Wednesday, July 3, 2013

Harga BBM Naik, Rakyat Jadi Sengsara

Harga BBM Naik, Rakyat Jadi Sengsara
Kenaikan Harga BBM: Atasnamakan rakyat, Menzalimi Rakyat." [Al-Islam edisi 663] “Itu sama saja pemerintah membunuh kami,” ungkap Muhammad Nasir seorang nelayan di Pelabuhan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, menanggapi rencana kenaikan BBM (shnews.co, 19/6). Keluhan itu mewakili keluhan rakyat banyak. Meski jelas akan menzalimi rakyat, Pemerintah tetap menaikkan harga BBM. Akhirnya himpitan ekonomi pun kian mencekik rakyat banyak.

Rakyat Tambah Susah
Pemerintah berharap, dampak naiknya harga BBM bisa diredam dengan BLSM, Raskin, Bantuan Siswa Miskin, Program Keluarga Harapan dan program infrastruktur dasar khususnya di pedesaan.

Program BLSM sudah mulai dicairkan. Celakanya, selama penyaluran BLSM tahap I ini, terungkap banyak kesalahan data; penerimanya sudah meninggal, tidak dikenal atau pindah alamat; banyak warga miskin yang seharusnya dapat BLSM justru terlewat, dan masalah lainnya. Maka alih-alih meredam masalah, penyaluran BLSM justru berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat meski skalanya terbatas. Wajar saja sejumlah kepala desa di Sukabumi menolak menyalurkan BLSM untuk saat ini.

Sudahlah begitu, besaran BLSM pun minim dibandingkan naiknya biaya yang harus ditanggung. Begitu harga BBM naik rata-rata 33,3 % (premium naik 44,4 % dan solar naik 22,3 %), ongkos transportasi pun naik rata-rata 20 – 35 persen. Naiknya ongkos transportasi dibarengi oleh lonjakan harga-harga kebutuhan pokok dan kebutuhan sehari-hari. Bahkan, lonjakan harga-harga ini sudah menghantam rakyat sebelum harga BBM dinaikkan, yakni sejak wacana kenaikan harga BBM bergulir. Begitu harga BBM naik saat ini, harga yang sudah naik itu pun naik lagi. Lonjakan itu makin terasa dan boleh jadi akan berlanjut dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan lebaran, serta berbarengan tahun ajaran baru.

Kenaikan biaya itu jelas tidak bisa diimbangi oleh BLSM. Banyak warga penerima BLSM tahap I yang mengaku bahwa uang Rp 300 ribu yang dialokasikan untuk meringankan dampak selama dua bulan itu nyatanya hanya cukup untuk menambah uang belanja seminggu hingga sepuluh hari. Ada juga yang langsung habis untuk membayar utang. Bagi yang bukan penerima BLSM, atau bukan sasaran program kompensasi, tentu dampak atau beban yang harus dipikul lebih besar lagi.

Semua itu masih ditambah dampak berantai naiknya biaya dan harga, yang akan menyebabkan harga-harga semua barang dan jasa naik. Dampak berantai ini bisa jadi akan mulai terasa tiga bulan lagi atau bisa saja lebih cepat. Pada saat yang sama, justru penyaluran BLSM sudah selesai. Sederet dampak ikutannya pun turut mengintai.

Kondisi itu masih ditambah dengan naiknya tarif listrik. Sesuai Peraturan Menteri ESDM No. 30 Tahun 2012 Tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan PT PLN (Persero), selama tahun ini tarif listrik dinaikkan secara bertahap sebanyak empat kali. Dua kali sudah dilakukan pada 1 Januari dan 1 April 2013, dan akan naik lagi pada 1 Juli dan 1 Oktober nanti.

Karenanya, kebijakan kenaikan harga BBM menjelang bulan puasa dan lebaran ini, yang dikatakan demi rakyat itu, sungguh kebijakan yang zalim, tidak berpihak pada rakyat, dan penuh dengan kebohongan kepada publik.

Pemerintah Tak Mau Repot
Menaikkan harga BBM adalah cara paling mudah bagi pemerintah untuk “menyelamatkan” APBN. Tak peduli bahwa cara termudah itu menyengsarakan rakyat. Padahal masih ada cara lain, semisal meningkatkan efisiensi anggaran di setiap kementrian dan badan atau lembaga negara, mengurangi pemborosan, menutup kebocoran anggaran, menyikat habis mafia minyak, dan menghentikan pengalokasian subsidi bunga obligasi rekap yang mencapai Rp 60 triliun per tahun sampai tahun 2033, dsb.

Selama ini banyak anggaran yang boros. Sekedar cotoh, biaya rapat kabinet pemerintahan SBY sangat mahal. Menurut Deputi Sekretaris Kabinet Djatmiko, biaya untuk setiap rapat kabinet bisa mencapai Rp 20 juta, bahkan ada rapat yang bisa menelan biaya hingga Rp 1 miliar. Sehingga total anggaran yang dihabiskan pemerintahan SBY untuk rapat saja sepanjang tahun 2012 mencapai Rp 20 miliar.

Jika subsidi untuk rakyat dianggap salah sasaran, nyatanya banyak subsidi diberikan kepada para pemilik modal tapi tidak pernah dipermasalahkan. Contoh kecil, dana sebesar Rp 7,355 triliun sudah dikucurkan sejak tahun 2007 untuk penanggulangan lumpur Lapindo. Di APBN-P 2013 (pasal 9) dianggarkan tambahan subsidi sebesar Rp 155 miliar untuk penanggulangan lumpur Lapindo. Bahkan untuk tahun anggaran 2014, Komisi V DPR RI sudah menyetujui anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebesar Rp 845,1 miliar, seperti ajuan dalam pagu Rencana Kerja Pemerintah (RKP) (kompas.com, 20/6). Memang semua itu untuk menolong korban bencana lumpur di Sidoarjo. Semestinya perusahaan dan pemiliknya yang harus menanggungnya. Namun, perusahaan dan pemiliknya lolos begitu saja dari jerat hukum dan tanggung jawab, apalagi sejak Mahkamah Konstitusi memutuskan musibah lumpur itu sebagai bencana alam pada tahun 2012.

Atasnamakan Rakyat, Menzalimi Rakyat
Kebijakan naiknya harga BBM ditetapkan pemerintah setelah APBN-P 2013 disetujui oleh DPR dengan suara terbanyak melalui voting. Maka lengkaplah klaim pemerintah bahwa kenaikan harga BBM itu adalah demi rakyat, sebab disetujui oleh para wakil rakyat. Klaim itu penting sebab dalam doktrin demokrasi aspirasi rakyat adalah yang utama.

Namun doktrin tinggal doktrin. Nyatanya, kenaikan harga BBM itu bertentangan dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang tidak ingin harga BBM dinaikkan. Hal itu terungkap dalam hasil survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terhadap 1200 responden yang dilakukan pada 18 Juni, selepas rapat paripurna pengesahan RAPBN-P 2013 di DPR. Hasil survey itu menunjukkan, 79,21 persen tak setuju kenaikan harga BBM. Sebanyak 19,1 persen tidak tahu dan hanya 1,69 persen yang setuju kenaikan harga BBM (Republika, 24/6).
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, ternyata juga tak disetujui mayoritas pemilih Partai Demokrat, parpol yang paling ngotot menuntut pengurangan subsidi BBM. Mayoritas pemilih partai koalisi lainnya juga tak setuju harga BBM naik. Pemilih Partai Demokrat yang tak setuju sebanyak 77,56 persen; pemilih Partai Golkar 80,81 %; PPP 82,06 %; PAN 66,21 %; PKB 85,65 %; Gerindra 89,33 %; PKS 82,56 %; Hanura 85,88 % dan PDIP 88,69 % (lihat, Kompas, 24/6).

Fakta itu menunjukkan bahwa jargon demokrasi mengusung aspirasi mayoritas rakyat jelas hanya omong kosong. Juga jelas, doktrin kedaulatan rakyat nyatanya hanya kedustaan belaka.

Bahkan kebijakan kenaikan harga BBM ini juga mengabaikan aspirasi para politisi kader partai penguasa dan pendukungnya maupun oposisi. Hal itu sesuai hasil survey LSI kepada politisi kader partai koalisi maupun oposisi pemerintah yang menunjukkan mayoritas tak setuju kenaikan harga BBM. Berdasar hasil survei, yang mengejutkan, 70,56 persen politisi Partai Demokrat tak setuju kenaikan harga BBM. Politisi partai lainnya yang tak setuju harga BBM naik antara lain: politisi PKB 85,65 %, politisi PPP 82,56 %, politisi Partai Golkar 80,81 %, politisi PAN 66,21 %, politisi PKS 82,56 %, politisi PDIP 88.69 %, politisi Hanura 85.88 %, politisi Gerindra 80.33 %.

Ini menunjukkan bahwa, jangankan memperhatikan aspirasi rakyat, kebijakan kenaikan harga BBM itu nyatanya juga bukan aspirasi politisi kader partai yang mengusung dan mendukungnya. Ini adalah gambaran bahwa politisi dalam sistem demokrasi ini sejatinya tidak mewakili aspirasi rakyat, melainkan hanya mengusung dan mengutamakan aspirasi partai dan elit partai dan di belakang itu adalah kepentingan kapitalis.
Sempurnakan Liberalisasi Migas Demi Asing

Amat nyata bahwa keputusan kenaikan harga BBM selain tak sesuai aspirasi para politisi partai pengusungnya, juga jelas tidak demi rakyat. Lantas demi siapa?

Yang jelas kenaikan harga BBM sekarang ini adalah untuk menjalankan skenario Memorandum of Economic dan Financial Policies atau LoI dengan IMF tahun 2000. Juga untuk memenuhi apa yang disyaratkan bagi pemberian utang Bank Dunia seperti tercantum dalam Indonesia Country Assistance Strategy tahun 2001.

Semua itu agar sempurna liberalisasi migas untuk kepentingan bisnis asing. Hal itu ditegaskan oleh Purnomo Yusgiantoro, menteri ESDM kala itu, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).

Wahai Kaum Muslimin,
Sistem demokrasi dan kapitalisme melahirkan kebijakan penguasa dan politisi tidak demi rakyat dan mengabaikan aspirasi rakyat. Kebijakan lebih demi kepentingan elit, pemilik modal, dan kapitalis asing.

Sungguh beda dengan sistem Islam dengan syariahnya dalam bingkai sistem khilafah islamiyah. Negara dan penguasa berkewajiban memelihara kepentingan rakyat dan menjamin kehidupan rakyat tanpa diskriminasi apapun. Seluruh rakyat berhak dapat pelayanan negara. Sementara kekayaan umum seperti migas, akan tetap jadi milik umum. Negara mengelolanya mewakili rakyat dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka.

Karena itu, sistem demokrasi dan kapitalisme harus segera dicampakkan. Sebaliknya sistem Islam dengan syariahnya harus segera diterapkan dalam bingkai sistem khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Hal itu untuk memenuhi seruan Allah dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (TQS al-Anfal [8]: 24).

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar Al Islam:
Sekali lagi, pemerintah gagal mempercepat penyerapan APBN. Hingga Juni ini, baru 32 persen anggaran yang diserap -dua persen lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun lalu. Buruknya perencanaan proyek menyebabkan banyak kementrian tak mampu menggunakan anggaran secara cepat (tempo.co, 24/6).

    Itu pun anggaran yang terserap terutama untuk gaji pegawai negeri dan alokasi dana ke daerah. Untuk belanja modal alias pembangunan amat kecil, baru 14 persen. Belum lagi memperhitungkan kebocorannya.
    Ini bukti buruknya pemerintah dalam merencanakan APBN dan membelanjakannya; sebaliknya lihai untuk mengurangi bahkan menghapus subsidi, menaikkan harga BBM.
    Kelola keuangan negara dengan syariah, niscaya akan mendatangkan berkah.

Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah


Rating: 5

No comments:

Post a Comment