"Kunci Masuk Surga Serta Merupakan Sebab Ditambahnya Umur dan Rizki"
Kelima: Keridhoan orangtua adalah kunci masuk surga
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda
رضى الرب في رضى الوالد وسخط الرب في سخط الوالد
((Keridhoan Allah berada pada keridhoan orangtua dan kemarahan Allah berada pada kemarahan orangtua))[1]
عن معاوية بن جاهمة السلمي أن جاهمة جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أردت أن أغزو وقد جئت أستشيرك فقال هل لك من أم قال نعم قال فالزمها فإن الجنة تحت رجليها
Dari Mu’awiyah bin Jahimah As-Sulami bahwasanya Jahimah datang kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam lalu berkata, “Ya Rasulullah, aku hendak berjihad, aku menemuimu untuk meminta pendapatmu”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memiliki ibu?”, ia menjawab, “Iya”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Senantiasalah bersamanya, sesungguhnya surga berada di bawah kedua kakinya”[2]
Maka hendaknya seorang anak berusaha untuk mencarai keridhoan orangtua, menyenangkan hati orangtua, membuat mereka tersenyum dan tertawa. Sesungguhnya senyuman orangtua karena ridho terhadap anaknya meskipun nampaknya sepele namun ia bernilai besar di sisi Allah.
Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata,
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال جئت أبايعك على الهجرة وتركت أبوي يبكيان فقال ارجع عليهما فأضحكهما كما أبكيتهما
Datang seorang pria kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan berkata, “Aku datang untuk membai’at engkau untuk berhijrah dan aku meninggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis”. Maka Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka berdua menangis”[3]
يا رسول الله إني جئت أريد الجهاد معك أبتغي وجه الله والدار الآخرة ولقد أتيت وإن والدي ليبكيان قال فارجع إليهما فأضحكهما كما أبكيتهما
Dalam riwayat Ibnu Majah ia berkata, “Wahai Rasulullah aku sesungguhnya datang (kepadamu) untuk berjihad bersamamu, aku menginginkan wajah Allah dan kampung akhirat, aku telah datang dan sesungguhnya kedua orangtuaku dalam keadaan menangis”, maka Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, ((Kembalilah kepada kedua orangtuamu buatlah mereka berdua terrtawa sebagaimana engkau telah membuat mereka berdua menangis))[4]
Keenam: Berbakti kepada orangtua memperlapang rizki dan menambah umur
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda
من سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ له في رِزْقِهِ أو يُنْسَأَ له في أَثَرِهِ[5] فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
((Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya atau dipanjangkan umurnya maka hendaknya ia menyambung tali hubungan keluarganya))[6]
Dan tidak diragukan lagi bahwa orangtua adalah orang yang paling berhak untuk disailaturahmi.
Berkata An-Nawawi, “((Dilapangkan rizkinya)), yaitu diluaskan dan diperbanyak rizkinya, dan dikatakan rizkinya diberi barokah (oleh Allah meskipun tidak bertambah)[7]
Berkata Ibnut Tin, ((Dzohir dari hadits ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. 7:34, QS 16:61)
Dan jamak dari keduanya dari dua sisi
Yang pertama, bahwasanya tambahan ini adalah kinayah dari barokah pada umur disebabkan taufik (yang Allah berikan kepadanya) untuk (menjalankan) ketaatan dan mengisi waktunya dengan perkara-perkara yang bermanfaat baginya di dunia dan ia terjaga dari menghabiskan waktunya dengan sia-sia. Dan ini sebagaimana datang dalam hadits bahwasanya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam menganggap sedikit umur umatnya jika dibandingkan dengan usia umat-umat terdahulu maka Allahpun menganugrahkan kepadanya lailatul qodr. Kesimpulannya yaitu bersilaturrahmi merupakan sebab untuk mendapatkan taufik (dari Allah) untuk bisa melaksanakan ketaatan dan terjaga dari kemaksiatan maka setelah meninggal ia tetap teringat dan disebut-sebut dengan sebutan yang baik sehingga seakan-akan ia belum meninggal. Dan diantara hal-hal yang diperoleh dengan taufik Allah (akibat bersilaturahmi) adalah ilmu yang (ditinggalkannya yang) bermanfaat bagi orang-orang yang datang setelahnya, demikian juga sedekah jariyah dan anak yang sholeh…
Yang kedua, bahwasanya tambahan usia (umur) adalah tambahan yang hakiki dan hal ini disebut tambahan jika ditinjau dari sisi ilmu malaikat yang ditugaskan untuk mencatat umur (hamba). Adapun yang ditunjukan oleh ayat di atas (tidak bertambahnya umur) yaitu jika ditinjau dari sisi ilmu Allah (yang tertulis di lauhil mauhfuz), maka seakan-akan dikatakan kepada malaikat misalnya, “Sesungguhnya umur si fulan adalah seratus tahun jika ia menyambung silaturahmi, dan jika ia memutuskan silaturahmi maka umurnya enam puluh tahun”, dan hal ini semua telah diketahui oleh Allah bahwa apakah si fulan tersebut itu akhirnya menyambung silaturahmi atau memutuskan silaturahmi. Apa yang terdapat pada ilmu Allah tidak akan dimajukan atau ditangguhkan, adapun yang ada pada ilmu malaikat itulah yang mungkin untuk ditambah dan dikurangi. Hal ini telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmannya
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh). (QS. 13:39)
Maka penghapusan dan penetapan itu adalah jika ditinjau pada ilmu malaikat, adapun yang terdapat dalam lauhul mahfuz maka itulah yang terdapat dalam ilmu Allah maka sama sekali tidak ada penghapusan padanya)) [8]
Pendapat yang kedua inilah yang dipilih oleh Syaikh Al-Albani, beliau berkata, ((Dan makna hadits sesuai dengan dzohirnya yaitu bahwasanya Allah –dengan hikmahNya- menjadikan silaturahmi merupakan sebab syar’i untuk panjangnya umur sebagaimana juga akhlak yang baik dan bertetangga yang baik, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Hal ini tidaklah bertentangan dengan sesuatu yang telah diketahui bersama bahwa umur telah ditentukan (tidak berubah-rubah), karena ditentukannya umur itu ditinjau dari akhirnya. Hal ini sama persis dengan masalah kabahagiaan (di surga) atau kecelakaan (di neraka), keduanya telah ditentukan (tidak berubah-ubah) bagi masing-masing orang apakah celaka ataukah bahagia. Dan merupakan hal yang pasti bahwasanya kebahagiaan dan kecelakaan terkait dengan sebab-sebab syar’i sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam[9]
اعملوا فكل ميسر لما خلق له أما من كان من أهل السعادة فييسر لعمل أهل السعادة وأما من كان من أهل الشقاء فييسر لعمل أهل الشقاوة ثم قرأ فأما من أعطى واتقى وصدق بالحسنى الآية
“Beramallah maka masing-masing orang akan dimudahkan kepada apa yang telah digariskan untuknya, adapun barangsiapa yang termasuk orang-orang yang berbahagia maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan-amalan orang-orang yang berbahagia (penduduk surga) dan adapun barangsiapa yang termasuk orang-orang yang celaka maka ia akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang yang celaka (penduduk neraka)”, kemudian Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (QS. 92:5-10)))[10]
Bersambung...
Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
Catatan Kaki:
[1] HR At-Thirmidzi 4/310 no1899,dari hadits Ibnu Umar dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 4/168 no 7249
[2] HR An-Nasai 6/11 no 3104, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Silsilah Ad-Dho’ifah 2/59 no 593)
[3] HR Abu Dawud 3/17 no 2528 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[4] HR Ibnu Majah 2/930 no 2782 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
[5] Berkata Ibnu Hajr, “Atsar yaitu ajal, dan dinamakan ajal dengan atsar karena ajal mengikuti umur…dan asalnya diambil dari kalimat (أثر مشيه في الأرض) (bekas jalannya di atas tanah), karena orang yang telah meninggal tidak bisa lagi bergerak maka tidak ada bekas langkah kakinya di tanah” (Fathul Bari 10/416)
[6] HR Al-Bukhari 2/728 no 1961 bab من أحب البسط في الرزق, Muslim 4/1982 no 2557 dari hadits Anas bin Malik. Dan juga dari Abu Hurairah sebagaimana HR Al-Bukhari 5/2232 no 5639 bab من بسط له في الرزق بصلة الرحم
[7] Al-Minhaj 16/114
[8] Fathul Bari 10/416
[9] HR Al-Bukhari 4/1891, Muslim 4/2040
[10] Shahih Adabul Mufrod hal 50 sebagaimana dinukil oleh Abdullah bin Abdirrahman As-Sa’d dalam risalahnya “Birrul walidaini” hal 56
No comments:
Post a Comment