Saturday, December 21, 2013

Kajian Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 172-173


Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 172-173


يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ڪُلُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا رَزَقۡنَـٰكُمۡ
 وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن ڪُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara
rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada
kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya saja kalian menyembah. (Al-Baqarah: 172)

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
 غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),
sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampunlagi
Maha Penyayang.”(Al-Baqarah: 173)

Makna Mufradat (Kosakata Sulit)

    الدَّمَ : (darah) yang dimaksud ialah darah yang mengalir[2]
    غَيْرَ بَاغٍ :Tidak menghalalkannya (menurut Said Ibnu Jubair), sedang menurut Assadi غَيْرَ بَاغٍ bermakna bukan karena memperturutkan selera ingin memakannya.[3]
    وَلا عَادٍ : Tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang halal. Menurut Ibnu Abbas وَلا عَادٍ bermakna tidak boleh sekenyangnya, sedangkan Assadi berpendapat bahwa makna وَلا عَادٍ sama dengan al-‘udwan yang bermakna melampaui batas.[4]

Asbabun Nuzul
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah? Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang mereka yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji dan umroh, maupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan.Orang-orang Yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap, orang-orang Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[5]

Munasabah
Seperti penegasan pada ayat-ayat alquran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, Dialah pencipta alam semesta ini, juga telah dijelaskan siapa saja yang mengambil Tuhan selain Allah maka dia akan mendapat balasannya yang setimpal. Dan pada ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki kepada manusia dan makhluk yang lain, sekaligus Allah menerangkan mana makanan yang halal dan mana yang haram.

Allah juga membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah diberikan Allah di bumi ini, yang halal dan yang baik saja, serta meninggalkan yang haram, sebab yang haram itu sudah jelas. Juga agar manusia tidak mengikuti langkah-langkah setan, dalam hal makanan, sebab setan itu adalah musuh mereka. Oleh sebab itu, setan tidak pernah menyuruh kepada kebaikan. Bahkan dia hanya menyuruh kepada kejelekan. Dan setan itu juga menyuruh manusia agar menghalalkan atau mengharamkan sesuatu sesuai dengan kehendak manusia tanpa perintah dari Allah. Bahkan menyuruh manusia agar mengatakan bahwa itu adalah syariat Allah, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan musyrikin Quraisy.

Dalam al-Baqarah 168-169 dikatakan makanan yang diperbolehkan atau yang halal dari apa-apa yang terdapat di bumi kecuali yang sedikit yang dilarang karena berkaitan dengan hal-hal yang membahayakan dan telah ditegaskan dalam nash syara’ adalah terkait dengan akidah, sekaligus bersesuaian dengan fitrah alam dan fitrah manusia. Allah menciptakan apa-apa yang ada di bumi bagi manusia. Oleh sebab itu, Allah menghalalkan apa yang ada di bumi, tanpa ada pembatasan tentang yang halal ini, kecuali masalah khusus yang berbahaya. Dan apabila yang di bumi ini tidak dihalalkan maka hal ini melampaui daerah keseimbangan dan tujuan diciptakannya bumi untuk manusia.

Pada ayat ini selanjutnya ditujukan kepada kaum muslimin saja supaya menikmati rezeki Allah yang bermanfaat dan diarahkannya untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Serta dijelaskan kepada mereka apa yang diharamkan atas mereka, yaitu apa-apa yang tidak baik dan tidak dihalalkan bagi mereka. Kemudian diancamnya orang-orang Yahudi yang menyanggah mereka mengenai makan yang baik-baik dan yang haram ini, yang semuanya sudah termaktub dalam kitab mereka.

Pelarangan tentang akan sesuatu yang tidak baik ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan mencari rezeki, sebab Allah sendirilah yang melimpahkan rezeki kepada mereka. Allah menginginkan mereka agar sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang bersal dari Allah dan agar mereka betul-betul beribadah semata-mata kepada Allah tanpa ada penyekutuan. Maka Allah mewahyukan kepada mereka bahwa syukur itu adalah termanifestasikan dengan ibadah dan taat serta ridha dengan apa-apa yang dari Allah (al-baqarah 172).

Kemudian Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari makanan dengan suatu bentuk nash yang di batasi dengan penggunaan a’atul qashri perangkat pembatasan yakni “innamaa”, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut suatu (nama) selain Allah.[6]

Pengertian Makanan
Kata makanan berasal dari lafazh الأطعمة . Kata الأطعمة adalah bentuk jamak dari kata الطعام.[7] Menurut bahasa adalah perkara yang dapat dimakan dan segala perkara yang dijadikan untuk kekuatan.[8]
Makanan dalam bahasa al-Qur’an menggunakan kata اكل dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktifitas makan. Tetapi kata tersebut tidak digunakan semata-mata dalam arti “memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan”, tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha.[9] Misalnya dalam surat an-Nisa’ ayat 4:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Di dalam ayat tersebut kata makan digunakan untuk maskawin dan diketahui oleh semua pihak bahwa maskawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dalam Surat al-An’am: 121

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apapun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata makan di sini dipahami dalam arti luas yakni segala bentuk aktivitas. Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.[10]

MACAM-MACAM MAKANAN

1. Makanan Halal
Kata halal berasal dari akar kata halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi, karena itu kata halal juga berarti boleh. Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunnah (aturan untuk dilakukan), makruh (anjuran untuk ditinggalkan), maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu hal, tetapi tidak dianjurkan atau dengan kata lain hukumnya makruh.[11]

Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama, namun tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Makanan yang baik ialah makanan yang dibenarkan untuk dimakan oleh ilmu kesehatan. Makanan yang halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk memakannya. 

Makanan yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan sangat banyak dan pada dasarnya dibolehkan memakannya.
Makanan yang baik-baik tidaklah diharamkan memakannya kecuali bilamana Allah dan RasulNya mengharamkan. Tiap orang mukmin hendaknya mentaati ketentuan-ketentuan Allah jika benar-benar menyembahNya, dia harus mentaati perintah dan menjauhi laranganNya.

Adapun pendapat para fuqaha’ tentang binatang yang boleh dimakan, mereka berpendapat, bahwa binatang tersebut dihubungkan dengan sembelihan syara’ ada 3 macam: binatang air, binatang darat serta binatang amfibi.

a) Adapun binatang air: binatang yang tidak bisa hidup di darat kecuali hanya di air. Dalam hal ini ada 2 pendapat

    Pendapat Hanafiyah: seluruh binatang yang ada di air itu haram dimakan kecuali ikan. Ikan itu halal tanpa disembelih kecuali jika mengapung di air.

    Pendapat jumhur selain Hanafiyah: binatang air seperti ikan, kepiting, ular air, anjing laut halal tanpa disembelih. Jika binatang tersebut mati dengan sendirinya atau dlohir seperti terhantam karang, mati akibat dibunuh, atau mati karena surut airnya, baik bergerak atau tidak ambillah dan sembelihlah. Namun jika ikan tersebut mati karena sakit atau diracun maka ikan tersebut haram karena membahayak.

b) Binatang darat: binatang yang tidak bisa hidup kecuali di daratan. Binatang tersebut ada 3 macam:

    Binatang yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, lalat, jankrik, tawon, semut, kalajengking serta serangga yang berbisa tidak halal kecuali hanya belalang, karena selain belalang binatang tersebut sangat menjijikkan.
    Binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti ular yang tidak berbisa, seluruh binatang-binatang kecil, hama tanah, baik berupa tikus, landak, tupai, ataupun biawak. Binatang tersebut diharamkan karena termasuk binatang yang kotor dan beracun.
    Binatang yang mempunyai darah mengalir, baik jinak maupun liar. Adapun binatang jinak yang dihalalkan seperti unta, sapi, dan kambing.

c) Binatang amfibi: binatang yang bisa hidup di air maupun di laut secara bersamaan seperti katak, kura-kura, kepiting, ular, air, buaya, anjing laut. Dalam hal ini ada 3 pendapat:

    Pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa binatang tersebut hukumnya haram dimakan karena tergolong binatang kotor apalagi ular.

    Pendapat Malikiyah memperbolehkan makan katak dan sejenisnya, karena tidak ada nash dalam alquran yang mengharamkannya.

    Pendapat Hanabilah dalam hal ini merinci lebih lanjut bahwa tiap-tiap binatang yang hidup di darat dan di laut tidak halal, kecuali bila disembelih, seperti anjing laut, ular laut dan sejenisnya, kecuali kepiting karena tidak mempunyai darah sehingga boleh dimakan tanpa disembelih.

2. Makanan Haram
Sebagai lawan dari halal adalah haram, yaitu sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Makanan yang haram itu berakibat terhalangnya doa kita sekaligus dapat menggelapkan hati kita untuk cenderung kepada hal-hal yang baik, bahkan dapat mencampakkan diri ke dalam neraka.
Setelah Allah menjelaskan makanan-makanan yang baik, kemudian Allah menjelaskan beberapa makanan yang diharamkan.

Adapun binatang yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin dapat digolongkan menjadi 6 bagian:

    Bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih dengan tidak disebut nama Allah.
    Semua binatang yang dapat hidup lama di dua alam, seperti buaya, katak, penyu, dan sebagainya.
    Binatang yang bertaring kuat, seperti harimau, anjing, srigala, kucing, kera dan sebagainya.
    Binatang yang mempunyai kuku tajam, seperti burung elang, burung garuda, burung kakak tua, nuri, rajawali dan sebagainya.
    Binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, misalnya ular, anjing galak, kalajengking, burung elang, dan sebagainya.
    Binatang yang dilarang dibunuh, seperti semut, tawon dan burung hud-hud.[12]

Penafsiran
Syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugerah yang diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya sesuai tujuan penganugerahannya, atau menempatkannya pada tempat semestinya.[13]

Di dalam ayat ini, khitab Allah ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara khusus. Mereka ini akan lebih sensitif pemahamannya, disamping bias menerima hidayah. Karenanya, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar memakan barang-barang yang halal dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang dilimpahkan kepada mereka. Kemudian Allah menjelaskan makanan yang diharamkan. Sebagaimana pemberitahuan, bahwa makanan yang diharamkan itu berjumlah sedikit, dan kebanyakan makanan yang merupakan ciptaan Allah itu dihalalkan.[14]

Allah telah menyeru orang-orang yang beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga agar mengambil apa yang halal dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah mengingatkan kepada mereka bahwa Dia sematalah pemberi rezeki dan membolehkan kepada mereka memanfaatkan makanan-makanan yang baik dari apa yang telah Dia rezekikan. Maka, Allah memberitahu mereka bahwa Dia tidak melarang untuk mengambil yang baik dari rezeki itu dan Allah melarang hambaNya agar meninggalkan sesuatu yang tidak baik dari rezeki itu.

Pelarangan ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan dalam mencari rezeki, tetapi agar mereka sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang berasal dari Allah dan agar mereka bias betul-betul beribadah semata-mata karena Allah tanpa ada penyekutuan.

Kemudian, Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari makanan dengan suatu bentuk nash yang dibatasi dengan penggunaan adatul qashri (perangkat pembatasan) yakni “innamaa”

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.[15]

a) Bangkai ialah nama binatang yang mati, bukan karena disembelih secara syara’. Terkadang bangkai itu binatang yang mati dengan sendirinya bukan sebab manusia. Meskipun juga terkadang karena ulah manusia tetapi tidak melalui penyembelihan yang disyari’atkan.

Yang dimaksud haramnya bangkai hanyalah soal memakannya. Adapun memanfaatkan kulit, tanduk, tulang atau rambutnya tidaklah terlarang. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ؟ فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ: إِنَّمَا حَرَّمَ أَكْلَهَا
“mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan memanfaatkan? Para sahabat menjawab, itu kan bangkai. Maka jawab Rasulullah, yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”

Hadis tersebut menjelaskan bahwa menyamak kulit itu sama dengan menyembelih untuk menjadikan kulit itu menjadi halal.[16]

b) Darah yang mengalir sangat berbahaya, sebab darah itu kotor atau mengandung penyakit, sehingga pengharaman darah itu didasarkan pada kotornya darah atau mengandung penyakit.
c) Daging babi yaitu seluruh yang dapat dimakan daripada tubuh babi, baik daging, lemak, ataupun tulangnya yang dicincang bersama dagingnya.[17] Belakangan ini ada orang-orang yang memperdebatkan keharamannya. Mereka berpendapat cacing pita yang amat berbahaya, yang menurut penelitian memang terdapat di dalam daging babi kini oleh kemajuan ilmiah telah dapat dihilangkan. Oleh sebab itu, babi tidak lagi haram. Demikianlah pendapat mereka.

Bukan merupakan suatu hal yang mustahil kalau masih terkandung bahaya-bahaya lain yang belum ditemukan di dalam babi. Maka, sudah sepatutnya kita memisahkan diri dari pendapat yang sesat dan kita beralih menuju kepada pendapat yang benar. Serta, kita mengharamkan apa yang diharamkan dan menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

d) Adapun keharaman suatu yang disembelih sambil menyebutkan nama selain Allah, tidaklah ini diharamkan karena zatnya tetapi disebabkan oleh ketidaktulusan jiwa dan tidak adanya kebulatan tujuan, maka zat tersebut tergolong kepada yang najis dan menyekutukan Allah.[18]

اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ) ( barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, maka memakan hal-hal yang telah Allah haramkan – karena memang sudah tidak ada pilihan lain, dan jika tidak memakan barang tersebut akan mendapatkan kesukaran, bahkan kematian – maka hal itu dibolehkan. Tetapi dengan syarat, tidak menginginkan dan tidak melebihi kebutuhan yang selayaknya.[19] sebenarnya mereka tidak ingin makan makanan yang diharamkan tetapi hanya sekedar untuk menyelamatkan jiwanya. Adapun memakan yang lebih dari itu hukumnya tetap haram. Ini kehendak Allah dan Allah tidak memberatkan seorang hamba lebih dari pada kesanggupannya.[20]

Abdullah bin Amr r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang buah yang tergantung di pohon. Jawab Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:” siapa yang makan daripadanya hanya karena lapar tanpa tujuan menyimpannya, maka tiada dosa dan tuntutan baginya.”

Masruq berpendapat, bahwa orang yang terpaksa kemudian ia bertahan tidak makan dan tidak minum, lalu ia mati, maka ia bisa masuk neraka. Menurut pendapat ini berarti makan bangkai bagi orang yang terpaksa hukumnya wajib dan bukan mubah.[21]

DAFTAR PUSTAKA

    A.W. Munawwir, Kamus al-munawwir (Yogyakarta: PT. Pustaka Progresif, 2002)
    Bahreisy, Salim Bahreisy dan Said. 2002. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
    Hadi, Abu Sari’ Muhammad Abu. 1997. Hukum Makanan dan Sembelihan dalam PandanganIslam. Jakarta Pusat: Tragenda karya.
    Hamka. 2004. Tafsir al-Azhar, juz 2. Jakarta: Pustaka Panjimas.
    ad-Dimasqy, Ibnu Kasir. 2004. Tafsir Ibnu Kasir Juz II. Sinar Baru Algesindo.
    as-Suyuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin. 2011. Tafsir Jalalain. Bandung: sinar Bara Algesindo.
    Kementrian Agama RI. 2011. Al-Qur’an & Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya.
    Mahmudiyah, Lindayati. 2006. Makanan Menurut Al-Qur’an. Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya.
    Mustafa, Ahmad. 1993. Al Maragi. Semarang: PT Karya Toha Putra.
    Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Dzilalil-Qur’an, Juz 1. Jakarta: Gema Insani.
    Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: PT Mizan.
    …………………….. 2002. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran vol.I. Jakarta: Lentera Hati.

[1] Alquran dan terjemahnya: 2, 172-173.
[2] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain (Bandung: sinar Bara Algesindo), 87.
[3] Ibnu Kasir ad-Dimasqy, Tafsir Ibnu Katsir Juz II (Sinar Baru Algesindo, 2004), 103
[4] Ibid., 103
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran vol.I, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), 386.
[6] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil-Qur’an, Juz 1 (Jakarta: Gema Insani, 2000), 184-186.
[7] A.W. Munawwir, Kamus al-munawwir (Yogyakarta: PT. Pustaka Progresif, 2002), 853.
[8] Abu Sari’ Muhammad Abu Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam (Jakarta Pusat: Tragenda Karya, 1997), 18.
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (bandung: PT Mizan, 1996), 138.
[10] Lindayati Mahmudiyah, Makanan Menurut Al-Qur’an (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006), 18-20.
[11] Shihab, Wawasan al-Qur’an…, 148.
[12] Mahmudiyah, Makanan Menurut…, 48-60.
[13] Shihab, Tafsir al-Mishbah,… 359.
[14] Ahmad Mustafa, Al Maragi (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), 80.
[15] Alquran dan Terjemahnya: 2, 173.
[16] Mahmudiyah, Makanan Menurut…, 54-56.
[17] Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), 78.
[18] Quthb, Tafsir Fi Dzilalil,… 186.
[19] Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,… 83.
[20] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya. 2011), 252.
[21] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), 323.

No comments:

Post a Comment