Al-Washaya (Wasiat)
PENGERTIAN WASIAT
Washiat berasal dari washai tusy a uushiihi berarti aushaltuhu (saya menyambungkannya).
Jadi, orang yang berwasiat adalah orang yang menyambung apa yang telah ditetapkan pada waktu hidupnya sampai dengan sesudah wafatnya.
Adapun menurut istilah syar’i ialah seseorang memberi barang, atau piutang, atau sesuatu yang bermanfa’at, dengan catatan bahwa pemberian termaksud akan menjadi hak milik si penerima wasiat setelah meninggalnya si pemberi wasiat.
HUKUM WASIAT
Wasiat wajib atas orang yang memiliki harta yang harus diwasiatkan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda), maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Baqarah: 180).
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang muslim yang memiliki harta yang akan diwasiatkan tidak berhak tidur dua malam, melainkan wasiatnya sudah tertulis di sisinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 355 no: 2738, Muslim III: 1249 no: 1627, ’Aunul Ma’bud VIII: 63 no: 2845, Tirmidzi II: 224 no: 981, Ibnu Majah II: 901 no: 2699 dan Nasa’i VI: 238).
KADAR BANYAKNYA HARTA YANG DIANJURKAN DIWARISKAN
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, ia bertutur: Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah datang menjengukku waktu di Mekkah. Dan, saya tidak suka meninggal dunia di daerah yang saya pernah hijrah darinya. Sabda Beliau, “Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Ibnu Afrak.” (Sa’ad) jawab, “Ya Rasulullah bolehkah saya mewasiatkan seluruh harta kekayaanku?” Jawab Beliau, “Tidak (boleh).” Tanya saya, “Separuh?” Jawab Beliau, “Tidak (juga).” Saya bertanya (lagi), “Sepertiga?” Dijawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mampu itu jauh lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga meminta-minta kepada orang lain. Sesungguhnya, betapapun kecilnya belanja yang kau nafkahkan, maka sesungguhnya itu adalah shadaqah, sampai pun sepotong makanan yang kau suapkan ke mulut isterimu (itu adalah shadaqah), dan mudah-mudahan Allah mengangkat (derajat)mu, sehingga orang-orang (muslim) mendapat banyak manfa’at darimu dan orang-orang lain (kaum musyrikin) tertimpa bahaya.” Sedangkan pada waktu itu dia hanya memiliki seorang puteri. (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 363 no: 2742 dan ini lafazh Imam Bukhari, Muslim III: 250 no: 1628, ’Aunul Ma’bud VIII: 64 no: 2847, dan Nasa’i VI: 242).
TAK ADA WASIAT BAGI AHLI WARIS
Dari Abu Umamah al-Bahili ra, ia menyatakan: Saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menegaskan dalam khutbahnya pada waktu haji wada’, “Sesungguhnya Allah benar-benar telah memberi setiap orang yang mempunyai hak akan haknya. Oleh karena itu, tak ada wasiat bagi ahli waris.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2194, Ibnu Majah II: 905 no: 2713, ‘Aunul Ma’bud VIII: 72 no” 2853 dan Tirmidzi III: 393 no: 2203.
MUQADDIMAH YANG DITULIS DALAM WASIAT
Dari Anas ra, ia berkata, “Adalah mereka (para sahabat) biasa menulis di awal wasiatnya, (yang artinya), Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Ini adalah wasita Fulan bin Fulan yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan bahwa hari kiamat pasti akan datang tak diragukan sedikitpun, dan bahwa Allah akan membangkitkan segenap penghuni alam kubur dan ia (Fulan bin Fulan) berwasiat kepada seluruh anggota keluarga yang ditinggal mati agar bertakwa kepada Allah, mengadakan ishlah sesama mereka, dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, jika memang mereka orang-orang yang beriman, dan ia berwasiat kepada mereka sebagaimana wasiat yang Ibrahim sampaikan kepada anak cucunya dan Ya’kub: Wahai Nanda, sesungguhnya Allah telah memilih agama Islam untuk kalian; karena itu, janganlah sekali-kali kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam keadaan muslim).” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1647, Daruquthni IV: 154 no: 16 dan Baihaqi VI: 287).
KAPAN WASIAT MENJADI HAK MILIK PENUH
Wasiat tidak akan menjadi hak milik penuh bagi si penerima wasiat, kecuali setelah meninggalnya si pemberi wasiat dan terlunasinya seluruh hutangnya. Jadi, manakala seluruh harta peninggalan habis untuk dibayarkan pada hutang-hutangnya, maka sang penerima wasiat tidak mendapatkan bagian apa-apa:
Dari Ali ra, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam biasa membayar hutang sebelum (dipenuhinya) wasiat; dan kalian (sering) membaca ayat tentang wasiat, MINBA’DI WASHIYYATIN YUUSHAA BIHAA AU DAIN (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya).” (QS an-Nisaa’: 11) (Hasan: Shahih Ibnu Majah 2195, Irwa-ul Ghalil 1667, Ibnu Majah II: 906 no: 2715, Tirmidzi III: 294 no: 2205).
PERINGATAN
Mengingat mayoritas masyarakat di zaman sekarang ini amat tertarik pada perbuatan bid’ah dalam agama mereka, terutama hal-hal yang bertalian dengan jenazah, maka menjadi suatu kewajiban atas orang muslim berwasiat agar ia dipersiapkan dan dikebumikan sesuai tuntunan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, sebagai bentuk realisasi dari firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS at-Tahrim: 6).
Oleh karena itu, adalah para sahabat Nabi biasa mewasiatkan masalah itu, dan dalam hal itu banyak sekali atsar (riwayat) dari mereka. Di antaranya ialah:
Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa bapaknya (yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash) pada waktu sakit yang menyebabkan kematiannya berkata, “Galilah liang lahad untukku dan tegakkanlah batu bata untukku sebagaimana yang pernah dilakukan untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.” (Periksa kembali Ahkamul Janaiz hal. 8 oleh Syaikh al-Albani).
PERINGATAN KEDUA
Manakala seseorang mempunyai anak yang berhak menjadi ahli waris yang telah meninggal dunia ketika ia masih hidup, maka ia wajib berwasiat untuk putera-puteri si mayyit itu, senilai dengan bagian yang menjadi hak sang mayat, atau sekitar sepertiga dari hartanya dan sepertiga itu sudah banyak. Jika ternyata orang di atas meninggal dunia juga dan tidak sempat memberi wasiat kepada anak-anak sang mayat, maka mereka (ahli warisnya) harus memberikan sebesar bagian yang harus diwasiatkan kepada mereka (kepada anak-anak si mayat tadi), karena ini sesungguhnya adalah tanggungan wajib ia (sang ayah) selesaikan, maka jika ia meninggal dunia dan ia belum sempat menulis penyelesaian tanggungan ini maka tanggungan ini belum terselesaikan. Inilah yang berlaku di pengadilan-pengadilan pada zaman ini.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 789 – 794.
No comments:
Post a Comment