Sunday, January 26, 2014

Kajian Tentang Cara Menghitung Zakat Mal

Cara Menghitung Zakat Mal

Oleh Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.

Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail ‘alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:

Qs. Ibrâhîm/14:37

Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)

Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.

Qs. at-Taubah/9:34-35

…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)

Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:

“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]

Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:

“Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah harta yang tidak suci”.[2]

Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.

NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK

Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.

hadist

Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu’anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,

Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)

hadist

Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu’anhu, ia menuturkan:

Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)

Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu’anhu dinyatakan:

hadist

Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)

Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
1.
Nishab adalah batas minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu’anhu di atas, Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
2.
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
3.
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
4.
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
5.
Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5]
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.

Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.

Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.

Cara kedua, ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.

Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak menerima zakat.

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:

“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]

Catatan Penting Pertama.

Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-

Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]

NISHAB ZAKAT UANG KERTAS

Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia menyadari bahwa cara ini kurang praktis – terlebih bila membutuhkan dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.

Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.

Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]

Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.

Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.

Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:

Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)

Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.

Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :

Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)

Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:

“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]

Catatan Penting Kedua.

Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]

Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.

Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:

(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)

ZAKAT PROFESI

Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan zakat profesi.

Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
1.
Zakat hasil pertanian adalah (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
2.
Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.
3. Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal itu:

Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu’anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu’anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:

“Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”.
(Riwayat Muslim)

Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu’anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu’anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya:

“Hendak kemanakah engkau?”

Abu Bakar menjawab:

“Ke pasar”.

‘Umar kembali bertanya:

“Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?”

Abu Bakar menjawab:

“Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”

Umar pun menjawab:

“Kita akan memberimu secukupmu”.

(Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)

Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu’anhu tentang hal ini.

hadist

Sungguh, kaumku telah mengetahui
bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku.
Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin,
maka sekarang keluarga Abu Bakar
akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl),
sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.
(Riwayat Bukhâri)

Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).

Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:

“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:

“Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]

Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berikut:

hadist

Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)

Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.

[1]
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
[2]
Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
[3]
Penentuan nishab emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
[4]
Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
[5]
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
[6]
Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564.
[7]
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
[8]
Sebagaimana ditegaskan pada keputusan konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
[9]
Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
[10]
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
[11]
Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
[12]
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.

dari Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun XII

Memaknai Silaturahmi dan Kajiannya

Memaknai Silaturahmi

Alhamdulillâhi wahdah, wash shalalâtu was salâm ‘alâ rasûlillâh.
· Makna silaturrahim

Silaturrahmi tersusun dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambung dan rahim yang berarti rahim wanita, dan dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan kerabat. Jadi silaturrahim bermakna: menyambung hubungan dengan kerabat. Dari keterangan ini, bisa disimpulkan bahwa secara bahasa Arab dan istilah syar’i, penggunaan kata silaturrahim untuk makna sembarang pertemuan atau kunjungan dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat, sebenarnya kurang pas. 
· Motivasi untuk bersilaturrahim

Silaturrahim bukanlah murni adat istiadat, namun ia merupakan bagian dari syariat. Amat bervariasi cara agama kita dalam memotivasi umatnya untuk memperhatikan silaturrahim. Terkadang dengan bentuk perintah secara gamblang, janji ganjaran menarik, atau juga dengan cara ancaman bagi mereka yang tidak menjalankannya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan berbuat baik pada kaum kerabat,

“وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً”.

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan bahwa silaturrahim merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir,

“مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه”

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.

Beliau jugamenjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah keluasan rizki dan umur yang panjang,

“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.

“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.

Catatan: Hadits tadi seakan kontradiktif dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

“وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ”.

Artinya: “Setiap umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. QS. Al-A’raf: 34.

Ada beberapa alternatif penafsiran yang ditawarkan para ulama untuk memadukan antara dua nas di atas. Antara lain:

Pertama: Pengunduran ajal merupakan kiasan dari keberkahan umur. Atau dengan kata lain, silaturrahmi menjadikan seseorang meraih taufik untuk berbuat ketaatan dan menjauhi maksiat; sehingga namanya tetap harum, walaupun telah meninggal dunia. Sehingga seakan-akan ia belum mati.

Kedua: Silaturrahim memang nyata benar-benar menambah umur dan mengundur ajal seseorang. Dan waktu ajal yang dimaksud dalam hadits di atas adalah apa yang tertulis dalam ‘catatan’ malaikat penganggung jawab umur. Sedangkan waktu ajal yang dimaksud dalam ayat adalah apa yang ada dalam ilmu Allah (lauh al-mahfuzh).

Misalnya: malaikat mendapat berita dari Allah bahwa umur fulan 100 tahun jika ia bersilaturrahim dan 60 tahun jika ia tidak bersilaturrahim. Dan Allah telah mengetahui apakah fulan tadi akan bersilaturrahim atau tidak. Waktu ajal yang ada dalam ilmu Allah inilah yang tidak akan ditunda maupun dipercepat, adapun waktu ajal yang ada di ilmu malaikat ini bisa diundur maupun diajukan.

Keterangan tersebut diisyaratkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

“يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ”.

Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh al-Mahfuzh)”. QS. Ar-Ra’du: 39.

Takdir yang masih berpeluang untuk dihapus dan ditetapkan adalah apa yang ada dalam ‘catatan’ malaikat. Adapun takdir yang termaktub dalam lauh al-mahfuzh di sisi Allah maka ini sama sekali tidak akan ada perubahan.

Kembali kepada pembahasan tentang silaturrahmi. Orang yang tidak menjaga tali persaudaraan dia terancam dengan hukuman di dunia maupun di akhirat. Di antara kerugian duniawi yang akan menimpa pemutus tali silaturrahim: dia akan terputus dari kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,

“مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ”.

“Barang siapa menyambungmu (silaturrahmi) maka Aku akan bersambung dengannya, dan barang siapa memutusmu (silaturrahmi); maka Aku akan memutuskan (hubungan)Ku dengannya”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.

Ganjaran di akhirat bagi pemutus tali silaturrahim lebih mengerikan lagi! Terhalang untuk masuk surga! Na’udzubillahi min dzalik…

Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ”.

“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahim)”. HR. Bukhari dan Muslim.
· Hakikat silaturrahim

Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,

“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”.

“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang menyambung hubungan dengan kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun penyambung hakiki adalah orang yang jika hubungan kerabatnya diputus maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.

Sebab kata menyambung mengandung makna menyambungkan sesuatu yang telah putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum kerabat manakala mereka menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang menyambung hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat dengan kebaikan serupa.

Membumikan sabda Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan; sebab kita harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita tertuntut untuk berbuat baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada orang yang cemberut pada kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan memberi kita, dan sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang dijanjikan Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”. فَقَالَ: “لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ”

Pernah ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun mereka memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun mereka menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.

“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau bagaikan sedang memberinya makan abu panas . Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR. Muslim.

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:

    Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
    Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan berbuat baik manakala ia dibaiki.
    Pemutus silaturrahim.

· Konsekwensi silaturrahim

Silaturrahim bukan hanya diwujudkan dalam bentuk berkunjung ke rumah kerabat atau mengadakan arisan keluarga, namun ia memiliki makna yang lebih dalam dari itu. Silaturrahim memiliki berbagai konsekwensi yang harus dipenuhi seorang insan, di antaranya:

1. Mendakwahi kerabat

Dalam Islam, kerabat mendapatkan prioritas utama untuk didakwahi. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah beliau,

“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.

Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara’: 214.

Dengan bahasa yang santun, ingatkanlah kerabat kita yang masih percaya dengan jimat, yang masih gemar pergi ke dukun, yang shalatnya masih bolong-bolong, yang belum berpuasa Ramadhan, yang masih enggan mengeluarkan zakat dan yang semisal. Berbagai nasehat tadi bisa disampaikan kepada yang bersangkutan secara langsung, atau bisa pula ditransfer melalui siraman rohani yang biasa diletakkan di awal rentetan acara arisan atau pertemuan berkala keluarga.

Persaudaraan yang dibumbui dengan budaya saling menasehati inilah yang akan ‘abadi’ hingga di alam akhirat kelak. Adapun persaudaraan yang berkonsekwensi mengorbankan prinsip ini; maka itu hanyalah persaudaraan semu, yang justru di hari akhir nanti akan berbalik menjadi permusuhan. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

“الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ”.

Artinya: “Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. QS. Az-Zukhruf: 67.
2. Saling bantu-membantu

Orang yang membantu kerabat akan mendapat pahala dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ”.

“Sedekah terhadap kaum miskin (berpahala) sedekah. Sedangkan sedekah terhadap kaum kerabat (berpahala) dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim”. HR. Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.

Berbuat baik terhadap kerabat, selain berpahala besar, juga merupakan sarana manjur untuk mendakwahi mereka. Andaikan kita rajin menyambung silaturrahim, gemar memberi dan berbagi dengan kerabat, selalu menanyakan kondisi dan kabar mereka, menyertai kebahagiaan dan kesedihan mereka; tentu mereka akan berkenan mendengar omongan kita serta menerima nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih sayang dan perhatian ekstra kita pada mereka.
3. Saling memaafkan kesalahan

Dalam kehidupan interaksi sesama kerabat, timbulnya gesekan dan riak-riak kecil antar anggota keluarga merupakan suatu hal yang amat wajar. Sebab manusia merupakan sosok yang tidak lepas dari salah dan alpa. Namun fenomena itu akan berubah menjadi tidak wajar manakala luka yang muncul akibat kekeliruan tersebut tetap dipelihara dan tidak segera diobati dengan saling memaafkan.

Betapa banyak keluarga besar yang terbelah menjadi dua, hanya akibat merasa gengsi untuk memaafkan kesalahan-kesalahan sepele. Padahal karakter pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.

Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.

Namun ada suatu praktek keliru dalam mengamalkan sifat mulia ini yang perlu diluruskan. Yaitu: mengkhususkan hari raya Idhul Fitri sebagai momen untuk saling memaafkan. Jika minta maaf tidak dilakukan di hari lebaran seakan-akan menjadi tidak sah, atau minimal kurang afdhal. Sehingga maraklah acara ‘halal bihalal’ di bulan Syawal. Padahal kita diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun dan tidak menumpuk-numpuk kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru di’rapel’ di hari lebaran. Jika belum sempat berjumpa dengan idhul fitri, lalu keburu dipanggil Allah, alangkah malangnya nasib dia di akherat!

Keyakinan tersebut juga berimbas pada ucapan selamat idhul fitri yang serasa kurang jika tidak dibumbui kalimat “mohon maaf lahir batin”. Padahal dahulu para sahabat Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam manakala saling mengucapkan selamat di hari raya, redaksi yang diucapkan adalah: “taqabbalallah minna wa minkum” . Dan kalimat ini jelas lebih sempurna; sebab tidak semata-mata bermuatan ucapan selamat, namun juga mengandung doa agar Allah menerima amalan orang yang mengucapkan selamat maupun yang diberi selamat.  
· Ranjau-ranjau ‘silaturrahim’

Sebelum munculnya agama Islam, dalam adat istiadat komunitas Arab telah dikenal persaudaraan antar kerabat, dan itu juga mereka anggap sebagai salah satu akhlak mulia. Kemudian Islam datang dengan membawa ajaran ‘serupa’ yang diistilahkan dengan silaturrahmi, namun dengan format dan aturan yang lebih sempurna. Sisi-sisi kekurangan dalam ‘silaturrahmi’ versi adat jahiliyah dibenahi, sehingga karakter mulia tersebut semakin terlihat indah dan menarik.

Kita hidup di tanah air yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Dalam budaya kita pun menjalin hubungan persaudaraan dikenal sebagai perilaku mulia. Hanya saja praktek sebagian kalangan terkadang menodai ‘kesucian’ silaturrahmi. Sisi-sisi negatif dalam ‘silaturrahmi’ mereka inilah yang penulis istilahkan dengan ‘ranjau silaturrahim’.

Di antara perilaku yang seharusnya dihindari dalam menjalin silaturrahim:

1. Fanatisme

Salah satu musibah besar yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah: perpecahan di antara mereka. Di antara faktor terbesar yang menimbulkan perpecahan adalah adanya ‘rumah-rumah’ lain di dalam ‘rumah besar’ Islam. Apalagi manakala hal itu diiringi dengan fanatisme buta sesama anggota rumah-rumah kecil tersebut. Sehingga seakan kebenaran hanyalah ada dalam diri mereka. Padahal sebagai umat Islam kita tidak boleh bersikap fanatik kecuali kepada kebenaran; yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul shallalahu’alaihiwasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam.

Paguyuban keluarga juga berpeluang menimbulkan fanatisme tercela, jika tidak senantiasa disuntik arahan agama dan  dipoles sentuhan islami.

2. Lunturnya sikap adil.

Perasaan pakewuh terhadap saudara terkadang menjerumuskan seseorang untuk segan mengucapkan yang haq. Apalagi manakala hal itu ‘merugikan’ saudara sendiri. Contoh nyatanya manakala kita dihadapkan untuk menjadi saksi dalam suatu kasus, yang pelakunya adalah saudara kita sendiri. Manakala kita menyampaikan fakta sebenarnya, hal itu akan mengakibatkan dia mendekam di hotel prodeo dan kerabat lainnya menjauhi kita, namun insyaAllah buahnya kita akan disayang Allah. Sebaliknya jika kita menyembunyikan kebenaran, mungkin saudara kita akan selamat, kita akan disanjung kaum kerabat, namun akibatnya dimurkai Allah.

Dalam kondisi simalakama inilah keimanan kita diuji; apakah akan mementingkan keridhaan Allah atau pujian manusia?

Panutan kita semua; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan sikap adil dalam sabdanya,

“وَايْمُ اللَّهِ! لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا”

“Demi Allah, andaikan putriku Fatimah mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya. HR. Bukhari  (hal. 716 no. 3475) dan Muslim (XI/189 no. 4389) dengan redaksi Bukhari.
3. Berjabat tangan dengan non mahram

Bersalaman merupakan salah satu ibadah mulia yang menjanjikan ganjaran menggiurkan. Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,

“مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا”.

“Tidaklah ada dua orang muslim yang bertemu lalu saling bersalaman, melainkan dosa keduanya akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah”. HR. Abu Dawud dari al-Bara’ bin ‘Azib dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.

Namun manakala yang diajak bersalaman adalah orang-orang yang sebenarnya tidak boleh kita salami, maka saat itu justru dosalah yang menanti kita.

Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,

“لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”.

“Lebih baik kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi daripada ia memegang wanita yang tidak halal baginya”. HR. Thabarany (XX/212 no. 487) dari Ma’qil bin Yasar dan dinilai kuat oleh al-Mundziry dan al-Albany .

Walaupun dengan alasan menjalin hubungan silaturrahim, praktek di atas tetap tidak bisa dibenarkan. Sebab Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihiwasallam merupakan sosok yang paling piawai dalam menjalin hubungan silaturrahmi, pun demikian beliau tetap menghindari berjabat tangan dengan wanita non mahram. Bahkan dalam momen sesakral bai’at saja, beliau tidak menjabat tangan kaum mukminat. Sebagaimana diceritakan istri beliau; Aisyah radhiyallahu’anha,

“وَلَا وَاللَّهِ، مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ, مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكِ”.

“Tidak demi Allah, tangan beliau sekalipun tidak pernah menyentuh tangan wanita saat baiat. Beliau hanya membaiat mereka dengan berkata, “Aku telah membaiatmu untuk hal itu”. HR. Bukhari.

Sebagian orang mengira bahwa setiap yang memiliki hubungan kerabat dengannya dikategorikan mahram kita. Hanya orang-orang tertentu saja yang dianggap mahram kita. Di antaranya: golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,

“حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ…”.

Artinya: “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ayahmu yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara (kandung)mu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya). (Dan diharamkan bagimu pula) istri-istri anak kandungmu (menantu)…”. QS. An-Nisa: 23.
Tentu tidak mudah menerapkan hal tersebut, apalagi di komunitas yang masih belum begitu memahami aturan syariat ini. Di sinilah kita menyadari betapa besarnya tugas dan kewajiban para ulama, da’i, ustadz, mubaligh atau siapa saja yang telah mengetahui hukum ini, untuk menerangkan hal itu pada masyarakat, dan juga mempraktekkannya. Bukan justru larut dalam arus kebiasaan yang keliru, atau mempertahankan ‘status quo’ yang tidak benar.

Namun demikian, mereka yang telah mengetahui hukum ini dan telah bertekad untuk mempraktekkannya, tatkala menghindari jabat tangan dengan non mahram, hendaklah ia melakukan hal tersebut dengan santun dan lemah lembut, serta diiringi dengan muka yang manis. Dengan harapan hal itu bisa sedikit mencairkan suasana yang barangkali akan terasa kaku. Dia bisa menyatukan kedua tangannya di depan dada, sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada yang mengajaknya bersalaman, tanpa harus menyentuh tangan yang di hadapannya. Dengan berjalannya waktu, insyaAllah hubungan yang awalnya akan terasa renggang akan erat kembali. Dan tentunya erat dilandasi syariat…

Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita untuk lebih memaknai silaturrahim, amien ya rabbal ‘alamien.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.

Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, Senin, 4 Syawal 1431 / 13 September 2010
Catatan kaki

Lihat: Lisân al-’Arab karya Ibn Manzhur (XV/316).

Lihat: Mujmal al-Lughah karya Ibn Faris (II/424) dan Mufradât Alfâzh al-Qur’an karya ar-Raghib al-Ashfahany (hal. 347).

Lihat: Fath al-Bâry Syarh Shahih al-Bukhary karya Ibn Hajar al-’Asqalany (X/510-511).

Perumpaan akan apa yang akan menimpa mereka berupa dosa, sebagaimana orang yang memakan abu panas akan merasa kesakitan. Lihat: Bahjah an-Nâzhirîn Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/394-395).

Lihat: Fath al-Bâry (X/520).

Lihat: Fiqh al-Akhlâq wa al-Mu’âmalât ma’a al-Mu’minîn karya Syaikh Mushthafa al-’Adawy(IV/13).

Diriwayatkan oleh Zahir bin Thahir dalam Tuhfah ‘Ied al-Fithr, sebagaimana disebutkan as-Suyuthi dalam Wushûl al-Amâni bi Ushûl at-Tahâni, hal. 42. Ibn Hajar al-’Asqalâni dalam Fath al-Bâri, II/575 menilai sanadnya hasan, begitu pula as-Suyuthi.

Mahram adalah istilah untuk orang yang haram untuk kita nikahi. Di Indonesia biasa diistilahkan dengan “muhrim” dan ini kurang tepat; sebab secara bahasa Arab, kata muhrim bermakna orang yang berihram.

Dalam at-Targhib wa at-Tarhîb (II/765 no. 2799) beliau berkata, “Para perawi hadits ini dalam ath-Thabarany orang-orang yang terpercaya dan para perawi kitab ash-Shahih“.

Lihat: Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/447-449 no. 226).

Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, M.A.

Antara Tentang Kerja dan Mendidik Anak

Antara Kerja dan Mendidik Anak

Dijawab oleh Ustadz Muhammad Qasim, Lc. hafizhahullah

Al-Hamdulillah, saya dan suami selalu mengikuti kajian. Namun ada sedikit yang mengganjal dalam hati tentang suami saya yang terlalu banyak tidur. Saya tahu, mungkin ia kelelahan karena kerja dalam shif 3. Akan tetapi, bila sedang kebagian shif 2 dan 3, seharian di rumah tidur terus. Dia bangun hanya untuk shalat saja.

Saya sebagai istri ingin, mumpung suami sedang ada di rumah, memanfaatkan waktu tersebut untuk ikut mengajari anak-anak membaca Al-Qur`an atau mengontrol pelajaran sekolah mereka. Atau berdiskusi dengan saya tentang masalah apa saja. Saya ingin mengungkapkan ini secara langsung kepada suami, tetapi takut. Suami saya berlangganan Majalah As-Sunnah.

Semoga jawaban dari Redaksi membuat suami berhasil memenej waktunya dengan baik. Jazakumullahu khairan katsiran.

Jawab:

Dari pertanyaan di atas, ada dua permasalahan mendasar. Pertama, tanggung jawab suami mencari nafkah. Kedua, tanggung jawab pendidikan anak dan keluarga.

Pertama, memang tak dapat dipungkiri, mencari nafkah sudah menjadi kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, terutama anak dan istri. Suami tidak boleh membiarkan keluarganya tanpa ada yang bertanggung jawab memberi makan dan minum. Sebagaimana dalam hadits Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu tatkala bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bertanya: “Ya, Rasulullah! Apa hak seorang istri yang berhak ia peroleh dari suaminya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau beri makan dia apa yang engkau makan . . .”. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan an-Nasâ`i).

Kedua, kebanyakan orang yang justru terjerumus di dalamnya, sementara itu ia tidak menyadarinya sebagai sebuah kesalahan yang dapat mengakibatkan terjadinya keretakan hubungan antara suami dengan istri, demikian pula dengan anak-anak yang semestinya sangat memerlukan perhatian dari ayahnya. Hanya saja, seorang istri janganlah serta merta langsung menegur suaminya begitu saja mengenai kewajiban yang harus ditunaikannya. Ada dua hal pokok yang perlu menjadi pertimbangan jika seorang istri ingin mengajak bicara suami guna memecahkan masalah yang ia hadapi.

Pertama, waktu yang tepat. Seorang istri, janganlah mengajak bicara suami ketika ia baru pulang dari kerja atau dari bepergian. Karena ia masih kecapaian dan memerlukan istirahat.

Kedua, kondisi atau waktu yang tepat. Yakni dengan memperhatikan kondisi atau situasi yang tepat ketika akan mengajak berdiskusi dengan suami. Perlu diingat, hati manusia memiliki dua kondisi yang saling berlawanan arah. Jika salah dalam memilih, maka bukan solusi yang didapat; bahkan bisa menimbulkan masalah baru, sehingga masalah menjadi semakin pelik dan rumit. Suasana hati yang ceria dan tiada beban, akan dapat mendukung keberhasilan pemecahan masalah. Sebaliknya, kondisi hati yang sedang gundah dan kacau, ia tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Kondisi hati semacam ini pernah disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, ia berkata:

إِنَّ لِلْقُلُوْبِ لَنَشَاطًا وَإِقْبَالاً، وَإِنَّ لَهاَ لَتَوْلِيَةً وَإِدبَارًا… (رواه الدارمي)

Sesungguhnya, hati itu terkadang timbul semangat dan mau menerima, dan ada kalanya pula ia berpaling dan menolak. (HR ad-Dârimi).

Jika istri melihat kondisi suami telah siap untuk mendengar dan menerima saran, masukan, kritik, sekaligus mau diajak berdiskusi, maka mulailah pembericaraan ke arah yang diinginkan. Iringi dengan doa dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar sang suami dimudahkan dan dibukakan hatinya, serta mau mengerti kewajiban dan amanah yang harus dipikul bersama.

    Ingatkan kembali sang suami mengenai tanggung jawab dan amanah yang harus ia tunaikan. Kewajibannya bukan hanya sekedar mencari nafkah, namun juga memiliki tanggung jawab secara bersama mengemban amanah dalam mentarbiyah (mendidik) si buah hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَضنْ رَعِيَّتِهِ فَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ …. ( متفق عليه )

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah tentang kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. (Muttafaqun ‘alaihi).

    Bahwasanya anak mempunyai hak yang harus dipenuhi. Salah satunya ialah pendidikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :وَإِنَّ لِوَلَدِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ   (dan sesungguhnya anakmu mempunyai hak atas kamu) -HR Muslim. Selain hak nafkah, pendidikan dan perhatian juga menjadi hak anak yang harus di penuhi.

    Ajak dan mintalah pendapat suami mengenai cara mengontrol perkembangan pendidikan anak, terlebih dalam hal agama (diniyah), baik akidah, ibadah, akhlak maupun Al-Qur`ân. Karena perlu pula diingat, tanggung jawab memantau perkembangan mental, pendidikan dan moral anak bukan hanya tanggung jawab istri, namun juga menjadi tugas suami yang harus dipikul bersama. Ingatlah, pengaruh tarbiyah yang diberikan orang tua terhadap anak sangat besar. Orang tualah yang memegang kendali dan paling berperan dalam membentuk karakter maupun perilaku anak. Kedua orang tua mempunyai andil yang sangat besar. Rasulullah n bersabda:

مَامِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ                        

Tidaklah setiap anak kecuali dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (Muttafaqun ‘alaihi).

    Menurut para ahli, secara psikis, perhatian yang diberikan orang tua kepada anak walaupun hanya sebentar, ia bisa berpengaruh pada pembentukan kecerdasan anak.
    Berikan pula perhatian kepada anak. Ingatkan, bahwa pahala yang besar akan didapatkan orang tua yang telah mendidik anak dan berbuat baik kepada anaknya. Sempatkan untuk duduk bersama anak walau hanya sesaat, namun sering. Ini bisa dilakukan untuk bercengkerama dan mendidik sambil menanyakan hasil dan perkembangan belajarnya. Jangan sampai timbul kesan seolah sebagai anak tidak mempunyai ayah yang mau memperhatikannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberi kabar gembira bagi orang tua yang mau mendidik anak-anaknya dengan baik:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَيْئٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ ( متفق عليه )

Barang siapa diuji dengan beberapa anak perempuan lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya tersebut akan menjadi penghalang baginya dari api neraka. (Muttafqun ‘alaihi).

    Istri perlu pendamping yang bisa memotivasi, mendidik, sekaligus menjadi qudwah (teladan), sehingga bisa dijadikan tepmpat berlindung ketika ada masalah. Kepemimpinan seorang suami yang baik bisa membuat istri merasa aman, tetap merasa ada pelindung, dan pemimpin yang bisa membimbingnya. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Qs. an-Nisâ`/4:34).

    Ingatlah, anak shâlih mendapatkan manfaat dari keshalihan orang tua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Qs ath-Thûr/52:21).

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membimbing kita ke jalan yang benar. (Ustadz Muhammad Qasim).

Artikel  disalin dari kumpulan naskah Majalah As-Sunnah

10 Kaidah Penting Tentang Istiqomah

Sepuluh Kaidah Penting Tentang Istiqomah (Pengantar)

PENGANTAR

Sesungguhnya segala pujian itu hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, kita memuji, minta pertolongan dan ampunan kepadaNya, dan kita berlindung dari keburukan diri-diri kita dan dari kejelekan amalan-amalan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk olehNya maka dialah orang yang telah mendapat petunjuk dan barangsiapa disesatkan maka tidak ada petunjuk baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya. Aku juga bersaksi bahwasannya Muhammad adalah seorang hamba dan rasulNya. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepadanya, beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Amma ba’du:

Buku ini membahas berbagai hal yang berkaitan dengan masalah istiqomah, dan pembahasan tentang istiqomah adalah pembahasan yang sangat penting dan memiliki kedudukan yang besar. Oleh karena itu setiap dari diri kita harus selalu memperhatikannya dan memberikan porsi yang besar dan kesungguhan serta penjagaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قال الله تعالى: {إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ١٣ أُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ خَٰلِدِينَ فِيهَا جَزَآءَۢ بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ١٤} [الأحقاف: 13، 14]

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah[1388] Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan “. QS Al-Ahqaaf: 13- 14.

Dalam surat Fushshilat Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

قال الله تعالى: {إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ ٣٠ نَحۡنُ أَوۡلِيَآؤُكُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَشۡتَهِيٓ أَنفُسُكُمۡ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ٣١ نُزُلٗا مِّنۡ غَفُورٖ رَّحِيمٖ ٣٢} [فصلت: 30-32]

” Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “. QS Fushshilat: 30-32.

Sifat istiqomah akan menjadikan seorang muslim meraih kebahagian baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dengannya pula seorang hamba akan meraih kemenangan dalam  bergulat dengan fitnah yang banyak sekali, bahkan istiqomah mengakibatkan kesudahan yang baik dari segala urusanya.

Maka penasehat yang jujur, yang ingin menasehati dirinya untuk dapat memperoleh kebahagiaan yang di inginkanya maka hendaknya dia memperhatikan masalah keistiqomahanya dengan porsi perhatian yang besar baik dari sisi ilmu maupun pengamalannya, dan  setelah itu ia tetap teguh denganya sampai ajal menjemputnya. Dengan menyandarkan diri  kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala serta selalu meminta pertolongan dariNya Tabaraka wa Ta’ala.

Dari kebanyakan pertanyaan yang muncul dari manusia kepada ahli ilmu (ulama.pent), para penuntut ilmu serta juru dakwah dan orang-orang yang sholeh adalah yang berkaitan dengan masalah istiqomah, tentang hakekatnya dan perkara-perkara yang bisa membantu untuk bisa tetap teguh dijalan Allah yang lurus, serta serba-serbi lainya yang berkaitan dengan masalah ini.

Maka berawal dari itu saya melihat bahwa akan  sangat bermanfaat sekali, baik untuk diri saya pribadi atau untuk para saudaraku untuk mengumpulkan beberapa kaidah penting yang mencakup keseluruhannya dalam masalah istiqomah ini. Yang nantinya bisa menjadi penerang bagi kita dan petunjuk setelah membaca dan memperhatikan serta mendengar perkataannya pada ulama tentang masalah istiqomah dan yang berkaitan dengannya. Maka disini saya akan  menyebutkan kaidah-kaidah yang agung dalam masalah istiqomah. Yang mana itu semua merupakan kaidah-kaidah yang sangat penting yang diperlukan oleh setiap orang muslim agar selalu menjaganya.

Dan hanya kepada Allah semata saya meminta pertolongan dan taufiqNya.

Artikel dari Ebook Sepuluh Kaidah Penting Tentang Istiqomah
Oleh Syaikh Prof. Dr. Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr

Rasulullah Berlindung Diri Dari Kemalasan

Rasulullah Berlindung Diri dari Kemalasan

Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung diri dari kemalasan

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan hamba-Nya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan dalam firman-Nya,

            Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan (Q.s. al-Baqarah/2: 148)

            Dengan demikian, jelaslah bahwa tugas seorang Muslim di dunia ini ialah memperbekali diri dengan amal shaleh sebanyak-banyaknya, berusaha menjadi orang yang pertama dan paling gesit dalam setiap amal shaleh layaknya Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan merindukan beramal shaleh pada setiap saat dan di setiap tempat.

            Hanya saja, seorang Muslim tidak selalu mulus dalam menjalankan amal di setiap harinya. Ada saja aral melintang yang menjadi penghalang pelaksanaannya. Terkadang, halangan itu justru muncul dari dalam dirinya yang bernama sifat malas.

            Al-kasal (malas) didefinisikan al-Munâwi rahimahullah dengan melalaikan hal-hal yang tidak sepantasnya dilupakan. Oleh karena itu, terhitung sebagai karakter yang tercela. Ar-Râghib rahimahullah menambahkan, akibat dari malas ini, orang akan masuk ke dalam jajaran orang-orang yang sudah mati.

Oleh karena itu, penyakit hati ini tidak boleh dikesampingkan bahayanya. Apalagi penyebutan sifat ini dua kali dalam al-Qur`ân hanya menyangkut kaum munâfiqîn. Bila dibiarkan berjangkit, seiring dengan perjalanan waktu, akan mengakar pada jiwa seseorang. Jadilah ia seorang pemalas, yang enggan menyibukkan diri dengan ibadah (urusan akherat) dan pekerjaan (urusan duniawi), meskipun ia mengetahui akan menuai kerugian yang nyata kelak. Di saat kebanyakan orang semangat beramal shaleh pada musim-musim kebaikan, ia hanya duduk berdiam diri menghabiskan waktu dalam tidur, omongan nglantur ataupun lamunan panjang yang tak terukur.

Demikianlah, seorang pemalas sebenarnya sanggup beraktifitas, akan tetapi tidak melakukannya sebab tiadanya keinginan pada hati orang tersebut. Hak-hak orang pun akan terbengkalai.

    Untuk menangkal penyakit hati yang bisa memandulkan potensi kebaikan pada diri seseorang, Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa kepada umat demi keselamatan dari sifat tercela tersebut. Doa yang berisi permohonan kepada Allâh k agar berkenan memberikan perlindungan dari sifat malas.

أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ

     Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ketidakberdayaan, malas, pengecut dan pikun (HR. Muslim no. 2706)

     Barang siapa terbiasa malas, maka akan kehilangan kesempatan untuk istirahat. Padahal Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah membekali dirinya kekuatan untuk bergerak dan beraktifitas agar potensi tenaga dan kekuatan tersebut bisa dipergunakan dengan semestinya. Apabila tidak dimanfaatkan, maka keberadaan kekuatan pada seorang pemalas menjadi mandul lagi tidak berguna, sebagaimana bila tidak dipergunakan untuk berpikir akan mengalami kebekuan dan tumpul. Wallâhu a’lam   

Artikel dari kumpulan naskah Majalah As-Sunnah.

Jika Budaya Korupsi Meracuni Birokrasi

Bila Budaya Korupsi Meracuni Birokrasi

BUDAYA KORUPSI MAKIN BERKARAT

BILA BUDAYA KORUPSI MERACUNI BIROKRASIMasyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan kata korupsi bahkan rakyat jelata yang tinggal dipelosok desa pun mengenal korupsi. Gerakan anti korupsi digelar disetiap tempat, gerakan pemberatasan KKN digulirkan dan jihad melawan kriminal birokrasi ditegakkan dengan harapan prilaku insan birokrasi dan sistem pemerintahan berubah menjadi lebih baik. Hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia berkeinginan negerinya yang tercinta bebas dari penyakit korupsi serta sistem birokrasi yang ruwet sehingga tercipta sistem sosial, politik dan ekonomi yang adil, bermoral dan agamis. Namun harapan indah itu saat ini seakan hanya ada dalam angan-angan bahkan mungkin sebuah mimpi karena betapa banyak usaha yang telah dilakukan namun penyakit ini seakan sudah mengakar kuat kuat sehingga tidak bergeming. Bahkan berbagai bencana yang mendera negeri kita belum juga mampu merubah perilaku para koruptor dan  para birokrat.

Berbagai kejahatan berlindung di bawah payung hukum positif dan tanpa diketahui masyarakat atau bahkan aparat penegak hukum terlibat didalamnya. Apabila ada yang terbongkar, itu hanya kasus-kasus tertentu saja dan  itupun  terkadang tidak ada tindak lanjutnya hingga masyarakat lupa dan kasus dianggap selesai.

Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung kejahatan korupsi dan menghindarkan umat manusia dari kecenderungan berkhianat, menyimpang dan berdusta. Nasihat agama sepertinya tak berbekas, para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual ibadah mandul tidak memberi pengaruh pada prilaku keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu merubah prilaku lebih bagus dan mental lebih baik sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala tentang shalat,

Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. (Qs al-Ankabût/29:45)

Benar apa yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa barangsiapa yang shalatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar maka shalatnya tidak bisa disebut shalat bahkan akan menjadi bumerang bagi pelakunya.[1]

Beribu-ribu umat Islam baik pegawai negeri maupun karyawan swasta menunaikan shalat bahkan hampir seluruh masjid perkantoran dan perindustrian tiap waktu shalat tidak pernah sepi dari jamaah, acara kerohanian yang berupa kajian agama, dzikir berjamaah, istighasah, renungan dan mabit mereka lakukan, namun cacatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan tidak berkurang. Aksi kriminalisasi sosial dan agama makin marak, bahkan korupsi, suap, sogok, pungli dan money politics, termasuk penyelundupan, illegal logging (pembalakan liar), illegal fishing (pencurian ikan) dan illegal mining (penambangan liar) makin subur.

Kenapa korupsi dan budaya suap menjadi tradisi yang susah diberantas ? Sebab utama adalah keimanan yang lemah, kesempatan terbuka lebar, lingkungan yang mendukung dan sanksi hukum yang tidak tegas terhadap pelaku korupsi bahkan sebagian pelakunya ada yang tidak tersentuh hukum sama sekali.

SEBAB-SEBAB KORUPSI

Mental korupsi melekat pada diri sebagian anak bangsa. Limbah suap mencemari setiap lorong kehidupan. Budaya KKN menghiasi hampir seluruh lapisan masyarakat baik kelas bawah, menengah maupun atas. Tidak bisa dipungkiri, para koruptor yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta adalah manusia biasa, kadang imannya menguat, kadang melemah. Ketika iman sedang menguat, keinginan untuk berbuat baik juga menguat. Namun ketika iman melemah, kecenderungan berbuat jahatpun menguat termasuk korupsi dan maksiat lainnya. Ada beberapa faktor yang secara signifikan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi dan menistakan harga diri dengan menerima suap dan uang pelicin dalam menjalankan tugas dan amanah pekerjaannya, diantaranya :

    Lemahnya semangat keagamaan dan menurunnya indikasi keimanan.
    Mengikuti keinginan syahwat dan menuruti kelezatan dunia yang semu yang tak pernah kenal batas.
    Pembelaan dan nepotisme terhadap keluarga secara berlebihan sehingga mematikan sikap obyektif, rasa keadilan,  prilaku amanah dan profisionalime.
    Memilih teman-teman buruk, pembisik-pembisik jahat, patner-patner culas dan kroni-kroni yang korup sehingga peluang korupsi terbuka lebar.
    Menempatkan para pejabat atau petugas yang kurang ikhlas dalam pengabdian dan kurang bertanggung jawab dalam mengemban tugas sehingga mereka banyak melakukan aji mumpung yaitu mumpung jadi pejabat.
    Terpengaruh dengan gaya hidup yang glamor dan serba hedonis.
    Terpengaruh dengan pemikiran dan prinsip-prinsip hidup yang meyimpang dan matrialistis.
    Terpedaya dengan kehebatan materi dan kenikmatan harta sesaat sehingga silau dengan fatamorgama dunia. Bahkan muncul anggapan bahwa harta benda adalah segala-galanya.
    Diktator dalam mengendalikan kepemimpinan membuat para pemimpin dan pejabat gampang korupsi.
    Tekanan pihak asing yang senantiasa mengatur kebijakan politik dan ekonomi suatu negara akan membuat para pengelola negara gampang terjebur dalam tindak korupsi.

Barangsiapa yang ingin memerangi korupsi hendaknya menganalisa sebab-sebab diatas secara cermat dan mencari solusi serta penangkalnya secara bijaksana dan penuh dengan ketegasan dalam memberi sanksi. Namun sehebat apapun aturan hukum yang ingin diterapkan maka Islam merupakan solusi utama untuk menghilangkan tradisi korupsi karena dengan keimanan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara benar yang disertai dengan keimanan kepada nama-nama dan sifat-sfat-Nya secara aplikatif lalu ditambah beriman kepada malaikat yang senantiasa mencatat semua ucapan dan perbuatan manusia. Jika ini sudah benar, maka akan muncul murâqabah, control penuh dan interopeksi sempurna terhadap seluruh tindakan yang diperbuat seorang hamba.

MENGUBUR TRADISI KORUPSI DAN BUDAYA SUAP

Mengakarnya budaya korupsi, suap, sogok, money politics, pungli dan kelompok turunannya di tubuh birokrasi setiap lembaga, baik negeri maupun swasta merupakan fakta dan tantangan paling fenomenal bagi agama-agama samawi, terutama agama Islam, yang secara tegas mengutuknya. Sebagaimana yang telah ditegaskan Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau,

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الرَاشِي وَالمُرْتَشِيْ

Rasulullah mengutuk orang yang menyuap dan orang yang disuap.[2]

Dalam bahasa agama, korupsi, suap, sogok, uang pelicin, money politics, pungli dan kelompok turunannya digolongkan sebagai risywah, yakni tindakan atau perbuatan seseorang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan mempengaruhi keputusan pihak penerima agar keputusannya menguntungkan pihak pemberi meski dengan melawan hukum.

Umumnya, risywah terjadi melalui kesepakatan antara dua pihak yaitu pemberi suap (râsyi) dan penerimanya (murtasyii). Tapi, kadang ia juga melibatkan pihak ketiga sebagai perantara atau dikenal sekarang dengan sebutan markus (makelar kasus).

Praktik risywah semula berakar dan tumbuh hanya di ruang pengadilan, kemudian berkembang hampir ke semua lini kehidupan masyarakat, bahkan untuk suatu yang tidak logis. Risywah tidak hanya subur di negara kita, di negara lain, termasuk di negara maju sekalipun juga berkembang. Padahal, Islam menegaskan, risywah merupakan tindakan yang sangat tercela, dibenci agama, dan dilaknat Allâh dan Rasul-Nya.

Risywah terus terjadi tanpa mengenal henti. Ia mengakar, menjamur, bahkan selalu menabur benih baru korupsi dan semakin memberi impresi tentang parahnya fenomena risywah di negara kita, seakan mementahkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, suap, sogok dan sebangsanya.

Oleh karena itu, memelihara dan menjalankan amanah pada koridor yang benar suatu keharusan. Sebab, amanah merupakan inti dari tugas mulia yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-Nya di dunia. Menghamba secara tulus kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala berarti menjalankan amanah. Ulama dan ahli agama menjalankan amanah dengan menyebarkan risalah agama, presiden menjalankan amanah melalui jabatannya, semua wakil rakyat, pejabat publik dan kita sebagai rakyat, wajib menjalankan amanah dengan menjadi warga negara yang baik. Dengan kata lain, semua harus menjalankan ketaatan, patuh, dan tunduk  sesuai dengan posisi masing-masing. Bila  sikap amanah menjadi penghias dalam bekerja dan muamalah, kesuksesan dan kepercayaan akan teraih. Tak heran jika Islam sangat mengutamakan amanah dalam bekerja dan muamalah meskipun kepada orang kafir.

Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Qs an-Nisâ‘/4:58).

Amanah yang dimaksudkan di sini mencakup semua bentuk amanah yang wajib atas manusia, mulai dari hak Allâh atas hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kafarat, nazar, dan lain sebagainya. Juga sesuatu yang diamanahkan meski tak seorang hamba pun mengetahuinya, seperti titipan dan lain sebagainya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikannya.

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allâh dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui (Qs al-Anfâl/8:27)

Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Abbâs radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Ibnu Abu Hâtim rahimahullah, berkata, “Seluruh pekerjaan yang diamanahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada setiap hamba-Nya yaitu perkara fardhu, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya ‘Janganlah kalian khianati Allah, yakni jangan kalian mencuranginya.’[3]

Bermodal kesadaran di atas, seharusnya kita mampu keluar dari kebiasaan buruk risywah dan mengubur tradisi korupsi sedalam-dalamnya. Risywah membuat orang lain kehilangan hak, negara kehabisan devisa, dan rakyat terancam masa depan dan hidup menderita.

Risywah yang dilakukan oleh perorangan itu, pada akhirnya membawa kerusakan yang konkrit secara kolektif dan menyeluruh. Moral bangsa rusak secara sistematis, kredibilitas negara rusak, nama harum bangsa ternodai, karakter anak bangsa tercemar dan kita kehilangan pegangan dalam menentukan masa depan anak cucu.

EFEK SUAP DAN KORUPSI

Budaya suap-menyuap, korupsi, kolusi yang mendarah-daging di Indonesia, semakin menyulitkan bahkan menggagalkan upaya kita untuk menempuh jalur bisnis dan birokrasi yang lurus dan bersih. Tampaknya, semua urusan bisa berjalan lancar asalkan ada “saling pengertian”. Bahkan, semua menjadi “bisa diatur” sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Ini sudah menggurita dan berdampak buruk bagi individu, masyarakat dan negara.

Pelaksanaan tender proyek di beberapa instansi misalnya, seperti proyek pengadaan barang dan jasa, pembangunan dan lain sebagainya. Sungguh tak lagi berjalan secara profesional. Nilai kontrak dalam pengadaan barang dan jasa sering kali di-mark up atau digelembungkan sebelum dilaksanakan. Dan sudah menjadi rahasia umum siapapun yang bisa lolos me-mark up anggaran akan mendapat imbalan, padahal mereka sudah digaji. Dan bagaimana uang semacam itu dapat mengalir kepada mereka padahal tidak ada perinciannya dalam anggaran ? Tentu karena ada penyimpangan.

Ada seseorang yang pernah terjebur dalam urusan semacam itu mengatakan bahwa ia menawarkan kepada suatu instansi, harga satu rim kertas HVS  Rp 26.000, Ia sudah mendapatkan laba untuk perhitungan itu. Di luar dugaan, pihak instansi memberikan harga lebih mahal, Rp 28.000  dan yang lebih mengagetkan lagi mereka meminta agar kuitansi tagihannya  ditulis dengan harga Rp 45.000. Alasannya macam-macam. Karena orang yang menawarkan ini mengetahui hukum me-mark up anggaran dan sanksinya di dunia maupun di akherat, dia menolak tawaran itu, yang artinya dia rela melepas keuntungan sekitar Rp 10 juta per bulan. Bagaimana dengan proyek bernilai milyaran?

Yang pasti, saat mark up dilakukan, upeti dijalankan, sehingga pekerjaan dan hasilnya pun tidak profesional seperti yang diharapkan. Karena sering kali ada istilah “saling pengertian”  dengan mengorbankan kualitas komponen dan spesifikasi pekerjaan akan lolos saat pemeriksaan. Karena si pemeriksa sudah dibutakan dengan tebalnya amplop. Maka jangan heran jika jembatan baru dibangun jebol, jalan umum baru dibuat rusak, gedung baru dibikin hancur.

Jelas, suap dan semacamnya hanya akan merugikan negara dan masyarakat. Rakyat kecil yang tidak tahu-menahu akan terus hidup sengsara. Kekayaan negara yang seharusnya dapat dipergunakan untuk kemaslahatan mereka menjadi salah alokasi bahkan hanya untuk memperkaya pribadi. Akibat selanjutnya, kepercayaan masyarakat kepada para pengelola pemerintah memudar. Ditambah lagi dengan berita tentang hukum yang dapat diperjual-belikan. Ini semakin membuat pesimis para pencari keadilan sehingga kondisinya persis seperti yang digambarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam sabdanya,

بَادِرُوْا بِالأَعْمَالِ سِتًّا: إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ وَكَثْرَةُ الشُّرَطِ وَبَيْعُ الحُكْمِ وَاسْتِخْفَافًا بِالدَّمِ وَقَطِيْعَةُ الرَّحِمِ وَنَشْأً يَتَّخِذُوْنَ القُرْآنَ مَزَامِيْرَ يُقَدِّمُوْنَ أَحَدُهُمْ لِيُغَنِّيَهِمْ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّهُمْ فِقْهًا

Bergegaslah melakukan amal (sebelum datang-red) enam perkara:  munculnya pemimpin yang pandir, banyaknya pembela pemimpin dzalim, jual beli hukum, meremehkan darah, putusnya silaturahim, hadirnya generasi muda yang menjadikan al-Qur’ân sebagai seruling, ia dijadikan tokoh bagi umat manusia meskipun ilmunya sangat sedikit.[4]

Akhirnya, kecemburuan kepada orang kaya dan para pengelola negara tak terbendung, kebencian rakyat kepada mereka memuncak sehingga mereka sangat mudah terprovokasi dan terbawa arus anarkis.

Bagi dunia bisnis atau usaha swasta, semua yang tidak dijalankan secara profesional akan menurunkan daya saing. Kalau kebesaran dan kemajuan bisnis hanya bergantung kepada kedekatan dengan pejabat, kerabat, atau dukungan aparat, bukan dilandasi profesionalisme, akan mudah goyah dan tak akan mampu berkompetisi dalam persaingan sehat. Dan bila para pengusaha dan aparat negara sudah kongkalikong, timbullah penyelewengan, penyelundupan, penggelapan dan seterusnya.

Bila nepotisme dan suap menjadi azas dalam dunia kerja, maka pegawai yang diterima tidak lagi profesional dan transparan, tidak lagi berdasarkan kualifikasi yang benar. Sehingga terjadilah ketidakadilan. Orang-orang yang memenuhi syarat terzalimi; Orang yang seharusnya pantas memegang amanah pekerjaan dan jabatan, tersingkirkan.

Ketika diminta menjelaskan dampak suap-menyuap, Syaikh Bin Bâz rahimahullah menguraikan, “Di antara dampak suap adalah antara lain menzalimi orang-orang lemah, melumatkan hak-hak mereka, atau mereka terlambat dalam mendapatkan hak-hak tersebut, dan demikian itu setelah melalui proses berbelit-belit atau pemberian uang pelicin.  Suap bisa merusak moral orang-orang yang mengambil uang suap, baik seorang hakim, pegawai dan yang lainnya. Bahkan mereka memenangkan kepentingan hawa nafsunya dan merampas hak-hak orang lain yang tidak memberi uang suap atau mereka tidak mendapatkan hak-haknya sama sekali. Ditambah lemahnya keimanan orang yang mengambil uang suap. Maka dia berada dalam lembah murka Allâh dan siksaan-Nya baik di dunia dan akhirat. Allâh hanya menunda, bukan karena lupa. Dan boleh jadi siksaan disegerakan di dunia sebelum akhirat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْعُقُوبَةَ لِصَاحِبِهِ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ.

 Tidaklah ada suatu dosa yang paling layak disegerakan sanksinya oleh Allâh bagi pelakunya di dunia, sementara masih ada simpanan baginya siksaan di akhirat dibanding melampui batas dan memutuskan silaturrahmi.[5]

TIDAK SEKADAR PENJARA

Dengan demikian, melawan korupsi dapat dimasukkan dalam kategori jihad, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang menyimpang, mencegah dorongan maksiat dan keinginan-keinginan yang merusak iman; melawan  kaum munafik, tukang tipu dan pengkhianat amanah;  melawan perilaku kotor para koruptor, orang-orang zhalim perampas hak orang banyak, pembobol uang negara, tukang pungli dan upeti.

Korupsi merupakan bentuk kezhaliman yang sangat licik. Koruptor adalah musuh dalam selimut. Ia senantiasa membokong orang atau pihak yang memberinya amanah. Saat ia disuruh mengamankan asset, ia justru menggelapkannya. Saat ia diberi amanah, ia mengambilnya dengan sekehendak hawa nafsu, tak peduli apakah amanah itu milik negara, perusahaan ataupun majikan. Padahal dalam muamalah, setelah Allâh Subhanahu wa Ta’ala, pihak yang dikhianatinya itu adalah yang selama ini berjasa, menggajinya dan menjamin kesejahteraan diri dan keluarganya.

Melihat kenyataan itu, koruptor layak kita masukkan dalam kategori musuh jihad, melawan orang-orang munafik dan zalim. Koruptor, baik yang beroperasi di perusahaan atau instansi pemerintah, di depan atasan, bawahan, atau masyarakat selalu menunjukkan kesetiaan dan loyalitasnya. Visi dan misi besarnya selalu dikatakan demi kemajuan kantor, perusahaan, instansi, bahkan bangsa dan negara.

Bahkan, saat sang koruptor memiliki jabatan di pemerintahan, baik di legislatif maupun eksekutif, ia tak segan-segan mengobral janji, bahwa apa yang dilakukannya adalah demi kemakmuran rakyat, membela kaum miskin dan rakyat jelata. Ia selalu berusaha menampilkan dirinya sebagai pendekar pembela kebenaran dan pejuang keadilan. Namun, lihatlah berbagai kasus korupsi yang terungkap belakangan ini. Semuanya tampak jelas, seperti benderangnya matahari di siang bolong. Apa yang dilakukannya berbeda jauh dengan kata-kata manis yang keluar dari bibirnya. Maka, koruptor sungguhlah orang-orang munafik, yang senang berkata dusta, yang saat berjanji ia ingkar, yang saat dipercaya ia khianat.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda,

سَيَكُوْنَ فِي أُمَّتِي اخْتِلاَفٌ وَفُرْقَةٌ , قَوْمٌ يُحْسِنُوْنَ الْقِيْلَ وَيُسِيْئُوْنَ الْفِعْلَ

Akan muncul di tengah umatku perpecahan dan perselisihan. Dan ada sekelompok kaum yang pandai berbicara dan buruk (kurang cakap) beramal.[6]

Sementara itu, negara kita juga belum menemukan formula hukum yang bisa memberikan efek jera kepada para koruptor sekaligus menciptakan sistem yang bisa meminimalisir tindak korupsi. Hukuman mati masih diberlakukan dan belum akan dihapus di negara kita. Namun, berbeda dengan Vietnam dan China, hukuman mati di Indonesia tidak menyentuh pelaku korupsi.

Kita sebagai rakyat tentu hanya bisa mengharapkan adanya sanksi yang setimpal beratnya dengan bobot kejahatan mereka, sembari memulai membangun usaha yang sungguh-sungguh (jihad) untuk paling tidak, menjauhkan diri kita dan orang-orang tercinta kita dari praktik korupsi.

SANKSI DUNIA BAGI KORUPTOR

Banyak sekali ragam sanksi yang diterima pemakan harta haram terutama harta haram dari hasil korupsi, mulai sanksi di dunia, sanksi di alam kubur hingga hukuman di akherat berupa api neraka Jahannam, sehingga para koruptor pasti akan mendapat sanksi berat baik di dunia maupun di akherat. Di antara sanksi mereka adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mengabulkan doanya dan mendapatkan siksaan pedih di alam kuburnya.

Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالذِيْ نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ التيَّ أَصَابَهَا يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ المَغَانِمَ، لمَ ْتُصِبْهَا المُقَاسِمُ، لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا

Dan demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh sehelai kain kecil dari harta ghanimah yang dia curi pada perang Khaibar yang diluar pembagian ghanimah akan menjadi bara api (di alam kuburnya).[7]

Wahai saudaraku, rintangan hidup dan sanksi rohani maupun fisik yang diperoleh para koruptor dan pencuri harta negara setelah mati akan lebih pedih dan sangat berat karena tidak ada pengadilan yang lebih adil dan jujur daripada pengadilan akherat. Perbuatan korupsi ini menimbulkan dampak negatif yang sangat banyak dan dampaknya meluas, bahkan bisa lebih parah daripada terorisme. Karena korupsi membunuh karakter bangsa, menghancurkan ekonomi negara, melumatkan hak-hak rakyat, mengancam masa depan generasi bangsa, membuat masyarakat menderita secara dzahir maupun batin, mematikan sikap amanah dan kejujuran, merusak moral dan peradaban bangsa dan menghilangkan kepercayaan investor.

Oleh karena itu, darah daging yang tumbuh dari makanan dan minuman yang haram maka akan menjadi hidangan dan santapan api neraka. 
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

يَا كَعْبُ بْنِ عُجْرَةُ، إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya daging yang tumbuh dari barang haram tidak akan tumbuh kecuali neraka paling berhak dengannya.[8]

Adapun sanksi di dunia bisa berupa ta’zîr yaitu hukuman yang kadarnya sangat bergantung pada kebijakan pihak yang berwenang. Bahkan hukuman bagi para koruptor ini bisa dibunuh bila perbuatannya menimbulkan dampak negatif secara kolektif dan kekacauan secara umum berdasarkan firman Allah,

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allâh dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[9], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,  Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs al-Mâidah/5:33-34).

Para ulama sepakat bahwa pencopet, perampok dan perampas harta orang lain meskipun kejahatannya berat dan dosa besar tapi hukumannya bukan potong tangan. Dan diperbolehkan (bagi pemimpin neraka) dalam rangka menghentikan kejahatan mereka menerapkan untuk mereka hukuman cambuk, sanksi berat, penjara lama, dan denda besar yang membuat mereka jera.[10]

Artikel disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03 Tahun XIV

[1]. Lihat Tafsîr al-Wasîth, al-Wahidi an-Naisaburi, 3/ 421.

[2] . Shahîh diriwayatkan Imam Abu Daud dalam Sunannya, no.  3580, Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya, no. 1337 dan Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya , no. 2313.

[3] Lihat Tafsir Ibnu Abu Hâtim, 5/ 1684.

[4] . Shahih diriwayatkan Imam Ahmad (10588, 9249, 8835 dan 8427) dan lihat Shahîhul Jâmi’ no. 2812

[5] Shahih diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (5/ 38), Imam Abu Daud dalam Sunannya (4902), Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (2511) dan beliau berkata, “Hadits ini Hasan Shahih.” Imam Ibnu Mâjah dalam Sunannya (4211) dan al-Hâkim dalam Mustadraknya (3359) dan beliau t menshahihkan sedang Imam adz-Dzahabi menyetujuinya.

[6] Lihat Shahihul Jami’ no: 3667.

[7] Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (4234) dan Imam Muslim dalam Shahihnya (115

[8] Shahih diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunannya (614I dan Imam ad-Darimi dalam Sunannya (2674).

[9] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan

[10] Lihat Mulakhkhash al-Fiqhi, Syaikh Fauzân, 2/551.