Ujian yang paling besar bagi laki-laki adalah wanita. Demikian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sebuah haditsnya. Karena itu Islam memberi rambu-rambu yang sangat ketat dalam mengatur hubungan dua lawan jenis ini. Tujuannya, tentu, untuk memuliakan kedua belah pihak, laki-laki dan wanita.
Allah Subhanahu wa Ta`ala menciptakan dua jenis manusia, Adam (pria) dan Hawa (wanita), yang secara fitrah keduanya saling tertarik satu dengan lainnya. Si pria tertarik, cenderung dan senang dengan wanita. Sebaliknya, wanita juga punya ketertarikan, kecenderungan dan kesenangan terhadap pria. Bapak manusia, Nabi Adam `alaihis salam, merasa kesepian tatkala Allah Subhanahu wa Ta`ala belum menciptakan Hawa sebagai pendamping hidupnya. Yang demikian ini juga menimpa anak cucu Adam. Ketika usia dan kebutuhan telah menuntut, mereka saling membutuhkan teman hidup dari lawan jenisnya, dan ini fitrah manusia.
Karena kuatnya daya tarik pria dan wanita, agama yang samhah - agama yang mudah dan tidak memberikan beban yang berat bagi pemeluknya ini menetapkan aturan-aturan agar keduanya terjaga dan tidak melanggar batasan Ilahi. Bila aturan itu tidak diindahkan, maka yang terjadi adalah fitnah. Fitnah ini bisa menimpa pihak pria, bisa pula menimpa pihak wanita, atau bahkan kedua-duanya. Yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah sesuatu yang membawa kepada ujian, bala, dan adzab.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda tentang fitnah wanita: “Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki dari pada fitnahnya wanita.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian berketurunan (regenerasi) di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (Shahih, HR. Muslim)
Shahabat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bernama Abdullah bin Mas‘ud radhiallahu `anhu berkata: “Ada seorang laki-laki mencium seorang wanita yang bukan mahramnya. Dengan penuh sesal laki-laki itu mendatangi Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mengadukan maksiat yang telah diperbuatnya. Maka turunlah ayat Allah: “Dirikanlah shalat pada dua ujung siang dan akhir dari waktu malam. Sesungguhnya kebaikan itu akan menghapuskan kejelekan. Yang demikian itu adalah peringatan bagi orang-orang yang mau berdzikir (mengingat).” (Hud: 114)
Laki-laki tadi berkata kepada Rasulullah: “Apakah ayat ini untukku?” Rasulullah menjawab: “Ayat ini bagi orang yang berbuat demikian dari kalangan umatku.” (Shahih, HR. Bukhari)
Karena terfitnah dengan wanita, seorang laki-laki ingin berzina; dan karena fitnah wanita, seorang laki-laki melakukan perbuatan yang mengantar kepada zina (mencium), padahal Allah Subhanahu wa Ta`ala telah memperingatkan: “Janganlah kalian mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan.” (Al Isra’: 32)
Karena begitu besarnya fitnah antara lawan jenis, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan kepada umatnya agar mereka terjaga hingga tidak terjatuh kepada fitnah tersebut. Di antara bimbingan tersebut adalah:
Firman Allah dalam Surat An-Nuur:30-31 yang artinya: “Katakanlah (ya Muhammad) kepada orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mata mereka dan hendaklah mereka menjaga kemaluan-kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah akan mengabarkan apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: “Hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mata mereka dan hendaklah mereka menjaga kemaluan-kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung-kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti auratnya wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram, agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An Nur: 30-31)
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanitanya kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” (Al Ahzab: 53)
Rasulullah mengajarkan kepada para shahabat beliau untuk memberikan hak pada jalan bila mereka terpaksa duduk-duduk di pinggirnya untuk berbincang. Beliau bersabda: “(Hak jalan adalah) kalian menundukkan pandangan, menahan gangguan, menjawab salam dan amar ma’ruf nahi munkar.” (Shahih, HR. Bukhari)
Beliau menuntunkan kepada para wanita: “Apabila salah seorang wanita dari kalian hadir di masjid untuk shalat Isya, maka ia tidak boleh menggunakan wangi-wangian pada malam itu.” (Shahih, HR. Muslim)
“Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian kemudian ia melewati sekelompok laki-laki agar mereka dapat mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (Shahih, HR. Ahmad. Lihat Ash Shahihul Musnad mimma Laisa fish Shahihain 2/9, karya Syaikh Muqbil t)
Beliau mengajarkan kepada para laki-laki: “Hati-hati kalian dari masuk menemui para wanita yang bukan mahram!” Lalu ada seseorang dari kalangan Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar?” Beliau menjawab: “Ipar itu maut.” (Shahih, HR. Bukhari)
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu didampingi oleh mahramnya.” Maka berdiri seorang laki-laki untuk bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk melaksanakan ibadah haji sementara aku telah tercatat untuk ikut dalam peperangan ini dan itu.” Beliau berkata: “Kembalilah engkau temui istrimu dan berhajilah bersamanya.” (Shahih, HR. Bukhari )
“Ditusuk kepala salah seorang dari kalian dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Shahih, HR. Ath Thabrani dalam Al-Mu`jamul Kabir . Lihat Ash Shahihah no. 226)
Aisyah mengabarkan tentang keberadaan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang selalu menjauh dari hal-hal yang dapat mengantarkan kepada fitnah: “Demi Allah, tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita yang bukan mahramnya ketika beliau membaiat mereka. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali dengan ucapan: “Sungguh aku telah membaiatmu dalam perkara itu.”” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)
Ummu Salamah, salah seorang Ummahatul Mu’minin berkata: “Apabila Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah salam dari shalatnya (secara berjamaah di masjid), berdirilah para wanita (untuk kembali ke rumah mereka) segera setelah selesainya salam beliau, sementara beliau tetap tinggal sebentar di tempatnya sebelum akhirnya beliau berdiri.” (Shahih, HR. Bukhari)
Rawi hadits ini berkata: “Kami memandang, wallahu a`lam, beliau melakukan hal tersebut agar para wanita yang ikut shalat berjamaah dapat kembali pulang ke rumah mereka tanpa sempat berpapasan dengan laki-laki.”
Pernah suatu ketika Rasulullah secara tidak sengaja melihat seorang wanita maka beliau segera mendatangi istrinya Zainab untuk mengajaknya jima‘. Setelah selesai menunaikan hajatnya, Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar menemui para shahabat beliau, lalu beliau berkata: “Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam bentuk setan dan membelakangi dalam bentuk setan. Maka apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita hendaklah ia ‘mendatangi’ istrinya, karena dengan begitu dapat menolak apa yang ada di hatinya.” (Shahih, HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta`ala dengan rahmat-Nya menetapkan adanya pernikahan juga dalam rangka menjaga timbulnya fitnah. Rasul-Nya yang mulia bersabda memberi tuntunan kepada para pemuda: “Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah memiliki kemampuan hendaklah dia menikah karena dengan nikah itu dapat lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, adapun yang belum mampu maka hendaklah dia puasa karena puasa itu merupakan tameng dari syahwat.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam naungan rumah tangga, seorang suami dan seorang istri diharapkan dapat saling menjaga kehormatan masing-masing. Suami dapat menjaga istrinya dan sebaliknya istri dapat menjaga suaminya. Dan masing-masingnya mencukupkan diri dengan pasangan hidupnya yang sah, tidak berpaling kepada apa yang tidak halal baginya.
Ketahuilah, fitnah lawan jenis pada akhirnya dapat mengantarkan kepada zina, padahal Allah telah mengharamkan perbuatan keji ini. Dan yang perlu diketahui zina itu tidak hanya sekedar apa yang diperbuat oleh kemaluan, karena Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina. Dia pasti akan mendapati hal itu. Maka zinanya mata dengan melihat, zinanya lidah dengan berbicara, sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan. Dan nantinya kemaluanlah yang membenarkan itu seluruhnya atau mendustakannya.” (Shahih, HR. Bukhari)
Kita katakan dalam perkara ini “menjaga diri lebih baik daripada mengobati”. Sebelum jatuh sakit karena penyakit yang ditimbulkan oleh fitnah kemudian nantinya sulit untuk diobati, lebih baik menghindarkan diri dari fitnah tersebut dan tidak dekat-dekat dengannya. Semoga Allah menjaga diri kita… Amin!
Wallahu a‘lam bish shawwab.
Sumber: Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
No comments:
Post a Comment