Wanita Mulia Ibu dari Seorang Pahlawan Belia
Abu Qudamah Asy-Syami
Dalam Shifatus Shofwah oleh Ibnul Jauzi dan Masyaraqiul Asywaq oleh Ibnu Nahhas dikisahkan seorang salih yang bernama Abu Qudamah Asy-Syami.
Abu Qudamah adalah seorang yang hatinya dipenuhi kecintaan akan jihad fi sabilillah. Tak pernah ia mendengar akan jihad fi sabilillah, atau adanya perang antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali ia selalu ambil bagian bertempur di pihak kaum muslimin.
Suatu ketika saat ia sedang duduk-duduk di Masjidil Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya berakta, “Hai Abu Qudamah, Anda adalah orang yang gemar berjihad di jalan Allah, maka ceritakanlah peristiwa paling ajaib yang pernah kau alami dalam berjihad.”
“Baiklah, aku akan menceritakannya bagi kalian,” kata Abu Qudamah.
“Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqh (sebuah kota di Irak, dekat sungai Eufrat). Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota lewat masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfak fi sabilillah.
Menjelang malam harinya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan gaunnya.
“Apa yang Anda inginkan?” tanyaku.
“Andakah yang bernama Abu Qudamah?” katanya balik bertanya.
“Benar,” jawabku.
“Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.
Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, “Anda mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tak sanggup untuk itu. Maka kupotong dua buah kuncir kesayanganku agar Anda jadikan sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya.”
“Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihan wanita itu untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya,” kata Abu Qudamah.
Keesokan harinya, aku bersama sahabatlu beranjak meninggalkan Raqh. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggang kuda yang memanggil-manggil,
“Hai Abu Qudamah.. Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” teriak orang itu.
“Kalian berangkat saja duluan, biar aku yang mencari tahu tentang orang ini,” perintahku pada para sahabatku.
Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan,
“Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak keikutsertaanku.”
“Apa yang kau inginkan?” tanyaku.
“Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.” Kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya, tampak olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
“Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?” tanyaku.
“Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku,” jawabnya.
“Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?” tanyanku lagi.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku kepadanya.
“Kau tak kenal ibuku?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik titipan itu,” katanya.
“Titipan yang mana,” tanyaku.
“Dialah yang menitipkan tali kuda itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?” tanyaku keheranan.
“Subhanallah..!! alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan wanita yang tadi malam menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?”
“Ya, aku ingat,” jawabku.
“Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi,” katanya.
“Ibuku berkata, ‘Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan paman-pamanmu di surga. Jika Allah mengaruniamu mati syahid, maka mintalah syafaat bagiku.”
Kemudian ibu memelukku, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah.. ya Ilahi.. inilah puteraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan ia untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya’.”
“Aku benar-benar takjub dengan anak ini,” kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela,
“Karenanya, kumohon atas nama Allah, janganlah kau halangi aku untuk berjihad bersamamu. Insya Allah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal Alquran. Aku juga pandai menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku hanya karena usiaku yang masih belia.” kata anak itu memelas.
Setelah itu mendengar uraiannya aku tak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.
Demi Allah, ternyata tak pernah kulihat orang yang lebih cekatan darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat, ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk mengurus kami, sedang lisannya tak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.
Kemudian, kami pun singgah di suatu tempat dekat pos perbatasan. Saat itu matahari hampir tenggelam dan kami dalam keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan hidangan untuk berbuka dan makan malam, bocah itu bersumpah atas nama Allah bahwa ialah yang akan menyiapkannya. Tentu saja kami melarangnya karena ia baru saja kecapaian selama perjalanan panjang tadi.
Akan tetapi bocah itu bersikeras untuk menyiapkan hidangan bagi kami. Lama kami beristirahat di suatu tempat, kami katakan kepadanya, “Menjauhlah sedikit agar asap kayu bakarmu tidak mengganggu kami.”
Maka bocah itu pun mengambil tempat yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan tetapi bocah itu tak kunjung tiba. Mereka merasa bahwa ia agak terlambat menyiapkan hidangan mereka.
“Hai Abu Qudamah, temuilah bocah itu. Ia sudah terlalu lama memasak. Ada apa dengannya?” pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati bocah itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tapi karena terlalu lelah, ia pun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.
Melihat kondisinya yang seperti itu, sungguh demi Allah aku tak sampai hati mengganggu tidurnya, namun aku juga tak mungkin kembali kepada mereka dengan tangan hampa, karena sampai sekarang kami belum menyantap apa-apa.
Akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan makanan itu sendiri. Aku pun mulai meramu masakannya, dan sembari menyiapkan masakan, sesekali aku melirik bocah itu. Suatu ketika terlihat olehku bahwa bocah itu tersenyum. Lalu perlahan senyumnya makin melebar dan mulailah ia tertawa kegirangan.
Aku merasa takjub melihat tingkahnya tadi, kemudian ia tersentak dari mimpinya dan terbangun.
Ketika melihatku menyiapkan masakan sendiran, ia nampak gugup dan buru-buru mengatakan,
“Paman, maafkan aku, nampaknya aku terlambat menyiapkan makanan bagi kalian.”
“Ah tidak, kamu tidak terlambat kok,” jawabku.
“Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad,” kata bocah itu.
“Tidak,” sahutku, “Demi Allah, kau tak kuzinkan menyiapkan apa-apa bagi kami sampai kau ceritakan kepadaku apa yang membuatmu tertawa sewaktu tidur tadi? Keadaanmu sungguh mengherankan,” lanjutku.
“Paman, itu sekedar mimpi yang kulihat sewaktu tidur,” kata si bocah.
“Mimpi apa yang kau lihat?” tanyaku.
“Sudahlah, tak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah,” sahut bocah itu.
“Tidak bisa, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya,” kataku.
“Paman, dalam mimpi tadi aku melihat seakan aku berada di surga, kudapati surga itu dalam segala keindahan dan keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam Alquran.
Sembari aku jalan-jalan di dalamnya dengan terkagum-kagum, tiba-tiba tampaklah olehku sebuah istana megah yang berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, dan terasnya dari mutiara dan batu permata, dan gerbangnya dari emas.
Di teras itu ada tirai-tirai yang terjuntai, lalu perlahan tirai itu tersingkap dan tampaklah gadis-gadis belia nan cantik jelita, wajah mereka bersinar bak rembulan.”
Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar biasa, gumamku, lalu muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari mereka, dengan telunjuknya ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di sampingnya seraya mengatakan, “Inilah (calon) suami al-mardhiyyah.. ya, dialah calon suaminya.. benar, dialah orangnya!”
Aku tak paham siapa itu al-mardhiyyah, maka aku bertanya kepadanya, “Kamukah al-mardhiyyah..?
“Aku hanyalah satu di antara dayang-dayang al-mardhiyyah…” katanya. “Anda ingin bertemu dengan al-mardhiyyah..?” tanya gadis itu.
“Kemarilah.. masuklah ke sini, semoga Allah merahmatimu,” serunya.
Tiba-tiba kulihat di atasnya ada sebuah kamar dari emas merah.. dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang berkilauan.
Dan di atasnya.. seorang gadis belia dengan wajah bersinar laksana surya!! Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tak kuasa menatap kecantikkannya..!!!
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, “Selama datang, hai wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku.”
Mendengar suara merdu itu, aku berusaha mendekatinya dan menyentuhnya.. namun sebelum tanganku sampai kepadanya, ia berkata,
“Wahai kekasihku dan tambatan hatiku.. semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia masih tersisa sedikit.. InsyaAllah besok kita bertemu selepas ashar.”
Aku pun tersenyum dan senang mendengarnya.”
Abu Qudamah melanjutkan, “Usai mendengar cerita indah dari si bocah tadi, aku berkata kepadanya, “InsyaAllah mimpimu merupakan pertanda baik.”
Lalu kami pun menyantap hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.
Abu Qudamah melanjutkan, “Usai mendengar cerita indah dari si bocah tadi, aku berkata kepadanya, “InsyaAllah mimpimu merupakan pertanda baik.”
Lalu kami pun menyantap hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.
Setibanya di pos perbatasan kami menurunkan semua muatan dan bermalam di sana. Keesokan harinya setelah menunaikan shalat fajar, kita bergerak ke medan pertempuran untuk menghadapi musuh.
Sang komandan bangkit untuk mengatur barisan. Ia membaca permulaan surat Al-Anfal. Ia mengingatkan kami akan besarnya pahala jihad fi sabilillah dan mati syahid, sembari terus mengobarkan semangat jihad kaum muslimin.”
Abu Qudamah mengisahkan, “Tatkala kuperhatikan orang-orang di sekitarku, kudapati masing-masing dari mereka mengumpulkan sanak kerabatnya di sekitarnya. Adapun si bocah, ia tak punya ayah yang memanggilnya, atau paman yang mengajaknya, dan tidak pula saudara yang mendampinginya.
Aku pun terus mengikuti dan memperhatikan gerak-geraknya, lalu tampaklah olehku bahwa ia berada di barisan terdepan. Maka segeralah kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata,
“Wahai anakku, adakah engkau memiliki pengalaman berperang..?”
“Tidak.. tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir,” jawab si bocah.
“Wahai anakku, sesungguhnya perkara ini tak segampang yang kau bayangkan, ini adalah peperangan. Sebuah pertumpahan darah di tengah gerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil posisi di belakang saja. Jika kita menang kaupun ikut menang, namun jika kita kalah kau tak jadi korban pertama,” pintaku kepadanya.
“Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu,” jawabku.
“Paman.. apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka?” tanyanya.
“A’udzubillah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali karena lari dari neraka dan memburu surga,” jawabku.
Lalu kata si bocah, “Sesungguhnya Allah berfirman,
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya itu.” (QS. Al-Anfal: 15-16)
“Adakah Paman menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tempat kembaliku adalah neraka?” tanya si bocah.
Aku pun heran dengan kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku berusaha menjelaskan, “Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang kau katakan.” Namun tetap saja ia bersikeras tak mau pindah ke belakang. Aku pun menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu perang pun dimulai dan aku terhalang oleh pasukan berkuda darinya.
Dalam kancah pertempuran itu terdengarlah derap kaki kuda, diirngi gemerincing pedang dan hujan panah, lalu mulailah kepala-kepala berjatuhan satu-persatu. Bau anyir darah tercium di mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak bersimbah darah.
Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak, seakan-akan ada tungku tanur yang menyala di atas kami.
Perang pun kian memuncak, kedua pasukan bertempur habis-habisan hingga matahari tergelincir dan masuk waktu zhuhur. Ketika itulah Allah berkenan menganugerahkan kemenangan bagi kaum muslimin, dan pasukan Salib lari tunggang-langgang.
Setelah mereka terpukul mundur, aku berkumpul bersama beberapa orang sahabatku untuk menunaikan shalat zuhur. Selepas shalat, mulailah masing-masing dari kita mencari sanak keluarganya di antara para korban.
Sedangkan si bocah,, maka tak seorang pun yang mencarinya atau menanyakan kabarnya. Maka kukatakan dalam hati, “Aku harus mencarinya dan menyelidiki keadaannya, barangkali ia terbunuh, terluka, atau jatuh dalam tawanan musuh?”
Aku pun mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan dan ke kiri kalau-kalau ia terlihat olehku. Di saat itulah aku mendengar ada suara lirih di belakangku yang mengatakan, “Saudara-saudara.. tolong panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari.. panggilkan Abu Qudamah kemari.”
Aku menoleh ke arah suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si bocah dan ternyata puluhan tombak telah menusuk tubuhnya. Ia babak belur terinjak pasukan berkuda. Dari mulutnya keluar darah segar. Dagingnya tercabik-cabik dan tulangnya remuk total.
Ia tergeletak seorang diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan berteriak sekuat tenagaku,
“Akulah Abu Qudamah..!! aku ada di sampingmu..!!”
“Segala puji bagi Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka dengarlah baik-baik wasiatku ini..!” kata si bocah.
Abu Qudamah mengatakan, sungguh demi Allah, tak kuasa menahan tangisku. Aku teringat akan segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang dikejutkan dengan kematian anaknya.
Aku menyingsingkan sebagian kainku lalu mengusap darah yang menutup wajah polos itu. Ketika ia merasakan sentuhanku ia berkata, “Paman.. usaplah darah dengan pakaianku, dan jangan kau usap dengan pakaianmu.”
Demi Allah, aku tak kuasa menahan tangisku dan tak tahu harus berbuat apa. Sesaat kemudian, bocah itu berkata dengan suara lirih, “Paman.. berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti kau akan kembali ke Raqqah, dan memberi kabar gembira bagi ibuku bahwa Allah telah menerima hadiahnya, dan bahwa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Sampaikan pula padanya jikalau Allah menakdirkanku sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan paman-pamanku di surga.
Paman.. aku khawatir kalau nanti ibu tak mempercayai ucapanku. Maka ambillah pakaianku yang berlumuran darah ini, karena bila ibu melihatnya ia akan yakin bahwa aku telah terbunuh, dan insya Allah kami bertemu kembali di surga.
Paman.. setibanya engkau di rumahku, akan kau dapati seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Ia adalah saudariku.. tak pernah aku masuk rumah kecuali ia sambut dengan keceriaan, dan tak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan kesedihannya. Ia sedemikian kaget ketika mendengar kematian ayah tahun lalu, dan sekarang ia akan kaget mendengar kematianku.
Ketika melihatku mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, “Kak.. jangan kau tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang..!!”
Paman.. jika engkau bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata yang manis. Katakan kepadanya bahwa kakakmu mengatakan, “Allah-lah yang akan menggantikanku mengurusmu.”
Abu Qudamah melanjutkan, “Kemudian bocah itu berusaha menguatkan dirinya, namun napas mulai sesak dan bicaranya tak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan dirinya dan berkata,
“Paman.. demi Allah, mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Demi Allah, saat ini aku benar-benar sedang melihat al-mardhiyyah dan mencium bau wanginya.”
Lalu bocah itu mulai sekarat, dahinya berkeringat, napasnya tersengal-sengal dan kemudian wafat di pangkuanku.”
Abu Qudamah berkata, “Maka kulepaslah pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah kantong, kemudian kukebumikan dia. Usai mengebumikannya, keinginan terbsesar ku ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.
Maka aku pun kembali ke Raqqah. Aku tak tahu siapa nama ibunya dan di mana rumah mereka.
Takkala aku menyusuri jalan-jalan di Raqqah, tampak olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis kecil berumur sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang yang baru datang dari bepergian ia bertanya,
“Paman.. Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu kakakku ada bersamamu..?” tanyanya.
“Aku tak kenal, siapa kakakmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua, dan tanyanya.
“Akhi, Anda datang dari mana?”
“Aku datang dari jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada bersamamu?” tanya gadis itu.
“Aku tak kenal siapa kakakmu,” jawabnya sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang ketiga, keempat, dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menanyakan saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata,
“Mengapa mereka semua kembali tapi kakakku tak kunjung kembali?”
Melihat ia seperti itu, aku pun datang menghampirinya. Ketika ia melihat bekas-bekas safar padaku dan kantong yang kubawa, ia bertanya,
“Paman.. Anda datang dari mana?
“Aku datang dari jihad,” jawabku.
“Kalau begitu kakakku ada bersamamu?” tanyanya.
“Dimanakah ibumu?” tanyaku.
“Ibu ada di dalam rumah,” jawabnya.
“Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku,” perintahku kepadanya.
Ketika perempuan tua itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup gaunnya. Ketika aku mendengar suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya,
“Hai Abu Qudamah, engkau datang hendak berbela sungkawa atau memberi kabar gembira?”
Maka tanyaku, “Semoga Allah merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku apa yang kau maksud dengan bela sungkawa dan kabar gembira itu?”
“Jika kau hendak mengatakan bahwa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan pantang mundur berarti engkau datang membawa kabar gembira untukku, karena Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas tahun silam.
Namun jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, berarti engkau datang untuk berbela sungkawa kepadaku, karena Allah belum berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya,” jelas si perempuan tua.
Maka kataku, “Kalau begitu aku datang membawa kabar gembira untukmu. Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebagian darahnya hingga ia ridha.”
“Tidak, kurasa engkau tidak berkata jujur,” kata ibu sembari melirik kepada kantong yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan seksama.
Maka kukeluarkanlah isi kantong tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran darah.
Nampak serpihan wajah anaknya berjatuhan dari kain itu, diikuti tetesan darah yang tercampur beberapa helai rambutnya.
“Bukankah ini adalah pakaiannya.. dan ini surbannya.. lalu ini gamisnya yang kau kenakan pada anakmu sewaktu berangkat berjihad..?” kataku.
“Allahu Akbar..!!” teriak si ibu kegirangan.
Adapun gadis kecil tadi, ia justru berteriak histeris lalu jatuh terkulai tak sadarkan diri. Tak lama kemudian ia mulai merintih, “Aakh..! aakh..!”
Sang ibu merasa cemas, ia bergegas masuk ke dalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di samping kepalanya, mengguyurkan air kepadanya,
Demi Allah, ia tak sedang merintih.. ia tak sedang memanggil-manggil kakaknya. Akan tetapi ia sedang sekarat!! Napasnya semakin berat.. dadanya kembang kempis.. lalu perlahan rintihannya terhenti. Ya, gadis itu telah tiada.
Setelah puterinya tiada, ia mendekapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam,
“Ya Allah, aku telah merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan anakku di jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan mengumpulkanku bersama mereka di Surga-Mu.”
Abu Qudamah berkata, “Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang kesabarannya hingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tak membukakanku maupun menjawab seruanku.
“Sungguh demi Allah, tak pernah kualami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini,” kata Abu Qudamah mengakhiri kisahnya.
Lihatlah, bagaimana si ibu mengorbankan segala yang ia miliki demi menggapai kebahagiaan ukhrawi. Ia perintahkan anaknya untuk berjihad fi sabilillah demi keridhaan Ilahi. Maka bagaimanakah nasib para pemalas seperti kita. Apa yang telah kita korbankan demi keridhaan-Nya?
Sumber: Ibunda Para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakann Pertama Ramadhan 1427 H / Oktober 2006
No comments:
Post a Comment