, sucikanlah hati kami dari nifaq dan amal kami yang riya' teguhkanlah kami pada jalan-Mu yang lurus, agar datang keyakinan kepada kami.

3. Menyebut-Nyebut Shadaqah dan Menyakiti Orang Yang Diberi.

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman jangalah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)." [Al-Baqarah: 264].

Ketahuilah wahai hamba Allah! Jika engkau menshadaqahkan harta karena mengharap balasa dari orang yang engkau beri, maka engkau tidak adakn mendapatkan keridhaan Allah. Begitu pula jika engkau menshadaqahkannya karena terpaksa dan menyebut-nyebut pemberianmu kepada orang lain.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir." [HR. Ibnu Abi Ashim 323, Ath-Thabrany 7547, hasan].

Abu Bakar Al-Warraq berkata, "Kebaikan yang paling baik, pada setiap waktu adalah perbuatan yang tidak dilanjuti dengan menyebut-nyebutnya."

Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman: "Perkataan baik dan pemberian maaf lebih baik dari shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." [Al-Baqarah: 263].

4. Mendustakan Takdir.

Ketahuilah wahai orang Mukmin, iman seorang hamba tidak dianggap sah kecuali dia beriman kepada takdir Allah, baik maupun buruk. Dia juga harus tahu bahwa bencana yang menimpanya bukan unutk menyalahkannya, dan apa yang membuatnya salah bukan untuk menimpakan bencana kepadanya. Semua ketentuan sudah ditetapkan dan ditulis di Mushhaf yang hanya dikethaui Allah semata, sebelum suatu peristiwa benar-benar terjadi dan sebelum Dia menciptakan alam.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir."

Dan sabda beliau yang lain: "Andaikata Allah mengadzab semua penhuni langit dan bumi-Nya, maka Dia tidak zhalim terhadap mereka. Dan, andaikata Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka dari amal-amal mereka. Andaikata engkau membelanjakan emas seperti gunung Uhud di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerima amalmu sehingga engkau beriman kepada takdir, dan engkau tahu bahwa bencana yang menimpamu, dan apa yang membuatmu salah bukan untuk menimpakan bencana kepadamu. Andaikata engkau mati tidak seperti ini, maka engkau akan masuk neraka." [HR. Abu Daud 4699, Ibnu Majah 77, Ahmad 5/183, 185, 189, shahih].

5. Meninggalkan Shalat Ashar.

Allah memperingatkan manusia agar tidak meninggalkan shalatul-wustha (shalat ashar) karena dilalaikan harta, keluarga atau keduniaan. Allah mengkhususkan bagi pelakunya dengan ancaman keras, khususnya shalat ashar. Firman-Nya: "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai dari shalatnya." [Al-Ma'un: 4-5].

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Orang tidak mengerjakan shalat ashar, seakan-akan dia ditinggalkan sendirian oleh keluarga dan hartanya." [HR. Al-Bukhari 2/30, Muslim 626]

Dari Abu Al-Malih, atau Amir bin Usamah bin Umair Al-Hadzaly, dia berkata, "Kami bersama Buraidah dalam suatu perperangan pada suatu hari yang mendung. Lalu ia berkata, 'Segeralah melaksanakan shalat ashar, karena Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah berkata: "Barangsiapa meninggalkan shalat ashar, maka amalnya telah lenyap." [HR. Al-Bukhari 2/31, 66].

6. Bersumpah Bahwa Allah Tidak Mengampuni Seseorang

Dari Jundab ra sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengisahkan tentang seorang laki-laki yang berkata, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni Fulan. Padahal Allah telah berfirman, 'Siapa yang bersumpah kepada-Ku, bahwa aku tidak mengampuni Fulan, maka aku mengampuni Fulan itu dan menyia-nyiakan amalnya (orang yang bersumpah)." [HR. Muslim 16/174].

Ketahuilah, bahwa memutuskan manusia dari rahmat Allah merupakan sebab bertambahnya kedurhakaan orang yang durhaka. Karena dia merasa yakin, pintu rahmat Ilahi sudah ditutup di hadapannya, sehingga dia semakin menyimpang jauh dan durhaka, hanya karena dia hendak memuaskan nafsunya. Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang tidak diberikan kepada orang lain.

Bukanlah sudah selayaknya jika Allah menghapus pahala amal orang yang menutup pintu kebaikan dan membuka pintu keburukan, sebagai balasan yang setimpal baginya?

7. Mempersulit Rasulullah, dengan Perkataan maupun Perbuatan.

Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lainm supaya tidak menghapus (pahala) amalanmu, sedang kamu tidak menyadarinya." [Al-Hujurat: 2].

Dari Anas bin Malik ra, tatkala ayat ini turun maka Tsabit bin Qais di rumahnya, seraya berkata, "Pahala amalku telah terhapus, dan aku termasuk penghuni neraka." Dia juga menghidari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Lalu beliau bertanya kepada Sa'd bin Mu'adz, "Wahai Abu Amr, mengapa Tsabit mengeluh?"

Sa'd menjawab, "Dia sedang menyendiri dan saya tidak tahu kalau dia sedang mengeluh."

Lalu Sa'd mendatangi Tsabit dan mengabarkan apa yang dikatakan Rasulullah. Maka Tsabit berkata, "Ayat ini telah turun, sedang engkau sekalian tahu bahwa aku adalah orang yang paling keras suaranya di hadapan Rasulullah. Berarti aku termasuk penghuni neraka."

Sa'd menyampaikan hal ini kepada beliau, lalu beliau berkata, "Bahwa dia termauk penghuni surga." [HR. Al-Bukhari 6/260, Muslim 2/133-134].

Dengan hadits ini jelaslah bahwa mengeraskan suara yang dapat menghapus pahala amal adalah suara yang menggangu Rasulullah, menentang perintah beliau, tidak taat dan tidak mengikuti beliau, baik perkataan maupun perbuatan.

Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." [Muhammad: 33].

8. Melakukan Bid'ah Dalam Agama.

Melakukan bid'ah akan mengugurkan amal dan menghapus pahala. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang menciptakan sesuatu yang baru dalam agama kami ini yang tidak termasuk bagian darinya, maka ia tertolak."

Dalam riwayat lain disebutkan: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak termasuk agama kami, maka ia tertolak." [HR. Al-Bukhari 5/301, Muslim 12/16].

9. Melanggar Hal-Hal Yang Diharamkan Allah Secara Sembunyi-Sembunyi.

Dari Tsauban ra, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: "Benar-benar akan kuberitahukan tentang orang-orang dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa beberapa kebaikan seperti gunung Tihamah yang berwarna putih, lalu Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu sebagai debu yang berhamburan". Tsauban berkata, "Wahai Rasulullah, sebutkan sifat-sifat mereka kepada kami dan jelaskan kepada kami, agar kami tidak termasuk diantara mereka, sedang kami tidak mengetahuinya". Beliau bersabda: "Sesungguhnya mereka itu juga saudara dan dari jenismu. Mereka shalat malam seperti yang kamu kerjakan. Hanya saja mereka adalah orang-orang yang apabila berada sendirian dengan hal-hal yang diharamkan Allah maka, mereka melanggarnya." [HR. Ibnu Majah 4245, shahih].

10. Merasa Gembira Jika Ada Orang Mukmin Terbunuh.

Darah orang Muslim itu dilindungi. Maka seseorang tidak boleh menumpahkan darahnya menurut hak Islam.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membunuh seorang Mukmin lalu ia merasa senag terhadap pembunuhannya itu, maka Allah tidak akan menerima ibadah yang wajib dan yang sunat darinya." [HR. Abu Daud 4270, shahih].

11. Menetap Bersama Orang-Orang Musyrik Di Wilayah Perperangan.

Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: "Aku berkata, 'wahai Nabi Allah, aku tidak pernah mendatangimu sehingga aku menjalin persahabatan lebih banyak dari jumlah jari-jari tangan? Apakah sekarang aku tidak boleh mendatangimu dan mendatangi agamamu? Sesungguhnya aku dulu adalah orang yang tidak pernah melalaikan sesuatu pun kecuali apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya kepadaku, dan sesungguhnya aku ingin bertanya atas ridha Allah, dengan apa Rabb-mu mengutusmu kepada kami?"

Beliau menjawab, "Dengan Islam."

"Apakah tanda-tanda Islam itu?", Dia bertanya.

Beliau menjawab, "Hendaklah engkau mengucapkan: 'Aku berserah diri kepada Allah', hendaklah engkau bergantung kepada-Nya, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Setiap orang Muslim atas orang Muslim lainnya adalah haram (menyakiti), keduanya adalah saudara dan saling menolong. Allah tidak akan menerima suatu amalan dari orang Muslim setelah dia masuk Islam, sehingga dia meninggalkan orang-orang kafir untuk bergabung dengan orang-orang Muslim." [HR. An-Nasa'i 5/82-83, Ibnu Majah 2536, Ahmad 5/4-5, hasan].

12. Mendatangi Dukun dan Peramal.

Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengancam orang-orang yang mendatangi dukun dan sejenisnya, lalu meminta sesuatu kepadanya, bahwa shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari. Beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya tentang sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari." [HR. Muslim 14/227].

Ancaman ini diperuntukkan bagi orang yang mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu kepadanya. Sedangkan orang yang membenarkannya, maka dia dianggap sebagai orang yang mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam." [HR. Muslim 135, Abu Daud 3904, Ahmad 2/408-476].

13. Durhaka Kepada Kedua Orang Tua.

Allah telah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu bapak dan berbakti kepada keduanya. Dia memperingatkan, mendurhakai keduanya dan mengingkari kelebihan keduanya dalam pendidikan merupakan dosa besar dan melenyapkan pahala amal. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir."

14. Meminum Khamr.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa meminum khamr, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Dan, jika mengulanginya keempat kalinya, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat maka Allah tidak mengampuninya dan Dia mengguyurnya dengan air sungai al-khabal." Ada yang bertanya, "Wahai Abu Abdurrahman (Nabi), apakah sungai al-khabal itu?" Beliau menjawab, "Air sungai dari nanah para penghuni neraka." [HR. At-Tirmidzi 1862, shahih].

15. Perkataan Dusta dan Palsu.Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pelaksaannya, maka Allah tidak mempunyai kebutuhan untuk meninggalkan makanan dan minumannya." [HR. Al-Bukhari 4/16, 10/473]. Di dalam hadits ini terkandung dalil perkataan palsu dan pengamalannya dapat meleyapkan pahala puasa. 16. Memelihara Anjing, Kecuali Anjing Pelacak, Penunggu Tanaman atau Berburu.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memelihara seekor anjing, maka pahala amalnya dikurangi setiap hari satu qirath (dalam riwayat lain: dua qirath) kecuali anjing untuk menjaga tanaman atau pun anjing pelacak." [HR. Al-Bukhari 6/360, Muslim 10, 240].

17. Wanita Yang Nusyuz, Hingga Kembali Menaati Suaminya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Dua orang yang shalatnya tidak melebihi kepalanya, yaitu hamba sahaya yang lari dari tuannya hingga kembali lagi kepadanya dan wanita yang mendurhakai suaminya hingga kembali lagi."

18. Orang Yang Menjadi Imam Suatu Kaum dan Mereka Benci Kepadanya.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga orang yang shalatnya tidak melebihi telinga mereka, yaitu hamba sahaya yang lari dari tuannya sehingga dia kembali yaitu hamba sahaya yang lari dari tuannya sehingga dia kembali, wanita yang semalaman suaminya dalam keadaan marah kepadanya, dan imam suatu kaum, sedang mereka benci kepadanya." [HR. At-Tirmidzi 360, shahih].

Ada kisah yang dinukil dari Manshur, dia berkata: "Kami pernah bertanya tentang masalah imam. Maka ada yang menjawab, "Yang dimaksud hadits ini adalah imam yang zhalim. Sedangkan imam yang menegakkan Sunnah, maka dosanya kembali kepada orang-orang yang membencinya."

19. Orang Muslim Mejauhi Saudaranya Sesama Muslim Tanpa Alasan Yang Dibenarkan Syariat.

Dari Abu Hurairah ra, seungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: "Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, lalu setiap hamba yang tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah akan diampuni, kecuali seseorang yang antara dirinya dan saudaranya terdapat permusuhan. Lalu dikatakan: 'Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai." [HR. Muslim 16/122, 123].

Thursday, November 24, 2011

Kajian Sumber-Sumber Hukum Islam

Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan sunah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.
A. Al Qur’an

Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.

Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala, malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an

Isi kandungan Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.

1. Segi Kuantitas

Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata

2. Segi Kualitas

Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:

Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah Subhanhu Wa Ta'ala dan hal – hal lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
Hukum yang berhubungan dengan Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
Hukum yang berkaitan dngan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:

Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
Hukum yang berkaitan dengan amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:

Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.

B. Hadits

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Allah Subhanhu Wa Ta'ala telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:
Artinya: “ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)

Perintah meneladani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR Imam Malik)

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.

Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah Subhanhu Wa Ta'ala didalam Al Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam firmannya : “…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)

Ayat diatas juga diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.

Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah Subhanhu Wa Ta'ala mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)

Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)

Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:

Rawinya bersifat adil
Sempurna ingatan
Sanadnya tidak terputus
Hadits itu tidak berilat, dan
Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menepuk-nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:

mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
mengetahui soal-soal ijma
menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala: (lihat Al-Qur’an onlines di google)

Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)

Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini

Qiyas (analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

Dasar (dalil)
Masalah yang akan diqiyaskan
Hukum yang terdapat pada dalil
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain

Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk kepentingan keadilan
Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.

D. Pembagian Hukum dalam Islam

Hukum dalam Islam ada lima yaitu:

Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa
Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi MuhammadShallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam sebuah haditsnya yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.

Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam.

Hukum yang diambil dari nash yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah Subhanhu Wa Ta'ala, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:

اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقاً

Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:

Artinya: “Dan sapulah kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.

مَا اَنْهَرَ الدَّ مَ وَ ذُ كِرَ اِسْمَ اللهِ عَلَيْهِ

Alat apapun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.

Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah Subhanhu Wa Ta'ala menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.

Hukum yang tidak ada dari nas, baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa kini atau sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain. Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.

Referensi: Siti nur alfiah