Memahami Bentuk Tafsir bil Ma'tsur & Tafsir bil Ra'yi." Untuk bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda, maka Al-Qur’an harus difahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Qur’an bersifat tetap, jika dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al-Qur’an telah berhenti, karena pewahyuan sudah berakhir dengan berakhirnya masa kenabian Muhammad. Sementara di sisi lain, masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan umat Islam, senantiasa berkembang seiring dinamika zaman. Maka untuk mempertemukan Al-Qur’an dan perkembangan zaman, muncullah disiplin ilmu yang disebut dengan tafsir. Para ulama lalu melakukan upaya-upaya untuk menjadikan Al-Qur’an mampu berbicara pada setiap zaman yang berbeda, melalui aktivitas penjelasan makna-makna Al-Qur’an, dan usaha-usaha itu kemudian dikenal secara luas sebagai tafsir.
Dalam peta keilmuan Islam, Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna Al-Qur’an, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidaklah mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran Al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman. Metode-metode itu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran, peradaban manusia dan juga masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, perkembangan itu juga terjadi karena kebutuhan manusia akan metode baru, sebagai akibat perkembangan zaman, tidak terelakkan.
Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya tidak sebagai sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap al-Qur’an.[1] Tulisan ini akan memberikan penjelasan singkat tentang tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi.
Tafsir bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang lain, Sunnah yang tertuang dalam hadits-hadits Nabi, pendapat Shahabat dan Tabi’in.[2] Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal[3] berbeda dengan pendapat shahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu shahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul sebuah ayat.
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut[4]sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap kata shirat al-mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari oleh al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang terdapat dalam Al-Qur’an atau as-Sunnah atau pendapat para sahabat, dal rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan as-Sunnah an-Nabawiyah, atau enafsirkan al-Quran dengan as-Sunnah an-Nabawiyyah atau juga menafsirkan al-Qur’an dari kutipan pendapat sahabat.[3] Adapun macam-macam tafsir bil ma’tsur sbb:
Tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an
Sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat lain tidak ada perbeaaan, Para Ulama sepakat bahwa ada ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan terhadap ayat lainnya. Sebagian ayat menjadi lebih jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat-ayat tertentu. Contoh Q.S al-Maidah(5):1 dengan QS al-Maidah ayat 3.
Tafsir Al Qur’an dengan As-Sunnah an-Nabawiyah
Yang dimaksud disini adalah penafsiran al-Qur’an dengan hadist Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah ini masih sangat banyak ditemukan dan sangat susah untuk menulisnya satu persatu dan dapat dilacak secara runtut melalui kita-kitab hadist yang juklahnya tidak sedikit dan hamper di semua kitab hadist memuat bab tafsir.
Tafsir al-Qur’an dengan pendapat sahabat
Ada beberapa bab atau dalam ungkapa ulama lama kitab-kitab dalam kitab-kitab hadits yang berisi tentang tafsir al-Qur’an. Hal ini seperti terdapat dalam dua kitab shahih bukhari dan muslim, juga dalam sunan Abu Daud, Tamidzi, Ibnu Majah, kitab Tafsiran an-Nasai. Tafsi ini juga terdapat dalam musnad-musnad sesuai riwayat masing-masing sahabat.
Tafsir Tabi’in
Imam Az-Zarqani dalam Manahilul ‘Irfan menulis, bahwa terdapat perbedaan dikalangan Ulama mengenai tafsir Tabi’in. Sebagian memandang ma’tsur karena penafsiran sebagian besar pendapat mereka diterima dari para sahabat Nabi, sedangkan sebagian lain menilainya sebagai tafsir bi ra’yi. Kelompok yang disebut terakhir, sebagaimana yang ditulis Ash Shabuni, berpendapat bahwa kededukan para Thabi’in sama dengan mufassir lainnya (selain Nabi dan Sahabat). Mereka menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahsa arabdan tidak berdasar pertimbanganatsar (hadits).
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an. Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani[5] yang telah masuk Islam[6] dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal kemunculan Isra’iliyyat.
Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[7]
Karya-karya Kitab Tafsir bil-ma’tsur :
Tafsir Ibn Abbas
Tafsir Ibn ‘Uyainah
Tafsir Ibn Abi Hatim
Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
Tafsir Ibn ‘Atiyyah
Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
Tafsir Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an
Tafsir Ibn Abi Syaibah
Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur
Tafsir as-Syaukani, Fath al-Qadir
Tafsir bir-Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya,Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir[8] setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada masa ini Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayatal-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.[9]
Meskipun telah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan ummat Islam.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak[10] akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebagian ulama menerima tafsir ini dengan beberapa syarat yang cukup ketat diantaranya :
Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya
Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an
Berakidah yang benar
Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan[11].
Dengan syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sedikit mendialogkan pro-kontra seputar penerimaan tafsir bir-ra’yi dikalangan ulama, bahwa kedua pendapat yang bertentangan itu mungkin hanya merupakan kesalah pahaman dalam istilah ra’y. Jelas semua ulama sepakat menolak semua jenis penafsiran yang hanya menggunakan ra’y [pemikiran] saja tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku akan tetapi mereka menerima ijtihad yang didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi serta kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadirnya tafsir bir-ra’yi justru merupakan perkembangan signifikan dalam khazanah tafsir al-Qur’an. Namun tidak mengesampingkan kelemahan yang sedikit telah disinggung diatas bahwa pada masa ini rentan terhadap penyusupan kepentingan dan politik.
Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
Tafsir Abdul Jabbar
Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
[1] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002),hlm. 49.
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), cet. 6, hlm. 482.
[3] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika), hlm. 304.
[4] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. hlm. 34.
[5] Ibid… hlm. 37.
[6] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996), hlm. 71.
[7] Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan BIntang, 1972), hlm. 220.
[8] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488.
[9] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an… hlm. 46.
[10] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 113 .
[11] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir… hlm. 306.
Ref: Kajian dari berbagai situs Islam
No comments:
Post a Comment