Tidakkah kita mengingat firman Allah dalam al-Qur-an:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا. وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (18). Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik (19).” [QS. al-Israa: 18-19]
Terkesima oleh ranum hijaunya dunia adalah perkara yang manusiawi dan sejalan dengan fitrah, dan itu tidak tercela selama hasrat duniawi masih di atas rel syariat. Yang salah adalah sikap lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat, dan inilah kiranya yang menjadi target celaan dalam hadits di atas. Tidak heran jika Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam sangat mengkhawatirkan kita saat dunia terhampar di hadapan kita.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا. وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir (18). Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik (19).” [QS. al-Israa: 18-19]
Terkesima oleh ranum hijaunya dunia adalah perkara yang manusiawi dan sejalan dengan fitrah, dan itu tidak tercela selama hasrat duniawi masih di atas rel syariat. Yang salah adalah sikap lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat, dan inilah kiranya yang menjadi target celaan dalam hadits di atas. Tidak heran jika Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam sangat mengkhawatirkan kita saat dunia terhampar di hadapan kita.
Ketika Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu’anhu datang dari Bahrain membawa harta jizyah yang melimpah bagi kaum muslimin. Para sahabat mendengar kabar tersebut, beramai-ramai mereka menghadiri sholat subuh bersama Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam. Selepas sholat, Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam menoleh kepada mereka, sedang para sahabat menatap beliau, kemudian beliau tersenyum ketika melihat mereka. Dan selanjutnya, beliau bersabda: “Aku kira kalian telah mendengar bahwa Abu Ubaidah telah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu?” Maka mereka berkata: “Benar, wahai Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam.” Kemudian beliau bersabda: “Sambutlah berita gembira itu dan berharaplah mudah-mudahan Allah memudahkan apa yang kalian inginkan. Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi yang kukhawatirkan adalah jangan-jangan kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian semua sebagaimana telah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba meraih kekayaan dunia itu seperti yang mereka lakukan, dan akhirnya kekayaan itu membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka.” [Bukhari: VI/257-258/al-Fath, Muslim: 296]
Dengan jujur kita harus mengatakan bahwa penyakit lebih mengutamakan dunia dibanding akhirat ini, telah menjangkiti kita semua, tidak terkecuali orang-orang yang (tadinya) menekuni ilmu syar’i, shalih dan zuhud.
Alkisah, ada seorang Tholib (penuntut ilmu syar’i) yang dahulu begitu gigih mengkaji al-Qur-an dan Hadits, sangat kuat sholat malamnya, dan hampir tak pernah luput puasa sunnahnya. “...lantas berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras...” [QS. al-Hadiid: 16], kini dia menghilang ditelan zaman. Usut punya usut, ternyata kini dia telah disibukkan oleh urusan memuaskan hawa nafsu duniawi. Lupakah dia ketika tema Salafush Shalih begitu mendominasi bincang-bincang di antara sahabat-sahabatnya, sehingga tidak luput satu waktu pun dia bersua dengan para ikhwan melainkan dia mengingatkan tentang kemuliaan para Salaf, dan betapa dia bermimpi ingin menjadi seperti mereka.
Masa itu adalah suatu masa ketika hatinya dimabuk cinta dalam rasa bahagia mengenal Islam yang sesungguhnya. Seolah-olah dia baru saja bangun dari tidur yang panjang, dan sekonyong-konyong dia merasakan hidup ini baru saja menemukan tujuannya yang hakiki. Bumi ini terasa ringan dipijak, tak ada yang besar di matanya dari masalah dunia. Negeri akhirat menjadi satu-satunya masa depan yang hakiki.
Lebih mengutamakan dunia di atas akhirat bisa membutakan mata hati, menjadikan kita punya seribu alasan untuk hasad dan zhalim terhadap sesama. Sifat ini telah melahirkan para koruptor, para penipu, perampok, dan pembunuh.
Gara-gara sifat ini, orientasi persaingan di antara kita (Tholibul‘ilmi) tidak lagi dilandasi oleh motivasi ukhrawi untuk berlomba-lomba menjadi orang yang lebih dicintai oleh Allah. Justru buhul persaudaraan Islam yang dulunya erat, kini sedikit demi sedikit terurai oleh persaingan duniawi. Awan hasad mengepul begitu kelamnya, syaitan menari dengan riangnya, karena sukses meretakkan persudaraan sesama muslim. Sekali lagi gara-gara persaingan duniawi.
Aduh...sudah separah inikah keadaan kita? Di mana kini cita-cita Salaf yang kita idam-idamkan dulu? Apa gerangan sehingga dada kita begitu kerdil mengingat kampung akhirat? Kenapa lisan kita menjadi kelu menyebut surga dan neraka? Seolah-olah surga adalah dengan menjadi “Si Kaya” dan neraka adalah jika kita menyandang status “Miskin” di dunia ini.
Semoga kita masih dijaga oleh Allah sehingga kita jauh dari sifat; “hanya senang jika diberi, menggerutu jika tidak kebagian”, karena ini adalah sifat orang-orang yang menghamba pada harta dan materi. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيْفَةِ وَالْخَمِيْصَةِ؛ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ؛ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
“Celakalah hamba dinar, dirham, beludru dan busana. Di mana jika diberi dia akan merasa senang, dan jika tidak diberi maka dia tidak merasa senang.” [Bukhari: VI/81/al-Fath]
Lantas apa obat dari penyakit lebih mengutamakan dunia di atas akhirat ini? Di antaranya adalah dengan menanamkan keyakinan dalam hati bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan akhirat, bukan kehidupan di dunia ini. Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam pernah bersabda:
اللَّهُــمَّ لاَ عَيْـشَ إِلاَّ عَيْشُ الآخِــرَةُ
“Ya Allah, tidak ada kehidupan (yang hakiki) kecuali kehidupan akhirat.” [Muttafaq’alaihi]
Negeri akhirat adalah kampung halaman kita yang sesungguhnya. Bahkan dunia ini sebenarnya adalah penjara bagi orang-orang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Salam.
الدُّنْيَا سِجْنُ المُؤْمِنْ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia merupakan penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” [Shahih Muslim: 2956]
Dalam hadits tersebut tersirat motivasi untuk lebih merindukan akhirat, karena jika dunia adalah penjara yang menahan kita untuk kembali ke kampung akhirat, tentu kita akan sangat rindu untuk segera terbebas darinya.
Selain itu, renungkanlah nilai akhirat di atas dunia. Seandainya akhirat yang kekal terdiri dari tanah tembikar, dan dunia yang fana terbuat dari emas, niscaya orang yang berakal masih memilih yang kekal, maka bagaimana jika akhirat (surga) itu terdiri dari emas dan istana yang maha megah?
مَالدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ أُصْبُعَهُ فِي الْيَمِّ، فَالْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ؟
“Tidaklah dunia ini dibandingkan dengan akhirat melainkan seperti perumpamaan salah seorang di antara kalian yang memasukkan jarinya ke dalam lautan, maka perhatikanlah dengan apakah jari itu kembali.” [Shahih Muslim: 2858] (Air yang tersisa sedikit di jari itulah kenikmatan di dunia seluruhnya, sementara air di lautan adalah perumpamaan kenikmatan di akhirat yang tidak terbatas dan tak akan pernah sirna.
Sedangkan untuk membentengi diri dari dampak buruk sifat lebih mengutamakan dunia di atas akhirat adalah dengan mengamalkan sabda Rasul Salallahu ‘Alaihi wa Salam berikut ini yang artinya:
“Jika salah seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberi kelebihan dalam hal harta dan penciptaan, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang lebih rendah daripada dirinya.” [Shahih Bukhari]
“Wahai anak Adam, luangkanlah waktu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan jadikan dadamu kaya, dan Aku tutupi kefakiranmu. Jika tidak engkau lakukan, niscaya Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan, dan tidak akan Aku tutupi kefakiranmu.” [lih. ash-Shahihah: 1359]
Setelah menjalankan ibadah wajib, luangkanlah waktu untuk melakukan ibadah sunnah, tidak perlu memberatkan diri, yang penting rutin dan berkesinambungan. Tidak selang berapa lama, Anda akan merasakan kebahagiaan di hati dan optimisme terhadap akhirat yang membuat Anda tidak rela jika kebahagiaan tersebut ditukar dengan semahal-mahal nikmat dunia.
Muroja’ah: Ust. Fakhruddin Abdurrahman, Lc.
No comments:
Post a Comment