Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok pribadi yang sempurna sebagai seorang manusia. Beliau memiliki sifat-sifat yang mulia dan akhlak yang terpuji. Allah subhanahu wa ta'ala:
(Artinya:”Sesungguhnya Engkau benar-benar di atas akhlak yang sangat agung.”) (Al Qalam: 4)
Begitu juga ketika istri beliau Aisyah bintu Abu Bakar Ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang akhlak Beliau, maka Aisyah menjawab bahwa akhlak beliau adalah Al Quran. Beliau seorang yang lembut, penuh kasih sayang, penuh perhatian terhadap para shahabatnya. Mempunyai semangat yang tinggi agar semua orang mendapatkan hidayah dari Allah. Allah subhanahu wa ta'ala menjelaskan sifat-sifat beliau:
(Artinya: “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul yang berasal dari kalian. Berat baginya apa yang kalian derita. Dia sangat bersemangat (atas keselamatan) kalian. Penuh kelembutan dan kasih sayang terhadap orang-orang mukmin.” ) (At Taubah 128)
Bahkan sifat-sifat beliau yang mulia ini tidak hanya beliau dapatkan ketika beliau sudah diangkat menjadi seorang nabi dan rasul. Tapi sebelum itu, bahkan beliau dikenal oleh kaumnya sebagai seorang Al Amin. Seorang yang terpercaya yang benar-benar memegang amanah. Beliau terkenal sebagai seorang yang paling jujur ucapannya. Tidak ada cela pada sifat-sifat beliau sebagai seorang manusia.
Sebagai manusia yang ditugaskan untuk menjadi pengemban risalah terakhir bagi segenap alam ini, jelaslah beliau adalah benar-benar manusia pilihan. Tidak ada keraguan tentang itu. Untuk menyampaikan risalah ini kepada alam, beliaupun memiliki sifat yang merupakan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta'ala, sebagaimana yang beliau sebutkan dalam salah satu hadits,
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ
“Aku diutus dengan jawami’ al kalim” (HR. Al Bukhari)
Jawami’ul kalim sebuah kalam yang ringkas, tapi mempunyai makna yang luas. Inilah keutamaan yang dimiliki oleh Beliau Shallallahu ‘alaihi wasalam, di mana beliau sangat fasih di dalam menyampaikan sesuatu. Kefasihan ketika menyampaikan kalimat sangat berpengaruh bagi orang yang disampaikan. Semakin fasih sebuah kalimat, semakin mudah untuk dipahami. Kelebihan inilah yang dimiliki oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Di sisi lain, beliau sebagai seorang yang menerima wahyu langsung dari Allah subhanahu wa ta'ala melalui perantara Jibril, pastilah orang yang paling berilmu daripada selainnya. Tentulah beliau yang paling mengetahui tentang ilmu agama ini, begitu juga ilmu tentang nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Sempurna.
Sebagai seorang penyeru kebenaran, tidak ada kekurangan yang dimiliki oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Keilmuan yang matang, lisan yang fasih, dan kejujuran serta amanah di dalam menyampaikan. Tiga komponen yang sangat diperlukan ketika seorang berdakwah. Kehilangan salah satu dari tiga komponen ini, akan menyulitkan seseorang di dalam berdakwah. Seseorang yang berilmu dan mempunyai kefasihan lisan akan tetapi dia tidak jujur dan tidak amanah, maka orang tidak akan merasa aman untuk menerima dakwahnya. Begitu juga ketika seorang berilmu dan jujur, tapi kurang fasih di dalam menyampaikan, maka orang akan sulit memahami apa yang dia sampaikan. Orang pun ragu untuk menerima dari seseorang yang keilmuannya sangat kurang, walaupun dia adalah seorang yang jujur dan fasih lisannya. Tiga komponen ini sangat mendukung seseorang di dalam berdakwah. Keilmuan, kefasihan dan kejujuran. Sekali lagi, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mempunyai tiga sifat utama ini -sebagai bekal beliau untuk menyampaikan risalah ini kepada umat-.
Sekarang, marilah kita menoleh ke sejarah bagaimana perjalanan dakwah Beliau. Lihatlah ternyata dakwah Beliau –dengan sifat-sifat keutamaan yang dimlikinya – tidak berjalan mulus begitu saja. Bahkan sangat berat dirasakan aral yang melintang. Gangguan mulai dirasakan. Hadangan mulai dilancarkan. Segala upaya untuk menghentikan laju dakwah dikerahkan. Bukan oleh orang-orang jauh yang tidak mengenal beliau dan sifat-sifatnya, akan tetapi oleh mereka yang justru adalah kaumnya sendiri, bahkan pamannya sendiri. Lihatlah betapa besarnya permusuhan Abu Lahab –paman beliau sendiri- kepada Beliau. Begitu juga Abu Sufyan –pada awalnya- yang juga masih sanak kerabat. Para pemuka Quraisy seperti Abu Jahal dan yang lainnya. Mereka ini justru permusuhannya yang paling besar kepada dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Padahal, mereka adalah orang yang paling mengenal siapa itu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib. Seseorang yang tidak memiliki cela, baik dari sifat maupun dari silsilah keluarga.
Di sisi lain pula, Bilal, seorang budak hitam yang berasal dari Ethiopia, justru beriman kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Abu Dzar Al Ghifary datang ke Mekkah untuk mencari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan beriman kepadanya. Begitu juga dengan kisah Salman Al Farisy. Bagaimana beliau yang dahulunya seorang penyembah api, kemudian menghabiskan hidupnya untuk mencari kebenaran, menjadi seorang Nasrani dan akhirnya beriman kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Lihat juga, bagaimana penduduk Yatsrib – sekarang Madinah – mendengar tentang khabar akan diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam justru dari orang-orang Yahudi yang ada di sekitar mereka. Akan tetapi, lihatlah, justru orang-oang Yahudi tersebut yang mengingkari kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, sementara penduduk Madinah justru beriman kepada beliau bahkan menjadi penolong beliau.
Rahasia apa yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena ini, sehingga seakan-akan perhitungan manusia tidak bisa menembusnya? Mereka yang dekat justru memusuhi. Mereka yang jauh justru menolong. Mereka yang mengetahui kebenaran risalahnya justru menentang. Mereka yang sebelumnya hanya mendengar desas-desus saja justru beriman. Inilah yang dinamakan hidayah. Karunia dan kenikmatan terbesar yang didapatkan oleh seorang manusia dari rabb-nya dan merupakan mutlak hak Allah subhanahu wa ta'ala. Tidak ada seorang pun yang bisa ikut campur di dalamnya. Tidak juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam -sebagai makhluk yang paling dicintai-Nya-.
Perhatikanlah kisah Abu Thalib, paman dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dialah yang mengasuh Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sepeninggal kakeknya, Abdul Muthallib. Dialah yang melindungi, membela, dan menolong Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika orang-orang lain memusuhi beliau dan dakwahnya. Dialah orang terdekat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang – menurut perhitungan kita – adalah yang paling berhak untuk mendapatkan hidayah. Di satu sisi, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling fasih lisannya, paling jujur, dan paling berilmu. Seolah-olah tidak ada penghalang lagi bagi Abu Thalib untuk menerima Islam sebagai kebenaran.
Akan tetapi, lihatlah kekuasaan Allah atas hamba-hamba-Nya! Ketika Abu Thalib sedang sakit menjelang ajalnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjenguknya dan mengajaknya untuk mengucapkan sebuah kalimat yang sungguh-sungguh sangat mudah diucapkan,
قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ
“Katakanlah, Laa ilaaha illallah, sebuah kalimat yang dengannya aku akan membela Engkau kelak di sisi Allah.!’
Pada waktu itu, juga hadir Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah, dua orang tokoh Quraisy. Ketika mereka berdua melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam terhadap Abu Tholib, merekapun menyergahnya dan berkata kepada Abu Thalib,
يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Wahai Abu Thalib, apakah Engkau membenci agamanya Abdul Muthallib?”
Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun mengulangi perkataannya. Mereka berdua pun juga ikut mengulanginya. Sampai akhir perkataan Abu Thalib adalah dia berada di atas agamanya Abdul Muthallib, yaitu di atas kemusyrikan. Dan dia enggan mengucapkan لا إله إلا الله Maka, matilah Abu Thalib dalam keadaan kafir kepada Allah. -Na’udzubillah min dzalik-. Dia akan mempertanggungjawabkan kekafirannya tersebut di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala.
Abu Thalib bukanlah kisah yang pertama dan satu-satunya. Lihatlah bagaimana Nabi Nuh ‘alaihi sallam, tidak bisa berbuat apa-apa ketika anaknya memilih kekafiran.
(Artinya: Dan Nuh memanggil anaknya dan dia berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai Anakku, naiklah bersama kami dan jangan Engkau bersama orang-orang yang kafir!”) (Hud: 42)
Maka anaknya menjawab,
(Artinya: Anaknya menjawab, “Aku akan berlindung ke atas gunung yang akan menjagaku dari air ini!” Maka Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari urusan Allah ini kecuali yang Allah rahmati. Dan mereka berdua terhalangi oleh gelombang, maka anaknya tersebut termasuk dari mereka yang ditenggelamkan.) (Hud: 43)
Lihatlah juga bagaimana istrinya Nabi Luth ‘alaihissalam termasuk dari mereka yang mendapatkan adzab. Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak bisa mengajak bapaknya Azar untuk bertauhid kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Lihatlah pula, bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sangat bersedih tatkala pamannya mati dalam keadaan kafir. Mereka adalah orang-orang pilihan. Mereka adalah sebaik-sebaiknya manusia. Ternyata mereka hanya bisa berduka menyaksikan orang-orang terdekatnya justru menolak dakwah mereka.
Di lain pihak, siapa yang menyangka seorang Fir’aun, simbol dari kesewenang-wenangan, lambang dari kelaliman seorang penguasa, maskot dari kesemena-menaan, bahkan dengan lancangnya mengaku sebagai Rabbul ‘alamin, ternyata istrinya adalah seorang mukminah. Allah subhanahu wa ta'ala menyebutkannya di dalam Al Qur’an:
(Artinya: Dan Allah menjadikan istri Fir’aun sebagai permisalan bagi orang-orang yang beriman ketika dia berkata, “Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu, sebuah rumah yang berada di surga. Dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.”) (At-Tahrim: 11)
Sungguh luar biasa kekuasaan Allah.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
(Artinya: Sesungguhnya Engkau (wahai Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang Engkau cintai, akan tetapi Allah memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki dan Dia Maha Tahu siapa saja mereka yang mendapatkan hidayah.) (Al Qoshshosh:56)
Allah subhanahu wa ta'ala juga berfirman,
(Artinya: Bukan kewajibanmu agar mereka mendapatkan hidayah. Akan tetapi Allah yang memberi hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.) (Al Baqarah 272)
Memang, Allah subhanahu wa ta'ala juga berfirman,
(Dan sesungguhnya Engkau (wahai Muhammad) benar-benar memberi hidayah kepada jalan yang lurus” (Asy-Syuura: 52)
Akan tetapi, hidayah yang dimaksud di atas ini adalah hidayah yang berupa petunjuk, bimbingan, dan penjelasan kepada umat tentang jalan yang lurus, yaitu Islam. Sedangkan hidayah yang berupa taufik dari Allah, berupa penerimaan seseorang terhadap dakwah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan mengambilnya sebagai pedoman hidupnya, adalah kehendak Allah semata. Siapa yang Allah kehendaki untuk mendapatkan hidayah, maka dia akan mendapatkannya, siapapun dia dan di manapun dia. Siapa yang Allah tidak kehendaki untuk mendapatkan hidayah, maka tidak akan dia mendapatkannya, siapapun dan di manapun dia.
Maka sungguh pantas bagi kita untuk bersyukur ketika ternyata Allah subhanahu wa ta'ala menghendaki kita untuk mendapatkan hidayah. Suatu karunia dan nikmat yang tak ternilai harganya. Tidak semua orang mendapatkan kenikmatan yang sungguh luar biasa besarnya hidayah. Tentu kita berusaha bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta'ala dengan cara menjaga bagaimana agar nikmat hidayah tidak pergi dari kita. Kita jaga nikmat yang agung ini dengan menjaga keta’atan kita kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Jangan sampai perbuatan dosa dan maksiat yang kita lakukan menjadi sebab hilangnya kenikmatan ini. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta'ala mengumpulkan kita kelak bersama dengan orang-orang yang mendapatkan hidayah.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Sumber : Al Ustadz Ayub Abu Ayub
No comments:
Post a Comment