Sunday, March 23, 2014

Hak-Hak Persaudaraan (Bagian 6)


Maafkanlah Saudara Kita Yang Bersalah, Bergembirallah Dengan Karunia Allah Padanya

Hak yang ketujuh

Termasuk hak-hak persaudaraan adalah memaafkan saudara yang bersalah. Pembahasan ini sangatlah luas. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang agung, karena tidaklah ada dua orang sahabat, atau dua orang saudara, atau lebih, kecuali pasti ada di antara mereka yang berbuat kesalahan. Pasti salah satu melihat kesalahan yang lain, ketergelinciran yang lain, dan darinya pasti akan timbul luka, karena mereka adalah manusia, sedangkan manusia pasti bersalah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخّطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Masing-masing kalian pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”[1]
Karena itu, termasuk hak-hak persaudaraan adalah engkau maafkan kesalahan saudaramu.
Kesalahan itu ada dua macam: kesalahan dalam masalah agama dan kesalahan yang menyangkut hakmu. Atau dengan kata lain, kesalahan yang berkaitan dengan hak Allah dan kesalahan yang berkaitan dengan hakmu.

Jika kesalahan menyangkut masalah agama, apabila saudaramu meninggalkan suatu kewajiban dan bermaksiat maka bentuk maafnya adalah engkau tidak menyiarkan dan membeberkannya. Engkau berusaha untuk meluruskannya karena kecintaanmu kepadanya hanya karena Allah. Dan jika semata-mata karena Allah, maka hendaknya engkau menegakkan saudaramu di atas syari’at dan peribadahan kepada Allah. Ini merupakan konsekuensi cinta karena Allah.

Menjadi kewajibanmu untuk berusaha meluruskannya. Jika nasihat bisa meluruskannya maka nasihatilah. Jika yang meluruskannya adalah hajr (memutuskan hubungan) maka hajr-lah dia. Hajr ada dua macam: hajr ta’dib (untuk mendidik) dan hajr 'uqubah (sebagai hukuman). Ada hajr untuk kemaslahatanmu dan ada hajr untuk kemaslahatan orang banyak.[2]

Jika saudaramu melakukan kemaksiatan, apabila hajr bermanfaat baginya, maka hajr-lah dia. Seandainya terjalin persaudaraan dan persahabatan sejati di antara dua orang, salah satu tidak bisa lepas dan membutuhkan yang lain, kemudian salah satunya melihat yang lain berbuat kesalahan sangat besar yang menyangkut hak Allah, sementara ia tahu bahwa jika dia meninggalkan saudaranya yang bersalah maka akan membuat saudaranya bersedih, di mana jika ia bertemu dengannya dengan raut wajah yang tidak biasanya maka akan timbul perasaan di hati saudaranya bahwa ia telah bermaksiat, ia merasa bahwa maksiat tersebut besar, hal ini disebabkan saudaranya tersebut masih membutuhkannya, maka yang seperti ini diterapkan hajr kepadanya. Karena hajr dalam kondisi seperti ini memperbaiki keadaan.

Adapun jika hajr tersebut tidak bermanfaat maka janganlah dihajr. Sebab, hajr adalah sejenis pengajaran untuk memperbaiki. Karena itu sikap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bervariasi terhadap orang-orang yang  bersalah dan bermaksiat. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menghajr sebagian dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghajr sebagian yang lain. Ulama berkata: “Hajr diterapkan kepada orang yang mendapat manfaat kalau ia dihajr, yaitu jika hajr tersebut meluruskannya. Jika tidak, maka tidak diterapkan hajr.”

Selanjutnya, jika kesalahan tersebut menyangkut hakmu, maka hak ukhuwwah yang pertama adalah jangan engkau besar-besarkan kesalahan tersebut. Lalu datanglah syaitan. Ia hembuskan di hati, ia ulang-ulangi perkataan (saudaranya yang salah), ia ulang-ulangi tindakan (saudaranya yang keliru), sehingga ia pun merasa  bahwa kesalahan tersebut sangat besar, kemudian terputuslah tali cinta dan tali persaudaraan yang sebelumnya terjalin. Hubungan itu akhirnya terputus hanya karena dunia, bukan karena Allah.

Cara mengobati hal ini adalah engkau ingat dan lihat kebaikan-kebaikannya. Engkau katakan kepada dirimu: "Kesalahannya itu merupakan musibah bagiku. Ia salah kepadaku kali ini. Ia telah menghinaku dengan perkataannya -baik di hadapanmu atau dibelakangmu-, namun lihatlah kebaikan-kebaikannya." Ingatlah bagaimana ia telah bergaul denganmu secara baik. Ingatlah persahabatannya yang sejati selama bertahun-tahun silam denganmu atau pada kondisi-kondisi yang lampau. Engkau membesar-besarkan kebaikannya dan meremehkan kesalahannya, sehingga tetap terjalin tali persaudaraan di antara kalian, dan cinta kasih yang telah lama terjalin tidak terputus.

Hak kedelapan

Termasuk hak-hak persaudaraan adalah gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada saudaranya.

Allah telah membagi-bagi akhlak-akhlak manusia sebagaimana Dia membagi rizki mereka. Allah memuliakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain. Karena itu, hak seseorang terhadap saudaranya, jika Allah memberikan pada salah seorang dari saudara-saudaramu karunia dan kenikmatan, adalah engkau turut gembira dengan hal itu. Seolah-olah Allah juga memberikan karunia itu kepadamu. Ini merupakan konsekuensi ukhuwwah dan hal ini mejauhkan rasa hasad (dengki).

Barangsiapa yang tidak gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada saudaranya, maka mungkin ia hanya sekedar tidak turut gembira, atau bisa jadi hal itu diiringi dengan hasad.[3] Ini merupakan perusak persaudaraan. Sesungguhnya engkau terkadang bisa melihat bahwa seseorang jika melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan atau ia melihat saudaranya mendapatkan kebaikan, karunia, dan kenikmatan khusus dari Allah, yang dengannya dia menjadi istimewa di kalangan orang-orang yang ada di sekitarnya atau menjadi istimewa di antara para sahabatnya maka orang ini pun mengakui kenikmatan yang ada pada saudaranya, (namun dia berkata), “Kenapa ia diberikan kenikmatan yang khusus ini?” Atau dia memandang bahwa saudaranya tersebut tidak berhak mendapatkan semua itu, atau yang semisalnya. Ini merupakan perusak tali persaudaraan. Wajib atasmu untuk terbebaskan dari kedengkian (hasad) dan gembira demi saudaramu. Engkau menginginkan kebaikan baginya sebagaimana engkau menginginkannya untuk dirimu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.”
Para ulama berkata, (لاَ يُؤْمِنُ) "Tidaklah beriman", yaitu iman yang sempurna, (حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ) "hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri." Engkau suka apabila dirimu kaya, berilmu, dan mendapat pujian maka engkau juga suka bila saudaramu kaya, berilmu, dan mendapat pujian. Demikianlah seterusnya, untuk semua perkara yang beraneka ragam.

Untuk menghilangkan hasad, engkau turut gembira terhadap karunia yang Allah berikan kepada saudaramu seolah-olah Allah mengkhususkan karunia itu kepadamu.

Seorang mukmin selayaknya, disunnahkan, bahkan wajib baginya untuk menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri”
Maksudnya adalah apa saja yang berbentuk kebaikan, sebagaimana dijelaskan pada riwayat yang lain; yaitu perkara-perkara kebaikan secara umum. Karena itu, inginkanlah kebaikan bagi saudaramu sebagiamana kau menginginkannya untuk dirimu. Janganlah engkau hasad kepada seorang pun dalam perkara apa saja dari karunia yang Allah berikan kepadanya.

Berkaitan dengan harta, misalnya. Jika Allah memberi harta kepada saudaramu, sementara engkau tidak berharta, atau hartamu sedikit, saudaramu terpandang dan memiliki banyak harta, sehingga engkau terperangah melihat tindak-tanduknya, takjub dengan benda-benda yang dibelinya, terheran-heran dengan kondisi dan kedermawanannya, dan seterusnya, maka pujilah Allah yang telah menjadikan saudaramu berada pada martabat seperti ini, seolah-olah engkau juga berada pada martabat tersebut. Kondisikanlah dirimu untuk merasakan apa yang Allah karuniakan kepada saudaramu seolah-olah Allah juga mengaruniakannya kepadamu.

Contoh lain berkaitan dengan ilmu. Sebagian manusia tidak gembira dengan ilmu yang Allah anugerahkan kepada saudaranya. Ia mendengar saudaranya membahas sebuah masalah dengan baik, menjadi pembicara yang baik di tempat tertentu, berkhutbah dengan bagus, memberi pengaruh kepada masyarakat dengan ilmunya, menyampaikan ilmu dengan baik, dan yang semisalnya, maka semua kelebihan ini terbayang dalam batinnya, sehingga ia tidak suka saudaranya berada pada martabat tersebut, dalam kondisi seperti itu. Hal ini tidak dibolehkan. Termasuk hak persaudaraan adalah engkau gembira jika saudaramu berilmu. Apabila engkau tidak seperti dia dalam keilmuan, ilmumu berada di bawahnya, ia lebih tajam pemahamannya, lebih kuat hafalannya, atau yang semisalnya, maka pujilah Allah yang telah menjadikan dan menyiapkan dari umat Islam seseorang yang menunaikan kewajiban ini (yaitu menuntut ilmu dan menyebarkannya, pen), sementara ia sangat cemerlang dalam ilmu. Janganlah engkau dengki kepada saudara-saudaramu pada ilmu mereka.

Hasad (dengki) adalah penyakit yang membinasakan sekaligus menghilangkan kebaikan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

إِيَّاكُمْ وَالتَّحَاسُدَ فَإِنَّهُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارَ الْحَطَبَ

“Hati-hatilah kalian terhadap saling hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”[4]
Hasad itu terkadang pada ilmu, harta, atau kedudukan. Banyak perkara yang bisa menimbulkan hasad.

Dua orang yang bersaudara dan bersahabat. Yang satu memandang bahwa saudaranya lebih diutamakan darinya, lebih didengar dalam majelis, lebih terpandang, dan lebih dimuliakan, padahal pada hakekatnya tidak demikian (itu hanyalah perasaannya saja, pen), maka perasaannya ini menjadikan hatinya tidak sreg terhadap saudaranya. Hal ini tidak boleh dan termasuk hasad. Sementara wajib baginya adalah untuk membebaskan diri dari hasad, karena hasad hukumnya haram. Semestinya ia menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan bagi dirinya berupa kebaikan-kebaikan, dan bersikap seolah-olah kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada saudaranya itu Allah anugerahkan kepadanya.

Begitu juga dalam agama dan keshalihan. Sebagian manusia mendapat anugerah dari Allah dengan dibukakan salah satu pintu ibadah, sehingga ia menjadi orang yang banyak puasa atau shalat.

Imam Malik pernah ditanya, “Engkau adalah seorang Imam. Kedudukanmu mulia di hadapan manusia. Namun sepertinya kami tidak melihatmu banyak beribadah, banyak shalat, banyak puasa, dan tidak berjihad di jalan Allah.” Maka berkatalah Imam Malik kepada orang tadi, “Sesungguhnya di antara manusia ada yang Allah bukakan baginya pintu shalat, ada yang Allah bukakan baginya pintu puasa, ada yang Allah bukakan baginya pintu sedekah, ada yang Allah bukakan baginya pintu jihad di jalan Allah, dan ada yang Allah bukakan baginya pintu ilmu. Telah dibukakan bagiku pintu ilmu, dan saya ridha dengan apa yang Allah bukakan bagiku.”

Manusia itu beraneka ragam.

Jika seseorang melihat saudaranya banyak beribadah sehingga orang-orang pun memujinya, sedangkan ia tidak gembira terhadap hal itu, maka bisa saja ia kemudian menyebarkan aib saudaranya, atau perkataan saudaranya yang keliru. Pokoknya ia menyebarkan sesuatu yang bisa mengurangi martabat saudaranya. Hal ini tidaklah semestinya ia lakukan. Semestinya ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya. Ia berusaha agar saudaranya dipuji orang, meskipun saudaranya tidak tahu usaha baiknya tersebut. Sebab, perkaranya bukanlah di hadapan manusia, namun di hadapan Allah. Bahkan perkaranya adalah mengikhlaskan hati dan membersihkan jiwa, sehingga tidak ada tujuan jiwa kecuali Allah. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

أِنَّ اللهَ لاَيَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidaklah memandang kepada rupa-rupa kalian, juga tidak pada jasad-jasad kalian tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amal perbuatan kalian.”[5]
Allah melihat hati dan melihat amal perbuatan. Terkadang ada orang yang tidak dikenal dan tersembunyi, tiada seorang pun yang mengetahuinya, namun ternyata di sisi Allah ia berada pada tempat yang agung. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang kalau dia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan menunaikan (mengabulkan) sumpahnya.”[6]
Masih ada hak-hak persaudaraan lain yang akan saya sebutkan dua di antaranya, yaitu hak kesembilan dan kesepuluh. Kalian perhatikan kedua hak tersebut, lalu kalian jabarkan sendiri sebagaimana penjelasan kami.
Hak kesembilan

Hendaknya antara engkau dan saudaramu terjalin kerjasama dalam kebaikan dan kebajikan. Allah telah memerintahkan hal ini dalam firman-Nya:

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran” (al-Maa-idah: 2)
Hak kesepuluh

Terakhir, hendaknya di antara sesama saudara terjadi musyawarah dan kesatuan. Janganlah salah seorang dari mereka memutuskan perkaranya sendiri, namun hendaknya dimusyawarahkan. Allah telah memuji orang-orang beriman yang bermusyawarah dalam firman-Nya:

وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ

“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” (asy-Syuura: 38)
Dua hak ini, yaitu hak kesembilan dan kesepuluh, butuh penjelasan panjang lebar, namun sayangnya waktu terbatas.[7]

Saya mohon kepada Allah agar menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang saling mencintai karena Allah, yang Allah nantinya berkata kepada mereka:

أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلَالِي, الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِيْ طِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي

“Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku, maka pada hari ini Aku naungi mereka dibawah naungan-Ku, di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”[8]
Aku mohon kepada Allah agar menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, termasuk orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam hal ini, orang-orang yang berkorban demi kebaikan, membuka pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu kejelekan, menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencari wajah Allah dengan amalan mereka, dan mengaruniakan semua itu kepada kita. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali dengan idzin-Nya. Kita mohon kepada Allah agar mengampuni kita, kedua orang tua kita, dan saudara-saudara kita yang telah mendahului kita dengan keimanan, juga mengampuni saudara-saudara kita kaum muslimin secara umum. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita menuju apa yang diridhai-Nya. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9]

Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Catatan Kaki:

[1] HR At-Tirmidzi (2499), dan beliau berkata, "Hadits hasan gharib,” serta Ibnu Majah (4251).

[2] Lihat pembahasannya lebih lanjut pada risalah kami yang berjudul Kaidah-Kaidah Hajr Menurut Ibnu Taimiyyah.

[3] Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: “Para ulama berselisih tentang definisi hasad. Sebagian ulama mendefinisikan hasad adalah keinginan agar kenikmatan yang ada pada orang lain (saudaranya) hilang (baik kenikmatan tersebut berupa harta, kedudukan, atau ilmu). Ulama yang lainnya mendefinisikan bahwa hasad adalah benci terhadap kenikmatan yang Allah karuniakan kepada orang lain (saudaranya). Definisi kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata, 'Jika seorang hamba benci terhadap kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada selainnya, maka dia telah hasad terhadapnya, walaupun dia tidak berkeinginan agar kenikmatan tersebut hilang darinya'. Beliau juga berkata, 'Merupakan hal yang maklum bahwa konsekuensi dari membenci yaitu keinginan agar kenikmatan tersebut hilang (dari saudaranya)'. Definisi Ibnu Taimiyyah ini lebih detail. Hanya sekedar engkau benci bahwa Allah telah memberi suatu kenikmatan terhadap saudaramu berarti engkau telah hasad kepadanya” Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah.

[4] HR. Abu Dawud (4903).

Hadits ini dha'if. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul.

Lihat penjelasaan al-Arna-uth dalam komentarnya terhadap Jaami’ al-'Ulum (II/261).

[5] HR Muslim (2564).

[6] HR Al-Bukhari (6894). Lihat al-Fath (XII/279).

[7] Karena risalah ini pada asalnya adalah ceramah beliau dalam satu majelis.

[8] HR Muslim (2566), dari hadits Abu Hurairah, kitab al-Adab, bab Fadhlul Hubb fillah.

[9] Sampai di sini akhir nasehat dari Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahulllah.

Hak-Hak Persaudaraan (Bagian 5)

Jauhi Perdebatan Serta Ucapkan Perkataan Yang Paling Baik 

Hak kelima

Di antara hak-hak ukhuwwah adalah engkau jauhi perdebatan dengan saudaramu, karena perdebatan memudarkan rasa cinta dan menyebabkan sirnanya persahabatan, merusak persahabatan yang telah lama terjalin, dan menimbulkan kebencian, permusuhan serta terputusnya hubungan diantara manusia.

Apakah perdebatan itu? Bentuknya adalah terjadinya dialog, lalu pembahasan antara dua orang pria, antara dua orang wanita, antara orang tua dan anak muda, dan seterusnya. Jika mulai terjadi pembahasan dan dialog, maka masing-masing memegang teguh pendapatnya, sehingga timbullah perdebatan yang selanjutnya akan bertambah sengit. Inilah hakikat dari sebuah perdebatan, yaitu masing-masing dari kedua belah pihak saling berjuang untuk memenangkan pendapatnya. Masing-masing mendatangkan dalil sambil mengangkat suara, setelah itu terjadilah apa yang terjadi.

Pernah terjadi sedikit perdebatan di kalangan para sahabat. Abu Bakr pernah berkata kepada 'Umar:

مَا أَرَدْتَ إِلاَّ خِلاَفِي

“Apa yang kau inginkan hanyalah menyelisihiku.”[1]

Padahal mereka adalah para Sahabat. Semoga  Allah meridhai mereka.

Maka wajib bagi seorang muslim bersama saudara dan sahabatnya untuk menjauhi perdebatan, karena sisi pandang terhadap suatu permasalahan berbeda-beda. Semakin luas pandangan seorang, semakin luas akal dan pengetahuannya, maka ia akan mengetahui bahwa sisi pandang terhadap sebagian permasalahan ternyata luas, tidak terbatas pada satu sisi saja. Engkau berdiskusi dengan saudaramu mengenai satu permasalahan, lalu engkau memandang permasalahan tersebut dari satu sisi, sementara saudaramu memandang dari sisi yang lain, maka terjadilah perselisihan antara engkau dan dia. Jika kalian berdua berselisih, maka masing-masing dari kalian memiliki sisi pandang yang berbeda. Lalu jika engkau mendebatnya dengan membawa dalil untuk menguatkan pendapatmu, engkau bersikeras mempertahankan pendapatmu, engkau mengangkat suaramu, begitu juga yang dilakukan oleh saudaramu yang engkau debat, maka timbullah permusuhan, sehingga yang terjadi adalah mudharat bukan maslahat.

Orang yang cerdik melihat bahwa perkara-perkara yang biasanya diperdebatkan oleh manusia pada urusan-urusan mereka memiliki sisi pandang yang berbeda-beda. Perkara tersebut bisa dipandang dari banyak sisi, dan sebab perbedaan pandangan juga banyak. Terkadang datang orang ketiga dan keempat sambil membawa pendapat yang baru. Bisa jadi setiap yang datang memiliki pendapat yang baru dan sisi pandang baru pula dalam permasalahan yang diperselisihkan. Jika demikian, maka diskusi tidak berarti perdebatan. Jika tampak bahwa diskusi mulai berubah menjadi perdebatan, maka hendaknya engkau menarik diri dari perdebatan tersebut, baik kebenaran itu ada padamu maupun engkau memandang bahwa kebenaran ada pada saudaramu, bukan pada dirimu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.”[2]

Karena itu, meninggalkan perdebatan adalah perkara yang terpuji sekaligus merupakan hak seorang muslim atas saudaranya. Dia tidak mengantarkan saudaranya untuk berdebat dengannya, serta tidak mengulurnya dalam bantah-bantahan dan membiarkannya mengeraskan suaranya, sehingga terputuslah tali persaudaraan dan timbullah perang mulut antara mereka. Meskipun tidak timbul perang mulut, maka akan timbul benih permusuhan dalam hatinya, dia akan menuduh bahwa saudaranya itu menghendaki sesuatu sehingga menyelisihinya, berpendapat ini dan itu, atau tidak menghargainya, dan seterusnya.

Perdebatan memiliki sebab-sebab yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang, maka hendaknya dia berusaha untuk mengobatinya:
·         Diantaranya adalah ia menampakkan bahwa ia tidak mau menerima pendapat saudaranya, dengan alasan perbedaan cara pandang (meskipun ia tahu bahwa pendapatnya keliru, pen). Dia melontarkan pendapat yang salah, lalu saudaranya datang dan berkata, “Engkau keliru, yang benar adalah demikian.” Tetapi ia merasa berat untuk mengaku salah. Padahal, kalaupun ia keliru maka -alhamdulillah- ulama pun pernah keliru, bahkan dalam permasalahan yang menyangkut jiwa manusia, tetapi mereka lalu ruju’ (meralat) kesalahan mereka. Sebagian mereka keliru dalam masalah yang berkaitan dengan kemaluan, tetapi mereka lalu ruju’ dari pendapat tersebut. Para ulama terkadang keliru dalam permasalahan ijtihadiyyah. Mengakui kesalahan merupakan perkara yang terpuji dan bukan suatu aib. Setiap orang yang mengakui kesalahannya dan kembali kepada kebenaran maka seolah-olah ia telah memasang mahkota di atas kepalanya. Ini menunjukkan bahwa ia telah melatih dirinya untuk tunduk kepada Allah dan menjadikan ibadahnya mengalahkan hawa nafsunya, yang merupakan salah satu sebab timbulnya perdebatan.
·         Berikutnya adalah nafsu untuk memenangkan pendapat. Dia ingin bahwa akalnyalah yang paling cemerlang, sehingga tampak bahwa ia paling unggul dalam memahami (suatu permasalahan) dibandingkan orang lain, sehingga ia pun menampakkan berbagai sudut pandang yang beraneka ragam. Saudaranya juga demikian, ia pun ingin mengungulinya, maka ia membantahnya dan berkata: “Apa yang engkau sebutkan itu keliru, point ini salah, yang benar adalah demikian,” sehingga ia masuk dalam perdebatan dengan tata cara yang menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam hati.

·         Selanjutnya adalah lalai dari memperhatikan bahaya lisan. Padahal ucapan lisan dan gerakannya akan dihisab oleh Allah. Tidak ada satu perkataan pun yang diucapkannya, melainkan di dekatnya terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

لاَ خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِنْ نَجْوَاهُمِ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوِ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia” (an-Nisaa': 114)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

كُفَّ عَليْكَ هذَا

“Tahanlah ini wahai Mu’adz,” sambil mengisyaratkan kepada lisan beliau. Maka Mu’adz bertanya: “Apakah kita akan dihisab atas apa yang kita ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Ibumu akan kehilanganmu wahai Mu’adz. Bukankah yang menelungkupkan manusia di neraka di atas wajah-wajah mereka hanyalah hasil ucapan lisan-lisan mereka?”[3]

Diantara sebab-sebab timbulnya pedebatan adalah tidak adanya perhatian untuk membenahi lisan (ucapan), serta memandang enteng lisan, padahal lisan adalah sebagaimana dikatakan, “Kecil dzatnya namun besar bahayanya.” Maksudnya, bahaya yang timbul akibat kesalahan lisan sangatlah besar. Dengannya bisa terpecah tali cinta kasih, timbul permusuhan, dan pertentangan. Dengan memanfaatkan kesalahan lisan seseorang bisa menimbulkan kebencian diantara engkau dan sahabat-sahabatmu yang engkau cintai. Banyak sekali bahaya yang timbul melalui kesalahan lisan. Maka barangsiapa yang tidak menjaga lisannya dari bahaya perdebatan seputar masalah-masalah khilafiyyah yang sering menjadi bahan pembicaraan, maka pasti akan timbul hal yang tidak terpuji antara engkau dengan saudara-saudaramu.

Terakhir mengenai pembahasan masalah perdebatan, sesungguhnya perdebatan itu bertentangan dengan akhlak yang mulia. Sungguh, jika orang memperhatikan akhlak mulia yang diwajibkan atasnya maka dia tidak akan berdebat, karena pada perdebatan terdapat sikap memenangkan pendapat pribadi dan ada keinginan untuk mengungguli saudaranya, padahal ini bertentangan dengan akhlak yang mulia. Karena itu, hendaknya engkau memaparkan pendapatmu dengan tenang dan penuh kelembutan. Jika saudaramu menerima pendapatmu maka alhamdulillah, dan jika ia tidak terima maka yang penting engkau telah menjelaskan sisi pandangmu.

Tatkala duduk di majelis perdebatan sebagian orang mengulang-ngulang satu poin  sampai sepuluh kali atau dua puluh kali. Padahal intinya adalah itu-itu juga. Hanya saja ia mengulanginya dalam bentuk yang lain. Apa yang menyebabkan dia berbuat demikian? Tidak lain karena sikap tidak mau kalah, atau ada sebab-sebab lain yang Allah lebih tahu, atau karena lalai terhadap apa yang diwajibkan atas dirinya.

Karena itu, jika engkau memaparkan pendapatmu satu kali, kemudian telah dipahami (oleh saudaramu, tetapi dia tidak menerima, pen) maka janganlah kau debat dia (jangan kau muter-muter pada pembicaraanmu itu, pen). Sebab, hakikat perdebatan bertentangan dengan akhlak yang mulia, dimana seorang muslim diperintahkan untuk membaguskan akhlaknya, sebagaimana perintah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada kita dalam banyak sabda beliau.[4]

Hak keenam

Engkau berbuat baik dengan lisanmu kepada saudaramu. Lisan, sebagaimana engkau menahan ucapannya demi menjaga kehormatan saudaramu, maka engkau juga berbuat baik dengan perkataan demi saudaramu. Persahabatan dan persaudaraan bisa terjalin, apakah hanya dengan memandang bentuk tubuh saja (sekedar bertemu), ataukah karena saling berbicara? Jawabnya, persaudaraan terjalin dan dibangun di atas pembicaraan. Gerakan lisan seseorang dan gerakan lisan selainnya menjalin kedekatan di antara dua hati. Karena itu, engkau harus berbuat baik dengan perkataan untuk saudaramu. Bentuk-bentuknya antara lain:

·        Engkau ucapkan perkataan untuk menunjukkan kasih sayang kepada dirinya. Janganlah engkau pelit untuk mengungkapkan kecintaanmu kepada saudaramu. Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ فَإِذَا أَعْلَمَهُ فَلْيَقُلِ الاخَرُ أَحَبَّكَ اللهُ الَّذِي أَحْبَبْتَنِيْ فِيْهِ

“Jika salah seorang dari kalian mencintai saudaranya hendaknya dia mengabarkan pada saudaranya[5] tersebut. Jika dia telah mengabarkannya maka hendaknya saudaranya itu mengucapkan “Semoga Allah -yang engkau mencintaiku karena-Nya- juga mencintaimu.”

Ini merupakan bentuk kebajikan dengan perkataan, sekaligus menimbulkan kecintaan dan kasih sayang. Di antara manusia ada orang yang mengucapkan kalimat ini, namun tidak jujur takala mengucapkannya, atau tidak mengerti hakikat makna kalimat ini.

Jika engkau berkata kepada saudaramu, “Aku mencintaimu karena Allah,” artinya di dalam hatimu ada kecintaan terhadapnya, yaitu kecintaan khusus karena Allah dan demi Allah, yang hal ini mengharuskan engkau menjaga hak-haknya. Adapun jika engkau mengatakan kalimat tadi tetapi engkau tidak menjaga hak-haknya, maka mana hakikat dari ucapan cinta tersebut?!

Oleh karena itu, maka yang pertama engkau menunjukkan rasa cintamu kepada saudaramu seiman. Misalnya dengan mengucapkan kalimat tadi dan berbicara dengannya dengan sebaik-baik perkataan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوّاً مُبِيناً

“Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik.” Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka, sesungguhnya syaitan adalah musuh yang  nyata bagi manusia” (al-Israa’: 53)

Firman Allah: “Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik”, ini termasuk berbuat kebajikan dengan perkataan yang baik kepada saudara, yaitu tatkala engkau bermu’amalah dengan saudara-saudaramu sesama muslim, atau dengan sahabat karibmu, atau dengan kaum muslimin pada umumnya. Hendaknya engkau memilih lafazh yang baik, itu sudah cukup? Belum cukup. Bahkan hendaknya engkau memilih lafazh atau perkataan yang terbaik, karena Allah memerintahkan hal itu.

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوّاً مُبِيناً

“Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik”. Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka, sesungguhnya syaitan adalah musuh yang  nyata bagi manusia.”

Jika engkau berkasih sayang dengan saudaramu dengan mengucapkan perkataan terbaik yang kau temukan maka hal ini akan menimbulkan jalinan cinta di hati, sekaligus menimbulkan kebaikan-kebaikan yang banyak sekali di masyarakat dan hati-hati kaum mukminin, antara yang satu dengan yang lain. Kebaikan tersebut tidak cukup untuk dipaparkan di sini.

    Di antara bentuk berbuat baik dengan lisan kepada saudara adalah engkau memujinya tetapi tidak di hadapannya. Jika engkau bergaul dengan seseorang dan engkau tahu bahwa saudaramu ini memiliki sifat-sifat yang terpuji, maka pujilah dia, namun tidak dihadapannya. Sebab, jika engkau memujinya di hadapannya, maka hal ini terlarang, karena menumbuhkan sifat 'ujub (kagum pada diri sendiri). Pujilah dia tatkala ia tidak ada di hadapanmu. Pujianmu itu nantinya juga sampai kepadanya, lalu akan tumbuh kecintaan sejati dihatinya. Ini faidah pertama. Faidah kedua, pujianmu terhadap saudaramu di hadapan kawan-kawanmu yang lain akan menjadikan mereka bersungguh-sungguh meneladani kebaikan-kebaikannya, karena mereka akhirnya tahu bahwa kebaikan tersebut direalisasikan oleh banyak orang. Jika kebaikan itu disebutkan kepada seseorang maka ia akan termotivasi untuk melaksanakannya. Begitu juga dengan kejelekan. Karena itu, menyebutkan kebaikan-kebaikan di setiap majelis itulah yang semestinya dilakukan. Adapun menyebutkan kejelekan, kecacatan, dan aib, itulah yang wajib untuk dijauhi, karena hal ini memudahkan orang untuk mencontoh para pelaku kejelekan tersebut. Di dalam penyebutan kebaikan dan pujian terdapat motivasi bagi orang lain untuk mencontoh mereka. Dengan demikian, maka termasuk hak saudaramu atas dirimu jika engkau lihat suatu kebaikan pada dirinya maka jangan kau sembunyikan. Sebaliknya, jika kau lihat kejelekan pada dirinya maka sembunyikanlah. Dalam hal ini terdapat maslahat yang telah diketahui bersama. Faidah lainnya, jika ia dipuji, maka masukkanlah kegembiraan dalam hatinya, jika dengan menyampaikan kabar bahwa ia dipuji. Engkau katakan kepadanya: “Sebagian ikhwah tadi memujimu di majelis,” atau “Fulan telah memujimu.” Awalnya ia tidak tahu bahwa ada yang memujinya, dan ketika ia tahu bahwa Fulan telah memujinya, timbullah rasa cinta terhadap Fulan tersebut dalam hatinya. Begitulah, manusia itu cinta kepada orang yang memuji mereka.

أَحْسِنْ أِلَى النَّاسِ تَسْتَعْبِدُ قُلُوْبَهُمُ    فَطَالَمَا اسْتَعْبَدَ الإِنْسَانَ الإِحْسَانُ

Berbuat baiklah kepada manusia maka engkau akan tundukan hati mereka

betapa kuat perbuatan baik menundukan manusia

Berbuat baik itu bisa dengan perkataan, seperti halnya dengan perbuatan. Jika engkau dengar ada orang yang memuji saudaramu, lalu engkau kabarkan kepadanya, engkau katakan: “Alhamdulillah, demi Allah, Fulan memujimu,” atau “Fulan menyebutkan kebaikan tentangmu, kami mohon kepada Allah agar meneguhkanmu…,” dan yang semisal perkatan ini, maka hal ini memotivasi dia (untuk semakin berbuat kebaikan).  Perkara yang lain, hendaknya yang dipuji ini sadar tatkala dia dipuji bahwa karunia yang Allah berikan padanya sangat besar, hendaknya dia bersyukur dengan terus mempertahankan kebaikan yang ia mendapat pujian karenanya dan jangan tertipu dengan dirinya sendiri.

    Diantara bentuk sumbangan lisan kepada saudara adalah berterima kasih atas kebaikannya dan mu’amalahnya yang baik, karena Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

لاَيَشْكُرُ اللهَ مِنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

“Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.”[6]

Begitu juga sabda beliau:

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ

“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah dengan setimpal.”[7]

Jika engkau tidak mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk membalasnya, maka balaslah dengan kebaikan, yaitu engkau mendo'akannya dan berterimakasih kepadanya. Ini merupakan hak seorang saudara atas saudaranya yang lain. Diantara manusia ada yang hanya tahu mengambil, menerima, dan menerima, tanpa membalas kebaikan tersebut, tidak juga memuji, bahkan tidak pula mengingat kebaikan yang telah ia terima dari saudaranya. Jika memang engkau tidak mampu untuk berterima kasih kepada saudaramu dengan perkataan maka tulislah ucapan terima kasihmu di surat, dengan kertas, dengan secuil kertas, karena hal ini akan memberikan pengaruh dan motivasi untuk mendatangi pintu-pintu kebaikan. Diriwayatkan dari 'Ali bahwa ia berkata:

مَنْ لَمْ يَحْمَدْ أَخَاهُ عَلَى حُسْنِ النِّيَّةِ لَمْ يَحْمَدْهُ عَلَى حُسْنِ الصَّنِيْعَةِ

“Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niat baiknya maka ia tidak akan memuji perbuatan baik saudaranya itu.”[8]

Ini merupakan martabat yang tinggi. Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niatnya yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas perbuatannya yang baik. Sebab, tatkala saudaramu berbuat baik kepadamu maka sejak awal ia telah membaguskan niatnya kepadamu dan bermu’amalah denganmu karena menghendaki kebaikan. Terkadang ia sudah berbuat baik kepadamu, atau ingin berbuat baik kepadamu namun ia tidak sempat, maka hendaknya engkau berterimakasih kepadanya meskipun hanya karena niat baik yang ada pada hatinya. Hal ini akan menjalin tali persaudaraan dan memotivasinya untuk berbuat kebajikan. Masing-masing akan berbuat baik kepada selainnya. Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niatnya yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas perbuatannya yang baik. Artinya, sekiranya saudaranya tadi berbuat baik padanya maka mungkin saja dia tidak akan memuji saudaranya tersebut.

Insya'Allah Bersambung...

Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Catatan kaki:

[1] HR Al-Bukhari (4845). Lihat sebab turunnya ayat ke-2 dari surat al-Hujuraat.

[2] Lafazh yang disampaikan oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh terdapat dalam at-Thargib wat Tarhib (I/77), karya al-Mundziri. Al-Mundziri berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Lafazh hadits ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.” Syaikh al-Albani menghasankan lafazh ini. Lihat Shahih at-Targib wat Tarhib, jilid 1, no. 138.

Namun, penerjemah tidak menemukan hadits dengan lafazh: مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُبْطِلٌ

Lafazh yang penerjemah dapati:

مَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَهُوَ بَاطِلٌ لَهُ بُنِيَ قَصْرٌ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ وَ مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِهَا وَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ بُنِيَ لَهُ فِيْ أَعْلاهَا

“Barangsiapa yang meninggalkan dusta (dalam debat) sementara dia berada diatas kebatilan, maka akan dibangunkan baginya istana di pinggiran Surga. Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka akan dibangunkan baginya istana di tengah Surga. Dan barangsiapa yang membaguskan akhlaknya maka akan dibangunkan baginya istana di atas Surga.”

Lafazh ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah  (51), serta at-Tirmidzi (1993), dan beliau berkata, "Hadits hasan."

Yang dimaksud dengan (الْكَذِبَ) dalam hadits ini adalah dusta ketika perdebatan, sebagaimana ditunjukan oleh lafazh selanjutnya. Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/118). Atau yang dimaksud adalah berdebat di atas kebatilan, sebagaimana penjelasan as-Sindi dalam Syarh Sunan Ibn Majah (I/39).

Kesimpulannya, kedua lafazh hadits tersebut menunjukkan makna yang satu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh. Wallaahu a’lam.

[3] HR At-Tirmidzi (2619), beliau berkata, "Hadits hasan shahih”, dan Ibnu Majah (3973).

[4] Abul Barakat berkata: “Diantara adab-adab pergaulan adalah sedikit perselisihan dengan para sahabat dan berusaha untuk sependapat dan sepakat dengan mereka, selama tidak melanggar agama dan sunnah Nabi r. Berkata Juairiyyah: “Saya berdo'a kepada Allah selama empat puluh tahun agar Allah menjagaku dari menyelisihi para sahabatku.” Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 36.

[5] Hingga di sini lafazh hadits di sunan At-Tirmidzi (no 2392) demikian juga di Al-Adabul Mufrod no 542. Lihat takhrij selengkapnya dalam as-Shahiihah (417), dari hadits sahabat al-Miqdam bin Ma’di Karib. Hadits ini mempunyai sejumlah penguat. Diantaranya diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrod: Mujahid berkata: Seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu denganku, lalu dia memegang pundakku dari belakang dan berkata:

أَمَا إِنِّي أُحِبُّكِ

"Ketahuilah bahwa saya mencintaimu (karena Allah).”

Aku pun menjawab:

أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِيْ لَهُ

“Semoga Allah -yang engkau mencintaiku karena-Nya- juga mencintaimu.”

Sanadnya dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (418).

Syahid lain yaitu dari hadits Anas bin Malik, beliau berkata, "Ketika saya duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lewatlah seorang laki-laki. Lalu berkatalah salah seorang (diantara yang sedang duduk bersama Rasulullah), "Wahai Rasulullah, saya mencintai laki-laki (yang lewat) ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Apakah engkau telah mengabarkannya bahwa engkau mencintainya?" Orang itu menjawab, "Tidak." Maka Rasulullah berkata, "Berdirilah dan kabarkanlah kepadanya." Anas menlanjutkan: Maka orang itu pun berdiri dan berkata kepada laki-laki yang lewat tadi, "Wahai Fulan, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah." Laki-laki itu pun menjawab, "Semoga Allah -yang engkau mencintaiku karena-Nya juga mencintaimu."

HR Ahmad (III/140-141). Sanadnya dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (418).

[6] Lihat takhrijnya dalam As-Shahiihah (416).

[7] Lihat takhrijnya dalam As-Shahiihah (254).

[8] Abul Barakat menukil atsar ini dalam risalahnya Adabul ‘Isyrah wa Dzikrush Shuhbah wal Ukhuwwah, hal 21.

Hak-Hak Persaudaraan (Bagian 4)

Jauhillah Berprasangka Buruk Pada Saudara Kita 

Hak keempat: Engkau menjauhi sifat su-uzh zhan (buruk sangka) terhadap saudaramu. Sebab, buruk sangka terhadapnya berseberangan dengan konsekuensi dari ukhuwwah.

Konsekuensi dari ukhuwwah adalah adanya kejujuran, kebaikan, dan ketaatan di antara dua orang yang bersaudara. Hal ini merupakan hukum asal dari seorang muslim. Hukum asal seorang muslim adalah seorang yang taat kepada Allah.

Jika muslim tersebut termasuk sahabat karibmu, maka ia memiliki dua hak; hak umum dan hak khusus, yaitu engkau jauhi sifat su-uzh zhan terhadapnya dan engkau menjaga dirimu dari buruk sangka, karena Allah melarang buruk sangka. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa”  (al-Hujuraat: 12)

Para ulama berkata dalam menafsirkan firman Allah ini, bahwa prasangka ada yang tercela dan ada prasangka yang terpuji. Manakah prasangka yang terpuji? Yaitu prasangka yang termasuk bagian dari tanda-tanda dan indikasi-indikasi yang ada pada para hakim, para pendamai, dan pemilik kebaikan yang hendak menasihati atau hendak menegakkan tanda-tanda dan indikasi-indikasi tersebut di depan hakim. Seorang hakim menegakkan hujjah dan menuntut adanya bayyinah (bukti). Banyak hujjah dan bukti yang dibangun di atas prasangka (dugaan), namun pada kondisi seperti ini wajib diambil dan digunakan sebagai hujjah.

Adapun menjauhi kebanyakan prasangka, yaitu prasangka buruk terhadap saudaramu sesama muslim. Engkau berprasangka jelek terhadap saudaramu. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ

"Hati-hatilah kalian terhadap prasangka."

Prasangka dalam hadits ini sifatnya umum, mencakup perkataan maupun perbuatan saudaramu. Lebih lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ

"Karena sesungguhnya prasangka adalah berita yang paling dusta"[1]

Ini adalah teks sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa prasangka adalah berita yang paling dusta yang terdapat dalam hatimu. Jika jiwamu yang ada dalam dirimu memberi kabar kepadamu dengan persangkaan-persangkaan, ketahuilah bahwa hal itu merupakan berita yang paling dusta. Jika demikian, maka hak saudaramu atas dirimu adalah engkau tidak berprasangka kepadanya kecuali prasangka yang baik dan engkau jauhi prasangka yang buruk terhadapnya. Allah memerintahkan hal ini kepadamu dengan firman-Nya.:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa”  (al-Hujuraat: 12)

Karena itu, prasangka buruk merupakan dosa bagi pelakunya. Dia berdosa karena telah menyelisihi hukum asal seorang muslim.[2] Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam az-Zuhd, dan diriwayatkan juga oleh selainnya, bahwa 'Umar pernah memberikan nasihat:

لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً

“Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada (makna) yang baik.”

Perhatikanlah, 'Umar melarang prasangka buruk terhadap perkataan, selama masih bisa dibawakan pada makna yang benar, masih mengandung makna yang baik. Maka janganlah engkau berprasangka buruk terhadap saudaramu, karena pada asalnya ia tidaklah berkata kecuali (menginginkan) kebaikan, dan ia tidak (ingin) mengucapkan kebatilan. Jika perkataannya masih mengandung makna yang baik maka bawalah perkataan tersebut pada makna yang baik, sehingga selamatlah saudaramu dari kritikan, selamatlah ia dari prasangka buruk, selamatlah engkau dari dosa, dan selamatlah ia selamat dari diikuti serta dicontoh kesalahannya.[3] Oleh karena itu berkata Ibnul Mubarak, saorang imam dan mujahid yang masyhur:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ الْمَعَاذِيْرَ

“Seorang mukmin adalah orang yang mencari udzur-udzur (bagi saudaranya).[4]”

Maksudnya, ia mencari udzur (bagi saudaranya). Sebab, kemungkinan-kemungkinan yang ada itu banyak jumlahnya. Maka syaitan datang kepada seorang muslim dan menentukan salah satu kemungkinan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut. Syaitan datang lalu menentukan makna perkataan yang diucapkan oleh saudaranya dengan satu makna (yang buruk), sehingga menimbulkan permusuhan dan kebencian. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

﴿إِنَّمَا يُرِيْدُ الشِّيْطَانُ  أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُوْنَ﴾

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran (meminum) khamar (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kalian (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (al-Maidah: 91)

Syaitan menentukan bagimu bahwa tafsir dari kondisi ini hanyalah begini, bahwa tafsir dari perkataan ini hanyalah begitu (tidak ada tafsiran atau kemungkinan lain yang baik), sehingga engkau berprasangka buruk, maka engkau pun berdosa. Akibatnya, muncul antara engkau dan saudaramu jurang pemisah serta tidak adanya kecocokan.

Ada sebuah kaidah dalam memahami kalam (perkataan), bahwa setiap ucapan ada dalalah-nya (penunjukannya). Dalalah perkataan menurut ahli ushul fiqh ada bermacam-macam. Ada yang disebut dengan dalalah hamliyyah. Maksudnya, konteks dari perkataan menunjukkan makna perkataan tersebut. Sebagian ucapan, jika dipahami secara langsung -tanpa memperhatikan konteksnya- akan menunjukkan suatu makna tertentu. Namun, jika diperhatikan siyaq-nya (konteksnya), yaitu dengan memperhatikan kalimat yang sebelum dan sesudahnya, maka akan menjelaskan maksud sesungguhnya dari perkataan tadi (yang berbeda jika dipahami secara langsung).

Jika perkataan bersumber dari seorang mukmin, dari seseorang yang terjalin tali persaudaraan antara engkau dan dia, lalu engkau mendengarnya mengucapkan suatu perkataan, maka jangan sampai syaitan datang kepadamu lalu membawa perkataan tersebut kepada makna yang jelek. Bawalah perkataan saudaramu itu kepada makna yang baik, niscaya akan tegak dalam hatimu kasih sayang terhadap saudara-saudaramu dan akhirnya syaitan tidak masuk di antara kalian.

Karena itu, memperhatikan dilalah hamliyyah untuk menunjukkan maksud dari suatu perkataan adalah sangat penting. Inilah yang menjadi sandaran bagi para ahli ilmu dalam memahami satu perkataan, sekaligus menjadi sandaran bagi orang-orang shalih dalam memahami perkataan manusia. Sebab, maksud dari suatu perkataan hanyalah dipahami dengan memperhatikan seluruh perkataan tersebut, bukan dengan hanya mengambil sebagian lafazhnya. Sungguh, sejumlah lafazh terkadang mengkhianati pengucapnya.[5] Namun, jika telah diketahui maksud (baiknya), dengan memperhatikan seluruh perkataannya, maka ia diberi udzur. Telah kita jelaskan pada pelajaran yang lalu- bahwa di antara perkataan-perkataan manusia dan inilah yang lebih utama ada yang mutasaybih (samar dan rancu) bagi orang yang mendengarnya.[6] Jika dia mendapati perkataan yang mutasyabih tersebut sambil mencari udzur bagi pengucapnya, sambil berusaha membawa makna perkataan tersebut kepada makna yang paling baik, maka ia akan tenteram dan juga membuat orang lain tenteram. Hak saudaranya tersebut akan langgeng, dan dia telah menunaikan hak saudaranya tadi.

Karena itu, barangsiapa yang menafsirkan perkataan saudaranya dengan penafsiran yang salah, yaitu dengan menambahinya atau dengan membawanya kepada makna yang paling jelek, berarti dia tidak menunaikan hak saudaranya.

Begitu juga dengan perbuatan. Misalnya saudaramu berbuat sesuatu di hadapanmu atau mengucapkan suatu perkataan, tiba-tiba ada orang lain di antara yang hadir yang menoleh kepada orang yang di sampingnya, lalu memandangnya dengan pandangan tertentu, maka datanglah syaitan kepada pembicara tadi, lalu berkata “Sesungguhnya si Fulan itu tidaklah memandang kepada teman di sampingnya, kecuali karena dia mengkritik perkataanmu, atau karena mencela perkataanmu,” dan yang semisalnya.

Demikianlah syaitan, ia juga turut andil dalam menafsirkan perbuatan, karena perbuatan juga memiliki kemungkinan penafsiran yang banyak. Ditambah lagi, hanya sedikit orang yang akan bertanya kepada saudaranya, "Kenapa engkau berbuat seperti ini? Karena ada ganjalan di hatiku karena melihat perbuatanmu.” Hanya sedikit orang yang melakukan hal ini (tabayyun, meminta kejelasan). Maka syaitan pun datang dan berkata, “Perbuatannya tersebut karena itu dan itu... dia berbuat demikian karena anu... maksud perbuatannya adalah itu... tindak-tanduknya itu hanyalah untuk mendapatkan sesuatu… dia berbuat demikian karena ingin ini dan itu….”[7]

Perbuatan dan tindakan itu banyak sekali kemungkinannya. Jika engkau membawa perbuatan tersebut pada kemungkinan tertentu, berarti engkau telah berbuat pelanggaran terhadap dirimu sendiri dan tidak menghargai akal dan pikiranmu, karena engkau telah menjadikan kemungkinan yang banyak hanya menjadi satu kemungkinan. Selanjutnya, engkau telah berbuat pelanggaran kepada saudaramu, karena engkau membawa perbuatannya tadi pada kemungkinan yang paling jelek, bukan pada kemungkinan terbaik. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ 

“Berhati-hatilah kalian dari prasangka karena prasangka adalah berita yang paling dusta”[8]

Insya'Allah bersambung ...

Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Catatan kaki:

[1] HR Al-Bukhari (6066) dan Muslim (2563).

[2] Maksudnya, hukum asal seorang muslim adalah taat kepada Allah, sebagaimana yang baru saja dijelaskan oleh Syaikh Shalih. Maka tatkala ia berprasangka buruk terhadap saudaranya muslim, berarti dia telah menuduh bahwa saudaranya tersebut tidak taat, sehingga ia telah mengeluarkan saudaranya tadi dari hukum asal seorang muslim.

Oleh karena itu, prasangka buruk adalah pekerjaan sia-sia yang pelakunya tidak mendapatkan apa-apa darinya, bahkan malah bisa mengantarkannya ke lembah dosa. Berkata Bakr bin Abdillah Al-Muzani (sebagaimana disebutkan dalam Siyar (IV/535) dan biografi beliau dalam Tahdzib At-Tahdzib):

إِيَّاكَ مِنَ الْكَلاَمِ مَا إِنْ أَصَبْتَِ فِيْهِ لمْ تُؤْجَرْ وَإِنْ أَخْطَأْتَ فِيْهِ أَثِمْتَ وَهُوَ سُوْءُ الظَّنِّ بِأَخِيْكَ

“Waspadalah engkau dari perkataan yang jika perkataanmu itu benar maka engkau tidak mendapat pahala, tetapi jika perkataanmu itu tidak benar maka engkau berdosa, yaitu prasangka buruk kepada saudaramu.”

[3] Maksudnya, jika engkau mendengar perkataan saudaramu yang memiliki pengaruh di masyarakat, kemudian engkau bawa perkataannya tadi kepada makna yang jelek, padahal perkataannya itu masih bisa dibawa ke makna yang benar, maka masyarakat akan menyangka bahwa dia mengucapkan perkataan yang sesuai dengan tafsiranmu, yaitu makna yang buruk, sehingga mereka pun mengikuti dan mencontohi perkataannya karena ia memiliki pengaruh.

[4] Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnu Mazin:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ ْمَعَاذِيْرَ إِخْوَانِهِ وَالْمُنَافِقُ يَطْلُبُ الْعَثَرَاتِ

“Seorang mukmin mencari udzur bagi saudara-saudaranya, sedangkan orang munafik mencari-cari kesalahan saudara-saudaranya”.

Abu Qilabah 'Abdullah bin Zaid al-Jarmi berkata -sebagaimana dinukil oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (II/285)-:

إِذّا بَلَغَكَ عَنْ أَخِيْكَ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ فَالْتَمِسْ لَهُ الْعُذْرَ جهْدَكَ، فَإِنْ لَمْ تَجِدْ لَهُ عُذْرًا فَقُلْ فِيْ نَفْسِكَ: لَعَلَّ لأَخِيْ عُذْرًا لاَ أَعْلَمُهُ

“Jika sampai kepadamu kabar tentang saudaramu yang kau tidak sukai, maka berusahalah mencari udzur bagi saudaramu itu semampumu, jika engkau tidak mampu mendapatkan udzur bagi saudaramu, maka katakanlah dalam dirimu, 'Mungkin saudaraku punya udzur yang tidak kuketahui'.”

Hamdun Al-Qashshar berkata:

إِذَا زَلَّ أَخٌ مِنْ أِخْوَانِكَ فَاطْلُبْ تِسْعِيْنَ عُذْرًا، فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ ذّلِكَ فَأَنْتَ الْمَعِيْبُ

“Jika salah seorang dari saudaramu bersalah, maka carilah sembilan puluh udzur untuknya, dan jika saudaramu itu tidak bisa menerima satu udzur pun (jika engkau tidak menemukan udzur baginya) maka engkaulah yang tercela”

Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 19.

Abu Hatim bin Hibban berkata -dalam Raudhatul Uqalaa’, hal. 131, sebagaimana dinukil oleh Syaikh al-'Abbad dalam Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, hal 26-: "Wajib bagi seorang yang cerdik untuk melazimi keselamatan (hati dan lisannya), dengan meninggalkan tajasuss (mencari-cari) aib orang lain dan menyibukkan dirinya untuk memperbaiki aibnya sendiri. Sesungguhnya barangsiapa yang sibuk mengurusi aibnya sendiri sehingga terlalaikan dari mengurusi aib orang lain maka ia telah menyantaikan tubuhnya dan tidak meletihkan hatinya. Semakin dia mengungkap dan mengenal aib-aib dirinya maka akan terasa semakin ringan baginya aib semisal aibnya yang tampak pada saudaranya. Adapun barangsiapa yang sibuk mengurusi aib-aib orang lain sehingga terlalaikan dari mengurusi aibnya sendiri maka hatinya menjadi buta dan letih badannya serta tidak mampu meninggalkan aib dirinya sendiri.”

Sungguh indah perkataan seorang penyair:

شَرُّ الْوَرَى بِعُيُوْبِ النَّاسِ مُشْتَغِلْ   مِثْلُ الذُبَابِ يُرَاعِي مَوْطِنَ الْعِلَلْ

Seburuk-buruk manusia adalah yang sibuk mengurusi aib orang lain

ibarat seekor lalat yang hanya mencari-cari tempat yang kotor

Syaikh 'Abdurrazzaq berkata: “Pada umumnya manusia tidak melihat aib diri mereka. Engkau melihat salah seorang dari mereka berperilaku kasar, namun ia merasa bahwa dirinya sangat lembut. Meski begitu keadaannya, ia masih sibuk mengkritik kesalahan orang lain. Barangsiapa yang mampu mengenal aib dirinya sendiri maka hal itu merupakan tanda kebaikan, keshalihan, dan merupakan awal timbulnya banyak kebajikan.” (Faidah ini kami dapatkan dari Syaikh ketika menjelaskan hadits (18) dari al-Arba'iin an-Nawawiyyah)

[5] Maksudnya, seseorang terkadang ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi ternyata lafazh-lafazh yang ia pakai untuk mengungkapkan keinginannya tadi membuat salah paham orang yang mendengarnya, justru bertentangan dengan maksud si pembicara. Ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

[6] Maksudnya, firman Allah ada yang muhkam (jelas) dan ada juga yang mutasyabih (samar), jika ditinjau dari orang yang mengamatinya. Begitu juga dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kata lain, dalil itu ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih. Demikian pula dengan perkataan ulama, ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, sehingga para ahli bid'ah sering berdalil dengan perkataan ulama Ahlus Sunnah yang mutasyabih untuk mendukung bid’ah mereka. Syaikh Shalih Alu Syaikh sering mengingatkan hal ini dalam ceramah-ceramah beliau. Selanjutnya, sebagaimana tatkala memahami dalil yang mutsyabih harus dikembalikan pada dalil yang muhkam, maka tatkala memahami perkataan ulama yang mutasyabih juga harus dikembalikan pada perkataannya yang muhkam, apalagi perkataan orang awam.

[7] Inilah yang sering terjadi di zaman yang penuh fitnah ini. Orang-orang mulai menilai isi hati manusia. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak tahu isi hati manusia. Bahkan beliau bersabda: “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk memeriksa isi hati manusia.”  HR. Al-Bukhari (4351).

[8] Mencari udzur untuk sesama saudara termasuk jalannya Para Ulama yang shalih. Ditanyakan kepada Junaid, “Kenapa para sahabatmu makannya banyak?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak minum khamr, sehingga mereka lebih lapar.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa syahwat mereka besar?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak berzina dan tidak melakukan hal yang dilarang.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa mereka tidak bergoyang (bergerak-gerak karena semangat) tatkala mendengarkan al-Qur-an?” Dia menjawab, “Karena al-Qur-an adalah firman Allah, tidak ada sesuatu pun dalam al-Qur-an yang menyebabkan untuk bergoyang. Al-Qur-an turun dengan perintah dan larangan, dengan janji (kabar gembira) dan ancaman, maka Al-Qur-an adalah menyedihkan.” Begitulah seterusnya, Junaid terus mencari udzur terhadap para sahabatnya.

Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 36.

Hak-Hak Persaudaraan (Bagian 3)

Jagalah Kehormatan Saudara Kita 

Ini merupakan hak yang sangat agung. Bahkan tidaklah bisa dipahami makna dan nilai persaudaraan secara khusus kecuali dengan menjaga kehormatan saudaranya.Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, yang pada diri mereka terjalin tali persaudaraan yang umum (tidak khusus, yaitu persaudaraan seorang muslim dengan muslim yang lainnya), untuk menjaga kehormatan-kehormatan kaum muslimin. Pada hadits Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya, bahwa ketika khuthbah hari ‘Arafah pada saat haji wada’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ ....

“Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan dan harga diri kalian haram atas kalian….”[1]

Karena itu, kehormatan dan harga diri seorang muslim secara umum adalah haram untuk dinodai oleh muslim yang lain. Bagaimana lagi jika di antara muslim yang satu dengan yang lainnya terjalin ikatan persaudaraan dan persahabatan yang khusus? Bagaimana mungkin ia tidak menjaga kehormatan saudaranya itu? Padahal telah terjalin antara mereka tali persaudaraan khusus yang tidak terjalin untuk selain mereka. Jika seorang muslim diperintahkan untuk menjaga kehormatan saudaranya yang jauh darinya, padahal diantara mereka tidak ada ikatan atau kecintaan yang khusus, maka bagaimana lagi dengan sesama saudaranya yang diantara mereka terdapat hubungan dan rasa cinta, ada saling-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan ketakwaan, usaha untuk taat kepada Allah dan beribadah kepada-Nya, memperoleh kebajikan, serta menjauh dari dosa?!

Bentuk-bentuk menjaga kehormatan dan harga diri saudara seiman (baik yang memiliki tali ukhuwwah yang khusus maupun yang umum):

1. Hendaknya engkau menahan diri untuk tidak menyebutkan kejelekan-kejelekannya. Karena persahabatan atau ukhuwwah yang khusus mengharuskan engkau mengetahui perkara-perkara pribadi yang timbul dari sahabatmu. Misalnya dia mengucapkan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan (yang kurang baik atau bersifat rahasia tatkala sedang bersamamu). Makna dari ukhuwwah yang khusus adalah engkau amanah terhadap apa-apa yang kau lihat dan kau dengar dari sahabatmu. Jika tidak demikian, maka setiap orang akan menghindar dari orang yang mau berhubungan dengannya. Tidak ada yang namanya sahabat karib, sahabat yang menjaga kehormatan saudaranya, baik dihadapannya maupun dibelakangnya. Ada seseorang yang tatkala melihat bahwa pada zamannya tidak didapatkan seorang sahabat sejati dan kekasih yang menjaga kehormatan saudaranya serta menepati janji-janjinya, mendorongnya untuk menulis sebuah kitab yang dia beri judul:

تَفْضِيْلُ الْكِلاَبِ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ لَبِسَ الثِّيَابِ

Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian.[2]

Penulis buku tersebut mendapati bahwa seekor anjing, jika pemiliknya berbuat baik kepadanya maka ia akan menunaikan tugasnya. Bahkan si anjing rela mengorbankan nyawanya demi membela pemiliknya yang telah berbuat baik kepadanya. Akhirnya penulis tadi berkata, ”Pengutamaan anjing-anjing atas banyak orang yang memakai pakaian,” disebabkan banyaknya orang yang berkhianat. Dia bersahabat dengan saudaranya dengan tali persahabatan yang khusus, dia mengetahui rahasia-rahasia pribadi saudaranya, namun tidak lama kemudian dia menyebarkan, membeberkan, dan menyebutkan aib-aib saudaranya yang terlihat olehnya. Seandainya saudaranya itu mengetahui bahwa ia akan membeberkan rahasia-rahasia pribadinya, maka ia akan menjadikannya sebagai musuh, tidak akan menganggapnya sebagai seorang sahabat yang terpercaya dan menunaikan janji. Oleh karena itu, termasuk hak saudaramu adalah engkau diam, tidak menyebutkan aib saudaramu kepada orang lain, baik di hadapannya, terlebih lagi di belakangnya. Sesungguhnya hak seorang muslim atas saudaranya adalah harga dirinya dijaga, terlebih lagi jika terjalin tali hubungan yang khusus.

2. Engkau tidak bertanya secara detail kepada saudaramu, tidak mencari tahu, dan turut campur pada permasalahan-permasalahan yang tidak dia tampakkan kepadamu. Contohnya engkau melihatnya berada di suatu tempat tertentu, lantas engkau bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau datang ke tempat itu? Apa yang kau bawa? Mengapa engkau pergi ke Fulan? Ada apa antara engkau dengan Fulan?," dan pertanyaan-pertanyaan lain yang merupakan bentuk turut campur pada perkara yang bukan kepentinganmu. Jika sahabatmu ingin agar engkau turut campur dalam masalahnya tentu ia akan mengabarkannya kepadamu. Jika dia menyembunyikan hal itu, maka tentu karena ada maslahatnya. Disamping itu, merupakan kebaikan nilai keislaman seseorang jika ia meninggalkan apa yang bukan merupakan kepentingannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Termasuk kebaikan keislaman seseorang jika ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”[3].

Jika engkau melihat saudaramu pada suatu keadaan, jika engkau melihatnya pergi ke suatu tempat, maka janganlah engkau bertanya kepadanya tentang keadaannya, janganlah engkau bertanya tempat yang ia tuju, karena tali persaudaraan tidaklah mengharuskan saudaramu memberitahumu tentang segala sesuatu. Sesungguhnya manusia memiliki rahasia-rahasia pribadi sekaligus privasi.

3. Engkau menjaga rahasia-rahasia pribadinya yang ia ceritakan padamu, baik tentang pengamatannya, maupun tentang pendapatnya pada suatu permasalahan. Kalian berbicara tentang seseorang, maka dia pun mengabarkan kepadamu tentang pendapatnya mengenai orang tersebut. Kalian berbicara tentang suatu permasalahan, ia memiliki pendapat tentang permasalahan tersebut, maka ia kabarkan kepadamu karena engkau adalah orang khusus, karena engkau adalah sahabatnya. Terkadang pendapatnya benar dan terkadang juga keliru. Jika engkau adalah sahabat sejatinya, maka tidaklah saudaramu itu mengabarkan kepadamu melainkan untuk dijaga, bukan disebarkan (meskipun dia tidak memintamu untuk merahasiakannya). Karena konsekuensi dari tali persaudaraan yang khusus adalah adanya rahasia diantara mereka. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya:

الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَةٌ

“Jika seseorang mengabarkan kepada orang lain suatu kabar, kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari tersebut[4] maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari)”[5].

Hal ini merupakan amanah, dan Allah memerintahkan kita untuk menjaga amanah serta menjaga kehormatan. Sebab, jika engkau menceritakan pendapatnya, maka orang-orang akan merendahkannya. Engkau melihat pendapatnya yang aneh, lalu engkau ceritakan kepada orang-orang, “Fulan talah berpendapat seperti ini; Fulan telah berkata tentang si Fulan begini dan begitu." Kalau begitu, apa artinya persaudaraan?! Apa makna persaudaraan jika engkau menyebarkan darinya apa yang dia tidak sukai untuk disebarkan?!

Dan yang lebih parah dari ini, seseorang datang kepada saudaranya, yang diantara mereka terjalin tali persaudaraan yang khusus, lalu dia meminta saudaranya untuk merahasiakan apa yang akan dia ceritakan. Dia berkata, “Pembicaraan kita ini khusus, hanya engkau yang tahu jangan kau beritahu siapapun juga!” Namun kemudian saudaranya mengabarkannya kepada orang ketiga, sambil berkata: “Pembicaraan ini khusus antara kita, jangan kau beritahukan kepada siapapun.” Akhirnya kabar tersebut pun tersebar di masyarakat dan orang yang pertama tidak mengetahui hal ini.

Sebagaimana dikatakan oleh penyair,

وَكُلُّ سِرِّ جَاوَزَ الإِثْنَيْنِ فَإِنَّهُ بِنَفْسٍ وَتَكْسِيْرِ الْحَدِيْثِ قَمِيْنُ

Setiap rahasia yang diketahui lebih dari dua orang maka lebih baik disimpan di hati dan tidak usah diceritakan[6]

Ini merupakan realita. Jika seseorang memilih orang lain untuk menjadi sahabat atau saudaranya, lalu ia menceritakan rahasianya kepadanya, maka harus disembunyikan (tidak diceritakan kepada orang ketiga). Terlebih lagi jika dia memang meminta hal itu. Jika dia tidak memintanya, maka keadaannya adalah sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

الرَّجُلُ إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلَ بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ عَنْهُ فَهِيَ أَمَانَة

“Seseorang jika mengabarkan orang lain suatu kabar kemudian ia berpaling dari orang yang dikabari tersebut maka kabar itu adalah amanah (atas orang yang dikabari).”

Bagaimana lagi jika dia meminta sahabatnya untuk merahasiakannya dan tidak mengizinkannya untuk menceritakannya kepada orang lain?![7].

Diantara bentuk hak yang ketiga ini adalah seorang muslim hendaknya menahan diri dari menyebutkan aib yang dilihatnya pada saudaranya, keluarga saudaranya, karib kerabatnya, atau pada aib yang dia dengar dari saudaranya itu. Misalnya seseorang menelepon saudaranya –dan saudaranya ini tinggal bersama keluarganya atau tinggal sendirian- lalu ia mendengar dari rumah saudaranya itu sesuatu yang tidak diridhai, kemudian dia berkata kepada orang-orang, “Saya mendengar ini dan itu dirumah si fulan.” Atau ia melihatnya dalam keadaan yang tidak baik, kemudian ia kabarkan aib-aib tersebut. Ini bukanlah termasuk menjaga kehormatan saudara sesama muslim. Bahkan ini termasuk menodai kehormatan saudara.

Wajib bagimu untuk menjaga kehormatan saudaramu jika engkau mendengar sesuatu yang jelek tentang dirinya atau engkau melihatnya dalam keadaan yang tidak terpuji, atau ia mengucapkan perkataan yang tidak baik, atau yang semisalnya. Menjaga kehormatannya hukumnya wajib. Bukan justru engkau korbankan kehormatannya dan menyebarkannya. Sebaliknya, engkau diperintahkan untuk menjaga kehormatan dan harga dirinya. "Seorang muslim atas muslim yang lain diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya".

Mengenai pembahasan nasehat antar saudara seiman maka akan ada penjelasannya tersendiri.

Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda:

لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَقَاطَعُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخِوَانًا

“Janganlah kalian ber-tahassus, jangan ber-tajassus, jangan saling memutuskan hubungan, dan jangan saling bertolak belakang. Jadilah kalian saling bersaudara wahai hamba-hamba Allah.”[8]

Hadits ini mengandung dua kalimat. Yaitu sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits yang disepakati keshahihannya ini:

لا تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا

“Janganlah kalian saling ber-tahassus dan jangan saling ber-tajassus.”

Perbedaan antara tahassus dan tajassus, menurut sebagian ulama ada khilaf dalam masalah ini[9], tajassus (adalah mencari-cari kejelekan orang) dengan menggunakan indra penglihatan, sedangkan tahassus dengan (mendengar) kabar berita. Dalilnya adalah firman Allah:

يا بنيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ وَلاَتَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ

“Wahai anak-anakku pergilah kalian dan carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Yusuf: 87)

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

فَتَحَسٍّسُوا مِنْ يُوْسُفَ وَ أَخِيْهِ

"carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya", diambil dari kalimat tahassus, yaitu mencari berita.

Adapun tajassus, maka Allah melarangnya dalam firman-Nya:

وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا

“Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kalian menggunjing sebahagian yang lain” (Yusuf: 87)

Tajassus adalah mencari-cari kesalahan orang lain dengan menggunakan mata. Dimulai dengan melihat saudaramu, lalu engkau mengamati gerak-geriknya. Engkau melihatnya berjalan di suatu jalan, kemudian engkau mengikutinya hingga engkau tahu aibnya. Janganlah kau lakukan hal ini. Pujilah Allah karena engkau tidaklah melihat dari saudaramu kecuali kebaikan-kebaikannya.

Begitu juga dengan tahassus. Janganlah engkau bertanya-tanya tentang aib saudaramu, padahal ia termasuk saudara-saudaramu seiman dan para sahabatmu yang sejati. Terjalin antara engkau dengan mereka tali kasih sayang. Terjalin antara engkau dengan mereka tali persahabatan. Janganlah engkau ber-tahassus dan janganlah engkau ber-tajassus terhadapnya. Seorang muslim dilarang melakukan hal itu terhadap saudara-saudaranya sesama kaum muslimin secara umum, bagaimana lagi dengan orang-orang yang terjalin antara engkau dengan mereka tali ukhuwwah yang khusus.

“Janganlah bertahassus,” yaitu janganlah mencari-cari berita saudaramu (untuk mencari-cari kesalahannya), dan “janganlah bertajassus,” yaitu janganlah engkau mengamati apa yang dilakukannya, karena sesungguhnya hal ini terlarang dan termasuk perkara yang diharamkan oleh Allah.

Insya'Allah bersambung ....

Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Catatan kaki:

[1] HR al-Bukhari (1742) dan (6043).

[2] Penulis tersebut bernama Abu Bakr Muhammad bin Khalaf bin al-Marzaban. Beliau meninggal tahun 309 H. Lihat al-Bidayah wan Nihaayah (XI/314) dan al-Waafi bil Wafayaat (III/37).

Risalah ini sudah dicetak dengan tahqiq Ibrahim Yusuf, diterbitkan oleh Daarul Kutub al-Mishriyah, terdiri dari 39 halaman. Penulis berkata di awal risalahnya:

"Aku menyebutkan (kepadamu) semoga Allah memuliakanmu tentang zaman kita dan rusaknya hubungan kasih sayang antara orang-orang di zaman ini. Akhlak mereka rusak dan tabiat mereka tercela. Orang yang paling jauh perjalanannya adalah orang yang mencari sahabat yang baik. Barangsiapa berusaha mencari seorang sahabat yang bisa dipercaya untuk tidak menceritakan aibnya dan persahabatan yang langgeng, maka ia seperti seorang yang sedang tersesat di sebuah jalan yang membingungkan, semakin ia ikuti jalan tersebut, maka ia semakin jauh dari tujuan. Kenyataannya sebagaimana yang aku paparkan. Diriwayatkan dari Abu Dzarr al-Ghifari radhiyallahu 'anhu, bahwa ia berkata, “Dahulu manusia seperti dedaunan yang tidak ada durinya, tetapi kemudian mereka menjadi duri-duri yang tidak ada daunnya.” Sebagian mereka berkata, “Dahulu kami khawatir para sahabat kami ditimpa kebanyakan janji dan terlalu sering minta maaf (karena menyelisihi janji). Kami khawatir mereka mencampurkan janji-janji mereka dengan kedustaan dan mencampurkan permintaan maaf mereka dengan sedikit kedustaan. Namun, sekarang orang yang beralasan dengan kebaikan telah pergi dan orang yang minta maaf karena berbuat dosa telah meninggal… (maksudnya, jika orang-orang sekarang menyelisihi janji atau berbuat salah mereka cuek dan tidak minta maaf)." Fadhlul Kilab, hal 5-6.

Beliau juga berkata, "Ketahuilah semoga Allah memuliakanmu bahwa anjing lebih sayang kepada pemiliknya dibandingkan sayangnya seorang ayah kepada anaknya dan seorang sahabat kepada sahabatnya yang lain. Hal ini karena anjing menjaga tuannya sekaligus apa-apa yang dimiliki oleh tuannya, baik tuannya ada maupun tidak ada, tidur maupun terjaga. Si anjing tetap menjalankan tugas dengan baik, meskipun tuannya bersikap kasar kepadanya. Ia tidak akan merendahkan tuannya meskipun tuannya merendahkannya. Diriwayatkan kepada kami bahwa ada seseorang berkata kepada salah seorang yang bijak, “Berilah wasiat kepadaku!” Orang bijak itu berkata, “Zuhudlah engkau di dunia dan janganlah engkau berdebat dengan penduduk dunia. Berbuat baiklah karena Allah, sebagaimana anjing yang berbuat baik kepada tuannya. Pemilik anjing membuat anjing itu lapar dan memukulnya, namun ia tetap menjalankan tugasnya.” 'Umar pernah melihat seorang arab badui yang membawa seekor anjing. Maka 'Umar pun berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui menjawab, “Wahai Amirul mukminin, sebaik-baik sahabat adalah yang jika engkau memberinya maka ia berterimakasih, dan jika engkau tidak memberinya maka ia bersabar.” Maka 'Umar berkata, “Itulah sahabat yang terbaik, maka jagalah sahabatmu.” Ibnu 'Umar pernah melihat seorang arab badui dengan seekor anjing, maka ia berkata kepadanya, “Apa yang bersamamu?” Orang arab badui itu menjawab, “Ini adalah yang berterimakasih kepadaku dan menyembunyikan rahasiaku.” Fadhlul Kilab, hal 12.

[3] HR At-Tirmidzi (2317) dan Ibnu Majah (3976). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.

[4] Ada dua pendapat ulama tentang makna berpaling dalam hadits ini. Pertama, makna berpaling yaitu si penyampai kabar tatkala hendak menyampaikan kabarnya menengok ke kanan dan ke kiri karena kahwatir ada yang mendengar. Sikapnya memandang ke kanan dan ke kiri menunjukkan bahwa dia takut kalau ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraannya, dan dia mengkhususkan kabar ini hanya kepada yang akan disampaikan kabar tersebut. Seakan-akan dengan sikapnya itu ia berkata kepada orang yang diajak bicara, "Rahasiakanlah kabar ini!" Pandapat yang kedua, makna berpaling adalah, setelah menyampaikan kabar dia berpaling dari yang disampaikan kabar (pergi meninggalkannya). Pendapat pertama dikuatkan oleh Syamsul Haqq al-‘Azhim Abadi. Dari penjelasan Syaikh Shalih Alu Syaikh, sepertinya beliau lebih condong kepada pendapat yang kedua.

Lihat Tuhfatul Ahwadzi (VI/81) dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/178)

[5] HR At-Tirmidzi (1959) dan Abu Dawud (4868). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Shahiihah (1090).

[6] Maksudnya, jika rahasia sudah diketahui oleh lebih dari dua orang, maka itu bukan rahasia lagi. Sebab, jika orang kedua mengabarkan rahasia tersebut kepada orang ketiga, biasanya rahasia tersebut akan segera diketahui oleh lebih banyak lagi karena orang ketiga pun akan membeberkannya kepada orang keempat, dan seterusnya, sehingga lama-lama menjadi rahasia umum.

[7] Menjaga rahasia bukanlah perkara yang mudah, padahal dia merupakan amanah. Syaitan akan datang menggelitik hatinya agar membeberkan rahasia saudaranya tersebut. Hanya orang mulia yang bisa menjaga rahasia saudaranya. Berkata sebagian orang bijak:

قٌلٌوْبُ الأَحْرَارِ قُبُوْرُ الأَسْرَارِ

“Hati-hati orang yang mulia merupakan kuburan bagi rahasia-rahasia.”

Dikisahkan bahwa ada seseorang menyampaikan sebuah rahasia kepada sahabatnya. Seusai selesai mengabarkannya, dia bertanya, “Sudah engkau hafalkan?”

Sahabatnya menjawab, “Tidak, bahkan saya telah melupakannya.”

Tatkala orang ini lupa, berarti rahasia tersebut terkubur dan tidak bakal keluar dari dalam hatinya.

Yang lebih menyedihkan, tatkala timbul perselisihan antara dua orang yang dulunya bersahabat, maka masing-masing mengungkapkan rahasia temannya yang buruk demi menjatuhkannya. Dikatakan dalam syair,

ليس الكريم الذي إن زلّ صاحبُه بثّ الذي كان مِنْ أسراره عَلِمَا

إن الكريم الذي تبقى مودته ويحفظ السِّرَّ إن صافى وإن صَرمَا

Bukanlah orang yang mulia yang jika bersalah sahabatnya,

diapun menyebarkan rahasia sahabatnya yang dulu dia ketahui.

Sesungguhnya orang yang mulia adalah yang tetap cinta kepada sahabatnya,

tetap menjaga rahasia pribadinya, tatkala bersahabat ataupun tidak

Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 33.

[8] HR Al-Bukhari no 6064, 6066

[9] Lihat Fat-hul Baari (X/592) dan Tafsir Ibn Katsir, Surat al-Hujuraat: 12.

Hak-Hak Persaudaraan (Bagian 2)

Mencintainya Karena Allah

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah saja dan tidak ada syarikat bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah dan rasulNya, pilihanNya, dan kekasihNya, semoga Allah senantiasa mencurahkan salawat dan salam yang banyak kepadanya, kepada keluarganya, para sahabatya hingga hari akhir.

Topik pembahasan pada pelajaran kali ini adalah hak-hak persaudaraan (perkara-perkara yang hendaknya ditunaikan oleh orang-orang yang saling bersaudara-pen), dan yang kami maksudkan dengan hak-hak persaudaraan adalah yang mencakup hak yang mustahab dan hak yang diwajibkan, bukanlah maksudnya untuk memperinci mana diantara hak-hak tersebut yang wajib dan manakah yang mustahab?, akan tetapi maksudnya adalah menyebutkan hak-hak tersebut secara global yang diantara hak-hak tersebut ada yang wajib dan ada yang mustahab. Dan ada hak-hak yang lain yang tidak dibahas di sini karena waktu yang sempit[2].

Kedudukan hal ini -yaitu hak-hak persaudaraan, hak-hak persahabatan, hak seseorang atas saudaranya- termasuk kedudukan yang agung yang ditekankan dalam dalil-dalil, sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka perhatian terhadap hal ini merupakan perhatian terhadap suatu ibadah dan melalaikannya adalah bentuk melalaikan salah satu jenis ibadah, karena hakikat dari ibadah adalah sebuah nama yang mencakup seluruh perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhoi-Nya baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang nampak maupun yang batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang diridhoi oleh Allah adalah perkara yang telah diperintahkan oleh Allah berupa penunaian hak seseorang terhadap saudaranya, terlebih lagi jika telah terjalin antara dia dengan saudaranya tersebut kasih sayang yang sepesial, rasa cinta yang khusus. Persahabatan yang khusus melebihi hanya sekedar hubungan biasa antar kaum muslimin yang lain. Di sana ada hak seorang muslim -yang harus ditunaikan- bagi muslim yang lain yang hak ini dimiliki oleh saudaranya tersebut karena ia adalah seorang muslim, dan hak tersebut lebih ditekankan lagi dan lebih kuat jika terjalin persahabatan yang khusus antara seseorang dengan saudaranya sesama muslim, terjalin antara mereka berdua kecintaan khusus, mereka berdua saling bersahabat, saling mencintai, saling berpartisipasi dalam mewujudkan rasa cinta karena Allah, dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, saling menunjukkan kepada kebaikan, saling mengantarkan kepada petunjuk kebenaran, saling mengajak untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka ada hak-hak (yang lebih khusus) antara mereka berdua. Dan seorang muslim hendaknya memperhatikan hak-hak ini, baik yang telah tua maupun yang belum, demikian juga hendaknya diperhatikan oleh seorang muslimah. Maka jika kami mengatakan hak-hak seorang muslim atas seorang muslim yang lain dan hak-hak persaudaraan maka mencakup hak-hak antara kaum muslimin baik antar kaum tua, antar kawula muda, antar kaum lelaki, dan juga antar para wanita.

Allah dalam Al-Qur’an yang agung telah menganugerahkan kenikmatan bagi hamba-hambaNya dengan menjadikan mereka -dengan anugerahNya, dengan Islam- menjadi saling bersaudara. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman

فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتٌمْ عَلَى شَفَى حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا

“Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya” (QS Ali ‘Imron 103)

Dan Allah telah menganugerahkan kenikmatan bagi hamba-hambaNya yang beriman dengan menyatukan hati-hati mereka, dengan anugerah-Nya Allah menjadikan mereka saling bersaudara, yang hal ini menunjukan kepada kita bahwa kecintaan karena Allah dan bahwasanya persaudaraan karena Allah adalah merupakan kenikmatan yang sangat agung yang telah Allah tanamkan di antara hati-hati orang-orang yang beriman, satu dengan yang lainnya dan hendaknya memperhatikan kenikmatan yang agung ini, menjaganya, dan mengakui bahwa ia adalah anugerah dari Allah, oleh karena anugerah dari Allah hendaknya dijaga dan kesengsaraan hendaknya dijauhi dan diwaspadai. Oleh karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا ((Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara)), berkata sebagian Ulama menafsirkan firman Allah بِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya tali cinta kasih diantara kaum mu’minin hanyalah karena karunia Allah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:

لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ

“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (QS Al-Anfal:63)

Maka yang menjadikan seseorang mencintai yang lainnya dan menjadikan hati-hati manusia menjadi bersatu padahal mereka berasal dari penjuru dunia yang beraneka ragam, dari ras dan bangsa yang bermacam-macam, dari martabat yang bertingkat-tingkat, yang menjadikan mereka saling mencintai, menjadikan mereka sama dalam perkara yang satu yaitu beribadah kepada Allah yaitu mereka menjadi saling bersaudara karena Allah adalah Allah dengan karunia nikmat-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

?قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ?

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)

Dan merupakan kenikmatan yang paling agung dan rahmat yang paling agung yang digembirakan adalah Al-Qur’an yang agung ini dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan tatkala menafsirkan ayat ini

?قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ?

“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS Yunus 58)

Ia (Ibnu Abi Hatim) meriwayatkan bahwanya tatkala barang-barang zakat datang ke Madinah[3] maka Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu ‘anhu dan budaknya keluar menuju tempat dikumpulkannya zakat atau di tempat dikumpulkannya unta-unta zakat maka tatkala budaknya melihat unta yang jumlahnya begitu banyak dan juga zakat-zakat yang lainnya yang banyak yang akan dibagikan kepada kaum muslimin maka iapun berkata kepada Umar, “Ini adalah karunia dari Allah dan rahmatNya wahai Amrul mukminin”. Maka Umarpun berkata, “Engkau berdusta, tapi (yang benar bahwasanya) karunia Allah dan rahmatNya adalah Al-Qur’an .[4] ((Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan)) . Maka perkara yang paling agung untuk digembirakan adalah seorang hamba adalah melaksanakan perkara-perkara yang datang dalam Al-Qur’an, yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah sesuatu yang terbaik bagi kita baik di kehidupan dunia maupun di akhirat kelak.

Hadits-hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk bersahabat dan disahabati sangat banyak sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan hal ini dan menjelaskan keutamaan persaudaraan karena Allah, keutamaan saling mencintai karena Allah, dan menjelaskan keutamaan seorang mukmin yang bergaul (bersahabat) dan (bisa) disahabati dan hendaknya seorang mukmin dekat dengan saudara-saudaranya dalam banyak hadits. Diantaranya sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

إن أقربَكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنُكم أخلاقا، المُوَطَّئُوْنَ أكنافا الذين يَأْلَفُوْنَ ويُؤْلَفُوْنَ

((Sesungguhnya yang terdekat denganku tempat duduknya pada hari kiamat yaitu mereka yang terbaik akhlaknya diantara kalian yang pundak-pundak mereka terbentang[5] yang bersahabat dan disahabati))[6]

Dan dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan yang lainnya yang diriwayatkan dari beberapa jalan dan ia adalah hadits yang shahih bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda

المؤمن يألف ويؤلف

((Seorang mukmin itu bersahabat dan disahabati))[7]

Dalam lafal yang lain  المؤمن مَألفة ((Seorang mukmin itu adalah tempat untuk persahabatan))[8], orang yang melihatnya merasa srek (merasa tenang) bersahabat dengannya karena tidaklah yang ia menampakkan pada saudara-saudaranya dan pada masyarakat kecuali kebaikan. Allah telah memerintahkan hal itu kepada seluruh manusia dalam firman-Nya ?وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا? ((serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia)), (QS. 2:83).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

المؤمن يألف ويؤلف ولا خير فيمن لا يألف ولا يؤلف

((Orang mukmin adalah bersahabat dan disahabati dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bersahabat dan tidak disahabati))[9]

Dan telah shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana dalam shahih Musilm bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda

إن الله جل جلاله يقول يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي

Bahwasaya Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman pada hari kiamat “Dimanakah orang-orang yang saling mengasihi dengan keagunganKu, maka pada hari ini aku menaungi mereka di bawah naunganku pada hari tidak ada naungan kecuali naunganKu” [10]

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala ((Dimanakah orang-orang yang saling mengasihi dengan keagunganKu)) yaitu orang-orang yang saling bersaudara yang didasari oleh kecintaan karena Allah, karena mengharapkan pahala Allah, bukanlah yang  mendekatkan mereka adalah harta benda, bukanlah juga keturunan, namun yang satu mencintai yang lainnya karena saling mencintai karena Allah bukan karena kepentingan duniawi tetapi karena Allah. Inilah yang ditunjukan oleh hadits lain yang disepakati -oleh para ulama- akan keshahihannya yang terkenal  سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله ((Tujuh golongan yang akan Allah naungi di bawah naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya))[11] dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan diantara mereka adalah dua orang yang saling mencintai karena Allah yang mereka berdua saling berkumpul karena kecintaan karena Allah dan demikian pula saling berpisah karena Allah. Dalil-dalil ini menunjukan akan agungnya perkara saling mencintai karena Allah dan menunjukan pula akan agungnya tegaknya persaudaraan karena Allah yang dibangun di atas landasan kecintaan (karena Allah) yang tersebut dalam dalil-dalil yang banyak dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dan jika demikian perkaranya, yaitu jika saling mencintai karena Allah memiliki keutamaan yang agung maka di sana ada hak-hak (kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan) diantara orang-orang yang saling mencintai karena Allah, di sana ada hak-hak persaudaraan antara seorang muslim yang mencintai muslim yang lainnya, hak bagi seorang muslim yang telah terjalin antara dia dan sudaranya tali persaudaraan, ikatan persaudaraan atas landasan keimanan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman

?وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ?[التوبة:71]

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar. (QS. 9:71)

Para ulama mengatakan bahwa firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala { بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} ((Sebagian mereka dari sebagian yang lain)) yaitu sebagian mereka menolong sebaian yang lain, sebagian mereka mengasihi sebagian yang lain, sebagian mereka mencintai sebagian yang lain dan seterusnya demikan pula pada hak-hak persaudaraan yang lainnya.

Maka saling berwala (sikap loyalitas diantara kaum mukminin) merupakan ikatan yang terjalin antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain, antara seorang muslim dengan muslim yang lain, dan hal ini (loyalitas tersebut) memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkat hubungan diantara mereka, berdasarkan tingkat kasih sayang antara seseorang dengan saudaranya, dan hak-hak (persaudaraan) ini banyak macamnya dan kami hanya menyebutkan sebagian saja.

Hak pertama: Hendaknya seorang mukmin tidak mencintai saudaranya kecuali karena Allah, bukan karena kepentingan dunia. Ini adalah bentuk keikhlasan dalam ibadah tersebut (yaitu persahabatan dengan saudaranya).

Hendaknya antara dia dan saudarnya sesama muslim, antara dia dan sahabatnya, terjalin tali cinta karena Allah, bukan karena kepentingan dunia. Jika persaudaraan dan persahabatan dilandasi karena Allah maka persahabatan tersebut akan langgeng. Adapun jika persahabatan karena kepentingan dunia maka kecintaan dan persahabatan tersebut akan pudar dan sirna. Bentuk keihklasan dalam tali cinta, bentuk keikhlasan dalam hubungan persaudaraan, adalah hendaknya seorang hamba mencitai dan bersahabat karena Allah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:

”Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seorang maka ia akan merasakan manisnya iman: (1) Jika Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang yang mana tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam Neraka”[12]     

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika tiga perkara ini terkumpul pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Diantara tiga perkara tersebut adalah tidaklah ia mencintai seseorang melainkan karena Allah.

Karena itu, perkara yang penting bukanlah sekedar engkau mencintai saudaramu, tetapi yang penting dalam ibadah, melaksanakan perintah Allah ini hendaknya kecintaanmu kepada sahabat karibmu, kepada saudaramu, adalah karena Allah bukan karena faktor dunia. Jika engkau mencintai saudaramu maka hendaknya karena apa yang terdapat dalam hati saudaramu, berupa tauhid, pengagungan terhadap Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta amalannya yang sesuai dengan sunnah. Inilah hakekat dari kecintaan karena Allah, yang merupakan hak ukhuwwah yang pertama.

Maknanya, jika seseorang hendak bergaul dengan orang lain, atau menjalin hubungan dengan saudaranya, maka tidaklah ia melakukan hal itu kecuali semata-mata karena Allah. Jika ia bersahabat dengan saudaranya seiman, lalu ia menampakkan kepada saudaranya bahwa persahabatannya karena Allah, tetapi ternyata dalam hatinya menyimpan sebagian kepentingan dunia, maka ia pada hakikatnya telah menipu dan berbuat curang kepada saudaranya tadi. Sebab, saudaranya tersebut tidak mengetahui isi hatinya dan ia menyangka bahwa persahabatan mereka karena Allah, padahal tidaklah demikian.

Kecintaan seorang terhadap saudaranya karena Allah akan membuahkan buah yang manis. Diantaranya ia akan menunaikan hak-hak ukhuwah (yang akan dijelaskan rinciannya). Karena tidaklah ia bermu'amalah dengan saudaranya apa saja bentuk mu'amalah tersebut kecuali ia dalam keadaan takut pada Allah. Sebab, tidaklah dia bersahabat kecuali semata-mata karena Allah. Barang siapa yang tertanam dalam hatinya hakikat ini, kemudian dia menerapkannya -yaitu ia tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah- maka akan tampak buah yang manis pada tindakan-tindakannya sesuai dengan kadar keikhlasannya. Buah yang manis itu juga akan tampak pada hak-hak ukhuwwah lainnya yang akan dijelaskan.

Diantara buah yang manis dari hasil persahabatan karena Allah adalah persahabatan itu akan langgeng. Adapun persahabatan dan persaudaraan yang tidak didasari karena Allah, maka akan pudar dan sirna. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa melihat relasi diantara manusia, hubungan mereka dengan saudara mereka yang seiman, hubungan mereka dengan ulama, dengan penuntut ilmu, dengan sebagian saudara mereka yang memiliki harta, memiliki perniagaan, atau memiliki kedudukan, atau terpandang, jika seseorang bersahabat dan bersaudara dengan mereka bukan karena Allah, namun karena memperoleh kepentingan dunia maka ketika ia sudah memperoleh kepentingannya akan terputuslah tali persaudaraannya tersebut. Bahkan dia tidak berterima kasih terhadap saudaranya, tidak menghubunginya lagi, bahkan lebih dari itu -semoga Allah melindungi kita dari sifat seperti ini-, ia malah mencela saudaranya tadi dan membeberkan aib-aib saudaranya yang dulu pernah ia lihat tatkala bersahabat.

Tidak diragukan lagi bahwa hak ini  adalah hak ukhuwwah yang pertama, hendaknya seseorang mengkondisikan dirinya untuk tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah, sehingga membuahkan faidah yang sangat besar dalam relasinya dengan saudaranya, dalam bermu’amalah, dalam menjaga hak-hak saudaranya, dan dalam ibadah -yang merupakan perkara paling agung-.

Insya'Allah bersambung...

Yogyakarta, 15 Agustus 2005

Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

Catatan Kaki:
[1] Ditrjemahkan dari tulisan yang ditranskrip dari muhadhoroh (ceramah) Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul “huququl ukhuwah”

[2] Karena ini beliau sampaikan dalam ceramah beliau yang waktu ceramah sangatlah terbatas.

[3] Yang datang dari negeri Iraq sebagaimana disebutkan dalam riwayat tersebut

[4] Tafsir Ibnu Abi Hatim 6/1960 no 10435

[5] المُوَطَّئُوْنَ yaitu dengan sighoh isim maf’ul diambil dari kalimat التوطئة yang maknanya membentangkan (merendahkan). Disebut فراش وطيء tempat tidur yang terbentang jika tidak mengganggu lambung yang tidur di atasnya. Dan yang dimaksud dengan الأكناف adalah sisi-sisi tubuh seseorang dan maskud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang sisi-sisi mereka terbentang yang memungkinkan dijadikan sahabat dengan tidak merasa terganggu, dan ini merupakan balagoh yang sangat baik  (Faidul Qodir 3/464-465)

[6] Mushonnaf Abdurrozaq As-Shon’ani 11/144 no 0153, At-Tobroni dalam Al-Mu’jam As-Shogir 2/89 no 835, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/270 no 8118, Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits  ini  (dengan lafal seperti ini) adalah hasan ligoirihi (Shahih At-Targhib wat tarhib no 2658).

[7] HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Awshoth 6/58 no 5787. Berkata Al-Haitsami رواه أحمد والبزار ورجال أحمد رجال الصحيح “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Bazzar dan para perowi Ahmad adalah para perowi as-shahih” (Majma’Az-Zawaid 8/87)

[8] HR Ahmad 5/335 no 22891, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/271 no 8120, At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 6/131 no 5744 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/784 no 425

[9] Lihat As-Shahihah 1/784 no 425

[10] HR Muslim no 2566, dari hadits Abu Hurairah, kitabul Adab, bab Fadlul hubbi fillah

[11] HR Al-Bukhari 1/234 no 629, Muslim 2/715 no 1031

[12] HR al-Bukhari (16 dan 21), serta Muslim (43).