Hajb dan Hirman
A. Pengertian Hajb dan Hirman
Menurut bahasa, kata hajb berarti man’un (cegahan), namun yang dimaksud di sini ialah orang yang tertentu terhalang untuk mendapatkan seluruh warisannya atau sebagiannya disebabkan ada orang lain (yang menjadi hajib, penghalang).
Adapun yang dimaksud kata hirman di sini ialah orang yang tertentu terhalang mendapat warisannya disebabkan ada salah satu faktor yang menghalangi seseorang mendapat harta warisan, misalnya pembunuhan dan semisalnya yang terkategori sebab-sebab yang menjadi penghalang mendapat harta warisan.
B. Pembagian Hajb
Hajb ada dua: hajb nuqshan dan kedua hajb hirman.
Adapun yang dimaksud hajb nuqshan ialah berkurangnya bagian seorang ahli waris karena ada orang lain, dan ini terjadi pada lima orang:
Suami, ia terhalang untuk mendapatkan separuh dari harta peninggalan, manakala si mayyit meninggalkan anak, sehingga ia hanya dapat seperempat.
Isteri, ia terhalang untuk mendapat seperempat, bila si mayyit meninggalkan anak, sehingga ia hanya dapat seperdelapan.
Ibu, ia terhalang untuk mendapatkan bagian sepertiga, jika si mayyit meninggalkan anak dan cucu yang berhak menjadi ahli waris, sehingga ia hanya mendapat seperenam.
Cucu perempuan.
Saudara perempuan sebapak.
Adapun hajb hirman yaitu seseorang tidak boleh mendapatkan warisan sedikitpun karena ada orang lain, misalnya terhalangnya saudara laki-laki untuk mendapatkan warisan bila si mayyit meninggalkan anak laki-laki, dan masalah ini (hajb hirman) tidak masuk padanya warisan dari enam ahli waris, meskipun mungkin saja terjadi pada keenam orang ini hajb nuqshan. Mereka adalah:
1 dan 2. Bapak dan Ibu.
3 dan 4. Anak laki-laki dan anak perempuan.
5 dan 6. Suami atau isteri.
Dan pembahasan hajb hirman ini mengenai selain enam orang tersebut dari kalangan orang-orang yang berhak jadi ahli waris.
Hajb hirman berpijak pada dua asas:
Bahwa setiap orang yang menisbatkan dirinya kepada mayyit dengan perantara orang lain, maka ia tidak berhak jadi ahli waris manakala orang lain tersebut masih hidup. Misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki, ia tidak bisa menjadi ahli waris bila bapaknya masih hidup, kecuali putera-puteri ibu, mereka tetap sah menjadi ahli waris bersama ibunya, padahal mereka menisbatkan dirinya kepada mayyit dengan perantara ibunya.
Yang lebih dekat harus lebih diutamakan daripada yang jauh. Misalnya anak laki-laki menjadi hajib (penghalang) bagi keponakan laki-lakinya dari saudara laki-lakinya. Jika mereka sederajat, maka yang harus diutamakan adalah yang lebih kuat kekerabatannya, misalnya saudara laki-laki sebapak seibu menjadi hajib (penghalang) bagi saudara laki-laki sebapak.
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 811 – 812.
No comments:
Post a Comment