Tabi’in: Ahnaf bin Qais, Berguru Kepada Umar al-Faruq
Kita memasuki masa awal khilafah Umar bin Khaththab. Saat dimana para pahlawan dan tokoh kaum Ahnaf bin Qais, yaitu Bani Tamim, berlomba memacu kuda-kuda mereka yang perkasa dengan pedang terhunus yang berkilat-kilat. Dari rumah-rumahnya di Ahsa dan Najd mereka keluar menuju Bashrah, untuk bergabung dengan pasukan muslimin yang telah berkumpul di sana, di bawah pimpnan Utbah bin Ghazwan. Mereka hendak menghadapi Persia, berjihad fi sabilillah dan mengharapkan mardhatillah. Di tengah-tengah mereka ada seorang pemuda bernama Ahnaf bin Qais.
Suatu hari Utbah bin Ghazwan menerima surat dari amirul Mukminin Umar bin Khaththab meminta agar dikirim sepuluh orang prajurit utama dari pasukannya yang telah berjasa dalam perang. Amirul mukminin ingin mengetahui hal-ihwal pasukan Islam dan ingin meminta pertimbangan mereka.
Perintah itupun segera dilaksanakan oleh Utbah. Beliau mengirim sepuluh orang prajuritnya yang terbaik kepada Amirul Mukminin di Madinah, termasuk Ahnaf bin Qais. Lalu berangkatlah mereka menuju Madinah.
Setibanya para utusan itu disambut oleh Amirul Mukminin dan dipersilakan duduk di dalam majelisnya. Mereka ditanya tentang kebutuhan-kebutuhannya dan kebutuhan rakyat semuanya. Mereka berkata, “Tentang kebutuhan rakyat secara umum Anda lebih tahu karena Anda adalah pemimpin. Maka kami hanya berbicara atas nama pribadi kami sendiri.” Kemudian masing-masing meminta kebutuhannya.
Kebetulan Ahnaf bin Qais mendapatkan kesempatan terakhir untuk berbicara karena terhitung paling muda di antara mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya tentara kaum muslimin yang dikirim ke Mesir, mereka tinggal di daerah subur menghijau dan tempat yang mewah peninggalan Fir’aun. Sedangkan pasukan yang dikirim yang mewah peninggalan Fir’aun. Sedangkan pasukan yang dikirim ke negeri Syam, mareka tinggal di tempat yang nyaman, banyak buah-buahan dan taman-taman layaknya istana. Sedangkan pasukan yang dikirim ke Persia, mereka tinggal di sekitar sungai yang melimpah air tawarnya, juga taman-taman buah peninggalan para kaisar.
Namun kaum kami yang dikirim ke Bashrah, mereka tinggal di tempat yang kering dan tandus, tidak subur tanahnya dan tidak pula menumbuhkan buah-buahan. Salah satu tepinya laut yang asin, tepi yang satunya hanyalah hamparan yang tandus. Maka perhatikanlah kesusahan mereka wahai Amirul Mukminin, perbaikilah kehidupan mereka dan perintahkanlah gubernur Anda di Bashrah untuk membuat aliran sungai agar memiliki air tawar yang dapat menghidupi ternak dan pepohonan. Perbaikilah kondisi mereka dan keluarganya, ringankanlah penderitaan mereka, karena mereka menjadikan hal itu sebagai sarana untuk berjihad fii sabililah.”
Umar takjub mendengarkan keterangannya, kemudian bertanya kepada utusan yang lain, “Mengapakah kalian tidak melakukan seperti yang dia lakukan? Sungguh dia (Ahnaf) –demi Allah- adalah seorang pemimpin.” Kemudian Umar mempersiapkan perbekalan mereka dan menyiapkan perbekalan pula untuk Ahnaf. Namun Ahnaf berkata, “Demi Allah wahai Amirul Mukminin, tiadalah kami jauh-jauh menemui Anda dan memukul perut onta selama berhari-hari demi mendapatkan perbekalan. Saya tidak memiliki keperluan selain keperluan kaumku seperti yang telah saya katakan kepada Anda. Jika Anda mengabulkannya, itu sudah cukup bagi Anda.” Rasa takjub Umar semakin bertambah lalu beliau berkata, “Pemuda ini adalah pemimpin penduduk Bashrah.”
Usailah majelis itu dan para utusan beranjak ke tempat menginap yang telah disediakan. Umar bin Khaththab melayangkan pandangan beliau pada barang-barang mereka. Dari salah satu bungkusan tersembul sepotong pakaian. Umar menyentuhnya sambil bertanya, “Milik siapa ini?”
Ahnaf menjawab, “Milik saya, wahai Amirul Mukminin,” dan seketika itu dia merasa bahwa Umar menganggap barang itu terlalu mewah dan mahal. Umar bertanya, “Berapa harga baju ini tatkala kamu membelinya?” Ahnaf berkata, “Delapan dirham.” Ahnaf tidak pernah mendapati dirinya berdusta kecuali kali ini. Pakaian tersebut dibelinya dengan harga dua belas dirham.
Umar menatapnya dengan pandangan kasih sayang. Dengan halus dia berkata, “Saya rasa untukmu cukup satu potong saja, kelebihan harta yang kau miliki hendaknya Anda pakai untuk membantu muslim lainnya.” Umar berkata kepada semuanya. “Ambillah bagi kalian yang diperlukan dan gunakan kelebihan harta kalian pada tempatnya agar ringan beban kalian dan banyak mendapatkan pahala.” Ahnaf tertunduk malu mendengarnya dan beliau tak sanggup berkata apa-apa.
Kemudian Amirul Mukminin memberi izin kepada para utusan untuk kembali ke Bashrah. Namun Ahnaf tidak diperkenankan kembali bersama mereka, beliau diminta tinggal bersama Umar selama setahun penuh.
Umar radhiyallahu ‘anhu mengamati bahwa pemuda Bani Tamim itu memiliki kecerdasan yang lebih, fasih berbicara, berjiwa besar, bersemangat tinggi, dan kaya akan ilmu. Oleh sebab itu Amirul Mukminin bermaksud membinanya agar menjadi kader muslim yang berguna dengan cara banyak belajar kepada para sahabat dan mengikuti jejak mereka dalam menekuni agama Allah. Beliau juga bermaksud menguji lebih dalam tentang kepribadian Ahnaf sebelum memberinya tugas-tugas kemasyarakatan. Sebab Umar paling khawatir atas orang-orang yang lihai dan tangkas dalam berbicara. Orang-orang semacam itu, jika baik bisa memenuhi dunia, dan jika rusak maka kecerdasannya akan menjadi petaka bagi manusia.
Setahun sudah Ahnaf bersama Umar, lalu Umar berkata, “Wahai Ahnaf, aku sudah mengujimu, ternyata yang kutemukan dalam dirimu hanya kebaikan semata. Kulihat lahiriyahmu baik, maka kuharap batinmu pun demikian.”
Kemudian beliau mengutus Ahnaf untuk memimpin pasukan ke Persia. Beliau berpesan kepada panglimanya, yakni Abu Musa al-Asy’ari: “Untuk selanjutnya ikutkanlah Ahnaf sebagai pendamping, ajak dia bermusyawarah dalam segala urusan dan perhatikanlah usulan-usulannya.”
Bergabunglah Ahnaf di bawah panji Islam dan menyerbu daerah Timur Persia. Beliau mampu membuktikan kepahlawanannya. Namanya makin tenar dan prestasinya kian cemerlang. Dia dan kaumnya, Bani Tamim, turut berjasa dalam menaklukkan musuh dengan pengorbanan besar. Banyak kota dan daerah yang dikuasai, termasuk kota Tustur dan menawan pemimpin mereka, yaitu Hurmuzan.
Dia adalah pemimpin Persia yang paling kuat dan keras serta memiliki tipu muslihat yang lihai dalam perang. Kemenangan kaum muslimin kali ini berhasil memaksa dia untuk menyerah. Berkali-kali sudah dia mengkhianati perjanjian damai dengan muslimin dan mengira bisa melakukannya terus-menerus dan merasa dapat memenangkan kaum muslimin.
Tatkala dia terdesak disalah satu bentengnya yang kokoh di Tustur, dia masih berkata sumbar, “Aku punya seratus batang panah. Dan demi Allah, kalian tidak mampu menangkapku sebelum habis panah-panah itu. Padahal kalian tahu bahwa bidikanku tak pernah meleset, maka kalian tidak bisa menangkapku sebelum seratus orang dari kalian tewas.”
Pasukan Islam bertanya, “Apa yang engkau kehendaki?” Hurmuzan menjawab, “Aku mau diadili di bawah hukum Umar bin Khaththab. Hanya dia yang boleh menghukumku.” Mereka berkata, “Baiklah. Kami setuju.”
Dia pun meletakkan panahnya ke tanah lalu menyerah kepada kaum muslimin. Pasukan muslimin membelenggu dia kemudian mengirimkannya ke Madinah dalam pengawalan yang ketat dan para pahlawan perang di bawah pimpinan Anas bin Malik, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga Ahnaf bin Qais, murid dan kader Umar bin Khaththab.
Rombongan itu mempercepat jalannya menuju Madinah. Semua berharap agar Amirul Mukminin puas dengan kemenangan tersebut. Mereka membawa harta untuk Baitul Maal, yakni seperlima dari hasil ghanimah. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah Hurmuzan yang selalu mengkhianati janji itu bisa dihukum khalifah setimpal dengan kejahatannya.
Setibanya di pinggiran kota Madinah, mereka menyuruh Hurmuzan mengenakan pakaian kebesarannya yang terbuat dari sutera mahal bertabur emas permata. Di kepalanya bertengger mahkota yang penuh intan berlian yang mahal harganya.
Begitu memasuki kota Yatsrib, rakyat besar dan kecil, tua atau muda, berjubel menonton tawanan berpakaian mewah itu dengan terheran-heran. Dia langsung dibawa ke rumah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab, tetapi beliau tidak ada di rumah. Seseorang berkata, “Beliau pergi ke masjid untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.”
Rombongan itu berjalan ke arah masjid, namun tak terlihat ada di dalam. Sementara itu orang makin banyak berkerumun. Saat mereka masih sibuk mencari-cari, anak-anak yang sedang bermain di situ bertanya: “Apakah kalian mondar-mandir untuk mencari Amirul Mukminin Umar?” Mereka berkata, “Benar, di mana dia?” Anak itu menjawab, “Beliau tertidur di samping kanan masjid dengan berbantalkan surbannya.”
Memang, tadinya Amirul Mukminin berangkat dari rumahnya untuk menemui utusan dari Kufah. Tapi setelah mereka pulang, beliau merasa mengantuk sehingga tidur di samping masjid.
Hurmuzan digiring ke samping masjid. Mereka mendapatkan Amirul Mukminin sedang tidur nyenyak. Mereka pun duduk menanti hingga beliau bangun dari tidurnya.
Hurmuzan tidak paham bahasa Arab, tidak tahu apa yang sedang dibicarakan orang-orang sehingga sama sekali tak menduga bahwa yang tidur di depannya adalah Amirul Mukminin. Memang dia sudah mendengar kesederhanaan dan kezuhudan Umar bin Khaththab, tapi tak disangkanya bahwa orangnya adalah yang sedang tidur itu. Orang yang telah menaklukkan Romawi dan raja-raja lain, tidur tanpa bantal tanpa pengawal. Melihat orang-orang duduk bersamanya, dia mengira mereka sedang bersiap untuk shalat dan menunggu khalifah.
Ahnaf mengisyaraktkan kepada orang-orang untuk tenang agar tidak membangunkan khalifah dari tidurnya, sebab sepanjang pengetahuannya dalam menyertai Umar radhiyallahu ‘anhu, khalifah itu tidak pernah tidur di malam hari. Beliau selalu berdiri shalat di mihrabnya, atau menyamar meronda berkeliling Madinah untuk menyelidiki hal-ihwal rakyatnya atau menjaga rumah-rumahnya dari kejahatan pencuri.
Kemudian tatkala Hurmuzan melihat isyarat Ahnaf kepada orang-orang, dia menoleh kepada Mughirah bin Syu’bah yang bisa berbahasa Persia. Dia bertanya, “Siapakah orang yang tidur itu?” Mughirah menjawab, “Dialah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab.”
Betapa terkejutnya Hurmuzan, lalu dia berkata, “Umar? Lalu mana penjaga dan pengawalnya?” Mughirah menjawab, “Beliau tidak memiliki pengawal ataupun penjaga.” Dia berkata, “Kalau begitu, pasi dia nabi.” Mughirah berkata, “Bukan, tak ada nabi setelah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hanya saja tingkah lakunya memang seperti nabi.”
Orang-orang makin padat berdatangan dan suara-suara yang ditimbulkan semakin keras. Umar radhiyallahu ‘anhu terbangun dari tidurnya dan heran melihat orang telah ramai berkerumun. Beliau juga melihat seseorang yang mengenakan pakaian kebesaran, dengan mahkota di kepala dan tongkat bertabur permata indah di tangan. Umar beralih menatap wajah Ahnaf lalu berkata, “Diakah Hurmuzan.” Ahnaf menjawabnya, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”
Umar kembali mengamati pakaian dan sutera gemerlapan yang dikenakan oleh pemimpin Persia tersebut kemudian memalingkan muka sambil bergumam, “Aku berlindung kepada Allah dari api neraka dan dari dunia ini. Terpujilah Allah yang telah menundukkan orang ini dan orang-orang semacamnya untuk Islam.”
Kemudian beliau berkata, “Wahai kaum muslimin. Pegang teguhlah agama ini dan ikutilah petunjuk Nabi kalian yang bijaksana. Jangan sekali-kali Anda terpesona oleh dunia, karena dunia itu menggiurkan.”
Selanjutnya, Ahnaf bin Qais mengutarakan kabar gembira tentang kemenangannya. Ahnaf berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Hurmuzan telah menyerahkan diri kepada kita dengan syarat akan menerima ketetapan Anda atas dirisnya. Silakan Anda berbicara sendiri kepadanya jika Anda berkenan.”
Umar berkata, “Aku tak sudi berbicara dengannya sebelum kalian melepas pakaian kemegahan dan kesombongan itu.” Merekapun melucuti semua kemewahan yang dipakai Hurmuzan kemudian memberinya gamis untuk menutupi auratnya. Sesudah itu Umar menjumpainya dan berkata, “Bagaimana akibat penghianatan dan ingkar janjimu?”
Dengan menunduk penuh kehinaan Hurmuzan menjawab, “Wahai Umar, pada masa jahiliyah ketika antara kalian dengan kami tidak ada Rabb, kami selalu menang atas kalian. Tapi begitu kalian memeluk Islam, Allah menyertai kalian sehingga kami kalah. Kalian menang atas kami memang karena hal itu, tapi juga karena kalian bersatu sedangkan kami bercerai berai.”
Umar menatap tajam kepada Hurmuzan dan berkata dengan nada tegas, “Apa yang menyebabkan engkau ingkar janji, Hurmuzan?” Dia berkata, “Aku khawatir Anda membunuhku sebelum aku menjawabnya.” Umar menjawab, “Tidak, sebelum engkau menjawabnya.” Hurmuzan menjadi tenang dengan jawaban tersebut, lalu dia berkata, “Aku haus.”
Umarpun segera memerintahkan untuk mengambil air minum, kemudian seseorang menyodorkan air dalam suatu wadah yang tebal. Melihat itu, Hurmuzan berkata, “Sampai matipun, sungguh aku tidak bisa minum dari wadah seperti ini.’
Umar menyuruh petugasnya untuk mengambilkan air denagn wadah yang disukainya. Hurmuzan menerimanya dengan tangan gemetaran. Umar bertanya, “Ada apa dengan engkau?” Dia menjawab, “Aku takut dibunuh di saat meneguk air ini.” Umar berkata, “Engkau akan aman sampai selesai minum air ini.” Namun Hurmuzan langsung menuang air itu ke tanah.
Umar berkata, “Bawakan air lagi dan jangan kalian bunuh dia dalam kehausan!” Hurmuzan berkata, “Aku tak butuh air, aku hanya butuh keamanan atas diriku.” Umar berkata, “Aku akan membunuhmu!” Hurmuzan menjawab, “Anda sudah berjanji menjamin keamananku (hingga aku meminum air yang aku buang tadi).” Umar berkata, “Engkau bohong.”
Anas bin Malik berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukminin, Anda telah menjamin keamanannya.” Umar berkata, “Janganlah berlaku bodoh, Anas. Aku menjamin keamanan orang yang menewaskan adik Anda, al-Barra bin Malik serta Majza’ah bin Tsur?! Tidak! Tidak mungkin!”
Anas berkata, “Tapi tadi Anda berkata, “Engkau aman sampai minum air ini.” Ahnaf mendukung kata-kata Anas, demikian pula orang-orang yang lain. Umar menatap Hurmuzan dengan geram, “Engkau telah memperdayaiku!”
Akhirnya Hurmuzan memeluk Islam, kemudian Umar memberinya bagian dua ribu dirham setahun.
Hal yang membuat Umar dongkol hatinya adalah seringnya orang-orang Persia ingkar janji terhadap kaum muslimin. Lalu dia mengumpulkan para utusan yang datang bersama Hurmuzan dan bertanya, “Apakah kaum muslimin suka menganggu orang-orang dzimmi dan menekan mereka sehingga mereka melanggar perjanjian?”
Mereka berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, tak satupun pejabat kita berbuat keji terhadap mereka, menyalahi janji atau menipu.” Umar bertanya, “Lantas mereka selalu berbalik setiap ada peluang padahal sudah terikat perjanjian?”
Umar radhiyallahu ‘anhu tidak merasa puas dengan jawaban para utusan tersebut. Pada saat itulah Ahnaf angkat bicara, “Saya akan coba jelaskan apa yang Amirul Mukminin kehendaki dari pertanyaan Anda. Umar berkata, “Katakan apa yang Anda ketahui.” Ahnaf memperjelas jawaban para utusan tersebut, “Mereka hendak berkata, “Anda melarang kami memperluas kekuasaan di Persia dan memerintahkan agar selalu puas dengan wilayah-wilayah yang ada di tangan kita. Padahal Persia masih berdiri sebagai kekaisaran yang berdaulat, masih mempunyai seorang kaisar yang hidup. Tak heran bila orang-orang Persia itu selalu merongrong kita, sebab mereka ingin merebut kembali rumah-rumah dan harta benda yang berada di tangan kita. Kawan-kawan mereka yang terikat perjanjian dengan kita berusaha bergabung setiap ada kesempatan dan peluang untuk menang. Memang, tak mungkin ada dua kekuasaan bersatu dalam satu wilayah, salah satu pasti harus keluar. Kalau saja Anda mengizinkan kami menaklukkan mereka seluruhnya, barulah akan berhenti makar mereka dan selesai sudah urusan itu.”
Sejenak Umar merenung mendengar uraian itu, lalu berkata, “Engkau benar wahai Ahnaf. Kini terbuka sudah hal-hal yang belum terjangkau oleh akalku tentang kaum itu.”
Nantinya, berkat saran Ahnafiah akhirnya terjadi peristiwa-peristiwa besar sesudahnya. Saran Ahnaf tersebut sangat nampak mempengaruhi putaran roda sejarah.
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
No comments:
Post a Comment