Sunday, June 26, 2011

Antara Jalan Surga dan Jurang Neraka


Gempa mengguncang hebat bumi Jogjakarta. Dalam hitungan detik bangunan-bangunan yang tak kuat menahan gerakan lempeng bumi itu pun rubuh. Genteng-genteng rumah berhamburan jatuh. Teriakan bercampur tangis memecah keheningan suasana pagi. Darah-darah segar mengalir membasahi tanah. Rumah-rumah sakit kebanjiran pasien. Akhirnya, ribuan jiwa menjadi korban.

Begitulah gambaran Sabtu pagi, 27 Mei 2006, di propinsi miniatur Indonesia ini. Seakan belum hilang di dalam benak warga, bencana yang melanda saudara-saudara kita di Aceh, warga Jogja pun semburat ke luar rumah mencari tempat-tempat tinggi untuk menghindari gelombang laut pasang, tsunami. Belakangan diketahui, ternyata tsunami hanya isu belaka.

Musibah Datang Tak Terduga

Siapa yang mengira gempa bumi yang melanda hampir di sepanjang selatan pulau Jawa itu akan membawa dampak yang sangat parah. Inilah musibah. Allah telah menetapkannya 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi beserta isinya. Allah berfirman, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid: 22-23)

Ke Manakah Harus Berlari?

Panik. Itulah yang biasanya terjadi ketika bencana datang. Padahal justru karena itulah yang membuat banyak korban berjatuhan. Ketika isu tsunami merebak, kontan hampir semua berlari dan menyelamatkan diri. Tapi ke manakah harus berlari? “Ke utara! Cari tempat yang tinggi!” teriak orang-orang histeris. Namun adakah orang di sana yang berteriak, “Berlarilah kepada Allah! Tidak ada tempat berlindung selain kepada Allah!”

Allah berfirman, “Pada hari itu manusia berkata: ‘Ke mana tempat berlari?’ Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.” (QS. Al Qiyamah: 10-12)

Musibah, Jalan Menuju Surga

Kesedihan adalah reaksi yang wajar dan manusiawi ketika menghadapi sebuah musibah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika anaknya, Ibrahim, meninggal dunia. Semua musibah -apapun jenisnya- bagi orang-orang yang beriman, pada hakikatnya adalah tiket untuk masuk surga. Karena orang mukmin itu jika tertimpa bencana, dia bersabar dan ridho terhadap ketentuan Allah ini, maka ia akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar. Allah berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al Baqarah: 214). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapatkan musibah, melainkan Allah akan akan menghapus dosa-dosanya, walau hanya tertusuk duri sekalipun.” (HR. Al Bukhari)

Cara Menghadapi Musibah

Musibah menimpa manusia tanpa pandang bulu. Yang beriman ditimpa musibah, apalagi yang kufur. Pada hari kebangkitan kelak, masing-masing akan dibangkitkan dengan amalnya sendiri-sendiri. Yang menjadi tuntutan adalah bagaimana menghadapi musibah agar dapat berbuah pahala dan akhirnya masuk surga. Islam telah mengajarkan hal-hal yang harus dilakukan ketika tertimpa musibah.

1. Mengucapkan kalimat istirja’. Yaitu mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Allah berfirman, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ( Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali)’.” (QS. Al Baqoroh: 156)

2. Berdo’a. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan do’a setelah membaca istirja’, yaitu: Allaahumma’ jurnii fii mushiibatii, wa akhliflii khairon minha. (Ya Allah berilah pahala dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya).” (HR. Muslim)

3. Bersabar atas musibah yang menimpa. Allah berfirman, “Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS. Al Insan: 24). Yang dimaksud dengan sabar adalah tidak menggerutu di dalam hati, menahan lisan dari mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, dan menjaga tangan agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, menggundulkan rambut kepala, dan lain-lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka mereka akan mendapatkan keridhoan Allah. Dan siapa yang murka, maka akan mendapatkan murka Allah.” (Hasan, HR. At Tirmidzi)

4. Melakukan Muhasabah (Introspeksi Diri). Manusia adalah makhluk yang lemah. Terkadang berbuat dosa dan salah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam memiliki kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” (Hasan, HR. At Tirmidzi). Biasanya orang lebih cepat tersadar ketika musibah telah menimpanya. Barangkali Allah hendak mengingatkan kita. Sudah berapa banyak dosa yang kita perbuat dan maksiat yang kita koleksi? Namun berapa lama lagi umur yang tersisa? Oleh karena itu tetaplah berbaik sangka kepada Allah. Jadikan ini kesempatan bagi kita yang masih hidup untuk segera bertaubat kepada Allah atas segala kesalahan dan dosa. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat.

Sebab Datangnya Musibah

Setelah membawakan ayat-ayat tentang musibah, Syeikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata, “Ayat-ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah adalah Maha Adil dan Bijaksana. Dia tidak akan menurunkan bala’ dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan maksiat, dan pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah.” (Minhaj Al Firqoh An Najiyah)

Pembaca yang budiman, perintah Allah yang terbesar adalah Tauhid dan larangan-Nya yang terkeras adalah Syirik. Jadi tidak diragukan lagi, musibah yang menimpa kaum muslimin saat ini adalah karena mereka tidak menunaikan hak Allah, yaitu hak peribadatan (mentauhidkan Allah). Hanya Allah sajalah yang berhak diibadahi dengan segala macam jenis ibadah dan pendekatan diri, seperti berdo’a, bernazar, menyembelih kurban, istighosah, dan lain-lain. Maka wajarlah Allah murka. Hamba-Nya malah berbuat berbagai macam bentuk kesyirikan, seperti lelaku sesaji untuk Ratu Laut Selatan, sedekah laut, tapa mbisu (keliling kampung tanpa berbicara -pen) untuk menolak bala dan berbagai ritual syirik yang lain.

Musibah, Azab yang Disegerakan

Berbeda dengan orang yang beriman, bagi orang yang durhaka kepada Allah -hidupnya bergelimang dengan dosa dan maksiat- musibah adalah azab yang disegerakan baginya di dunia. Belum lagi di akhirat. Al Qur’an memberikan banyak contoh, di antaranya kisah kaum Tsamud yang ‘menyulap’ gunung menjadi rumah-rumah tempat tinggal mereka (bisa dibayangkan betapa kokohnya rumah mereka-pen).

Allah memperingatkan, “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: ‘Tahukah kamu bahwa Shaleh diutus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya.’ Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: ‘Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.’ Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata: ‘Hai Shaleh, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah).’ Karena itu mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (QS. Al A’rof: 73-78)

Juga kisah Fir’aun dan bala tentaranya yang digulung gelombang laut dahsyat. Allah mengisahkan, “Lalu kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah kami dekatkan golongan yang lain. Dan kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan kami tenggelamkan golongan yang lain itu.” (QS. As Syu’ara: 63-66)

Di Balik Terjadinya Musibah

Setiap bencana datang, pasti mengundang perhatian. Tak pelak lagi, gempa yang berkekuatan 5,9 SR itu menjadi pusat perhatian dunia seketika. Sukarelawan baik lokal maupun internasional pun berduyun-duyun datang ke lokasi bencana. Ada yang murni membawa misi kemanusiaan, adapula yang membawa ‘udang di balik batu’ (baca: kristenisasi). Memang inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan upaya pemurtadan umat Islam. Sebut saja misalnya di Aceh, dikisahkan bahwa ada misionaris luar negeri yang jelas-jelas kafir mengenakan jilbab sambil membagi-bagikan sembako kepada para pengungsi. Aneh memang, tapi itulah racun yang memikat, namun mematikan.

Waspadai Bahaya Pemurtadan!

Allah berfirman, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqoroh: 160)

Petunjuk Allah itu adalah Islam itu sendiri. Walau berada dalam kondisi sulit bagaimanapun, agama kita tetap Islam. Jangan mengganti aqidah atau keyakinan, hanya karena desakan ekonomi dan sulitnya penghidupan. Allah berpesan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imron: 102)

Upaya lain yang tidak kalah pentingnya untuk membentengi umat dari bahaya pemurtadan ini adalah solidaritas sesama muslim harus ditingkatkan. Betapa banyak kaum muslimin korban bencana yang terkapar dan terlantar di rumah-rumah sakit, di barak-barak pengungsian, di posko-posko peduli bencana, yang membutuhkan uluran tangan saudara muslimnya yang lain! Tidak malukah kita didahului oleh orang-orang kafir dalam hal membantu saudara-saudara kita sendiri? Tegakah kita melihat saudara-saudara kita berpindah agama hanya karena musibah yang menimpanya di dunia? Wahai orang-orang yang masih memiliki mata hati! Ringankan tangan, sinkronkan langkah, hadapi cobaan dengan lapang dada, jadikan musibah sebagai jalan menuju surga. Jangan sampai kita tergelincir ke dalam jurang neraka. Wallahu a’lam.

(Disadur dari berbagai sumber)

***
Penulis: Nurdin Abu Yazid

No comments:

Post a Comment