FOTO: asramabanjar.wordpress.com |
Sujud Syukur." Saya sering melihat orang melaksanakan sujud syukur setelah menjalankan shalat wajib. Mereka mengaku bahwa kebiasaan tersebut dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia-Nya yang telah memberi kesempatan dan kekuatan kepadanya untuk melaksanakan shalat.
Masih menurut mereka, kemampuan untuk melaksanakan shalat adalah sebuah nikmat, bahkan nikmat yang paling besar. Apalagi jika dibandingkan dengan mendapatkan rezeki, kenaikan pangkat, atau lulus ujian sekolah. Kalau mendapat kenikmatan duniawi seperti itu saja disunnahkan sujud syukur, apalagi nikmat ibadah shalat wajib.
Menurut saya, argumentasi mereka sangat bisa diterima. Apakah benar perbuatan mereka menurut syariat agama? Saya yakin bahwa agama itu bukan sekadar logika, tapi syariat.
Atas bantuan ustadz, saya ucapkan jazakumullah khairan katsira.
UZ
Di Jakarta
Jawab:
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Sujud syukur adalah sujud yang dilaksanakan kapan saja ketika kita mendapatkan kenikmatan atau terhindar dari marabahaya. Disunnahkan menghadap qiblat, tanpa keharusan berwudhu terlebih dahulu, tanpa takbir, tanpa tahiyat, dan tanpa salam.
Meskipun sebagian ulama, seperti sebagian pengikut Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa sujud syukur itu hukumnya makruh, tapi jumhur (mayoritas) ulama menyatakan sunnah, karena hal tersebut pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan para tabi’in.
Abu Bakrah meriwayatkan, ”Bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ketika mendapatkan kabar gembira beliau bersujud karena bersyukur kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala.” (Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan Turmudzi).
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melakukan sujud syukur kepada Allah Subhanhu Wa Ta'ala ketika mendengar berita raja Hamadan masuk Islam.
Praktek Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tersebut juga diteladani oleh para sahabat. Salah satunya adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau melaksanakan sujud syukur ketika mendengar kabar bahwa Musailamah Al-Kadzdzab (nabi palsu) terbunuh pasukan Muslim. Demikian juga sahabat Ali bin Abi Thalib juga bersujud syukur ketika mengetahui bahwa Dzutsadniyah (tokoh Khawarij) terbunuh. Hal yang sama juga dilakukan oleh Ka’ab bin Malik ketika mendengar kabar langsung dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa taubatnya diterima Allah Subhanhu Wa Ta'ala.
Atas dasar nash-nash yang jelas dan beberapa penjelasan yang kuat di atas, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa hukum sujud syukur itu sunnah. Masalahnya sekarang, kapan atau saat apa sujud syukur itu dilakukan?
Menurut pemahaman kami, kalau sujud syukur itu dilaksanakan setiap kali mendapatkan nikmat, maka setiap detik kita harus sujud syukur, sebab setiap waktu Allah Subhanhu Wa Ta'ala tak henti-hentinya memberi nikmat. Karena itu, menurut kami harus ada batasannya, yaitu setiap mendapat nikmat besar atau terhindar dari musibah besar, dan peristiwa itu tidak terjadi berulang-ulang, bukan setiap nikmat.
Dapat melaksanakan ibadah shalat itu kenikmatan besar yang dikaruniakan kepada kita, tapi kejadiannya berulang-ulang. Yang lebih penting lagi, Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak pernah memberi contoh sujud syukur setelah shalat wajib, biar sekali saja. Itulah sebabnya, ulama pengikut Abu Hanifah dan pengikut Imam Malik menyatakan bahwa sujud syukur yang dilakukan ba’da shalat wajib itu hukumnya makruh. Artinya, tidak dianjurkan.
Sebenarnya tidak hanya Hanafiyah dan Malikiyah yang memakruhkan hal tersebut, tapi juga mayoritas ulama, termasuk golongan Syafi’iyah. Mereka berpendapat bahwa melazimkan sujud syukur usai shalat wajib itu tidak ada dasar hukumnya. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam bishawab. (Suara hidayatullah)Dikutip dan Update Judul oleh situs Dakwah Syariah.
No comments:
Post a Comment