Biografi Atha bin Abi Raba
Atha bin Abi Raba
Atha bin Abi Raba Kun-yahnya adalah Abu Muhammad Al-Makki. Dahulu ia merupakan seorang budak dari keluarga Abi Hutsaim. Ayahnya dikenal dengan Abu Rabah Aswadan, nama aslinya Aslam dan ibunya bernama Barokah. Ia dilahirkan di sebuah desa di negeri Yaman yang bernama Al-Janad di masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Atha wafat pada tahun 114 H.
Atha adalah seorang yang berkulit hitam legam, berambut keriting, dan berbibir tebal. Semasa di Mekah ia menjadi budak dari seorang wanita yang bernama Habibah binti Maisarah bin Abi Hutsaim. Tatkala sang tuan melihat budaknya ini mempunyai semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu dan berkhidmat kepada agama Allah, maka ia pun berinisiatif untuk membebaskannya dan mengharap pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bebaslah Atha dari belenggu perbudakan yang membatasi gerak-geriknya dalam meraih keutamaan di jalan Allah. Ia menjadi orang yang merdeka dan hanya menjadi budak Allah Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini.
Setelah merdeka, Atha tak menyia-nyiakan umurnya. Ia mencurahkan segenap jiwa dan raganya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari-harinya ia isi dengan menuntut ilmu agama. Ia mulai mereguk segarnya warisan nabawi dari para sahabat-sahabat utama seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan selain mereka dari para pembesar sahabat rahimahumullah. Dadanya penuh terisi dengan ilmu dan hikmah serta fiqh dan adab.
Atha menjual dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semua waktunya telah diperuntukkan demi menuntut ilmu, hingga ia mencapai derajat yang tinggi dengan kemuliaan ilmunya tersebut.
Yahya bin Sa’id mengatakan, “Bagi Atha, masjid adalah tempat tinggalnya selama dua puluh tahun. Ia adalah orang yang paling bagus salatnya.”
Ibnu Juraij mengatakan: “Lantai masjid menjadi kasurnya selama dua puluh tahun, dan ia adalah orang yang paling bagus salatnya”. Ibnu Juraij melanjutkan komentarnya, “Sungguh aku bersamanya tiga belas tahun. Di masa tuanya saja dimana fisiknya telah melemah, ia salat dengan membaca dua ratus ayat dari Surat Al-Baqarah dalam keadaan kokoh berdiri.”
Ad-Daruquthni mengatakan “Atha pernah berkata, ‘Aku telah bertemu dan belajar kepada lebih dari dua ratus sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Suatu ketika Ibnu Umar datang ke Mekah lalu orang-orang pun datang mengitarinya untuk meminta fatwa, maka Ibnu Umar mengatakan, “Kalian mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan ini kepadaku padahal di sisi kalian ada Atha bin Abi Rabah!!”
Perkataan yang senada pun diucapkan oleh Ibnu Abbas, tatkala ada seseorang yang diutus untuk mengajukan pertanyaan kepadanya, lalu sepupu nabi ini menjawab, “Wahai penduduk Mekah, kalian berkumpul dan meminta fatwa kepadaku padahal di tengah-tengah kalian ada Atha bin Abi Robah.”
Abu Ja’far Al-Baqir mengatakan “Bertanyalah kalian kepada Atha, dia itu orang yang paling baik di antara kita.” Ia juga menuturkan, “Ambillah (ilmu) dari Atha semampu kalian, karena tidaklah tersisa di muka bumi ini seorang yang lebih mengetahui tentang manasik haji selain Atha.”
Atha bin Abi Raba
Kedudukannya yang tinggi dan mulia tidak membuatnya terpana dan pongah, ia tetap mengenal dan sadar akan hakikat dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketinggian dan kemuliaan ilmunya tidak menjadikannya lupa diri, karena ilmu yang sesungguhnya adalah sesuatu yang dapat menghantarkan kepada ketundukan dan kerendahan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sifat tawadhu di hadapan manusia.
Imam Ibnu Abi Laila mengatakan, “Aku pernah berjumpa dengan Atha. Lalu ia menanyakan beberapa hal kepadaku. Maka sahabat-sahabat Atha tercengang keheranan seraya mengatakan, ‘bagaimana mungkin engkau yang bertanya kepadanya?’ Ia menjawab, ‘apa yang kalian herankan? Dia orang yang lebih berilmu daripada saya.”
Al-Asma berkata, “Suatu hari Atha bin Abi Rabah menemui Khalifah Abdul Malik untuk suatu kerperluan umat. Ia memanfaatkan kesempatan karena sang khalifah berada di Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Ia sedang bersantai di atas kasur tempat duduk raja dikelilingi para pembesar kerajaan Bani Umayah. Mengetahui kedatangan tamu yang mulia, seorang ulama karismatik yang dihormati. Spontan sang khalifah menyabut kedatangannya dengan hangat dan ucapan salam penghormatan. Sang raja dengan lapang dada mengajaknya duduk bersama di atas kasur miliknya. Namun, sosok ulama rabbani yang rendah hati ini justru menginginkan duduk di depannya, bukan di kasur mewah yang terbentang indah itu. Khalifah pun bertanya, “Wahai Abu Muhammad, apakah kebutuhanmu?” Atha menjawab, ‘Wahai Amirul Mukminin, bertakwalah kepada Allah atas apa yang Allah dan rasul-Nya larang dan hendaklah Anda jalankan kepemimpinan dengan bijaksana. Bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap urusan muhajirin dan ansar, karena merekalah Anda memiliki singgasana. Bertakwalah atas urusan kaum muslim yang tinggal di perbatasan negeri, karena merekalah perisai dan pertahanan kaum muslim. Tunaikan seluruh perkara kaum muslim karena Andalah yang bertanggung jawab tentangnya. Dan bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang lemah, janganlah Anda pancangkan palang pintu istana untuk mereka.” Maka Amirul Mukminin menjawab, “Semua itu akan kulakukan.”
Lalu Atha pun berdiri. Abdul Malik segera meraih tangannya seraya berucap, “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya engkau dari tadi memintakan urusan orang lain kepadaku dan aku berjanji akan menunaikannya, namun engkau sendiri apa yang menjadi kebutuhanmu?” Atha menjawab, “Saya tidak meminta kepada makhluk akan kebutuhan saya.” Lalu ia keluar, maka Abdul Malik, “Sungguh inilah kemuliaan, inilah keagungan.”
Perangai mulia yang lainnya adalah wara’ dan menjaga diri dari melanggar keharaman-keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena hakikat penghambaan diri seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menjauhkan dirinya dari segala yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan termasuk wara’ adalah menjaga lisan dari mengucapkan sesuatu yang tidak didasari dengan ilmu dan bayyinah (bukti).
Abu Khaitsamah dari Abdul Aziz bin Rafi’ berkata: “Atha pernah ditanya tentang suatu masalah lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Lalu ada yang mengatakan, “Mengapa engkau tidak menajawab saja pertanyaan tersebut dengan pendapatmu.” Ia menjawab, “Sungguh, aku malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila ada seorang beragama di muka bumi ini hanya berpedoman pada pendapatku.”
Muhammad bin Suqoh mengatakan, “Maukah kalian aku ceritakan sesuatu yang bermanfaat bagi kalian seabagaimana juga bermanfaat bagiku?” Mereka menjawab, “Tentu.” Kemudian ia menceritakan tentang Atha, “Suatu ketika Atha bin Abi Rabah menasihatiku dengan mengatakan, ‘wahai anak saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum ktia (para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) membenci banyak bicara.’ Aku pun bertanya, ‘Apa sajakah yang termasuk banyak bicara menurut mereka?’ Ia mengatakan, ‘Sesungguhnya mereka (para sahabat) menganggap banyak bicara apabila seseorang mengatakan perkataan selain kitabullah yang dibaca dan dipahami, atau hadis-hadis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diriwayatkan, atau mengajak kepada yang baik dan mencegah dari yang jelek dan hina, atau berbicara suatu ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau membicarakan kebutuhan hidup. Tidakkah kalian ingat “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” (Q.S. al-Infithor: 10-11).
Bersama kalian juga ada dua malaikat yang selalu mengawasi kalian, “Seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengurus yang selalu hadir.” (Q.S. Qof: 17-18).
Lalu ia menasihatkan, “Tidakkah kalian malu seandainya kelak lembaran-lembaran catatan amalan dibentangkan lalu di dalamnya dijumpai kebanyakan perkara-perkara yang bukan termasuk dari bagian agama tidak pula dunia?!!.”
Atha bin Abi Rabah meninggal dunia pada tahun 114 atau 115 Hijriah dalam umur 88 tahun. Al-Auza’i mengatakan, “Atha bin Abi Rabah meninggal dunia. Ia adalah penduduk bumi yang paling diridhai.”
Mutiara Teladan
Beberapa teladan yang semestinya dimiliki seorang muslim di antaranya:
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim. Kebutuhan kita terhadap ilmu lebih dari kebutuhan kita terhadap makanan dan minuman. Utamanya lagi ilmu yang dapat menunjukkan jalan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ilmu dapat mengangkat derajat seseorang menjadi mulia; mulia di hadapan manusia dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Merupakan tanda barokahnya ilmu seseorang adalah ilmu tersebut dapat mengarahkannya untuk semakin merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala karena seseorang yang makin mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala maka ia akan makin mengetahui kekerdilan dan kehinaan dirinya di hadapan-Nya.
Hendaklah seorang muslim berhias dengan perangai terpuji berupa sifat wara’ dan menjaga diri dari keharaman-keharaman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Betapa banyak perkara ini dihalalkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Nas’alullah al-Afiyah.
Saling menasihati di dalam kebaikan dan kesabaran adalah ciri kebaikan seorang muslim. Karena agama adalah nasihat dan nasihat itu bermanfaat bagi seorang muslim.
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah Al-Furqon, Edisi 04 Tahun ke-10 Muharram 1431 H/2010.
No comments:
Post a Comment