إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
Semoga bermanfaat
Sumber : Muslim
Wallahu A'lam bissawab
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha, maka baginya keridhaan Allah; namun barangsiapa yang murka, maka baginya kemurkaan Allah.”
Sabda Rasulullah saw. ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”.
Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.
Perlu Kita Melihat Dengan Kacamata Positif
Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.
Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”
Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah subhanahu wa ta'ala. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keridhaan Allah subhanahu wa ta'ala. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.
Yang Manis Terasa Akan Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.
Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.
“Jika kamu pada perang Uhud mendapat luka, maka sesungguhnya kaum kafir itu pun pada perang Badar mendapat luka serupa. Dan masa kejayaan dan kehancuran itu, Kami pergilirkan di antara manusia agar mereka mendapat pelajaran; dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya gugur sebagai syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)
Begitulah kita diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.
Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.
Bersama Kesukaran Selalu Ada Jalan Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah subhanahu wa ta'ala. dan marah kepada Allah subhanahu wa ta'ala. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta'ala.
Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)
Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Itu janji Allah subhanahu wa ta'ala. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Sabda Rasulullah saw. ini ada dalam Kitab Sunan Tirmidzi. Hadits 2320 ini dimasukkan oleh Imam Tirmidzi ke dalam Kitab “Zuhud”, Bab “Sabar Terhadap Bencana”.
Hadits Hasan Gharib ini sampai ke Imam Tirmidzi melalui jalur Anas bin Malik. Dari Anas ke Sa’id bin Sinan. Dari Sa’id bin Sinan ke Yazid bin Abu Habib. Dari Yazid ke Al-Laits. Dari Al-Laits ke Qutaibah.
Perlu Kita Melihat Dengan Kacamata Positif
Hidup tidak selamanya mudah. Tidak sedikit kita saksikan orang menghadapi kenyataan hidup penuh dengan kesulitan. Kepedihan. Dan, memang begitulah hidup anak manusia. Dalam posisi apa pun, di tempat mana pun, dan dalam waktu kapan pun tidak bisa mengelak dari kenyataan hidup yang pahit. Pahit karena himpitan ekonomi. Pahit karena suami/istri selingkuh. Pahit karena anak tidak saleh. Pahit karena sakit yang menahun. Pahit karena belum mendapat jodoh di usia yang sudah tidak muda lagi.
Sayang, tidak banyak orang memahami kegetiran itu dengan kacamata positif. Kegetiran selalu dipahami sebagai siksaan. Ketidaknyamanan hidup dimaknai sebagai buah dari kelemahan diri. Tak heran jika satu per satu jatuh pada keputusasaan. Dan ketika semangat hidup meredup, banyak yang memilih lari dari kenyataan yang ada. Atau, bahkan mengacungkan telunjuk ke langit sembari berkata, “Allah tidak adil!”
Begitulah kondisi jiwa manusia yang tengah gelisah dalam musibah. Panik. Merasa sakit dan pahit. Tentu seorang yang memiliki keimanan di dalam hatinya tidak akan berbuat seperti itu. Sebab, ia paham betul bahwa itulah konsekuensi hidup. Semua kegetiran yang terasa ya harus dihadapi dengan kesabaran. Bukan lari dari kenyataan. Sebab, ia tahu betul bahwa kegetiran hidup itu adalah cobaan dari Allah subhanahu wa ta'ala. “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Hadits di atas mengabarkan bahwa begitulah cara Allah mencintai kita. Ia akan menguji kita. Ketika kita ridha dengan semua kehendak Allah yang menimpa diri kita, Allah pun ridha kepada kita. Bukankah itu obsesi tertinggi seorang muslim? Mardhotillah. Keridhaan Allah subhanahu wa ta'ala. sebagaimana yang telah didapat oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. Mereka ridho kepada Allah dan Allah pun ridho kepada mereka.
Yang Manis Terasa Akan Lebih Manis
Kepahitan hidup yang dicobakan kepada kita sebenarnya hanya tiga bentuk, yaitu ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta. Orang yang memandang kepahitan hidup dengan kacamata positif, tentu akan mengambil banyak pelajaran. Cobaan yang dialaminya akan membuat otaknya berkerja lebih keras lagi dan usahanya menjadi makin gigih. Orang bilang, jika kepepet, kita biasanya lebih kreatif, lebih cerdas, lebih gigih, dan mampu melakukan sesuatu lebih dari biasanya.
Kehilangan, kegagalan, ketidakberdayaan memang pahit. Menyakitkan. Tidak menyenangkan. Tapi, justru saat tahu bahwa kehilangan itu tidak enak, kegagalan itu pahit, dan ketidakberdayaan itu tidak menyenangkan, kita akan merasakan bahwa kesuksesan yang bisa diraih begitu manis. Cita-cita yang tercapai manisnya begitu manis. Yang manis terasa lebih manis. Saat itulah kita akan menjadi orang yang pandai bersyukur. Sebab, sekecil apa pun nikmat yang ada terkecap begitu manis.
Itulah salah satu rahasia dipergilirkannya roda kehidupan bagi diri kita. Sudah menjadi ketentuan Allah ada warna-warni kehidupan. Adakalanya seorang menatap hidup dengan senyum tapi di saat yang lain ia harus menangis.
“Jika kamu pada perang Uhud mendapat luka, maka sesungguhnya kaum kafir itu pun pada perang Badar mendapat luka serupa. Dan masa kejayaan dan kehancuran itu, Kami pergilirkan di antara manusia agar mereka mendapat pelajaran; dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya gugur sebagai syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)
Begitulah kita diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. untuk memahami semua rasa. Kita tidak akan mengenal arti bahagia kalau tidak pernah menderita. Kita tidak akan pernah tahu sesuatu itu manis karena tidak pernah merasakan pahit.
Ketika punya pengalaman merasakan manis-getirnya kehidupan, perasaan kita akan halus. Sensitif. Kita akan punya empati yang tinggi terhadap orang-orang yang tengah dipergilirkan dalam situasi yang tidak enak. Ada keinginan untuk menolong. Itulah rasa cinta kepada sesama. Selain itu, kita juga akan bisa berpartisipasi secara wajar saat bertemu dengan orang yang tengah bergembira menikmati manisnya madu kehidupan.
Bersama Kesukaran Selalu Ada Jalan Kemudahan
Hadits di atas juga berbicara tentang orang-orang yang salah dalam menyikapi Kesulitan hidup yang membelenggunya. Tidak dikit orang yang menutup nalar sehatnya. Setiap kegetiran yang mendera seolah irisan pisau yang memotong syaraf berpikirnya. Kenestapaan hidup dianggap sebagai stempel hidupnya yang tidak mungkin terhapuskan lagi. Anggapan inilah yang membuat siapa pun dia, tidak ingin berubah buat selama-lamanya.
Parahnya, perasaan tidak berdaya sangat menganggu stabilitas hati. Hati yang dalam kondisi jatuh di titik nadir, akan berdampat pada voltase getaran iman. Biasanya perasaan tidak berdaya membutuhkan pelampiasan. Bentuk bisa kemarahan dan berburuk sangka. Di hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi di atas, bukan hal yang mustahil seseorang akan berburuk sangka terhadap cobaan yang diberikan Allah subhanahu wa ta'ala. dan marah kepada Allah subhanahu wa ta'ala. “Allah tidak adil!” begitu gugatnya. Na’udzubillah! Orang yang seperti ini, ia bukan hanya tidak akan pernah beranjak dari kesulitan hidup, ia justru tengah membuka pintu kekafiran bagi dirinya dan kemurkaan Allah subhanahu wa ta'ala.
Karena itu, kita harus sensitif dengan orang-orang yang tengah mendapat cobaan. Harus ada jaring pengaman yang kita tebar agar keterpurukan mereka tidak sampai membuat mereka kafir. Mungkin seperti itu kita bisa memaknai hadits singkat Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam. ini, “Hampir saja kemiskinan berubah menjadi kekufuran.” (HR. Athabrani)
Tentu seorang mukmin sejati tidak akan tergoyahkan imannya meski cobaan datang bagai hujan badai yang menerpa batu karang. Sebab, seorang mukmin sejati berkeyakinan bahwa sesudah kesulitan ada kemudahan. Itu janji Allah subhanahu wa ta'ala. yang diulang-ulang di dalam surat Alam Nasyrah ayat 5 dan 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Semoga bermanfaat
Sumber : Muslim
Wallahu A'lam bissawab
No comments:
Post a Comment