maaf content / artikel islami masih dalam pengkajian ulang... juga referensi dari nara sumber situs-situs islam yang bermanfaat.
Agama Islam, Materi Ceramah, Materi Khutbah, Dakwah Islam, Ilmu Agama Islam, Contoh dakwah islam, Dakwah download, Contoh dakwah singkat, Contoh dakwah, Materi dakwah, Dakwah Nabi Muhammad, Dakwah Islam, Pengertian dakwah
Saturday, December 21, 2013
Sejarah Tafsir Al-Quran Periode Sahabat
maaf content / artikel islami masih dalam pengkajian ulang... juga referensi dari nara sumber situs-situs islam yang bermanfaat.
Sejarah Tafsir Al-Quran Periode Tabi'in
Sejarah Tafsir Al-Quran Pada Periode Tabi'in." Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang oleh generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100 H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin Khulaifat (w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1. Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas. Timbulnya madrasah ini dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam hal qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan dasar aqliy. Murid-murid beliau diantaranya:
Mujahid bin Jubair
Said bin Jubair
Ikrimah Maula ibnu Abbas
Towus Al-Yamany, dan
‘Atho’ bin Abi Robah.
2. Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti
Zaid bin Aslam
Abul ‘Aliyah, dan
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir. Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy. (3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.
3. Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah
Al-Qomah bin Qois
Hasan Al-Basry, dan
Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Meskipun di sana ada guru tafsir dari Sahabat-sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah. Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2) banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Syu’bah bin Hajjaj & lainnya berpendapat : “Pendapat para tabi’in itu bukan hujjah.” Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu, maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah.”
Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam serta cerita-cerita dari para ahli kitab yang bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran mereka ini sedikitpun tidak berasal dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa tafsir yang dinukil dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan mereka dengan cara dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang belum valid.
Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
Al-Qur’an
Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
Tafsir dari para Sahabat
Cerita-cerita dari para ahli kitab
Ra’yu dan ijtihad
Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur, seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada masa Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada perbedaan antara penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.
Ref: Kajian dari berbagai situs Islam... juga yang mengklaim dari situs http://www.zulfanafdhilla.com/
Sejarah Tafsir Al-Quran Periode Tadwin
maaf content / artikel islami masih dalam pengkajian ulang... juga referensi dari nara sumber situs-situs islam yang bermanfaat.
Kajian Memahami Qira'at Al-Quran
Qira'at Al-Quran." Pengertian Qira’at al-Qur’an : Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Menurut Badr Ad-din Muhammad bin ‘abdillah Az-zarkasyi dalam Al-Burhan fi’ulum al-qur’an hal 395, Qiraat adalah:
إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.
“Qira’at adalah perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya."
Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, I’rab, itsbat, fashl, dan washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan."
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Maksud dari al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah qira’at yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Sementara yang dimaksud dengan al-naql yaitu qira’at yang diperoleh melalui riwayat yang menyatak bahwa qira’at itu dibacakan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu selaku pakar qira’at yang bersangkutan,dan atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya.
Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya dalam Al-Tibyan fi’ulum Al-qur’an, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
الوجه : Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Informasi tentang qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenau bacaan ayat-ayat al-qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudanya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam atau sahabat-sahabatnya.
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah Subhanhu Wa Ta'ala kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
المتواتر (Mutawattir) : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
المشهور (Masyhur) : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
الآحد (Ahad) : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
الشاذ (Syadz) : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ .الفاتحة:4
الموضوع (Maudhu') : Qira’at yang tidak ada asalnya.
المدرج (Mudraj) : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
a. Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu:
Ibn Amir
Ibn Katsir
Ashm
Abu Amr
Hamzah
Nafi, dan
al-Kisai
Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah:
(Al-Baqarah: 83) وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah:
(Al-An'am: 132)وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ
Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
b. Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
Qira’at Aisyah dan Hafsah
Qira’at Ibn Mas’ud
Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
Qira’at Ibn Abbas
Qira’at Jabir
Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
Memperbesar pahala.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah Subhanhu Wa Ta'ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
Sumber:
http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qiraatul-quran/
http://scanzovarious09.blogspot.com/2013/06/pengertian-qiraat.html
ABIDIN S., Zainal, Drs., Seluk Beluk al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1992
HASANUDDIN AF, Anatomi Qur’an; Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
ISMAIL, Sya’ban Muhammad, Dr., Mengenal Qira’at al-Qur’an, Semarang: Bina Utama, 1993
MUDZAKKIR AS, Drs., Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta: Lintera Antar Nusa, 1994
Kajian Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 172-173
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 172-173
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ڪُلُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا رَزَقۡنَـٰكُمۡ
وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن ڪُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara
rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada
kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya saja kalian menyembah. (Al-Baqarah: 172)
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ
وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),
sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampunlagi
Maha Penyayang.”(Al-Baqarah: 173)
Makna Mufradat (Kosakata Sulit)
الدَّمَ : (darah) yang dimaksud ialah darah yang mengalir[2]
غَيْرَ بَاغٍ :Tidak menghalalkannya (menurut Said Ibnu Jubair), sedang menurut Assadi غَيْرَ بَاغٍ bermakna bukan karena memperturutkan selera ingin memakannya.[3]
وَلا عَادٍ : Tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang halal. Menurut Ibnu Abbas وَلا عَادٍ bermakna tidak boleh sekenyangnya, sedangkan Assadi berpendapat bahwa makna وَلا عَادٍ sama dengan al-‘udwan yang bermakna melampaui batas.[4]
Asbabun Nuzul
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah? Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang mereka yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji dan umroh, maupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan.Orang-orang Yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap, orang-orang Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[5]
Munasabah
Seperti penegasan pada ayat-ayat alquran bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, Dialah pencipta alam semesta ini, juga telah dijelaskan siapa saja yang mengambil Tuhan selain Allah maka dia akan mendapat balasannya yang setimpal. Dan pada ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki kepada manusia dan makhluk yang lain, sekaligus Allah menerangkan mana makanan yang halal dan mana yang haram.
Allah juga membolehkan manusia seluruhnya memakan makanan yang telah diberikan Allah di bumi ini, yang halal dan yang baik saja, serta meninggalkan yang haram, sebab yang haram itu sudah jelas. Juga agar manusia tidak mengikuti langkah-langkah setan, dalam hal makanan, sebab setan itu adalah musuh mereka. Oleh sebab itu, setan tidak pernah menyuruh kepada kebaikan. Bahkan dia hanya menyuruh kepada kejelekan. Dan setan itu juga menyuruh manusia agar menghalalkan atau mengharamkan sesuatu sesuai dengan kehendak manusia tanpa perintah dari Allah. Bahkan menyuruh manusia agar mengatakan bahwa itu adalah syariat Allah, sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan musyrikin Quraisy.
Dalam al-Baqarah 168-169 dikatakan makanan yang diperbolehkan atau yang halal dari apa-apa yang terdapat di bumi kecuali yang sedikit yang dilarang karena berkaitan dengan hal-hal yang membahayakan dan telah ditegaskan dalam nash syara’ adalah terkait dengan akidah, sekaligus bersesuaian dengan fitrah alam dan fitrah manusia. Allah menciptakan apa-apa yang ada di bumi bagi manusia. Oleh sebab itu, Allah menghalalkan apa yang ada di bumi, tanpa ada pembatasan tentang yang halal ini, kecuali masalah khusus yang berbahaya. Dan apabila yang di bumi ini tidak dihalalkan maka hal ini melampaui daerah keseimbangan dan tujuan diciptakannya bumi untuk manusia.
Pada ayat ini selanjutnya ditujukan kepada kaum muslimin saja supaya menikmati rezeki Allah yang bermanfaat dan diarahkannya untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Serta dijelaskan kepada mereka apa yang diharamkan atas mereka, yaitu apa-apa yang tidak baik dan tidak dihalalkan bagi mereka. Kemudian diancamnya orang-orang Yahudi yang menyanggah mereka mengenai makan yang baik-baik dan yang haram ini, yang semuanya sudah termaktub dalam kitab mereka.
Pelarangan tentang akan sesuatu yang tidak baik ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan mencari rezeki, sebab Allah sendirilah yang melimpahkan rezeki kepada mereka. Allah menginginkan mereka agar sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang bersal dari Allah dan agar mereka betul-betul beribadah semata-mata kepada Allah tanpa ada penyekutuan. Maka Allah mewahyukan kepada mereka bahwa syukur itu adalah termanifestasikan dengan ibadah dan taat serta ridha dengan apa-apa yang dari Allah (al-baqarah 172).
Kemudian Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari makanan dengan suatu bentuk nash yang di batasi dengan penggunaan a’atul qashri perangkat pembatasan yakni “innamaa”, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut suatu (nama) selain Allah.[6]
Pengertian Makanan
Kata makanan berasal dari lafazh الأطعمة . Kata الأطعمة adalah bentuk jamak dari kata الطعام.[7] Menurut bahasa adalah perkara yang dapat dimakan dan segala perkara yang dijadikan untuk kekuatan.[8]
Makanan dalam bahasa al-Qur’an menggunakan kata اكل dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktifitas makan. Tetapi kata tersebut tidak digunakan semata-mata dalam arti “memasukkan sesuatu ke dalam tenggorokan”, tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha.[9] Misalnya dalam surat an-Nisa’ ayat 4:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Di dalam ayat tersebut kata makan digunakan untuk maskawin dan diketahui oleh semua pihak bahwa maskawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan. Allah Subhanhu Wa Ta'ala berfirman dalam Surat al-An’am: 121
وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud mantan Pemimpin Tertinggi Al-Azhar sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apapun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata makan di sini dipahami dalam arti luas yakni segala bentuk aktivitas. Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui makanan.[10]
MACAM-MACAM MAKANAN
1. Makanan Halal
Kata halal berasal dari akar kata halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi, karena itu kata halal juga berarti boleh. Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunnah (aturan untuk dilakukan), makruh (anjuran untuk ditinggalkan), maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu hal, tetapi tidak dianjurkan atau dengan kata lain hukumnya makruh.[11]
Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama, namun tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Makanan yang baik ialah makanan yang dibenarkan untuk dimakan oleh ilmu kesehatan. Makanan yang halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk memakannya.
Makanan yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan sangat banyak dan pada dasarnya dibolehkan memakannya.
Makanan yang baik-baik tidaklah diharamkan memakannya kecuali bilamana Allah dan RasulNya mengharamkan. Tiap orang mukmin hendaknya mentaati ketentuan-ketentuan Allah jika benar-benar menyembahNya, dia harus mentaati perintah dan menjauhi laranganNya.
Adapun pendapat para fuqaha’ tentang binatang yang boleh dimakan, mereka berpendapat, bahwa binatang tersebut dihubungkan dengan sembelihan syara’ ada 3 macam: binatang air, binatang darat serta binatang amfibi.
a) Adapun binatang air: binatang yang tidak bisa hidup di darat kecuali hanya di air. Dalam hal ini ada 2 pendapat
Pendapat Hanafiyah: seluruh binatang yang ada di air itu haram dimakan kecuali ikan. Ikan itu halal tanpa disembelih kecuali jika mengapung di air.
Pendapat jumhur selain Hanafiyah: binatang air seperti ikan, kepiting, ular air, anjing laut halal tanpa disembelih. Jika binatang tersebut mati dengan sendirinya atau dlohir seperti terhantam karang, mati akibat dibunuh, atau mati karena surut airnya, baik bergerak atau tidak ambillah dan sembelihlah. Namun jika ikan tersebut mati karena sakit atau diracun maka ikan tersebut haram karena membahayak.
b) Binatang darat: binatang yang tidak bisa hidup kecuali di daratan. Binatang tersebut ada 3 macam:
Binatang yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, lalat, jankrik, tawon, semut, kalajengking serta serangga yang berbisa tidak halal kecuali hanya belalang, karena selain belalang binatang tersebut sangat menjijikkan.
Binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti ular yang tidak berbisa, seluruh binatang-binatang kecil, hama tanah, baik berupa tikus, landak, tupai, ataupun biawak. Binatang tersebut diharamkan karena termasuk binatang yang kotor dan beracun.
Binatang yang mempunyai darah mengalir, baik jinak maupun liar. Adapun binatang jinak yang dihalalkan seperti unta, sapi, dan kambing.
c) Binatang amfibi: binatang yang bisa hidup di air maupun di laut secara bersamaan seperti katak, kura-kura, kepiting, ular, air, buaya, anjing laut. Dalam hal ini ada 3 pendapat:
Pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa binatang tersebut hukumnya haram dimakan karena tergolong binatang kotor apalagi ular.
Pendapat Malikiyah memperbolehkan makan katak dan sejenisnya, karena tidak ada nash dalam alquran yang mengharamkannya.
Pendapat Hanabilah dalam hal ini merinci lebih lanjut bahwa tiap-tiap binatang yang hidup di darat dan di laut tidak halal, kecuali bila disembelih, seperti anjing laut, ular laut dan sejenisnya, kecuali kepiting karena tidak mempunyai darah sehingga boleh dimakan tanpa disembelih.
2. Makanan Haram
Sebagai lawan dari halal adalah haram, yaitu sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Makanan yang haram itu berakibat terhalangnya doa kita sekaligus dapat menggelapkan hati kita untuk cenderung kepada hal-hal yang baik, bahkan dapat mencampakkan diri ke dalam neraka.
Setelah Allah menjelaskan makanan-makanan yang baik, kemudian Allah menjelaskan beberapa makanan yang diharamkan.
Adapun binatang yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin dapat digolongkan menjadi 6 bagian:
Bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih dengan tidak disebut nama Allah.
Semua binatang yang dapat hidup lama di dua alam, seperti buaya, katak, penyu, dan sebagainya.
Binatang yang bertaring kuat, seperti harimau, anjing, srigala, kucing, kera dan sebagainya.
Binatang yang mempunyai kuku tajam, seperti burung elang, burung garuda, burung kakak tua, nuri, rajawali dan sebagainya.
Binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, misalnya ular, anjing galak, kalajengking, burung elang, dan sebagainya.
Binatang yang dilarang dibunuh, seperti semut, tawon dan burung hud-hud.[12]
Penafsiran
Syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugerah yang diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya sesuai tujuan penganugerahannya, atau menempatkannya pada tempat semestinya.[13]
Di dalam ayat ini, khitab Allah ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara khusus. Mereka ini akan lebih sensitif pemahamannya, disamping bias menerima hidayah. Karenanya, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar memakan barang-barang yang halal dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang dilimpahkan kepada mereka. Kemudian Allah menjelaskan makanan yang diharamkan. Sebagaimana pemberitahuan, bahwa makanan yang diharamkan itu berjumlah sedikit, dan kebanyakan makanan yang merupakan ciptaan Allah itu dihalalkan.[14]
Allah telah menyeru orang-orang yang beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga agar mengambil apa yang halal dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah mengingatkan kepada mereka bahwa Dia sematalah pemberi rezeki dan membolehkan kepada mereka memanfaatkan makanan-makanan yang baik dari apa yang telah Dia rezekikan. Maka, Allah memberitahu mereka bahwa Dia tidak melarang untuk mengambil yang baik dari rezeki itu dan Allah melarang hambaNya agar meninggalkan sesuatu yang tidak baik dari rezeki itu.
Pelarangan ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan dalam mencari rezeki, tetapi agar mereka sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang berasal dari Allah dan agar mereka bias betul-betul beribadah semata-mata karena Allah tanpa ada penyekutuan.
Kemudian, Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari makanan dengan suatu bentuk nash yang dibatasi dengan penggunaan adatul qashri (perangkat pembatasan) yakni “innamaa”
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.[15]
a) Bangkai ialah nama binatang yang mati, bukan karena disembelih secara syara’. Terkadang bangkai itu binatang yang mati dengan sendirinya bukan sebab manusia. Meskipun juga terkadang karena ulah manusia tetapi tidak melalui penyembelihan yang disyari’atkan.
Yang dimaksud haramnya bangkai hanyalah soal memakannya. Adapun memanfaatkan kulit, tanduk, tulang atau rambutnya tidaklah terlarang. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ؟ فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ: إِنَّمَا حَرَّمَ أَكْلَهَا
“mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan memanfaatkan? Para sahabat menjawab, itu kan bangkai. Maka jawab Rasulullah, yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”
Hadis tersebut menjelaskan bahwa menyamak kulit itu sama dengan menyembelih untuk menjadikan kulit itu menjadi halal.[16]
b) Darah yang mengalir sangat berbahaya, sebab darah itu kotor atau mengandung penyakit, sehingga pengharaman darah itu didasarkan pada kotornya darah atau mengandung penyakit.
c) Daging babi yaitu seluruh yang dapat dimakan daripada tubuh babi, baik daging, lemak, ataupun tulangnya yang dicincang bersama dagingnya.[17] Belakangan ini ada orang-orang yang memperdebatkan keharamannya. Mereka berpendapat cacing pita yang amat berbahaya, yang menurut penelitian memang terdapat di dalam daging babi kini oleh kemajuan ilmiah telah dapat dihilangkan. Oleh sebab itu, babi tidak lagi haram. Demikianlah pendapat mereka.
Bukan merupakan suatu hal yang mustahil kalau masih terkandung bahaya-bahaya lain yang belum ditemukan di dalam babi. Maka, sudah sepatutnya kita memisahkan diri dari pendapat yang sesat dan kita beralih menuju kepada pendapat yang benar. Serta, kita mengharamkan apa yang diharamkan dan menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
d) Adapun keharaman suatu yang disembelih sambil menyebutkan nama selain Allah, tidaklah ini diharamkan karena zatnya tetapi disebabkan oleh ketidaktulusan jiwa dan tidak adanya kebulatan tujuan, maka zat tersebut tergolong kepada yang najis dan menyekutukan Allah.[18]
اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ) ( barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, maka memakan hal-hal yang telah Allah haramkan – karena memang sudah tidak ada pilihan lain, dan jika tidak memakan barang tersebut akan mendapatkan kesukaran, bahkan kematian – maka hal itu dibolehkan. Tetapi dengan syarat, tidak menginginkan dan tidak melebihi kebutuhan yang selayaknya.[19] sebenarnya mereka tidak ingin makan makanan yang diharamkan tetapi hanya sekedar untuk menyelamatkan jiwanya. Adapun memakan yang lebih dari itu hukumnya tetap haram. Ini kehendak Allah dan Allah tidak memberatkan seorang hamba lebih dari pada kesanggupannya.[20]
Abdullah bin Amr r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang buah yang tergantung di pohon. Jawab Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam:” siapa yang makan daripadanya hanya karena lapar tanpa tujuan menyimpannya, maka tiada dosa dan tuntutan baginya.”
Masruq berpendapat, bahwa orang yang terpaksa kemudian ia bertahan tidak makan dan tidak minum, lalu ia mati, maka ia bisa masuk neraka. Menurut pendapat ini berarti makan bangkai bagi orang yang terpaksa hukumnya wajib dan bukan mubah.[21]
DAFTAR PUSTAKA
A.W. Munawwir, Kamus al-munawwir (Yogyakarta: PT. Pustaka Progresif, 2002)
Bahreisy, Salim Bahreisy dan Said. 2002. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Hadi, Abu Sari’ Muhammad Abu. 1997. Hukum Makanan dan Sembelihan dalam PandanganIslam. Jakarta Pusat: Tragenda karya.
Hamka. 2004. Tafsir al-Azhar, juz 2. Jakarta: Pustaka Panjimas.
ad-Dimasqy, Ibnu Kasir. 2004. Tafsir Ibnu Kasir Juz II. Sinar Baru Algesindo.
as-Suyuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin. 2011. Tafsir Jalalain. Bandung: sinar Bara Algesindo.
Kementrian Agama RI. 2011. Al-Qur’an & Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya.
Mahmudiyah, Lindayati. 2006. Makanan Menurut Al-Qur’an. Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Mustafa, Ahmad. 1993. Al Maragi. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Dzilalil-Qur’an, Juz 1. Jakarta: Gema Insani.
Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an. Bandung: PT Mizan.
…………………….. 2002. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran vol.I. Jakarta: Lentera Hati.
[1] Alquran dan terjemahnya: 2, 172-173.
[2] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain (Bandung: sinar Bara Algesindo), 87.
[3] Ibnu Kasir ad-Dimasqy, Tafsir Ibnu Katsir Juz II (Sinar Baru Algesindo, 2004), 103
[4] Ibid., 103
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran vol.I, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), 386.
[6] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Dzilalil-Qur’an, Juz 1 (Jakarta: Gema Insani, 2000), 184-186.
[7] A.W. Munawwir, Kamus al-munawwir (Yogyakarta: PT. Pustaka Progresif, 2002), 853.
[8] Abu Sari’ Muhammad Abu Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam (Jakarta Pusat: Tragenda Karya, 1997), 18.
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (bandung: PT Mizan, 1996), 138.
[10] Lindayati Mahmudiyah, Makanan Menurut Al-Qur’an (Skripsi: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006), 18-20.
[11] Shihab, Wawasan al-Qur’an…, 148.
[12] Mahmudiyah, Makanan Menurut…, 48-60.
[13] Shihab, Tafsir al-Mishbah,… 359.
[14] Ahmad Mustafa, Al Maragi (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1993), 80.
[15] Alquran dan Terjemahnya: 2, 173.
[16] Mahmudiyah, Makanan Menurut…, 54-56.
[17] Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), 78.
[18] Quthb, Tafsir Fi Dzilalil,… 186.
[19] Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,… 83.
[20] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an & Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya. 2011), 252.
[21] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2002), 323.
Kajian Tafsir bil Ma'tsur & Tafsir bil Ra'yi
Memahami Bentuk Tafsir bil Ma'tsur & Tafsir bil Ra'yi." Untuk bisa berbicara dalam konteks masa dan ruang yang berbeda, maka Al-Qur’an harus difahami dan ditafsirkan oleh para pembacanya. Al-Qur’an bersifat tetap, jika dilihat dari bunyi teks dan proses pewahyuannya. Al-Qur’an telah berhenti, karena pewahyuan sudah berakhir dengan berakhirnya masa kenabian Muhammad. Sementara di sisi lain, masalah-masalah yang timbul dalam lingkungan umat Islam, senantiasa berkembang seiring dinamika zaman. Maka untuk mempertemukan Al-Qur’an dan perkembangan zaman, muncullah disiplin ilmu yang disebut dengan tafsir. Para ulama lalu melakukan upaya-upaya untuk menjadikan Al-Qur’an mampu berbicara pada setiap zaman yang berbeda, melalui aktivitas penjelasan makna-makna Al-Qur’an, dan usaha-usaha itu kemudian dikenal secara luas sebagai tafsir.
Dalam peta keilmuan Islam, Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna Al-Qur’an, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidaklah mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran Al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman. Metode-metode itu berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran, peradaban manusia dan juga masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat. Di samping itu, perkembangan itu juga terjadi karena kebutuhan manusia akan metode baru, sebagai akibat perkembangan zaman, tidak terelakkan.
Melihat sejarah awal perkembangan tafsir, muncul dua jenis penafsiran al-Qur’an secara estafet, yaitu tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah dan tafsir bi al-ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Untuk meminimalisir perdebatan tentang bentuk kedua jenis tafsir ini, penulis lebih memahami keduanya tidak sebagai sebagai sebuah metode ataupun corak tafsir melainkan jenis-jenis penafsiran yang muncul dalam sejarah awal usaha pemahaman terhadap al-Qur’an.[1] Tulisan ini akan memberikan penjelasan singkat tentang tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi.
Tafsir bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang lain, Sunnah yang tertuang dalam hadits-hadits Nabi, pendapat Shahabat dan Tabi’in.[2] Namun terdapat perbedaan dalam pengkategorian pendapat tabi’in sebagai tafsir bil-ma’tsur karena ada indikasi bahwa pendapat tabi’in banyak telah terkooptasi oleh akal[3] berbeda dengan pendapat shahabat yang dimungkinkan untuk mengetahui penafsiran suatu ayat berdasarkan petunjuk Nabi. Selain itu shahabat juga menyertai Nabi pada saat turunnya sebagian ayat sehingga mereka lebih mengetahui asbab an-Nuzul sebuah ayat.
Tafsir ini merupakan salah satu jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam sejarah khazanah intelaktual Islam. Sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat dalam produk-produk penafsirannya. Sebagian besar perbedaan yang ditemukan adalah pada aspek pemahaman redaksional terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Ini disebabkan relativitas kualitas intelektual shahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an tersebut[4]sehingga wajar ditemukan perbedaan. Sebagai sebuah contoh dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an, seorang mufassir pada masa itu mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir yang lain dan masing-masing redaksi itu menunjuk makna yang juga berbeda namun maksud semuanya adalah sama. Seperti penafsiran terhadap kata shirat al-mustaqim, sebagian menafsirkannya sebagai al-Qur’an dan sebagian yang lain menafsirkannya dengan Islam. Kedua tafsiran ini berbeda namun senada karena Islam didasari oleh al-Qur’an hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak digunakan oleh yang lain.
Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang terdapat dalam Al-Qur’an atau as-Sunnah atau pendapat para sahabat, dal rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan as-Sunnah an-Nabawiyah, atau enafsirkan al-Quran dengan as-Sunnah an-Nabawiyyah atau juga menafsirkan al-Qur’an dari kutipan pendapat sahabat.[3] Adapun macam-macam tafsir bil ma’tsur sbb:
Tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an
Sebagian dari ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat lain tidak ada perbeaaan, Para Ulama sepakat bahwa ada ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan terhadap ayat lainnya. Sebagian ayat menjadi lebih jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat-ayat tertentu. Contoh Q.S al-Maidah(5):1 dengan QS al-Maidah ayat 3.
Tafsir Al Qur’an dengan As-Sunnah an-Nabawiyah
Yang dimaksud disini adalah penafsiran al-Qur’an dengan hadist Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, penafsiran al-Qur’an dengan sunnah ini masih sangat banyak ditemukan dan sangat susah untuk menulisnya satu persatu dan dapat dilacak secara runtut melalui kita-kitab hadist yang juklahnya tidak sedikit dan hamper di semua kitab hadist memuat bab tafsir.
Tafsir al-Qur’an dengan pendapat sahabat
Ada beberapa bab atau dalam ungkapa ulama lama kitab-kitab dalam kitab-kitab hadits yang berisi tentang tafsir al-Qur’an. Hal ini seperti terdapat dalam dua kitab shahih bukhari dan muslim, juga dalam sunan Abu Daud, Tamidzi, Ibnu Majah, kitab Tafsiran an-Nasai. Tafsi ini juga terdapat dalam musnad-musnad sesuai riwayat masing-masing sahabat.
Tafsir Tabi’in
Imam Az-Zarqani dalam Manahilul ‘Irfan menulis, bahwa terdapat perbedaan dikalangan Ulama mengenai tafsir Tabi’in. Sebagian memandang ma’tsur karena penafsiran sebagian besar pendapat mereka diterima dari para sahabat Nabi, sedangkan sebagian lain menilainya sebagai tafsir bi ra’yi. Kelompok yang disebut terakhir, sebagaimana yang ditulis Ash Shabuni, berpendapat bahwa kededukan para Thabi’in sama dengan mufassir lainnya (selain Nabi dan Sahabat). Mereka menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah bahsa arabdan tidak berdasar pertimbanganatsar (hadits).
Secara garis besar, penafsiran pada masa ini kukuh beracuan pada aspek riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an karena dianggap sebagai jalan pengetahuan yang benar dan paling aman untuk tetap terjaga dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami al-Qur’an. Namun bukan berarti tidak terjadi ijtihad karena hal ini dapat dilihat dari sumber-sumber kajian tafsir yang digunakan selain al-Qur’an dan Sunnah juga menggunakan Ijtihad shahabat dalam beberapa hal yang mutlak memerlukan ijtihad. Dalam bahasa Quraish Shihab disebut sebagai keterpaksaan melakukan ijtihad karena Nabi telah wafat. Bahkan ditemukan juga riwayat Ahl Kitab Yahudi dan Nashrani[5] yang telah masuk Islam[6] dan hal inilah yang ditengarai sebagai awal kemunculan Isra’iliyyat.
Kelemahan Tafsir bil-ma’tsur
Banyak ditemukan riwayat-riwayat yang disisipkan oleh orang-orang yahudi dan persi dengan tujuan merusak islam melalui informasi yang tidak dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Banyak ditemukan usaha-usaha penyusupan kepentingan yang dilakukan oleh aliran-aliran yang dianggap menyimpang seperti kaum Syi’ah.
Tercampur aduknya riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat hadits yang sanadnya lemah
Banyak ditemukan riwayat Isra’iliyyat yang mengandung dongeng-dongeng yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[7]
Karya-karya Kitab Tafsir bil-ma’tsur :
Tafsir Ibn Abbas
Tafsir Ibn ‘Uyainah
Tafsir Ibn Abi Hatim
Tafsir Abu Syaikh bin Hibban
Tafsir Ibn ‘Atiyyah
Tafsir Abu Laits as-Samarqandi
Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an
Tafsir Ibn Jarir at-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Qur’an
Tafsir Ibn Abi Syaibah
Tafsir al-Baghawi, Ma’alimu at-Tanzil
Tafsir Abil Fida’ al-Hafidz Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim
Tafsir as-Sa’labi, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an
Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Duru al-Mansur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur
Tafsir as-Syaukani, Fath al-Qadir
Tafsir bir-Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya,Tafsir bir-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufassir[8] setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab. Berijtihad tanpa memperhatikan penjelasan Nabi sebagai mubayyin maupun penjelasan shahabat-shahabatnya. Sekilas hal ini jelas akan berimplikasi negatif pada penyimpulan istinbat terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan karena terkesan sembrono sehingga sebagian ulama menolak tafsir ini bahkan diantaranya ada yang mengharamkan.
Tafsir bir-ra’yi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir pertumbuhan tafsir bil-ma’tsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada masa ini Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-ayatal-Qur’an dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka anut.[9]
Meskipun telah terdapat upaya sebagian Muslim yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan ijtihad, khususnya pada zaman shahabat dan tabi’in sebagai tonggak munculnya ijtihad namun tidak menutup kemungkinan bahwa sejak zaman Nabi, benih-benih tafsir bir-ra’yi telah tumbuh dikalangan ummat Islam.
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa sebenarnya tafsir bir-ra’yi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak[10] akan tetapi lebih selektif terhadap riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-ra’yi bukan berarti menafsirkan ayat dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasul menyangkut perjuangan, perlawanan, pertikaian, hijrah, dan peperangan yang beliau lakukan selain itu juga menyangkut berbagai fitnah yang pernah terjadi dan hal-hal yang terjadi saat itu, yang mengharuskan adanya hukum-hukum dan diturunkannya ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, tafsir bir-ra’yi adalah tafsir dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai peristiwa.
Sebagian ulama menerima tafsir ini dengan beberapa syarat yang cukup ketat diantaranya :
Menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya
Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an
Berakidah yang benar
Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang ditafsirkan[11].
Dengan syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada penyimpangan dalam menafsirkan al-Qur’an.
Sedikit mendialogkan pro-kontra seputar penerimaan tafsir bir-ra’yi dikalangan ulama, bahwa kedua pendapat yang bertentangan itu mungkin hanya merupakan kesalah pahaman dalam istilah ra’y. Jelas semua ulama sepakat menolak semua jenis penafsiran yang hanya menggunakan ra’y [pemikiran] saja tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah yang berlaku akan tetapi mereka menerima ijtihad yang didasari oleh al-Qur’an, Sunnah Nabi serta kaidah-kaidah yang berlaku. Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadirnya tafsir bir-ra’yi justru merupakan perkembangan signifikan dalam khazanah tafsir al-Qur’an. Namun tidak mengesampingkan kelemahan yang sedikit telah disinggung diatas bahwa pada masa ini rentan terhadap penyusupan kepentingan dan politik.
Karya-karya Kitab Tafsir bir-ra’yi :
Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
Tafsir Abdul Jabbar
Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
[1] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002),hlm. 49.
[2] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), cet. 6, hlm. 482.
[3] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika), hlm. 304.
[4] Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I. hlm. 34.
[5] Ibid… hlm. 37.
[6] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Mizan : Bandung, 1996), hlm. 71.
[7] Hasbi ash Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Bulan BIntang, 1972), hlm. 220.
[8] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an… hlm. 488.
[9] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an… hlm. 46.
[10] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 113 .
[11] Supiana dkk, Ulumul Qur’an dan pengenalan metodologi Tafsir… hlm. 306.
Ref: Kajian dari berbagai situs Islam
Cara Memahami Metode-Metode Penafsiran
Memahami Metode-Metode Penafsiran." Yang dimaksud dengan metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat A;-Qur’an sesuai kemampuan manusia.
Metode tafsir yang dimaksud di sini adalah suatu perangkat dan tata kerja yang digunakan dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat kerja ini, secara teoritik menyangkut dua aspek penting yaitu :
Pertama, aspek teks dengan problem semiotik dan semantiknya.
Kedua, aspek konteks di dalam teks yang mempresentasikan ruang-ruang sosial dan budaya yang beragam di mana teks itu muncul.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang, maka akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Al-Qur’an ini dilakukan dalam empat cara (metode), sebagaimana pandangan Al-Farmawi, yaitu : ijmaliy (global), tahliliy (analistis), muqaran (perbandingan), dan mawdhu’iy (tematik). Untuk lebih jelasnya di bawah ini diuraikan keempat metode tafsir tersebut secara rinci, yaitu :
Metode Ijmali (Global)
Yang dimaksud dengan metode al-Tafsir al-Ijmali (global) ialah suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya.
Kitab tafsir yang tergolong dalam metode ijmali (global) antara lain :
Kitab Tafsir Al-Qur’an al-Karimkarangan Muhammad Farid Wajdi
al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyat, dan
Tafsir al-Jalalain, serta
Taj al-Tafasir karangan Muhammad ‘Utsman al-Mirghani.
Ciri-ciri Metode Ijmali
Dalam metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode alalitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci daripada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.
Metode Tahliliy (Analisis)
Yang dimaksud dengan Metode Tahliliy (Analisis) ialah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Kalau kita lihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahliliy yang jumlah sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh bentuk tafsir, yaitu :
Al-Tafsir bi al-Ma’tsur
Al-Tafsir bi al-Ra’yi
Al-Tafsir al-Fiqhi, Al-Tafsir al-Shufi, At-Tafsir al-Ilmi, dan
Al-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Sebagai contoh penafsiran metode tahliliy yang menggunakan bentuk Al-Tafsir bi al-Ma’tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :
ﺍﻟﺬﻳﻦﻳﺆﻣﻨﻮﻥﺑﺎﺍﻟﻐﻴﺐﻭﻳﻘﻴﻤﻮﻥﺍﻟﺼﻠﻮﺓﻭﻣﻤﺎﺭﺯﻗﻨﺎﻫﻢﻳﻨﻔﻘﻮﻥﻭﺍﻟﺬﻳﻦﻳﺆﻣﻨﻮﻥﺑﻤﺎﺃﻧﺰﻝ
ﺇﻟﻴﻚﻭﻣﺎﺃﻧﺰﻝﻣﻦﻗﺒﻠﻚﻭﺑﺎﻷﺧﺮﺓﻫﻢﻳﻮﻗﻨﻮﻥﺃﻭﻟﺌﻚﻋﻠﻰﻫﺪﯼﻣﻦﺭﺑﻬﻢﻭﺃﻭﻟﺌﻚ
ﻫﻢﺍﻟﻤﻔﻠﺤﻮﻥ
“Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akherat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung.”
Ciri-ciri Metode Tahlili
Pola penafsiran yang diterapkan para penafsir yang menggunakan metode tahlili terlihat jelas bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehenshif dan menyeluruh, baik yang berbentuk al-ma’tsur, maupun al-ra’y, sebagaimana. Dalam penafsiran tersebut, Al-Qur’an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan asbab al-nuzuldari ayat-ayat yang ditafsirkan.
Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’y (pemikiran). Diantara kitab tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur (riwayat) adalah :
Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an al-Karim, karangan Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan terkenal dengan Tafsir al-Thabari.
Ma’alim al-Tanzil, karangan al-Baghawi (w. 516 H)
Tafsir al-Qur’an al-Azhim, karangan Ibn Katsir; dan
Al- Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karangan al-Suyuthi (w. 911 H)
Adapun tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y banyak sekali, antara lain :
Tafsir al-Khazin, karangan al-Khazin (w. 741 H)
Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, karangan al-Baydhawi (w. 691 H)
Al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H)
Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an, karangan al-Syirazi (w. 606 H)
Al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, karangan al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)
Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, karangan Thanthawi Jauhari;
Tafsir al-Manar, karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M); dan lain-lain
Metode Muqarin (Komparatif)
Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :
Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;
Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu :
Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai berikut :
(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk”
(QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah”
(QS : al-An’am : 71)
(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)
(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“…yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“…yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)
(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)
(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)
(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah …” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah …” (QS. Al-A’raf : 161)
(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)
(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah :
Menginventa-risasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda
Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya,
Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan
Melakukan perbandingan.
Membandingkan ayat dengan Hadits;
Mufasir membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terkesan bertentangan. Dan mufasir berusaha untuk menemukan kompromi antara keduanya. Contoh perbedaan antara ayat al-Qur’an surat al-Nahl/16 : 32 dengan hadits riwayat Tirmidzi dibawah ini :
ﺍﺩﺧﻠﻮﺍﺍﻟﺠﻨﺔﺑﻤﺎﻛﻨﺘﻢﺗﻌﻤﻠﻮﻥ
“Masuklah kamu ke dalam surga disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Al-Nahl : 32)
ﻟﻦﻳﺪﺧﻞﺃﺣﺪﻛﻢﺍﻟﺠﻨﺔﻳﻌﻤﻠﻪ﴿ﺭﻭﺍﻩﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Tidak akan masuk seorang pun diantara kamu ke dalam surga disebabkan perbuatannya” (HR. Tirmidzi)
Antara ayat al-Qur’an dan hadits tersebut di atas terkesan ada pertentangan. Untuk menghilangkan pertentangan itu, al-Zarkasyi mengajukan dua cara :
Pertama, dengan menganut pengertian harfiah hadits, yaitu bahwa orang-orang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, tetapi karena ampunan dan rahmat Tuhan. Akan tetapi, ayat di atas tidak disalahkan, karena menurutnya, amal perbuatan manusia menentukan peringkat surga yang akan dimasukinya. Dengan kata lain, posisi seseorang di dalam surga ditentukan amal perbuatannya. Pengertian ini sejalan dengan hadits lain, yaitu :
ﺇﻥﺃﻫﻞﺍﻟﺠﻨﺔﺇﺫﺍﺩﺧﻠﻮﻫﺎﻧﺰﻟﻮﺍﻓﻴﻬﺎﺑﻔﻀﻞﻋﻤﻠﻬﻢ﴿ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﯼ﴾
“Sesungguhnya ahli surga itu, apabila memasukinya, mereka mendapat posisi di dalamnya berdasarkan keutamaan perbuatannya”. (HR. Tirmidzi)
Kedua, dengan menyatakan bahwa huruf ba’ pada ayat di atas berbeda konotasinya dengan yang ada pada hadits tersebut. Pada ayat berarti imbalan, sedangkan pada hadits berarti sebab.
Membandingkan pendapat para mufasir.
Mufasir membandingkan penafsiran ulama tafsir dari berbagai ulama dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqul (al-tafsir al-ma’tsur) maupun yang bersifat ra’yu(al-tafsir bi al-ra’yi).
Manfaat yang dapat diambil dari metode tafsir ini adalah : 1) membuktikan ketelitian al-Qur’an; 2) membuktikan bahwa tidak ada ayat-ayat al-Qur’an yang kontradiktif; 3) memperjelas makna ayat; dan 4) tidak menggugurkan suatu hadits yang berkualitas sahih.
Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
Ciri-ciri Metode Muqarin
Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.
Metode Mawdhu’iy (Tematik)
Yang dimaksud dengan metode mawdhu’iy ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikahi secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Ciri-ciri Metode Mawdhu’iy
Yang menjadi ciri utama metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan; sehingga tidak salah bila di katakan bahwa metode ini juga disebut metode “topikal”. Jadi mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada si tengah masyarakat atau berasal dari Al-Qur’an itu sendiri, ataupun dari yang lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspek, sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya penafsiran yang diberikan tak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan belaka (al-Ra’y al-Mahdh).
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak danmuqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.
Sumber: Kajian dari berbagai situs Islam
Subscribe to:
Posts (Atom)