Sering sekali kita mendengarkan dan membaca hadits-hadits sabda Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam yang berisikan kabar gembira saat kedatangan bulan Ramadhan. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam menyatakan bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan dibukanya pintu rahmat dan pintu surga, ditutup rapat-rapat seluruh pintu Jahannam dan syetan-syetan dibelenggu .
Beliau bersabda, “Apabila masuk awal bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga dan tak ada satu pun dari pintu itu yang ditutup, serta pintu-pintu Jahannam ditutup dan tak satu pun di antara pintu-pintu itu yang terbuka, dan syetan-syetan dibelenggu” (HR. At-Tirmidzi dan mengatakan hadits hasan gharib,Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, An-Nasai. Dan Al-Hakim dengan lafal yang sama mengatakan, “Shahih, sesuai syarat Al-Bukhari-Muslim”. (At-Targhib wat-Tarhib 2/220)
Beliau juga bersabda, ”Telah datang kepadamu Bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah, Allah meliputi kalian di dalam bulan tersebut, rahmat diturunkan, dosa-dosa dihapuskan dan do’a-do’a dikabulkan. Allah melihat kalian semua berlomba-lomba di dalam bulan itu, maka Dia merasa bangga terhadap kalian dan para malaikat. Maka perlihatkanlah segala macam kebaikan diri kalian di hadapan Allah. Sebab orang yang celaka adalah orang yang terhalang mendapatkan rahmat Allah pada bulan tersebut.” (HR. Ath-Thabrani dan para perawinya tsiqat (terpercaya)/At-Targhib wa At-Tarhib 2/222).
Sabda beliau yang lain, “Barang siapa yang berpuasa di Bulan Rama-dhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa yang shalat malam di Bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa shalat di malam lailatul qadar karena iman dan meng-harap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Masih banyak lagi hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan puasa dan shalat malam pada bulan tersebut. Adapun hadits yang menerangkan tentang besarnya pahala puasa adalah hadits qudsi berikut ini, (Allah berfirman), “Setiap amal anak Adam adalah untuknya, sedangkan setiap kebaikan akan dilipatkan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, terkecuali puasa, maka ia adalah untukKu dan Aku sendiri yang akan memberikan balasannya. Shoimun telah meninggalkan syahwatnya, makan dan minumnya karena Aku. Bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, (yaitu) kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.Dan bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada wanginya minyak kesturi (misik). (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Maka selayaknya bagi setiap mukmin untuk mempergunakan kesempatan emas yang telah diberikan oleh Allah berupa nikmat berjumpa dengan Bulan Ramadhan. Mereka hendaknya berlomba-lomba melaku-kan berbagai bentuk ketaatan serta menjauhi segala bentuk keburukan dan kejahatan. Senantiasa bersungguh-sungguh dalam menjalankan apa saja yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, terutama shalat lima waktu, zakat dan puasa Ramadhan yang menjadi pokok pembicaraan kita kali ini serta kewajiban-kewajiban lain yang tidak dapat disebutkan di halaman yang sangat terbatas ini.
Satu permasalahan penting yang harus selalu diingat oleh setiap muslim yang berpuasa adalah bahwa hendakanya ia berpuasa bukan hanya sekedar menahan makan, minum dan pembatal-pembatal lainnya. Namun hendaknya juga berpuasa dari segala bentuk ucapan dan perbuatan yang diharamkan Allah. Karena tujuan puasa adalah agar seorang muslim selalu tunduk dan taat kepada Allah, menjaga larangan-laranganNya, meme-rangi hawa nafsu dalam rangka menaati Rabbnya serta membiasakan untuk bersikap sabar, yakni menahan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah.
Berkenaan dengan masalah ini, Rasulullah telah menyatakan bahwa, ”Puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang di antara kalian berpuasa janganlah berkata jorok dan jangan bicara yang tak berguna. Jika ada orang lain mencacinya atau mengajak berke-lahi maka hendaklah ia berkata, ”Aku sedang berpuasa.” (Muttafaq alaih).
Dan juga sabda beliau yang lain, ”Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan sia-sia (palsu), perbuatan tak berguna dan kebodohan, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya (yang berupa) meninggalkan makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)
Beberapa Permasalahan yang Perlu Diperhatikan
Setiap muslim hendaknya melakukan puasa Ramadhan karena iman dan ihtishab (mengharap pahala), bukan karena riya’, sum’ah, ikut-ikutan kebanyakan orang, malu terhadap keluarga atau tetangga jika tidak berpuasa. Berpuasa karena iman artinya berdasarkan keyakinan bahwa Allah telah mewajibkan puasa terha-dapnya, dan ihtisab karena untuk mencari pahala yang telah disediakan Allah bagi orang berpuasa. Demikan pula shalat malam pada bulan itu harus karena iman dan ihtisab.
Ada sebagian orang ketika berpuasa lalu terluka, mimisan, muntah, atau tenggorokannya kemasukan air tanpa disengaja ia langsung membatal-kan puasanya. Padahal sebenarnya hal-hal tersebut tidaklah membatalkan puasa karena tidak adanya unsur kesengajaan. Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, “Barang siapa yang tidak sengaja muntah, maka tidak perlu untuk mengqada’ (puasanya tidak batal), dan barang siapa segaja muntah maka wajib baginya mengqadla”.(HR. Al-Khamsah (lima Imam), Imam Ahmad mengatakan ada cacat, Ad-Daruquthni menguatkannya).
Demikian pula yang terjadi pada sebagian wanita yang sedang haid atau nifas, apabila mendapati dirinya telah selesai (suci)sebelum fajar (pada bulan puasa) maka dia harus berniat untuk puasa sebelum fajar (Shubuh). Dan tidak mengapa kalau mau meng-akhirkan mandi setelah terbit fajar, namun tidak boleh mengakhir-kannya setelah terbit matahari. Demikian pula bagi yang junub juga berlaku demikian, dan bagi laki-laki harus segera mandi supaya dapat menjalankan shalat Shubuh dengan berjamaah di masjid.
Pemeriksaan darah untuk keperluan laboratorium serta suntik dengan jarum tidak membatalkan puasa. Kecuali yang bertujuan untuk men-suplai zat-zat makanan seperti infus, maka puasanya batal. Namun sebaiknya suntik/periksa darah tidak dilakukan di siang hari Bulan Rama-dhan karena yang demikian lebih terjaga dan membuat tenang. Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda, ”Tinggalkan apa-apa yang membuat kalian ragu, kepada apa yang tidak meragukan’ (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai).
Dan sabda Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam yang lain, “Barangsiapa yang menjauhi perkara-perkara syubhat, maka berarti telah menjaga agama dan kehormatannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin ada yang tidak tuma’ninah dalam shalatnya, baik sha-lat fardhu maupun sunnah, terutama shalat tarawih. Padahal tuma’ninah (khusyu’ dan tenang) adalah rukun shalat yang juga menentukan shah tidaknya shalat. Ukuran tuma’ninah ini adalah apabila sendi-sendi telah kembali pada tempatnya (sehabis melakukan gerakan, seperti rukuk, sujud dan sebagainya).
Sebagian kaum muslimin ada yang memiliki persangkaan, bahwa shalat Tarawih itu tidak boleh kurang dari dua puluh raka’at (atau 23 dengan witirnya). Sebagian lagi mengira bahwa tarawih tidak boleh melebihi sebelas atau tiga belas rakaat. Kedua-duanya adalah persangkaan yang keliru, karena menyelisihi dalil-dalil yang ada.
Dalil-dalil yang shahih menunjukkan bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan atau selainnya adalah tidak terbatas pada bilangan tertentu. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah shalat sebelas raka’at, tiga belas rakaat atau kurang dari itu, baik di kala Ramadhan atau di luarnya. Dan ketika beliau ditanya tentang shalat malam beliau menyatakan, ”Dua raka’at-dua raka’at, dan jika kalian khawatir masuk Shubuh maka shalatlah satu rakaat untuk witir dari shalat yang telah dilakukan.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam tidak membatasi pada jumlah rakaat tertentu, maka para sahabat di masa khalifah Umar, ada yang shalat dua puluh tiga rakaat dan ada pula yang shalat sebelas rakaat. Kesemuanya adalah benar (Imam Malik, Al-Muwatha 1/138). Dan sebagian ulama ada yang shalat tiga puluh enam rakaat tambah witir tiga rakaat, ada pula yang shalat empat puluh satu rakaat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa masalah shalat malam adalah masalah yang luas. Beliau menambahkan bahwa bagi yang memperpanjang bacaan, ruku’ dan sujud, hendaknya menyedikitkan jumlah rakaat. Dan bagi yang memendekkan bacaan, ruku’ dan sujud, hendaknya memperbanyak bilangan rakaatnya, demikian penjelasan beliau rahimahullah.
Namun kalau kita memperhatikan dalil-dalil yang ada, maka akan didapati bahwa yang lebih utama adalah sebelas rakaat baik di kala Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena sesuai dengan praktek yang paling biasa dilakukan Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam, di samping tidak terlalu membebani jamaah serta lebih mendekati kekhusyu’an dan tuma’ninah. Dan bagi yang ingin menambah dari yang sebelas rakaat itu, maka tidak ada masalah dan baik juga. sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Yang penting adalah dalam qiyam Ramadhan atau Tarawih hendaknya dilakukan dengan berjama’ah sampai selesai shalat bersama imam, agar terhitung sebagai shalat satu malam.
Dianjurkan kepada seluruh kaum muslimin untuk berlomba-lomba dan bersegera dalam melakukan amal kebajikan sepanjang Bulan Ramadhan ini.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam memberikan kabar gembira kepada kita bahwa barang siapa yang melakukan suatu kebaikan (yang bukan wajib) pada Bulan Ramadhan, maka seakan-akan ia telah melakukan ibadah wajib pada bulan yang lain. Dan barang siapa yang melakukan satu kewajiban pada bulan tersebut, maka ia seperti melakukan tujuh puluh kewajiban pada bulan lainnya. Sedangkan umrah di Bulan Ramadhan pahalanya menyamai ibadah haji, bahkan ibadah haji bersama Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam .
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita dan seluruh kaum musli-min untuk dapat melakukan amal kebai-kan sebanyak mungkin, dalam upaya menggapai ridhaNya. Dan semoga apa saja yang akan kita usahakan, baik berupa puasa, qiyamul lail, infak, shadaqah dan selainnya diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala .
Sumber: Buletin “Fadhlu Shiyam Ramadhan wa Qiyamihi” Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz .
No comments:
Post a Comment