Thursday, March 20, 2014

Berbakti Kepada Orang Tua (Bagian 8)

"Keteladanan Para Ulama; Durhaka Kepada Orang Tua"

Contoh-Contoh Berbaktinya Ulama Kepada Orangtua Mereka

Contoh pertama

Muhammad bin Sirin berkata, ((Harga kurma naik melambung di masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan hingga 1000 dirham, maka Usamah bin Zaid pun pergi menuju pohon kurma yang ia miliki lalu iapun melobanginya dan mengambil jantung kurma tersebut lalu ia berikan kepada ibunya. Orang-orang lalu berkata kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau melakukan ini padahal engkau tahu bahwa harga pohon kurma sekarang mencapai 1000 dirham?”, Usamah berkata, “Ibuku meminta jantung pohon kurma kepadaku dan tidaklah ia meminta sesuatu kepadaku yang aku mampu kecuali aku penuhi permintaannya”))[1]

Contoh kedua

شهد بن عمر رجلا يمانيا يطوف بالبيت حمل أمه وراء ظهره يقول

إني لها بعيرها المذلل      إن أذعرت ركابها لم أذعر

ثم قال يا بن عمر أترانى جزيتها قال لا ولا بزفرة واحدة ثم طاف بن عمر فأتى المقام فصلى ركعتين ثم قال يا بن أبى موسى إن كل ركعتين تكفران ما أمامهما

 Dari Abu Burdah mengabarkan bahwasanya Ibnu Umar melihat seorang pria dari Yaman towaf di ka’bah sambil mengangkat ibunya di belakang punggungnya seraya berkata, “Sesungguhnya aku adalah onta ibuku yang tunduk..jika ia takut untuk menungganginya aku tidak takut (untuk ditunggangi)”, lalu ia berkata, “Wahai Ibnu Umar, apakah menurutmu aku telah membalas jasa ibuku?”, Ibnu Umar berkata, “Tidak, bahkan engkau tidak bisa membalas jasa karena keluarnya satu tetes cairan dari cairan yang dikeluarkannya tatkala melahirkan”, kemudian Ibnu Umar menuju maqom Ibrahim dan sholat dua rakaat lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa sesungguhnya setiap dua rakaat menebus dosa-dosa yang ada dihadapan kedua rakaat tersebut”[2]

Lihatlah pemuda dari yaman ini yang telah bersusah payah memikul ibunya untuk berbakti kepada ibunya tatkala thowaf demi untuk membalas kebaikan ibunya namun seluruh keletihan itu tidaklah menyamai setetes air yang keluar tatkala melahirkan. Ini jelas menunjukan akan tingginya dan agungnya hak orangtua atas anaknya

Contoh ketiga

Dari Musa bin ‘Uqbah berkata, “Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Tholib tidak makan bersama ibunya padahal ia adalah orang yang paling berbakti kepada ibunya. Lalu ditanyakan kepadanya tentang hal itu maka ia berkata, “Aku takut jika aku makan bersama ibuku lantas matanya memandang pada suatu makanan dan aku tidak tahu pandangannya tersebut lalu aku memakan makanan yang dipandangnya itu maka aku telah durhaka kepadanya”[3]

Contoh keempat

Dikatakan bahwasanya Kihmis bin Al-Hasan At-Tamimi[4] hendak membunuh kalajengking namun kalajengking tersebut masuk ke dalam lubangnya maka beliaupun memasukan jari beliau ke dalam lubang tersebut dari belakang kalajengking maka kalajengking tersebutpun menyengatnya. Lalu ditanyakan kepadanya kenapa ia melakukan hal itu?, ia berkata, “Aku khawatir kalajengking itu keluar dari lubangnya kemudian menyengat ibuku”[5]

Contoh kelima

Al-Ma’mun berkata, “Aku tidak melihat ada orang berbakti kepada ayahnya sebagaimana berbaktinya Al-Fadhl bin Yahya kepada ayahnya. Yahya (ayah Fadhl) adalah orang yang tidak bisa berwudhu kecuali dengan air hangat. Pada suatu waktu Yahya dipenjara maka penjaga penjara melarangnya untuk memasukan kayu bakar di malam yang dingin, maka tatkala Yahya hendak tidur Al-Fadhl pun mengambil qumqum (yaitu tempat air dari tembaga yang atasnya sempit, yaitu semacam kendi kecil yang terbuat dari tembaga) lalu ia penuhi dengan air kemudian ia dekatkan dengan lampu sambil berdiri. Ia terus berdiri sambil memegang qumqum hingga subuh.”

Dan selain Ma’mun menceritakan bahwasanya para petugas penjaga penjarapun mengetahui apa yang diperbuat oleh Al-Fadhl maka merekapun melarang Al-Fadhl untuk mendekati lampu pada malam berikutnya maka Al-Fadhl pun mengambil qumqum yang penuh dengan air kemudian ia membawanya tatkala ia hendak tidur, ia memasukannya diantara bantal-bantal hingga subuh sehingga airnyapun hangat”[6]

Dan masih banyak contoh-contoh para para Ulama dalam berbakti kepada orangtua mereka.

Durhaka Kepada Orang Tua

Jika birul walidain merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan tanda akan kuatnya keimanannya maka sebaliknya durhaka kepada kedua orangtua merupakan tanda lemahnya agama seseorang, jeleknya hatinya, dan tanda bahwa ia adalah termasuk orang-orang yang celaka di akhirat. Bagaimana seseorang bisa lupa dengan kesulitan dan pengorbanan kedua orangtuanya demi untuk melangsungkan kehidupannya??, bagaimana ia bisa lupa bahwa kalau tidak ada kedua orangtunaya maka ia tidak akan ada di dunia ini sehingga bisa merasakan kenikmatan dunia ini??, bagaimana ia bisa lupa semua ini???, oleh karena itu Allah telah dengan tegasnya mengharamkan durhaka kepada orangtua

إن الله حرم عليكم عقوق[7] الأمهات

((Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu))[8]

Durhaka kepada orangtua merupakan dosa besar

Durhaka kepada orang tua merupakan dosa besar yang tidak diragukan lagi, bahkan ia termasuk dosa-dosa besar yang paling besar, bahkan Allah menggandengkan pengharamannya dengan pengharaman syirik kepadaNya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ألا أنبئكم بأكبر الكبائر قلنا بلى يا رسول الله قال الإشراك بالله وعقوق الوالدين وكان متكئا فجلس فقال ألا وقول الزور وشهادة الزور ألا وقول الزور وشهادة الزور فما زال يقولها حتى قلت لا يسكت

((Maukah aku kabarkan kepada kalian dosa-dosa besar yang terbesar?)), kami berkata, “Tentu ya Rasulullah”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ((Berbuat syirik[9] kepada Allah, durhaka kepada kedua orangtua)), dan beliau tadinya berittika’ (berbaring sambil bersandaran kepada tangannya)[10] lalu beliau duduk dan berkata, ((Ketahuilah (termasuk juga) perkataan dusta dan persaksian dusta, ketahuilah perkataan dusta dan persaksian dusta)), beliau terus mengulang-ngulanginya hingga aku berkata, “Ia tidak akan diam”[11]

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال جاء أعرابي إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فقال يا رسول الله ما الكبائر قال الإشراك بالله قال ثم ماذا قال ثم ماذا قال ثم عقوق الوالدين قال ثم ماذا قال اليمين الغَمُوْسُ[12] قلت وما اليمين الغموس قال الذي يقتطع مال امرئ مسلم هو فيها كاذب

Dari Abdullah bin ‘Amr berkata, “Datang seorang arab badui menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah apakah itu dosa-dosa besar?”, beliau berkata, ((Syirik kepada Allah)), ia berkata, “Kemudian apa?”, beliau r berkata, ((Durhaka kepada kedua orangtua)), ia berkata, “Kemudian apa?”, beliau berkata, ((Bersaksi dengan tangan yang tercelupkan)), aku berkata, “Wahai Rasulullah apakah itu “bersaksi dengan tangan yang tercelupkan”?”, beliau berkata, ((Orang yang mengambil harta seorang muslim dengan sumpah dusta))[13]

Berkata Al-‘Aini, “Jika dikatakan bagaimana durhaka kepada orangtua berada di derajat yang sama dengan kesyirikan padahal kesyirikan merupakan kekafiran?, jawabannya adalah hanyalah durhaka kepada orangtua dimasukkan dalam barisan kesyirikan dalam rangka mengagungkan kedua orangtua dan sebagai penekanan dan pengerasan terhadap anak yang durhaka, atau dikatakan bahwa dosa besar yang paling besar yang berkaitan dengan hak Allah adalah kesyirikan dan dosa besar yang paling besar yang berkaitan dengan hak manusia adalah durhaka kepada orangtua”

قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة العاق لوالديه والمرأة المترجلة والديوث وثلاثة لا يدخلون الجنة العاق لوالديه والمدمن على الخمر والمنان بما أعطى

Dari Ibnu Umar , ia berkata, “Rasulullah bersabda ((Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat yaitu orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, wanita yang meniru-niru pria dan Ad-Dayyuts (yaitu orang yang membiarkan kemungkaran di keluarganya), dan tiga golongan yang tidak akan masuk surga, orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, pecandu khomr, dan orang yang menyebut-nyebutkan pemberiannya (sehingga menyakiti orang yang diberi))”[14]

Definisi durhaka kepada orangtua

Berkata Imam An-Nawawi, ((Adapun definisi “durhaka” yang diharamkan oleh syari’at maka hanya sedikit yang mendefinisikannya. Berkata Syaikh Imam Abu Muhammad bin Abdissalam, “Aku tidak menemukan definisi yang bisa aku jadikan pegangan tentang durhaka kepada kedua orangtua dan hak-hak yang khusus berkaitan dengan kedua orangtua, namun tidak wajib untuk taat kepada kedua orangtua pada semua yang diperintahkan dan dilarang oleh mereka berdua berdasarkan kesepakatan para ulama, dan telah diharamkan atas anak untuk berjihad tanpa idzin kedua orangtua karena hal itu terasa berat bagi mereka karena kawatir sang anak bisa terunuh atau terputus salah satu anggota tubuhnya yang hal ini sangat memukul mereka berdua. Dan disamakan hukumnya dengan hal ini (jihad) semua safar yang mereka berdua mengawatirkan keselamatan jiwa sang anak atau kawatir hilangnya salah satu dari anggota tubuh sang anak”…dan berkata Syaikh Abu ‘Amr bin As-Sholah pada sebagian fatwa-fatwa beliau, “Durhaka yang diharamkan adalah seluruh perbuatan yang orangtua merasa terganggu (tersakiti) dengan perbuatan tersebut atau semisalnya, yaitu gangguan yang tidak ringan dengan catatan bahwa perbuatan tersebut bukan termasuk perkara-perkara yang diwajibkan”, ia (Ibnus Solah) juga berkata, “Mungkin juga dikatakan bahwa taat (patuh) kepada kedua orangtua adalah wajib pada seluruh perkara yang bukan merupakan kemaksiatan, dan menyelisihi perintah mereka berdua pada perkara-perkara tersebut adalah durhaka. Bahkan banyak dari para ulama yang mewajibkan untuk taat kepada kedua orangtua pada perkara-perkara yang syubhat[15]”, ia berkata, “Dan bukanlah perkataan sebagian ulama kami “bahwasanya boleh untuk bersafar dalam rangka untuk menuntut ilmu dan untuk berdagang tanpa idzin mereka berdua” bertentangan dengan apa yang telah aku sebutkan karena perkataan mereka adalah perkataan yang mutlak, dan apa yang telah aku sebutkan ada penjelasan yang mentaqyid perkataan yang mutlaq itu, Wallahu A’lam”))[16]

Berkata Ibnul Atsir, “Durhaka ضد البر  adalah lawan dari berbakti”[17] Berkata Ibnu Daqiqil ‘Ied, “Dan durhaka yang diharamkan adalah ما لهما فيه عسر sesuatu yang membuat kedua oangtua susah”, beliau juga berkata “Dan durhaka kepada kedua orangtua bertingkat-tingkat”[18]

Berkata Syaikh Taqiyyuddin As-Subki, “Defenisi durhaka adalah menyakiti (mengganggu) kedua orangtua dengan jenis penggangguan apa saja, baik tingkatan gangguan tersebut rendah atau tinggi yang mereka melarang gangguan itu atau tidak, atau sang anak menyelisihi perintah mereka berdua atau larangan mereka berdua dengan syarat (perintah atau larangan mereka) bukanlah kemaksiatan”[19]

At-Thurthusi (dari kalangan ulama madzhab Maliki) berpendapat bahwasanya jika kedua orangtua melarang sang anak untuk melaksanakan sholat sunnah rawatib sekali atau dua kali maka hendaknya sang anak patuh kepada mereka berdua, adapun jika mereka melarangnya untuk meninggalkan sholat sunnah rawatib untuk selama-lamanya maka tidak ada ketaatan pada mereka karena hal ini akan menyebabkan hilangnya (matinya) syari’at[20]

Berkata Syaikh DR Abdul Bari Ats-Tsubaiti[21], “Termasuk durhaka kepada orangtua adalah membuat mereka menangis dan menyedihkan mereka, membentak dan menghardik mereka, mengucapkan uf (ah) dan mengeluh dengan perintah mereka, memandang mereka dengan pandagan sinis (tajam), cemberut dihadapan mereka, tidak membantu mereka, meremehkan pendapat mereka, mencela mereka dan menuduh mereka (dengan hal-hal yang tidak mereka lakukan), mencaci mereka dan melaknat mereka[22], pelit kepada mereka dan tidak perhatian kepada mereka, meninggalkan mereka dan tidak memberi nasehat kepada mereka, mendahulukan ketaatan kepada istri dan anak dari pada ketaatan kepada kedua orangtua, bahkan jika sang istri memintanya untuk mengeluarkan kedua orangtuanya dari rumahnya maka iapun akan mengeluarkannya, dan yang paling parah dan paling busuk adalah menyakiti mereka padahal mereka dalam keadaan lemah, dan terkadang sang anak menginginkan mereka berdua segera mati agar ia bisa terlepas dari beban merawat mereka jika mereka miskin dan fakir”

Sebagian orang sangat ramah dan lembut kepada teman-temannya adapun kepada orangtuanya sangat berbalik hingga ayahnya berangan-angan kalau seandainya dahulu ia mandul.

Berkata Syaikh Utsaimin, “Ketahuilah bahwasanya berbakti kepada kedua orangtua sebagaimana ia merupakan kewajiban maka Allah akan memberi ganjaran kepada anak yang berbakti di dunia sebelum Allah memberi ganjaran kepadanya di akhirat, oleh karena itu kita mendapati –berdasarkan apa yang telah kami dengar dan kami lihat- kita mendapati bahwasanya orang yang berbakti kepada kedua orangtuanya Allah menganugrahkan kepadanya anak-anak yang berbakti kepadanya dan orang yang tidak berbakti kepada kedua orangtuanya maka Allah akan memberikan kepadanya anak-anak yang durhaka kepadanya”[23]

Bersambung...

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja

Catatan Kaki:

[1] Sifatus Sofwah 1/522

[2] HR Al-Bukhari dalam adabul mufrod 1/18 dan Dishahihkan sandanya oleh Syaikh Al-Albani

[3] Kitabul bir was silah hal 82 karya Ibnul jauzi sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 33

[4] Seorang tabi’in yang tinggal di Bashroh dan seorang ‘abib (ahli ibadah) , wafat pada tahun 149 H (Masyahir Ulama Al-Amshor 1/152). Berkata Adz-Dzahabi, “Beliau sholat sehari semalam 1000 rakaat…dan uangnya sedinar pernah jatuh lalu iapun mencarinya dan akhirnya mendapatkannya, namun ia tidak mengambilnya dan berkata, “Jangan-jangan ini bukan uangku”,…dan beliau adalah orang yang berbakti kepada ibunya…” (As-Siyar 6/216-217)

[5] Nuzhatul Uqola’ 1/541 sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin abdilwahhab Alibabtain dalam risalahnya birul walidain hal 35

[6] Kitabul bir was silah, karya Ibnul Jauzi hal 85 sebagaimana dinukil oleh Abdurrohman Alibabtein dalam risalahnya “Birrul Walidain” hal 45

[7] Lafal (عقوق) diambil dari (العق) yang maknanya adalah (القطع) yang artinya memutuskan. Dikatakan عق والده يعقه عقا وعقوقا dengan mendommah huruf ‘ain (ia telah durhaka kepada orangtuanya) jika ia memutuskan hubungan dengan orangtuanya dan tidak menyambung silaturahmi dengan orangtuanya (Al-Minhaj 2/87). Adapun perkataan وعق عن ولده يعق عقا artinya adalah mengaqiqah (menyembelih untuk aqiqah anaknya) (Umdatul Qori 22/86)

[8] HR Al-Bukhari 5/2229 no 5630 bab عقوق الوالدين من الكبائر, dari hadits Al-Mughiroh. Berkata Al-’Aini, “…penyebutan “para ibu” dalam hadits ini bukan berarti hukumnya khusus untuk para ibu saja, namun karena biasanya yang didurhakai adalah para ibu karena lemahnya mereka. Ada juga yang mengatakan karena durhaka kepada para ibu menunjukan kejelekan yang lebih, atau penyebutan “para ibu” untuk mewakili penyebutan para bapak” (Umdatul Qori 22/87)

[9] Faedah:

Berkata Ibnu Hazm, “Kalau memang pada hadits ini kekufuran bukanlah kesyirikan maka kekufuran bukanlah termasuk dari dosa-dosa besar, bahkan durhaka kepada kedua orangtua dan persaksian palsu lebih besar dari pada kufur, dan tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat demikian. Oleh karena itu benarlah bahwa setiap kekufuran merupakan kesyirikan dan setiap kesyirikan adalah kekufuran dan kedua nama ini (kefur dan syirik) adalah dua nama yang Allah jadikan untuk satu nama…jika memang tidaklah disebut seorang musyrik kecuali kepada orang yang melakukan kesyirikan sebagaimana sesuai dengan sisi bahasa (yaitu orang yang melakukan kesyirikan saja) maka demikian juga kufur maka tidaklah disebut seseorang kafir kecuali kepada orang yang mengingkari kepada Allah dan mengingkari Allah secara menyeluruh (yaitu tidak mengakui adanya Allah-pen) dan bukanlah orang kafir orang yang mengakui adanya Allah dan tidak menentang adanya Allah maka hal ini melazimkan bahwa tidaklah disebut orang-orang kafir kecuali Dahriyah adapun Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Al-Barahimah bukanlah orang-orang kafir karena mereka semua mengakui adanya Allah…dan tidak ada seorang muslimpun di atas muka bumi ini yang mengatakan demikian, atau sebaliknya wajib bahwa semua yang menutup sesuatu adalah oarng kafir karena kufur dalam bahasa adalah menutup. Dan jika semua ini adalah kebatilan maka jelas bahwa syirik dan kufur merupakan dua nama yang Allah pindahkan dari makna asal bahasanya kepada setiap orang yang mengingkari sesuatu dari agama Allah yaitu agama Islam yang dengan pengingkarannya itu ia telah menentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah sampainya peringatan kepadanya” (Al-Muhalla 4/245-246 permasalahan no 499)

Namun perkataan Ibnu Hazm ini perlu dicek lagi karena Rasulullah telah membedakan antara kekufuran dan kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:

بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة

(Batas) antara seorang (muslim) dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat (HR Muslim 1/88 no 82)

Dan kaedah menyatakan bahwa العطف يقتضي المغايرة “Atof menunjukan adanya perbedaan”. Al-Munawi berkata, “(Pada hadits ini) ada ‘atof  ‘aam (umum) kepada khoos (yang khusus) karena kesyirikan adalah salah satu dari jenis-jenis kekufuran” (Faidhul Qodir 3/210)

Berkata Imam An-Nawawi, “Sesungguhnya kesyirikan dan kekufuran terkadang datang dengan satu makna yaitu kufur kepada Allah dan terkadang dibedakan antara keduanya, maka syirik khusus bagi para penyembah berhala atau penyembah makhluk-makhluk yang lain bersama keadaan para penyembah tersebut yang mengaku dengan adanya Allah sebagaimana orang-orang kafir Quraisy, jika demikian maka kekafiran lebih umum dibandingkan dengan kesyirikan” (Al-Minhaj 2/71)

Berkata Ibnu Hajr, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ((Dosa-dosa besar yang paling besar adalah kesyirikan kepada Allah..)) ada kemungkinan yang dimaksud dengan lafal kesyirikan ini adalah kekufuran secara umum sehingga pengkhususan penyebutan lafal kesyirikan adalah dikarenakan wujudnya yang mendominasi terlebih lagi di negeri-negeri Arab, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut lafal syirik untuk mengingatkan jenis-jenis kekufuran yang lain. Dan mungkin juga yang dimaksud dengan lafal syirik dalam hadit ini adalah kesyirikan secara khusus, hanya saja kemungkinan yang kedua ini terbantah dengan adanya sebagian kekufuran yang lebih jelek dari pada kesyirikan yaitu pengingkaran wujud Allah, karena ia adalah penafian secara mutlaq (tidak adanya Allah-pen) adapun kesyirikan adalah itsbat muqoyyad (yaitu tetap ada pengakuan akan adanya Allah hanya saja orang yang musyrik juga menyembah kepada selain Allah-pen) maka kemungkinan pertama lebih kuat (Fathul bari 5/262-263) Dan perkataan Ibnu Hajr ini adalah perkataan Ibnu Daqiqil ‘Ied (dengan lafal yang sama sebgaimana dinukil oleh Ibnu Haj dalam Fathul Bari 10/411), (lihat juga Umdatul Qori 1/204, Tuhfatul Ahwadzi 8/296)

[10] Berkata Al-Muhallab, “Hadits ini menunjukan akan beolehnya seorang alim untuk berittika’ di hadapan manusia, demikian juga dalam majelis fatwa, hal ini juga berlaku bagi sulton dan amir jika mereka membutuhkan hal itu bukan karena ingin merilekskan sebagian anggota tubuh, namun tidaklah ittika’ ini dilakukan pada mayoritas duduknya” (Umdatul Qori 22/260)

[11] HR Al-Bukhari  no 5631, dari hadits Abu Bakroh, dalam riwayat yang lain ليته سكت (seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam)

[12]  Berkata Ibnu Hajr, “Dikatakan bahwa dinamakan demikian “Al-Yamin Al-Gomus” karena sumpah yang dusta tersebut menyebabkan pelakunya tenggelam di dalam dosa kemudian tenggelam di neraka, maka (الغموس) wazannya (فعول) namun maknanya (فاعل),  dan dikatakan juga bahwa asalnya diambil dari keadaan mereka yang dahulu jika ingin untuk bersumpah maka mereka menghadirkan tempayan yang diletakkan di dalamnya minyak wangi atau darah atau abu kemudian mereka bersumpah tatkala mereka memasukkan tangan-tangan mereka dalam tempayan tersebut sehingga sempurnalah maksud mereka yaitu penekanan apa yang mereka inginkan maka dinamakanlah sumpah tersebut jika orang yang bersumpah melanggarnya (غموسا) (yang tercelup) karena ia telah terlalu parah melanggar sumpahnya. Maka seakan-akan diambil dari tangan yang tercelup   (Fathul Bari 11/555-556)

[13] HR Al-Bukhari 6/2535 no 6522

[14] HR An-Nasai 5/80 no 2562 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 2/284

[15] Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama sebagaimana yang dihikayatkan oleh Al-Gozali (Umdatul Qori 22/86)

[16] Al-Minhaj (2/87)

[17] Umdatul Qori 22/86

[18] Umdatul Qori 22/86

[19] Umdatul Qori 22/86

[20] Umdatul Qori 22/86, dan pendapat ini disepakati oleh Al-Gozali

[21] Khotib dan imam masjid Nabawi dalam khutbahnya di mesjid Nabawi (dengan sedikit tasorruf)

[22] Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim

عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما قال قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه قيل يا رسول الله وكيف يلعن الرجل والديه قال يسب الرجل أبا الرجل فيسب أباه ويسب أمه فيسب أمه

Dari Abdullah bin ‘Amr berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Termasuk dosa-dosa besar yang paling besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya)), maka dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah bagaimana bisa seseorang melaknat kedua orangtuanya?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ((Seseorang memaki ayah orang lain maka orang itupun memaki ayahnya dan dia memaki ibu orang lain maka orang itupun memaki ibunya)) (HR Al-Bukhari 5/2228 no 5628 bab باب لا يسب الرجل والديه)

Dalam riwayat Muslim ((من الكبائر شتم الرجل والديه قيل يا رسول الله وهل يشتم الرجل والديه)) ((Termasuk dosa besar  adalah seseorang memaki kedua orangtuanya)), maka dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah ada seseorang memaki kedua orangtuanya?” (HR Muslim 1/92 no 90)

[23] Fatwa Ibnu Utsaimin jilid 7, Al-Washoya Al-‘Asyr, wasiat yang kedua

No comments:

Post a Comment