Sunday, August 28, 2011

Hukum Penamaan Yahudi dengan Israel


Assalamualaikum.
Kali ini saya ingin berbagi artikel yang pernah diposting di situs Ustadz Abu Zubair Telaga Hati Online, untuk lebih jelasnya silahkan baca dengan teliti;
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه.
أمّا بعد :
Ada sebuah fenomena  aneh yang tersebar luas di tengah kaum muslimin, yaitu penamaan Negara yahudi yang dimurkai Allah dengan nama Israel!
Dan saya tidak melihat orang yang mengingkari fenomena berbahaya ini! Yang merendahkan kemuliaan seorang rasul yang mulia dari para rasul, yaitu Ya’qub ‘alaihish sholaatu was salam. Yang mana Allah telah memujinya beserta dua ayahnya yang mulia yaitu Ibrahim dan Ishaq, di dalam kitab-Nya yang mulia,
Allah Tabaaroka wa Ta’ala berfirman,
واذكر عبادنا إبراهيم وإسحاق ويعقوب أولي الأيدي والأبصار. إنا أخلصناهم بخالصة ذكرى الدار. وإنهم عندنا لمن المصطفين الأخيار
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang Tinggi Yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. dan Sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar Termasuk orang-orang pilihan yang paling baik”. (Shod : 45-47)
Inilah kedudukan Rasul yang mulia ini di dalam Islam, lantas bagaimana mungkin ia dilekatkan pada yahudi dan mereka melekatkan diri mereka dengannya?
Kebanyakan kaum muslimin menggunakan namanya dalam bentuk ungkapan celaan terhadap Negara (yahudi) ini, seperti perkataan : Israel melakukan ini, melakukan begini dan akan melakukan begini!
Menurut pandanganku ini adalah perkara mungkar, sekedar ada saja ditengah-tengah kaum muslimin tidak boleh apalagi menjadi sebuah fenomena yang tersebar luas diantara mereka tanpa pengingkaran!
Beranjak dari sini, kami letakkan pertanyaan ini beserta jawabannya, maka kami katakan,
-         Apakah boleh menamakan daulah yahudiah yang kafir dan keji dengan Israel atau daulah (Negara) Israel kemudian mengarahkan celaan kepadanya dengan nama Israel?
Yang benar adalah bahwa itu tidak boleh!
Yahudi telah berbuat makar yang besar, di mana mereka membuat hak mereka sebagai hak yang  sah dalam menegakkan Negara di tengah negeri kaum muslimin dengan atas nama warisan Ibrahim dan Israel!
Yahudi telah membuat makar besar dalam menamakan Negara zionisnya dengan nama Negara Israel!
Tipu daya mereka ini merembes pada kaum muslimin, saya tidak katakan pada orang-orang awam mereka saja, bahkan juga pada kebanyakan cendikiawan[1]. Sehingga mereka menyebutkan Negara Israel bahkan menyebutkan nama Israel dalam khabar-khabar mereka di Koran-koran, majalah-majalah dan pembicaraan-pembicaraan mereka, baik sekedar dalam bentuk berita atau dalam bentuk celaan dan laknat, semua itu terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, dan sangat disayangkan kita tidak mendengar adanya yang mengingkari!
Allah banyak mencela yahudi di dalam Al Qur’an serta melaknat mereka, dan menceritakan kepada kita kemurkaan yang ditimpakanNya kepada mereka, akan tetapi dengan nama yahudi dan dengan nama “Orang-orang yang kafir dari Bani Israil tidak dengan nama Israil nabi yang mulia Ya’qub putra yang mulia Ishaq putra yang mulia Ibrahim Kholilullah ‘alaihimush sholaatu was salaam!
Mereka orang-orang yahudi tidak punya hubungan keagamaan apapun dengan Nabiyullah Israil (Ya’qub ‘alaihis salam) dan tidak pula dengan Ibrahim Kholilullah ‘alaihis sholatu was salam!
Dan mereka tidak punya hak mewarisi kedua nabi tersebut dalam hal keagamaan, itu hanyalah kekhususan orang-orang yang beriman.
Allah Ta’ala befirman,
إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين
“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” (Ali Imron : 68)
Dan Allah Ta’ala berfirman menyatakan bahwa Kholil-Nya Ibrahim berlepas diri dari yahudi dan nasrani serta orang-orang musyrikin,
ما كان إبراهيم يهودياً و لا نصرانياً ولكن كان حنيفاً مسلماً وما كان من المشركين
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah Dia Termasuk golongan orang-orang musyrik”. (Ali Imron : 67)
Kaum muslimin tidak mengingkari bahwasanya yahudi adalah dari keturunan Ibrahim dan Israil, akan tetapi mereka meyakini bahwasanya yahudi termasuk musuh Allah dan musuh rasul-rasulNya, diantara mereka adalah Muhamad, Ibrahim dan Israil. Mereka meyakini bahwasanya tidak ada saling mewarisi antara para nabi dan antara musuh-musuh mereka dari orang-orang kafir, baik itu yahudi atau nasrani atau orang-orang musyrik arab dan selain mereka.
Dan sesungguhnya manusia yang paling berhak terhadap Ibrahim dan seluruh para nabi adalah orang-orang islam yang beriman dengan mereka, mencintai mereka dan memuliakan mereka, dan beriman dengan apa yang diturunkan kepada mereka dari kitab-kitab dan shohifah. Mereka menganggap itu adalah bagian dari pokok-pokok agama mereka, merekalah pewaris para nabi dan manusia yang paling berhak terhadap para nabi!
Bumi Allah hanyalah untuk hamba-hambaNya yang beriman kepadaNya dan kepada para rasul yang mulia.
Allah Ta’ala berfirman,
ولقد كتبنا في الزبور من بعد الذكر أن الأرض يرثها عبادي الصالحون
“dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur  sesudah (kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” (Al Anbiya’ : 105)
Maka musuh-musuh nabi tidak berhak menjadi pewaris di muka bumi – terutama yahudi – di kehidupan dunia ini dan  bagi mereka di akhirat azab neraka yang kekal!
Sungguh mengherankan kondisi banyak kaum muslimin yang menerima propaganda yahudi yang mengatakan bahwa mereka adalah pewaris bumi palestina, dan mencari haikal Sulaiman yang mereka sendiri mengkafirkanya serta menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan yang buruk. Mereka adalah orang-orang yang paling memusuhi Sulaiman dan yang lainnya dari nabi-nabi Bani Israil.
Allah Ta’ala berfirman,
أفكلما جاءكم رسول بما لا تهوى أنفسكم استكبرتم ففريقاً كذبتم وفريقاً تقتلون
“Apakah Setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?”. (Al Baqoroh : 87)
Bagaimana bisa sebagian kaum muslimin menerima – paling tidak kondisi mereka mengatakan demikian – propaganda-propaganda batil ini?! Lalu disamping itu menamai mereka dengan israil dan Negara Israel!
Maka hendaklah kaum muslimin menyiapkan diri mereka secara akidah dan manhaj beranjak dari Kitab Robb mereka dan sunnah Nabi mereka shollallahu ‘alaihi wasallama, serta apa-apa yang dahulu Rasul shollallahu ‘alaihi wasallama dan para sahabatnya berada di atasnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan tabi’in yang terpilih serta imam-imam petunjuk dan agama. Sesungguhnya inilah dia sarana paling besar untuk kemenangan mereka atas musuh-musuh mereka dan untuk kemulian serta kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat!
Hendaklah mereka membersihkan diri mereka dari hawa nafsu, bid’ah-bid’ah, fanatisme kepada kebatilan dan ahlinya. Kemudian berusaha dengan sungguh-sungguh mempersiapkan secara materi yaitu berupa persenjataan dengan berbagai bentuknya. Dan penunjang-penunjang itu seperti pelatihan militer, sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan itu.
Allah Ta’ala berfirman,
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ومن رباط الخيل ترهبون به عدو الله وعدوكم
“dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”. (Al Anfal : 60)
Kekuatan di dalam nash ini mencakup segala kekuatan yang membuat musuh takut dari berbagai jenis persenjataan.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah”.
Dan memanah mencakup segala senjata yang dilemparkan (atau ditembakkan), semua itu wajib dimiliki bisa dengan diproduksi sendiri atau dengan membeli atau lain-lainya!
Sekali lagi saya sangat heran penggunaan nama nabi yang mulia ini untuk Negara yang keji, umat yang dimurkai dan umat pendusta, sebagaimana dikatakan dalam pemberitaan-pemberitaan tentang mereka dan dalam mencela mereka : Israel  dan Negara israil, seolah-olah bahasa islam dan arab yang luas telah sempit bagi mereka sehingga tidak menemukan lagi kecuali nama ini!
Kemudian apakah mereka telah berpikir pada diri mereka sendiri dalam hal ini, apakah perbuatan ini membuat Allah atau Rasul-Nya shollallahu ‘alaihi wa sallama ridho? Dan kalau nabiyullah Israil hidup apakah ia ridho ataukah malah menyakitinya?
Tidakkah mereka mengetahui bahwasanya celaan yang mereka tujukan kepada yahudi dengan namanya (nabi Israil) juga tertuju kepadanya tanpa mereka sadari?
Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu ia berkata,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد”
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Tidakkah kalian heran bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan Quraisy dan laknat mereka? Mereka mencela dan melaknat orang yang tercela sedangkan aku adalah Muhamad (yang terpuji)”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Bukhari di Shohihnya (no.3533) dan An Nasai.
Maka bagaimana kalian alihkan celaan dan laknat kalian untuk musuh-musuh Allah kepada  nama nabi yang mulia, salah seorang dari nabi-nabi Allah, rasul dan orang-orang pilihanNya?
Jika ada yang mengatakan, “Penamaan seperti ini ada terdapat di dalam Taurah!”.
Kita jawab : tidak mustahil bahwa ini adalah bagian dari penyelewengan-penyelewengan ahli kitab sebagaimana Allah bersaksi atas mereka bahwasanya mereka menyelewengkan Al Kitab dengan tangan-tangan mereka kemudian mereka mengatakan ini adalah dari sisi Allah. Bahkan di dalam taurah yang telah diselewengkan ada tuduhan kufur kepada nabi-nabi Allah serta perbuatan-perbuatan keji, bagaimana bisa dijadikan sandaran apa yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka kalau realitanya seperti ini.
Kita memohon kepada Allah agar Ia melimpahkan taufik-Nya untuk seluruh kaum muslimin kepada apa-apa yang dicintai dan diridhoiNya dari perkataan maupun perbuatan sesungguhnya Robb kita Maha mendengar do’a.
Ditulis oleh
Robi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkholy
(http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=754789)

[1] Baru saja penerjemah mendengar khotib jum’at mengatakan, “…Israel yang memborbardir kaum muslimin di Palestina”.

Friday, August 26, 2011

Hakikat Din Islam

Hakikat islam  tergambar dalam jawaban Rasul shollallahu ‘alaihi wa sallama untuk Jibril ‘alaihis Salam. Ketika ia bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama tentan g Islam, maka Beliau menjawab, “Islam itu adalah; engkau bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang diibadati dengan hak melainkan Allah dan bahwasanya Muhamad itu adalah Rasulullah, dan engkau menegakkan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan serta mengerjakan haji ke Baitullah jika engkau sanggup melakukannya”. (HR. Muslim 1/8 dari sahabat Umar bin Al Khottob)
Termasuk dalam ini beriman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasuNya, hari akhir, dan beriman kepada Qodar yang baik maupun yang buruk, sebagaimana termasuk juga dalam itu Al Ihsan yaitu; Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak melihatNya sesungguhnya Ia melihatmu. Karena Islam apabila disebutkan mencakup semua hal ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala (yang artirnya), “Sesungguhnya Din yang diridhoi disisi Allah adalah Islam”. (Ali imron : 19)
Dan hadits Jibril ketika ia bertanya kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama tentang islam, iman, dan ihsan, lalu beliau menjawabnya dengan apa yang disebutkan di atas. Dan Rasul memberitakan bahwa Jibril menanyakan semua perkara ini adalah dalam rangka mengajarkan kepada manusia agama mereka. Tentu ini menunjukkan bahwasanya Dinul Islam adalah tunduk kepada perintah-perintah Allah zohir dan batin serta meninggalkan apa yang dilarangnya zohir dan batin. Inilah dia Islam yang sempurna. (Al-Lajnah Ad Daimah, 1988)
Dikutip dari Telaga Hati Online website Ustdz Abu Zubeir

Tuesday, August 23, 2011

MENERIMA HADIAH SETELAH MENOLONG

Pangkat dan kedudukan di tengah manusia -jika disyukuri-  merupakan salah satu nikmat Allah Subhanahu wata’ala atas hambaNya. Di antara cara bersyukur atas nikamat ini adalah dengan menggunakan pangkat dan kedudukan tersebut buat mashlahat dan kepentingan umat. Ini merupakan realisasi dari sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Barangsiapa di antara kalian bisa memberi manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan” (HR Muslim :4/1726).

Orang yang dengan pangkatnya bisa memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim, baik dalam mencegah kezhaliman daripadanya atau mendatangkan manfaat untuknya –jika niatnya Ikhlas- tanpa diikuti perbuatan haram atau merugikan orang lain ia akan mendapat pahala di sisi Allah Tabaroka wata’ala. Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam :

“Berilah pertolongan, niscaya kalian diberi pahala” (HR Abu Dawud, 5132, Hadits ini terdapat dalam shahihain, Fathul Bari, 10/450, bab Ta’awanul mukminin Ba’dhuhum  Ba’dha).

Tetapi ia tidak boleh mengambil upah dari pertolongan dan perantaraan yang ia berikan. Ini berdasarkan hadits marfu’ dari Abu Umamah:

“barangsiapa memberi pertolongan kepada seseorang, lalu ia diberi hadiah (atas pertolongan itu) kemudian (mau) menerimanya, sungguh ia telah mendatangi pintu yang besar di antara pintu-pintu riba” (HR Imam Ahmad, 5/261, shahihul jami’ : 6292).

Sebagian orang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mengeruk keuntungan materi. Misalnya dengan mensyaratkan imbalan dalam pangangkatan kepegawaian seseorang, atau dalam memindahtugaskan pegawai dari satu daerah ke daerah lain, atau juga dalam mengobati pasien yang sakit, dan hal lain yang semacamnya.

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz, menurut pendapat yang kuat, imbalan yang diterimanya itu hukumnya haram. Berdasarkan hadits Abu Umamah sebagaimana telah disebut di muka. Bahkan secara umum hadits itu mencakup pula penerimaan imbalan yang tidak disyaratkan di muka.

cukuplah orang yang berbuat baik itu mengharap imbalannya dari Allah kelak pada hari kiamat. Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Al Hasan bin Sahal meminta pertolongan dalam suatu keperluan, sehingga ditolongnya. Laki-laki itu berterima kasih kepada Al Hasan. Tetapi Al Hasan bin Sahal berkata :” Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami ? Kami memandang bahwasanya pangkat wajib dizakati, sebagaimana harta wajib dizakati.” [Al Adab Asy Syar’iyah oleh Ibnu Muflih : 2/176]

Perlu dicatat, ada perbedaan antara mengupah dan menyewa seseorang untuk melakukan tugas, mengawasi atau menyempurnakannya dengan menggunakan pangkat dan kedudukannya untuk tujuan materi. Yang pertama, jika memenuhi persyaratan syari’at diperbolehkan karena termasuk dalam bab sewa menyewa, sedang yang kedua hukumnya haram.

Sunday, August 21, 2011

Merampas Tanah Milik Orang Lain

Jika telah hilang rasa takut kepada Allah Subhanahu wata'ala, maka kekuatan dan kelihaian menjadi bencana bagi pemiliknya. Ia akan menggunakan anugrah itu untuk berbuat zhalim, misalnya dengan menguasai harta orang lain. Termasuk di dalamnya merampas tanah milik orang lain. Ancaman untuk orang yang melakukan hal tersebut sungguh amat keras sekali.

Dalam hadits marfu’ dari Abdullah bin Umar Radhiallahu'anhu disebutkan :
         
“Barang siapa mengambil tanah (orang lain) meski sedikit dengan tanpa hak niscaya dia akan ditenggelamkan dengannya pada hari kiamat sampai ke (dasar) tujuh lapis bumi” (HR Al Bukhari, lihat fathul Bari : 5/103).

Ya’la bin Murrah Radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Siapa yang menzhalimi (dengan mengambil) sejengkal dari tanah (orang lain) niscaya Allah membebaninya dengan menggali tanah tersebut (dalam riwayat Ath Thabrani : menghadirkannya) hingga akhir dari tujuh lapis bumi, lalu Allah mengkalungkannya (di lehernya) pada hari kiamat sehingga seluruh manusia diadili” (HR Ath Thabrani dalam Al Kabir, 22/270; shahihul jam’: 2719).

Termasuk di dalamnya, mengubah batas dan patok-patok tanah, sehingga tanahnya menjadi luas dengan mengurangi tanah milik tetangganya. Mereka itulah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dalam sabdanya :

“Allah melaknat orang yang mengubah tanda-tanda (batasan) tanah” (HR Muslim, syarah Nawawi, 13/141).
Mudah-mudahan kita terhindar dari hal yang demikian, wassalamualaikum.

Thursday, August 18, 2011

Hukum Memberi dan Menerima Suap

Memberi uang suap kepada  qadhi atau hakim agar ia membungkam kebenaran atau melakukan kebatilan merupakan suatu kejahatan. Sebab perbuatan itu mengakibatkan ketidakadilan dalam hukum, penindasan orang yang berada dalam kebenaran serta menyebarkan kerusakan di bumi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan janganlah sebagaian kamu memakan harta kalian di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah)  kamu memberikannya kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda sebagian orang, dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al Baqarah : 188).
         
Dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah disebutkan :
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam (urusan) hukum” (HR Ahmad, 2/387; shahihul jami’ : 5069).
         
Adapun jika tak ada jalan lain lagi selain suap untuk mendapatkan kebenaran atau menolak kezhaliman maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman tersebut.

Saat ini, suap menyuap sudah menjadi kebiasaan umum, bagi sebagian pegawai, suap menjadi income / pemasukan yang hasilnya lebih banyak dari gaji yang mereka peroleh. Untuk urusan suap menyuap banyak perusahaan dan kantor yang mengalokasikan dana khusus. Berbagai urusan bisnis atau mua’malah lainnya, hampir semua dimulai dan di akhiri dengan tindak suap. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi orang-orang miskin. Karena adanya suap, undang-undang dan peraturan menjadi tak berguna lagi. Soal suap pula yang menjadikan orang yang berhak diterima sebagai karyawan digantikan mereka yang tidak berhak.

Dalam urusan administrasi misalnya, pelayanan yang baik hanya diberikan kepada mereka yang mau membayar, adapun yang tidak membayar, ia akan dilayani asal-asalan, diperlambat, atau diahirkan. Pada saat yang sama, para penyuap yang datang belakangan, urusannya telah selesai sejak lama.

Karena soal suap menyuap, uang yang  semestinya milik mereka yang bekerja, bertukar masuk kedalam kantong orang lain, disebabkan oleh hal ini, juga hal yang lain maka tak heran jika Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam memohon agar orang-orang yang memiliki andil dalam urusan suap menyuap semuanya dijauhkan dari rahmat Allah.

Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

Semoga laknat Allah atas penyuap dan orang yang disuap” (HR Ibnu Majah, 2313; shahihul jam’ : 5114).

Monday, August 15, 2011

Etika dalam Berdagang


Suatu hari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lewat di samping sebuah gundukan makanan (sejenis gandum). Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam gundukan makanan tersebut sehingga jari-jarinya basah. Beliau bertanya : Apa ini wahai pemilik makanan ? ia menjawab : kehujanan, wahai Rasulullah! Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Kenapa tidak kau letakkan di (bagian) atas makanan sehingga orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka dia tidak termasuk golongan kami” (HR Muslim : 1/99).

Pada saat ini banyak pedagang yang tidak takut kepada Allah Subhanahu wata'ala dengan menyembunyikan aib barang. Misalnya dengan memberinya lem perekat, atau maletakkannya di bagian bawah kotak barang, atau menggunakan zat kimia atau semacamnya sehingga barang tersebut tampak bagus. Jika berupa barang-barang elektronik, mungkin dengan menyembunyikan cacat pada komponen tertentu, sehingga ketika barang itu dibawa pulang oleh pembeli, tak lama kemudian barang itu rusak. Sebagian penjual ada yang mengubah tanggal kedaluwarsa penggunaan barang, atau menolak pembeli yang ingin meneliti barang atau mencobanya. Dan betapa banyak kita saksikan orang-orang yang menjual mobil atau peralatan lainnya, tidak mau menerangkan cacat barang yang hendak dijualnya. Semua ini hukumnya haram. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Seorang muslim adalah saudara seorang muslim lainnya, tidak halal bagi seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang di dalamnya ada cacat, kecuali ia menerangkan cacat tersebut” (HR Ibnu Majah : 2/754, shahihul jami’ : 6705).

Sebagian orang mengira, menjual secara lelang dengan serta merta akan melepaskan dirinya dari tanggung jawab soal aib barang. Misalnya dengan mengatakan kepada pembeli, saya jual kepada anda setumpuk besi… saya jual kepada anda setumpuk besi. Tidak, justru menjual barang seperti itu (dengan tanpa menerangkan cacat barang) juga yang sejenisnya adalah perdagangan yang tidak diberkahi. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“Kedua orang yang sedang jual beli adalah dalam khiyar (pilihan) selama belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menerangkan (aib barang) maka jual beli keduanya diberkahi. Tetapi jika keduanya berdusta dan menyembunyikan (aib barang) maka dihapuslah berkah jual beli keduanya” (HR Al Bukhari, lihat Fathul Bari : 4/ 328).

Wednesday, August 3, 2011

Pandangan Islam tentang Zina

Di antara tujuan syariat adalah menjaga kehormatan dan keturunan, karena itu syariat Islam mengharamkan zina, Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (Al Isra’ : 32)
Bahkan syariat menutup segala pintu dan sarana yang mengundang perbuatan zina. Yakni dengan mewajibkan hijab, menundukkan pandangan, juga dengan melarang khalwat (berduaan di tempat yang sepi) dengan lawan jenis bukan mahram dan sebagainya.
Pezina muhshan (yang telah beristri) dihukum dengan hukuman yang paling berat dan menghinakan. Yaitu dengan merajam (melemparnya dengan batu hingga mati). hukuman ini ditimpakan agar merasakan akibat dari perbuatannya yang keji, juga agar setiap anggota tubuhnya kesakitan, sebagaiman dengannya ia menikmati yang haram.
Adapun pezina yang belum pernah melakukan senggama melalui nikah yang sah, maka ia dicambuk sebanyak seratus kali. Suatu bilangan yang paling banyak dalam hukuman cambuk yang dikenal dalam Islam. Hukuman ini harus disaksikan sekelompok kaum mukminin. Suatu bukti betapa hukuman ini amat dihinakan dan dipermalukan. Tidak hanya itu, pezina tersebut selanjutnya harus dibuang dan diasingkan dari tempat ia melakukan perzinaan, selama satu tahun penuh.
Adapun siksaan para pezina -baik laki-laki maupun perempuan- di alam barzakh adalah ditempatkan di dapur api yang atasnya sempit dan bawahnya luas. Dari bawah tempat tersebut, api dinyalakan. Sedang mereka berada didalamnya dalam keadaan talanjang. Jika dinyalakan mereka teriak, malolong-lolong dan memanjat keatas hingga hampir-hampir saja mereka bisa keluar, tapi bila api dipadamkan, mereka kembali lagi  ke tempatnya semula (di bawah) lalu api kembali lagi dinyalakan. Demikian terus berlangsung hingga datangnya hari kiamat.
Keadaannya akan lebih buruk lagi jika laki-laki tersebut sudah tua tapi terus saja berbuat zina, padahal kematian hampir menjemputnya, tetapi Allah Tabaroka wata’ala masih memberinya tenggang waktu.
Dalam hadits marfu’ dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu disebutkan :
“Tiga (jenis manusia) yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, juga Allah tidak akan menyucikan mereka dan tidak pula memandang kepada mereka, sedang bagi mereka siksa yang pedih, yaitu laki-laki tua yang suka berzina, seorang raja pendusta, dan orang miskin yang sombong”. (HR Muslim : 1/102-103).
Di antara cara mencari rizki yang terburuk adalah mahrul baghyi. yaitu upah yang diberikan kepada wanita pezina oleh laki-laki yang menzinainya.
Pezina yang mencari rizki dengan dengan menjajakan kemaluannya tidak diterima doanya. Walaupun do’a itu dipanjatkan ditengah malam, saat pintu-pintu langit dibuka. (Hadits masalah ini terdapat dalam shahihul jami’ : 2971)
Kebutuhan dan kemiskinan bukanlah suatu alasan yang dibenarkan syara’ sehingga seseorang boleh melanggar ketentuan dan hukum-hukum Allah. Orang Arab dulu berkata:
seorang wanita merdeka kelaparan
tetapi tidak makan dengan menjajakan kedua buah dadanya,
bagaimana mungkin dengan menjajakan kemaluannya.
Di zaman kita sekarang, segala pintu kemaksiatan di buka lebar-lebar. Setan mempermudah jalan (menuju kemaksiatan) dengan tipu dayanya dan tipu daya pengikutnya. Para tukang maksiat dan ahli kemungkaran membeo setan. Maka bertebarlah para wanita yang pamer aurat dan keluar rumah tanpa mengenakan pakaian yang diperintahkan agama. Tatapan yang berlebihan dan pandangan yang diharamkan menjadi fenomena umum. Pergaulan bebas antara laki-laki dengan perempuan merajalela. Rumah-rumah mesum semua laku. Demikian pula dengan film-film yang membangkitkan nafsu hewani. Banyak orang-orang melancong ke negeri-negeri yang menjanjikan kebebasan maksiat. Disana-sini berdiri bursa sex. Pemerkosaan terjadi di mana-mana. Jumlah anak haram meningkat tajam. Demikian halnya dengan aborsi (pengguguran kandungan) akibat kumpul kebo dan sebagainya.
Ya Allah, kami mohon padaMu, bersihkanlah segenap hati kami dan pelihara serta bentengilah kemaluan dan kehormatan kami. Jadikanlah antara kami dengan hal-hal yang diharamkan dinding pembatas. Hanya kepadamulah kami mengadu…..Laa khawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim.

Monday, August 1, 2011

Kajian Tentang Tuduhan dan Bukti

1.  PENGERTIAN TUDUHAN DAN BUKTI

Da’aawa adalah bentuk jama’ dari kata da’wa, yang menurut bahasa berarti thalab (tuntutan). Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan memperoleh (pula) di dalamnya apa saja yang kamu minta." (QS Fushshilat: 31)

Yaitu apa saja yang kamu tuntut.

Adapun pengertian da’wa menurut istilah syar’i ialah seorang mengaku memiliki sesuatu yang berada di tangan orang lain atau di dalam tanggungan orang lain.

Sedangkan mudda’i ialah orang yang menuntut haknya, dan manakala ia tidak menuntutnya, maka dibiarkan. Adapun mudda’a ’alaih ialah orang yang dituntut mengembalikan hak orang lain, dan manakala ia diam, tidak membantah, maka ia tetap dituntut. (Fiqhus Sunnah III: 327).

Bayyinaat adalah bentuk jama’ dari kata bayyinah ialah bukti kuat seperti saksi dan semisalnya. Dasar pembicaraan ini ialah riwayat:

Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Andaikata orang-orang diberi (sesuai) tuntutan mereka, (maka) orang-orang pada menuntut darah dan harta benda orang lain (seenaknya). Namun sumpah harus diucapkan oleh pihak tertuduh.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1336 no: 1711 dan Fathul Bari VIII: 213 no: 4551 dalam satu kisah, dan Ibnu Majah II: 778 no: 2331)

Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya ra, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Bukti harus dikemukakan oleh si penuduh, sedang sumpah wajib diucapkan oleh si tertuduh.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2896 dan Tirmidzi II: 399 no: 1356)

2.  DOSA ORANG YANG MENGAKU MILIK ORANG LAIN SEBAGAI MILLIKNYA

Dari Abu Dzar ra bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengaku milik orang lain sebagai milliknya, maka ia bukanlah dari golongan kami; dan hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1877, Muslim I: 79 no: 61 dan Ibnu Majah II: 777 no: 2319)

3.  DOSA ORANG YANG BERSUMPAH PALSU DEMI MENDAPATKAN HARTA ORANG LAIN

Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan sumpah palsu yang dengannya ia akan mendapatkan sebagaian harta orang muslim (yang lain), niscaya ia akan bertemu dengan Allah dalam keadaan dimurkai oleh-Nya.” (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari XI: 558 no: 6676, 6677 Muslim: I: 122 no: 138, 'Anul Ma;bud VIII: 67 no: 3227, Tirmidzi IV 292 no: 4082 dan Ibnu Majah II: 778 no: 2323)

Dari Abu Ummah al-Haritsi ra bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang mengambil sebagian hak orang muslim (yang lain) dengan sumpahnya, melainkan pasti Allah mengharamkan syurga atasnya, dan memastikan neraka baginya.” Kemudian ada seorang sahabat yang hadir berkata, “Ya Rasulullah (meskipun) yang diambil itu barang yang sepele!” jawab Beliau, “Sekalipun sekedar siwak dan pohon arak.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no 1882, Ibnu Majah II:779 no: 2324, dan semisal dalam Muslim I: 121 no: 137 dan Nasa’i VIII: 246)

4.  CARA PENETAPKAN TUDUHAN

Cara menguatkan dakwaan ialah melalui pengakuan, kesaksian, dan sumpah (Fiqhus Sunnah III: 328).

5.  PENGAKUAN

Yang dimaksud dengan pengakuan ialah mengakui kebenaran, dan ini hukumnya wajib, bila yang mengakui itu adlaah orang yang mukallaf dan tanpa tekanan dari pihak manapun (Manarus Sabil II: 505).

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallampernah merajam Ma’iz dan perempuan al-Ghamidiyah serta al-Juhainah atas dasar pengakuan mereka sendiri. Di samping itu Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:

“Wahai Unais, berangkatlah menemui isteri orang itu, jika ia mengakui, maka rajamlah.” (lihat pembahasan hukuman bagi orang yang berzina)

6.  KESAKSIAN

Menjadi saksi dalam pembelaan terhadap hak manusia adalah fardhu kifayah, berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

"Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila dipanggil." (QS Al-Baqarah: 282)

Sedangkan memberikan kesaksian adalah fardhu ’ain hukumnya, berdasarkan firman-Nya:

"Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya." (QS Al-Baqarah: 283)

Saksi harus memberi keterangan yang sesungguhnya, apa adanya walaupun terhadap dirinya sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan:

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar yang penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapak dan Kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (QS An-Nisaa’: 135)
Haram memberi kesaksian tanpa mengetahui dengan jelas. Allah Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan:

"Melainkan orang yang mengakui yang haq, sedangkan mereka mengetahui (dengan jelas)." (QS Az-Zukhruf: 86)

Saksi palsu termasuk sebesar-besar dosa besar.

Dari Abi Bakrah ra bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Maukah kujelaskan kepada kalian berita penting tentang sebesar-besar dosa besar?” Kemudian kami jawab, “Tentu mau, ya Rasulullah.” Lanjut Beliau, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada ibu bapak.” Pada saat itu Beliau sedang bersandar, lalu duduk dan bersabda lagi, “Ingatlah perkataan bohong dan saksi palsu.” Beliau tak henti-hentinya mengulanginya hingga kami berkata (dalam hati), “Seandainya Beliau diam!” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 261 no: 2654 dan Muslim I: 91 no: 87)

7.  ORANG YANG DITERIMA KESAKSIANNYA

Kesaksian tidak boleh diterima, kecuali berasal dari orang muslim yang sudah baligh, berakal sehat serta adil. Karenanya, kesaksian orang kafir tidak boleh diterima, meski terhadap sesama kafir, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu." (QS Ath-Thalaq: 2)

"Dari saksi-saksi yang kamu ridhai." (QS Al-Baqarah: 282)

Dalam satu riwayat ditegaskan:

Orang kafir bukanlah orang yang adil, bukan (pula) orang yang diridhai, dan bukan (juga) termasuk golongan kita. (Manurus Sabil II: 486)

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dan orang-orang laki-laki di antara kamu.” (QS Al-Baqarah: 282)

Sedangkan anak kecil tidaklah termasuk dari golongan laki-laki di antara kita.

Tidak boleh diterima kesaksian orang yang kurang waras pikirannya, orang gila dan yang semisalnya; karena perkataan mereka terhadap dirinya sendiri saja tidak bisa diterima, apalagi yang menyangkut orang lain.
Kesaksian orang fasik tidak boleh diterima juga. Firman-Nya:

"Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil diantara kamu." (QS Ath-Thalaaq: 2)

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

"Tidak Boleh (diterima) kesaksian pengkhianat laki-laki dan perempuan, tidak (pula) pezina laki-laki dan perempuan, dan tidak (juga) orang yang dendam kepada saudaranya." (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1916, ‘Aunul Ma’bud X: 10 no: 3584, Ibnu Majah II: 792 no: 2366 dengan kalimat yang di tengah berbunyi sebagai berikut: WALAA MAHDUUHA FIL ISLAM (dan tidak (pula) yang pernah terkena had / hukuman).

8.  PEMBAGIAN KESAKSIAN

Hak-hak terbagi dua, yaitu hak Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan kedua, hak adami (hak manusia) (Matn al-Ghabah Wat Taqrib)

Adapun hak-hak adami, yang menyangkut anak cucu Adam, terbagi menjadi tiga bagian:

Suatu hak yang kesaksian hanya boleh diterima dari dua orang saksi laki-laki saja, yaitu suatu hak yang tidak dimaksudkan untuk mendapat harta dan permasalahan ini disaksikan juga oleh orang banyak seperti perkawinan dan perceraian.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala:

"Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu." (QS Ath-Thalaq: 2)

Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“Tidak sah pernikahan tanpa (izin) wali dan (disaksikan) dua orang saksi yang adil.” (Takhrij hadistnya sudah pernah dimuat pada pembahasan kitab nikah)

Jadi, dalam ayat dan hadist di atas, saksi termaktub dalam jenis mudzakkar (laki-laki).

Suatu hak yang mana kesaksian boleh diterima dari dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, atau seorang laki-laki dan si penuduh bersumpah. Masalah ini berkaitan erat dengan harta benda, misalnya jual beli, sewa menyewa, gadai dan semisalnya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala menegaskan:

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang mengingatkannya." (QS Al-Baqarah: 282)

Dari Ibnu Abbas ra:

“Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memutuskan perkara berdasarkan sumpah dan seorang saksi laki-laki.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1920, Muslim III: 1337 no: 1712, Ibnu Majah II: 793 no: 2370, “Aunul Ma’bud X: 28 no: 3591)

Satu hak yang mana kesaksian bisa diterima dari dua orang laki-laki, atau perempuan, yaitu hal-hal yang pada umumnya tidak layak dilihat laki-laki, misalnya penyusunan, kelahiran, dan aib perempuan yang bersifat sangat pribadi.

Adapun hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta'ala maka kesaksian sama sekali tidak boleh diterima dari kaum perempuan:

Hal ini mengacu pada pernyataan Imam az-Zuhri:

“Seseorang sama sekali tidak boleh dijatuhi hukuman had, kecuali dengan kesaksian dua orang laki-laki.”

Hal-hak Allah ini terbagi menjadi tiga macam:

Hak yang padanya tidak boleh diterima saksi kurang dari empat saksi laki-laki, yaitu perzinaan, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Dan orang-rang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera." (QS An-Nuur: 4)

Hak yang padanya diterima dua orang saksi laki-laki, yaitu perbuatan-perbuatan jahat selain zina. Ini berpijak pada pernyataan Imam az-Zuhri itu.

Satu hak yang padanya diterima seorang saksi laki-laki, yaitu orang yang menyaksikan hilal bulan ramadhan. (periksa kembali masalah shiyam/puasa).

9.  SUMPAH

Apabila ternyata pihak penuduh tidak berhasil mendatangkan bukti yang kuat, sementara pihak terdakwa menolak tuduhannya, maka si penuduh tidak bisa menekan, melainkan hanya sekedar menuntut agar si terdakwa mengucapkan sumpah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:

"Bukti harus dikemukakan si penuduh, dan sumpah harus diucapkan oleh tertuduh." (Shahih: Shahihul Jami’ no: 2896 dan Tirmidzi II: 399 no: 1356)

Dari al-Asy’ats bin Qais al-Kindi ra bercerita: Adalah antara diriku dan seorang laki-laki ada pertengkaran tentang sebuah sumur, kemudian kami melapor kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu Beliau bersabda, “Kamu harus membawa dua orang saksi, atau dia disumpah.” Saya katakan (kepada Beliau), “Kalau begitu, dia akan disumpah, dan dia tidak akan peduli (dengan sumpahnya).” Lalu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallambersabda, “Barangsiapa mengucapkan satu sumpah yang dengannya ia mengambil hak pemilikan harta (yang disengketakan), padahal ia bersumpah palsu, maka niscaya (kelak) ia akan bertemu Allah dalam keadaan dimurkai oleh-Nya.” Maka kemudian Allah menurunkan pembenaran masalah itu, kemudian Beliau membaca ayat ini (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah mereka dengan harga sedikit …… Bagi mereka adzab yang pedih.” (Takhrij hadist ini sudah pernah dimuat sebelumnya).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil

Kajian Tentang Memerdekakan Budak

1.    PENGERTIAN ‘ITQ

‘Itq huruf ‘ain dikasrah, ialah memerdekakan budak. Pakar Bahasa Arab al-Azhari mengatakan: Kata ‘itq berasal dari perkataan orang Arab, ‘ataqal faras yaitu kuda lepas dan ‘ataqal farkh yakni anak burung terbang meninggalkan sarangnya. Disebut demikian, karena budak bisa bebas dengan jalan dimerdekakan sehingga ia bisa ke mana ia mau.

2.    ANJURAN MEMERDEKAKAN BUDAK DAN KEUTAMAANNYA

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"Maka tidaklah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir." (QS.Al-Balad: 11-16)

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak muslim, niscaya Allah akan memerdekakan satu anggota tubuhnya dari siksa neraka.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 146 no: 2517, Muslim II: 24 dan 1509)

Dari Abu Musa al-Asy’ari ra bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Ada tiga golongan yang mana mereka (kelak) akan diberi pahala dua kali: (Pertama) seseorang dari kalangan Ahli Kitab yang beriman kepada Nabinya, dan mendapati Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam lalu beriman (juga) kepadanya serta mengikutinya dan membenarkan Beliau, maka baginya mendapatkan dua pahala. (Kedua) hamba sahaya yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya, maka baginya dua pahala. Dan (ketiga) seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan, ia memberinya makan dengan makanan yang bergizi, lalu ia mendidiknya dengan baik serta mengajarkan dengan baik (pula), kemudian ia memerdekakannya dan menikahinya, maka baginya mendapat dua pahala.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 190 no: 97, Muslim I: 134 no: 154 dan lafadz ini baginya, Tirmidzi II: 292 no: 1124 dan Nasa’i VI: 115)

3.    BUDAK YANG PALING UTAMA DIMERDEKAKAN

Dari Abu Dzar ra ia berkata: Saya pernah bertanya kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, “(Ya Rasulullah), amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Iman kepada Allah, dan jihad di jalan-Nya.” Lalu saya bertanya (lagi), “Kemudian budak yang mana yang paling utama (dimerdekakan)?” Jawab Beliau, “Budak yang paling tinggi harganya dan paling terhormat di kalangan keluarganya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 148 no: 2518 dan Muslim I: 89 no: 84).

4.    WAKTU DIANJURKAN MEMERDEKAKAN BUDAK

Dari Asma’ binti Abu Bakar ra ia berkata, “Nabi  Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memerintah memerdekakan budak pada waktu ada gerhana.”

5.    SEBAB-SEBAB KEMERDEKAAN BUDAK

Kemerdekaan budak bisa terjadi, pertama, karena dimerdekakan oleh tuannya demi mendambakan ridha Allah, sebagaimana telah dikupas oleh hadist-hadist yang lalu tentang keutamaannya.

Sebab yang kedua, karena kepemillikan. Yaitu barangsiapa yang mendapatkan bagian rampasan perang yang di antaranya ada seorang mahramnya, maka dengan sendirinya mahram itu termerdekakan.

Dari Samurah bin Jundab ra, dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Beliau bersabda, “Barangsiapa memiliki budak dari keluarga yang haram (dinikahi olehnya), maka jadi merdekalah ia.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2046, ‘Aunul Ma’bud X: 480 no: 3830, Tirmidzi II: 409 no: 1376 dan Ibnu Majah II: 843 no: 2524)

Sebab yang ketiga, kemerdekaan seorang hamba secara total bisa terjadi melalui proses sebagai berikut: seorang budak dimiliki dua tuan, lalu satu memerdekakan bagiannya, kemudian ia punya dana untuk menembus hamba itu dari tuan yang menjadi rekan sekutunya itu,  lantas ia serahkan dana termaksud kepadanya, maka merdekalah budak itu secara total:

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa memerdekakan bagiannya pada seorang hamba, dan ia mempunyai dana yang cukup buat harga hamba itu, maka ditaksirlah harga hamba itu dengan penaksiran yang pantas, lalu ia bayar hak-hak orang-orang yang berserikat dengannya dan merdekalah hamba itu; tetapi jika tidak, termerdekalah hamba itu sebanyak yang ia merdekakan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 151 no: 2522, Muslim II: 1139 no: 1501, ‘Aunul Ma’bud X: 466 no: 3921 dan Tirmidzi II: 400 no: 1361).

Kalau orang yang memerdekakan itu tidak punya dana untuk memerdekakannya secara keseluruhan, maka merdekalah si budak itu sesuai dengan kadar yang telah dimerdekakan oleh orang itu, dan ia wajib berusaha keras bekerja mengumpulkan dana untuk menembus sebagiannya lagi kepada tuannya:

Dari Abu Huraitah ra bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa memerdekakan sebagian pada seorang budak, maka penyelesaiannya tergantung pada hartanya, jika ia mempunyai harta; jika tidak, maka nilai hamba itu ditaksir, kemudian disuruh berusaha dengan tidak menyulitkan atasnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 156 no: 2527, Muslim II: 1140 no: 1503, ‘Aunul Ma’bud X: 452 no: 2919, Tirmidzi II: 401 no: 1358 dan Ibnu Majah II: 844 no: 2527).

6.    TADBIR

Tadbir ialah upaya memerdekakan budak yang digantungkan dengan masa kematian. Sebagian misal ada seorang tuan berkata kepada budaknya, "jika aku meninggal dunia, maka engkau merdeka." Jadi, jika kemudian tuannya meninggal dunia, maka dengan sendirinya ia menjadi merdeka, jika harganya tidak lebih dari sepertiga jumlah hartanya. (Manurus Sabil II: 116)

Dari Imran bin Husain, bahwa ada seorang laki-laki pernah mempunyai enam hamba sahaya. Ia tidak memiliki harta kecuali mereka. Kemudian ia memerdekakan mereka bertiga ketika hampir meninggal dunia. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam membagi mereka menjadi tiga bagian, kemudian Rasulullah undikan antara mereka, lalu Beliau memerdekakan dua orang dan tetapkan empat orang sebagai hamba sahaya, dan Beliau berkata kepadanya dengan perkataan yang keras (yakni atas perbuatannya).” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 895, Muslim III: 1288 no: 1668, ‘Aunul Ma’bud X: 500 no: 1375 Tirmidzi II: 409 no: 3939 dan Nasa’i  IV: 64).

7.    BOLEH MENJUAL HAMBA MUDABBAR DAN BOLEH MENGHIBAHKANNYA

Dari Jabir bin Abdullah ra ia berkata, “Telah sampai (informasi) kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa ada seorang laki-laki dari kalangan sahabatnya memerdekakan hambanya secara mudabbar, ia tidak mempunyai harta selain (hamba) itu. Oleh sebab itu, Beliau kemudian menjualnya dengan harga delapan ratus Dirham, lalu uangnya Beliau kirimkan kepadanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XIII: 179 no:7186, Muslim II: 692 no: 997 ‘Aunul Ma’bud X: 495 no: 3938).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil

Pengertian Kitabah dan Kajiannya

1.    PENGERTIAN KITABAH

Kitabah ialah memerdekan seorang hamba dengan catatan si hamba harus menyerahkan uang sekian jumlahnya dalam sekian masa kepada tuannya.

2.    HUKUM  KITABAH

Jika seorang hamba berkata kepada tuannya, “Merdekakanlah saya secara kitabah”, maka tuannya wajib memenuhi permintaannya, bila ia memandang budaknya mampu berusaha mencari dana. Ini dilandasi pada firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :

"Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu berbuat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka." (QS An-Nur : 33)

Dari Musa bin Anas, bahwa Sirin pernah minta kemerdekaan secara kitabah kepada Anas –ia (Sirin) mempunyai harta yang banyak-, lalu dia (Anas) menolak. Kemudian dia pergi menemui Umar ra (menginformasikan hal tersebut kepadanya), lalu Umar berkata, “Merdekakanlah ia secara kitabah (tertulis)!” Lalu dia menolak, lantas dipukul oleh Umar dengan kantong air susu sambil membaca ayat (yang artinya), “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” Maka kemudian dia membuat perjanjian merdeka secara kitabah (tertulis) dengannya. (Shahihul Isnad : Irwa-ul Ghalil No: 1760 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907, Fathul Bari V: 184 secara Mu’allaq).

3.    KAPAN HAMBA MUKATAB BISA MERDEKA

Kapan saja hamba mukatab melunasi tanggungannya kepada tuannya, atau dimerdekakannya olehnya, maka ia jadi merdeka. Dan ia tetap menjadi hamba sahaya hingga melunasi sisa tanggungannya.

Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Hamba mukatab itu (tetap) sebagai hamba sahaya selama ada sisa dari mukatabnya (yang belum dilunasinya) (walaupun) satu Dirham.” (Hasan: Shahih Abu Daud No: 3323, Irwa-ul Ghalil No: 1674 dan ‘Aunul Ma’bud X: 427 No: 3907).

4.    MENJUAL HAMBA MUKATAB

Boleh menjual hamba sahaya mukatab, manakala ia ridha.

Dari Amrah binti Abdurrahman, ia bertutur: Bahwa Barirah datang minta tolong kepada Aisyah Ummul Mukminin ra, lalu Aisyah berujar kepadanya, “Jika keluargamu ingin aku menyerahkan hargamu kepada mereka secara kontan, dan aku memerdekakanmu, (maka) akan aku lakukan.” Kemudian Barirah menceritakan hal tersebut kepada keluarganya, lalu mereka berkomentar, “Jangan kecuali hak ketuanan menjadi milik kita.” Malik berkata bahwa Yahya menegaskan: Amrah berkata bahwa Aisyah menceritkan hal tersebut kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (kepada Aisyah), “Belilah ia (Barirah) dan kemudian merdekakanlah ia: karena sesungguhnya hak ketuanan itu menjadi milik penuh bagi yang memerdekakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 194 No: 2564 dan Muslim II: 1141 No: 1504).

5.    HAK KETUANAN

Wala’ (hak ketuanan), ialah orang yang memerdekakan budak berhak menjadi ahli waris dari budak yang telah dimerdekakan itu. Namun harus diperhatikan, bahwa pemilik hak ketuanan itu tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali ketika tidak ada ashabah senasab, sebagaimana yang sudah dijelaskan.

Tidak boleh menjual wala’ dan tidak pula menghibahkannya berdasarkan hadits Ibnu Umar:

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melarang menjual wala’ dan (melarang pula) mengibahkannya.” (Muttafaqun ’alaih: Mukhtashar Muslim No: 898 dan Fathul Bari V: 167 No: 2535).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil

Kajian Etika Niat

Orang Muslim beriman kepada urgensi niat bagi seluruh amal perbuatan agamanya dan dunianya. Sebab, seluruh amal perbuatan menjadi terhormat dengannya, kuat-lemahnya tergantung padanya, dan baik-buruknya terkait dengannya.

Keimanan orang Muslim kepada urgensi niat bagi seluruh amal perbuatan, dan kewajiban perbaikan niat itu, pertama, berdasarkan firman-firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, misalnya,

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; dalam (menjalankan) agama dengan lurus." (Al-Bayyinah: 5).

"Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama’." (Az-Zumar: 11).

Kedua, berdasarkan sabda-sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., misalnya,

"Sesungguhnya amal perbuatan itu harus dengan niat, dan setiap orang itu tergantung pada niatnya." (Muttafaq Alaih).

“Tidak melihat kepada bentuk fisik kalian, dan harta kalian, namun melihat kepada hati kalian, dan amal perbuatan kalian.” (Muttafaq Alaih).

Penglihatan kepada hati berarti penglihatan kepada niat, sebab niat adalah motivasi amal perbuatan. Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Barangsiapa ingin kepada kebaikan, dan ia tidak mengamalkannya, maka ditulis satu kebaikan untuknya." (Muttafaq Alaih).

Hanya karena keinginan yang benar saja, amal perbuatan menjadi baik kemudian mendapatkan pahala. Ini tidak lain karena keutamaan niat yang baik. Sabda RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Manusia terbagi ke dalam empat kelompok: (Pertama) orang yang diberi ilmu dan harta oleh Allah kemudian ia mengamalkan ilmunya pada hartanya ia menginfakkannya di jalannya. (Kedua) orang yang diberi ilmu oleh Allah, tapi tidak diberi harta, kemudian ia berkata, 'Seandainya aku mempunyai seperti yang dipunyai dia (orang pertama,), aku pasti berbuat seperti yang ia perbuat.' Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, “Pahalanya kedua orang tersebut sama." (Ketia,) orang yang diberi harta oleh Allah, tapi tidak diberi ilmu, ia tidak bisa mengatur hartanya dan menginfakkannya tidak di jalannya. (Keempat) orang yang tidak diberi ilmu dan harta oleh Allah, kemudian ia berkata, 'Seandainya aku mempunyai apa yang dimiliki orang tersebut (orang ketiga), aku pasti berbuat seperti yang ia perbuat'. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, 'Dosa keduanya sama'." (Diriwayatkan lbnu Majah dengan sanad yang baik)

Pada hadits di atas, orang yang mempunyai niat yang baik dibalas dengan pahala orang yang mempunyai amal shalih, dan orang yang mempunyai niat yang rusak dibalas dengan dosa orang yang mempunyai amal yang rusak. Sebabnya, tidak lain ialah karena niatnya. Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. di Tabuk, "Sesungguhnya di Madinah, terdapat orang-orang yang tidak mengarungi lembah, tidak menginjak tanah yang membuat orang kafir marah, tidak berinfak dengan apa pun, dan tidak ditimpa kelaparan, namun mereka sama dengan kita, kendati mereka berada di Madinah." Ditanyakan kepada beliau, “Kenapa begitu, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Mereka tidak bisa berangkat jihad karena udzur, kemudian mereka ikut kita dengan niat yang baik." (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Abu Daud).

Niat yang baik itulah yang membuat orang yang tidak bisa perang mendapatkan pahala orang yang berperang, dan orang bukan mujahid mendapat pahala mujahid. Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Jika dua orang Muslim bertemu dengan pedangnya masing-masing, maka pembunuh, dan orang yang terbunuh sama-sama masuk neraka." Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kalau pembunuh betul, bagaimana dengan orang yang terbunuh?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Karena ia juga ingin membunuh sahabatnya." (Muttafaq Alaih).

Niat yang rusak dan keinginan yang rusak disamakan pada pembunuh yang berhak masuk neraka dan orang yang terbunuh, sebab jika niat orang yang terbunuh itu tidak rusak, ia pasti masuk surga. Sabda RasulullahShalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Barangsiapa menikah dengan mahar dan berniat tidak membayarnya, ia pezina. Barangsiapa meminjam dan berniat tidak membayarnya, ia pencuri." (Diriwayatkan Ahmad).

Hanya dengan niat yang rusak, sesuatu yang mubah berubah menjadi sesuatu yang haram, dan sesuatu yang diperbolehkan menjadi sesuatu yang dilarang, serta sesuatu yang tidak ada kesulitan berubah menjadi ada kesulitan di dalamnya.

Ini semua menguatkan keyakinan orang Mukmin kepada urgensi niat dan nilainya yang agung.
Oleh karena itu, ia membangun seluruh amal perbuatannya di atas niat yang shalih, dan berusaha keras tidak mengerjakan amalan tanpa niat, atau niat yang tidak benar, sebab niat adalah intisari amal perbuatan dan pilarnya. Baik tidaknya amal perbuatan tergantung pada niatnya. Amal perbuatan tanpa niat menjatuhkan pelakunya ke dalam riya’ dan tercela.

Selain itu, orang Muslim meyakini bahwa niat adalah rukun amal perbuatan dan syaratnya. Ia meyakini bahwa niat tidaklah sekadar dengan lisan, misalnya mengatakan, "Allahumma nawaitu kadza (Ya Allah, aku berniat melakukan amal perbuatan ini)." Dan tidak pula hanya sekedar pembicaraan jiwa. Namun, niat adalah kebangkitan hati kepada amal perbuatan yang baik untuk tujuan mulia mendatangkan manfaat, menolak madharat yang terjadi sekarang, atau mendatang. Niat juga merupakan keinginan yang diarahkan kepada amal perbuatan untuk mencari keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, atau melaksanakan perintah-Nya.

Ketika orang Muslim meyakini bahwa amal perbuatan yang mubah bisa berubah menjadi ketaatan yang berpahala dengan niat yang baik, dan bahwa ketaatan tanpa niat yang baik berubah menjadi maksiat yang mendatangkan dosa dan hukuman, maka ia tidak berpendapat, bahwa kemaksiatan itu tidak bisa dipengaruhi oleh niat yang baik dan untuk kemudian berubah menjadi ketaatan.

Jadi, orang yang menggunjing orang lain untuk menyenangkan hati orang lain adalah bermaksiat kepada Allah Ta‘ala, berdosa, dan niat yang baik tidak bermanfaat baginya. Orang yang membangun masjid dari uang haram tidak akan diberi pahala. Orang yang menghadiri pesta-pesta dansa (joget), dan cabul, atau membeli kupon undian dengan niat untuk membantu proyek-proyek kebaikan, atau membantu pendanaan jihad, dan lain sebagainya adalah bermaksiat kepada Allah Ta‘ala, berdosa, dan tidak mendapatkan pahala. Orang yang membangun kubah di atas kuburan orang-orang shalih, atau menyembelih hewan qurban untuk mereka, atau bernadzar untuk mereka dengan niat mencintai orang-orang shalih adalah berrnaksiat kepada Allah Ta‘ala, dan berdosa karena perbuatannya tersebut, kendati ia berpendapat bahwa niatnya adalah baik, sebab yang bisa berubah menjadi ketaatan dengan amal shalih ialah amal perbuatan yang boleh dikerjakan, sedang hal-hal haram, ia tidak bisa berubah menjadi ketaatan apa pun alasannya.

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri

Kajian Etika Terhadap Muslim

Kajian Etika terhadap Muslim lainnya dan Hak-Hak Muslim atas Diriniya

Orang Muslim meyakini hahwa saudara seagamanya mempunyai hak-hak, dan etika-etika yang harus ia terapkan terhadapnya, kemudian ia melaksanakannya kepada saudara seagamanya, karena ia berkeyakinan bahwa itu adalah ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, dan upaya pendekatan kepada-Nya.

Hak-hak dan etika-etika ini diwajibkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala kepada orang Muslim agar ia mengerjakannya kepada saudara seagamanya. Jadi, menunaikan hak-hak tersebut adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan upaya pendekatan kepada-Nya tanpa diragukan sedikit pun.

Di antara hak-hak, dan etika-etika tersebut adalah sebagai berikut:

1.  Ia mengucapkan salam jika ia bertemu dengannya sebelum ia berbicara dengannya dengan mengatakan, "As-Salamu'alaikum wa Rahmatullah", berjabat tangan dengannya, dan menjawab salamnya dengan berkata, "Wa‘alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuhu".

Orang Muslim melakukan itu semua, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

"Apabila kamu diberi salam dengan ucapan salam, maka balaslah salam tersebut dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)." (An-Nisa': 86).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Orang yang berada di atas kendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan mengucapkan salam kepada orang yang duduk, dan orang yang sedikit mengucapkan salam kepada orang yang banyak." (Muttafaq Alaih).

"Sesungguhnya para malaikat heran kepada seorang Muslim yang berjalan melewati seorang Muslim lainnya, namun ia tidak mengucapkan salam kepadanya."

"Ucapkan salam kepada orang yang engkau kenal, dan orang yang tidak engkau kenal." (Muttafaq Alaih).
"Tidaklah dua orang Muslim kemudian keduanya berjabat tangan, melainkan keduanya diampuni sebelum keduanya berpisah." (Diriwayatkan Abu Daud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi).

"Barangsiapa memulai pembicaraan sebelum mengucapkan salam, maka janganlah kalian menggubris pembicaraannya hingga ia mengucapkan salam." (Diriwayatkan Ath-Thabrani, dan Abu Nu'aim).

2.  Jika ia bersin dan membaca "alhamdulillah", maka ia mendoakannya dengan berkata, "yarmukallahu" (mudah-mudahan Allah merahmatimu), kemudian orang yang bersin berkata, "yaghfirullahu lii wa laka" (semoga Allah memberi ampunan kepadaku dan kepadamu, atau ia berkata, "yahdikumullahu wa yushlihu baalakum" (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki hatimu), karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda,

"Jika salah seorang dan kalian bersin, maka hendaklah ia berkata, ‘Segala puji bagi Allah', dan hendaklah saudaranya mengatakan padanya, ‘Semoga Allah merahmatimu', dan jika saudaranya telah mengatakan, ‘Semoga Allah merahmatimu', maka hendaklah orang yang bersin berkata, ‘Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu, dan memperbaiki hatimu'." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Abu Hurairah ra berkata, "Jika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersin, beliau meletakkan tangannya, atau pakaiannya di mulutnya, dan merendahkan suaranya." (Muttafaq Alaih).

3.  Menjenguknya jika ia sakit dan mendoakan kesembuhan untuknya, karena sabda-sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. berikut:

"Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ialah lima: Menjawab ucapan salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin." (Muttafaq Alaih).

Al-Barra' bin Azib ra berkata, "Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. memerintahkan kita menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan orang yang bersin, membebaskan orang yang bersumpah, menolong orang yang tertindas, memenuhi undangan, dan menebarkan salam." (Diriwayatkan A1-Bukhari).

"Jenguklah orang sakit, berilah makan orang yang lapar, dan bebaskan para tawanan." (Muttafaq Alaih).
Aisyah ra berkata, "Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. menjenguk sebagian keluarganya, kemudian beliau mengusap dengan tangan kanannya, sambil berkata, ‘Ya Allah Tuhan manusia, hilangkan musibah, dan sembuhkanlah karena Engkau Maha Penyembuh. Tidak ada penyembuhan kecuali penyembuhan-Mu dengan penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit'." (Muttafaq Alaih).

4.  Menyaksikan jenazah tetangganya jika meninggal dunia, karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda,

"Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya adalah lima: Menjawab salamnya, menjenguk orang sakit, mengantar jenazahnya, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin." (Muttafaq Alaih).

5.  Membebaskan sumpah tetangganya jika telah bersumpah terhadap sesuatu dan ia tidak dilarang melakukannya, kemudian ia mengerjakan apa yang disumpahkan tetangganya itu untuknya agar tetangganya tidak berdosa dalam sumpahnya, karena hadits Al-Barra' bin Azib yang berkata, "Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. memerintahkan kita menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan orang yang bersin, membebaskan orang yang bersumpah, menolong orang yang tertindas, memenuhi undangan, dan menebarkan salam." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

6.  Menasihatinya jika ia meminta nasihat kepadanya dalam satu persoalan dengan menjelaskan apa yang ia pandang baik dalam hal tersebut berdasarkan dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Jika salah seorang meminta nasihat kepada saudaranya, hendaklah saudaranya tersebut memberinya nasihat." (Al-Bukhari).

"Agama adalah nasihat." Ditanyakan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Untuk siapa saja?" Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum Muslimin, dan seluruh kaum Muslimin." (Diriwayatkan Muslim).

7.  Mencintai untuknya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Salah seorang dan kalian tidak beriman hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri dan membenci untuk saudaranya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri." (Muttafaq Alaih).

"Perumpamaan kaum Mukminin dalam kecintaan mereka, kasih sayang mereka, dan keakraban mereka seperti satu badan. Jika salah satu anggota badan sakit, maka untuknya seluruh anggota badan tidak bisa tidur, dan demam." (Muttafaq Alaih).

"Orang bagi orang Mukmin lainnya adalah seperti bangunan dimana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain." (Muttafaq Alaih).

8.  Menolong dan tidak menelantarkannya kapan saja ia membutuhkan pertolongan, dan dukungan, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Tolonglah saudaramu, ia zhalim atau zhalimi", Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. ditanya tentang cara menolong orang yang zhalim, maka beliau bersabda, "Engkau melarangnya berbuat zhalim, dan menghentikan perbuatannya. Itulah pertolonganmu terhadapnya." (Muttafaq Alaih).

"Orang Muslim adalah saudara Muslim lainnya. ia tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh menelantarkannya, dan tidak boleh menghinanya." (Diriwayatkan Muslim).

"Tidaklah orang Muslim menolong orang Muslim lainnya di tempat di mana di dalamnya kehormatannya dilecehkan, dan keharamannya dihalalkan, melainkan Allah menolongnya di tempat ia senang ditolong di dalamnya. Tidaklah seorang Muslim menelantarkan (tidak menolong) orang Muslim lainnya di tempat di mana di dalamnya kehormatannya dilecehkan, melainkan ia ditelantarkan Allah di tempat ia senang ditolong di dalamnya." (Diriwayatkan Ahmad).

"Barangsiapa melindungi kehormatan saudaranya, maka Allah melindungi wajahnya dari neraka pada hari kiamat."

9.  Tidak menimpakan keburukan kepadanya, karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Seorang Muslim atas Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (Diriwayatkan Muslim).

"Orang Muslim tidak halal menakut-nakuti orang Muslim lainnya." (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud).
"Orang Muslim tidak halal melihat orang Muslim lainnya dengan pandangan yang menyakitinya." (Diriwayatkan Ahmad).

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai gangguan terhadap kaum Mukminin." (Diriwayatkan Ahmad).

"Orang Muslim ialah orang yang di mana kaum Muslimin yang lain selamat dari (gangguan) lisannya, dan tangannya." (Muttafaq Alaih).

"Orang Mukmin ialah orang yang di mana kaum Mukminin merasa aman terhadap jiwa mereka, dan harta mereka." (Diriwayatkan Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim. Hadits ini shahih).

10.  Rendah hati, tidak sombong terhadapnya, dan tidak menyuruh berdiri dari kursinya agar ia bisa duduk di atasnya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta'ala,

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Luqman: 18).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian tawadlu, hingga salah seorang dan kalian tidak sombong terhadap yang lain." (Diriwayatkan Abu Daud dan lbnu Majah. Hadits ini shahih)

"Tidaklah seseorang tawadlu (rendah hati) karena Allah, melainkan Allah Ta‘ala mengangkat derajatnya."
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersikap tawadlu' kepada semua orang Muslim dalam kapasitasnya sebagai pemimpin para rasul, tidak bersikap kasar, tidak malu berjalan dengan wanita-wanita janda dan orang-orang miskin, dan memenuhi kebutuhan mereka, hingga beliau bersabda,

"Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkan aku bersama rombongan orang-orang miskin." (Diriwayatkan Ibnu Majah dan Al-Hakim).
"Janganlah salah seorang dari kalian menyuruh seseorang berdiri dari kursinya kemudian ia duduk di atasnya, namun hendaklah kalian memperluas diri, dan melapangkan diri." (Muttafaq Alaih).

11.  Tidak mendiamkannya lebih dan tiga hari, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Orang Muslim tidak halal mendiamkan saudaranya lebih dari tiqa hari. Keduanya bertemu, salah satunya berpaling dan orang satunya juga berpaling. Orang terbaik di antara keduanya ialah orang yang memulai mengucapkan salam." (Muttafaq Alaih).

"Dan janganlah kalian saling membelakangi, dan jadilah kalian hai hamba-hamba Allah sebagai saudara-saudara." (Diriwayatkan Muslim).

Membelakangi ialah sikap saling mendiamkan, seorang Muslim memberikan pantatnya kepada orang lain, dan berpaling daripadanya.

12.  Tidak menggunjingnya, tidak menghinanya, tidak mencacinya, tidak melecehkannya, tidak menggelarinya dengan gelar yang tidak baik, dan tidak mengembangkan pembicaraannya untuk merusaknya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (Al-Hujuraat: 12).

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok,) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok,) wanita-wanita lain (karena)  boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang orang yang zhalim." (Al-Hujuraat: 13).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan menggunjing?" Para sahabat menjawab, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Engkau menyebut tentang saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya." Ditanyakan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Bagaimana jika apa yang aku katakan ada pada saudaraku tersebut?" Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Jika apa yang engkau katakan ada padanya, engkau telah menggunjingnya. Jika apa yang engkau katakan tidak padanya, engkau telah membuat kebohongan terhadapnya." (Diriwayatkan Muslim)

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. di haji Wada', "Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian." (Diriwayatkan Muslim).

"Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (Diriwayatkan Muslim).
"Cukuplah kesalahan bagi seseorang jika ia menghina saudara Muslimnya." (Muttafaq Alaih).

"Para pengadu domba tidak masuk surga."

13.  Tidak mencacinya tanpa alasan, sama ada ia masih hidup atau telah meniggal dunia, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Mencaci seorang Muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekafiran." (Muttafaq Alaih).
"Janganlah seseorang menuduh orang lain fasik atau kafir, melainkan tuduhan tersebut kembali kepadanya jika sahabat yang ia tuduh tidak seperti yang ia tuduhkan." (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).

"Jangan kalian menghina orang-orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah sampai pada apa yang mereka persembahkan (amalkan)." (Muttafaq Alaih).

"Di antara dosa-dosa besar ialah seseorang mencaci kedua orang tua kandungnya." Ditanyakan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam., "Apakah ada orang yang mencaci kedua orang tua kandungnya?" Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Ya ada, seseorang mencaci ayah orang lain, kemuclian orang lain tersebut mencaci ayah-ibu orang tersebut." (Muttafaq Alaih).

14.  Ia tidak dengki kepadanya, atau berprasangka buruk terhadapnya, atau membuatnya marah, atau mencari-cari kesalahan-kesalahannya, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain." (Al-Hujuraat: 12).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Janganlah kalian saling dengki, saling membenci, saling mencari-cari kesalahan, dan dan bersaing dalam penawaran, namun jadilah kalian sebagai saudara wahai hamba-hamba Allah." (Diriwayatkan Muslim)
"Tinggalkan oleh kalian buruk sangka, karena buruk sangka adalah perkataan yang paling dusta." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

15.  Tidak menipunya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

"Dan orang-orang yang menyakiti laki-laki Mukmin dan wanita wanita Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (Al-Ahzab: 58).

"Dan barangsiapa mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata." (An-Nisa': 112).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Barangsiapa mengangkat senjata kepada kami dan menipu kami, maka ia bukan golongan kami." (Diriwayatkan Muslim).

"Barangsiapa menjual hendaklah ia berkata, ‘tidak ada tipuan'." (Muttafaq Alaih).

"Tidaklah seorang hamba yang diberi amanat memimpin rakyat oleh Allah kemudian meninggal dunia dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya." (Muttafaq Alaih).

"Barangsiapa merusak (menipu) istri orang lain, atau budaknya, ia bukan termasuk golongan kami." (Diriwayatkan Abu Daud).

16.  Tidak mengkhianatinya, atau mendustakannya, atau menunda pembayaran hutangnya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala,
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." (Al-Maidah: 1).

"Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji." (Al-Baqarah: 177)

"Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya." (Al-Isra': 34).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Empat hal, barangsiapa keempat hal tersebut ada padanya, ia termasuk orang munafik tulen, dan barangsiapa salah satu dari keempat hal tersebut ada padanya maka pada dirinya terdapat sifat kemunafikan hingga ia meninggalkan sifat tersebut. (Keempat hal tersebut,) ialah jika ia diberi amanah, ia mengkhianati amanah tersebut. Jika ia berkata, ia bohong. Jika ia berjanji, ia mengingkari. Dan jika ia bertengkar, ia berbuat jahat." (Muttafaq Alaih).

"Allah Ta‘ala berfirman, ‘Aku menjadi musuh bagi tiga orang pada hari kiamat, orang yang membeli sesuatu dengan-Ku kemudian ia berkhianat, orang yang menjual orang merdeka kemudian memakan hasilnya, dan orang yang menyewa buruh kemudian buruh tersebut bekerja dengan baik untuknya, namun ia tidak memberinya upah'." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

"Penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya adalah kedzaliman. Jika salah seorang dari kalian disuruh menagih orang kaya yang menunda pembayaran hutangnya, maka tagihlah." (Muttafaq Alaih).

17.  Mempergaulinya dengan akhlak yang baik dengan memberikan kebaikan kepadanya, tidak menyakitinya, menampakkan wajah yang berseri-seri ketika bertemu dengannya, menerima kebaikan darinya. memaafkan kesalahannya, tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak rnenuntut ilmu dari orang bodoh, dan tidak meminta penjelasan dan orang yang tidak mempunyai penjelasan, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh." (Al-A'raaf: 199).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada, tindaklanjutilah kesalahan dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik." (Diriwayatkan Al-Hakim dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kannya).

18.  Hormat kepadanya jika ia dewasa (tua), dan menyayanginya jika ia masih kecil, karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Tidak termasuk golongan kami, orang yang tidak hormat terhadap orang tua kita, dan tidak menyayangi anak-anak kecil kita." (Diriwayatkan Abu Daud, dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kannya).

"Di antara pengagungan kepada Allah ialah memuliakan orang tua Muslim." (Diriwayatkan Abu Daud dengan sanad yang baik).

"Mulailah dengan orang tua, dan mulailah dengan orang tua."

Jika anak kecil dibawa ke hadapan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. beliau doakan, dan beliau beri nama, maka beliau mendudukkannya di atas pangkuannya, dan terkadang anak kecil tersebut mengencingi beliau.

Diriwayatkan bahwa jika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. tiba dari perjalanan, maka beliau disambut anak-anak, kemudian beliau berdiri di depan mereka, memerintahkan mereka diangkat kepada beliau, kemudian sebagian anak-anak tersebut berada di depan beliau, dan di belakang beliau. Beliau juga memerintahkan sahabat-sahabatnya menggendong sebagian anak-anak kecil sebagai ungkapan kasih sayang terhadap anak-anak kecil.

19.  Memposisikannya seperti dirinya, dan memperlakukannya dengan perlakuan yang ia sukai untuk dirinya sendiri, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Seseorang tidak bisa menyempumakan imannya hingga terkumpul pada dirinya tiga hal: Berinfak dari kekikiran, adil, dan memberikan ucapan salam." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

"Barangsiapa ingin dijauhkan dan neraka dan masuk surga, hendaklah ia mati dalam keadaan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan hendaklah ia menemui manusia dengan membawa sesuatu yang ia sendiri senang jika diberi sesuatu tersebut." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

20.  Memaafkan kesalahannya, menutup auratnya, dan tidak memaksa diri mendengarkan pembicaraan yang ia rahasiakan, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

"Maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al-Maidah: 13).

"Maka barangsiapa mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)." (Al-Baqarah: 178).

"Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." (Asy-Syura: 40)
"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?" (An-Nuur: 22).

"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat." (An-Nuur: 19).
Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Allah tidak menambahkan pada orang yang memaafkan, melainkan kemuliaannya." (Diriwayatkan Muslim).
"Hendaklah engkau memaafkan orang yang menzhalimimu."

"Tidaklah seorang hamba menutup aurat hamba lainnya, melainkan Allah menutup auratnya pada hari kiamat." (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi yang meng-hasan-kannya).

"Hai semua orang-orang yang beriman dengan lisannya, dan iman tidak masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum Muslimin, dan jangan membuka aurat mereka, karena barang siapa membuka aurat saudara Muslimnya maka Allah membuka auratnya dan menjelek-jelekkannya kendati ia berada di tengah rumahnya." (Diriwayatkan Abu Daud dan Ahmad).

"Barangsiapa mendengar informasi satu kaum yang tidak menginginkan pembicaraannya didengar orang lain, maka telinganya diberi timah yang meleleh pada hari kiamat." (Diriwayatkan Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

21.  Membantunya jika ia membutuhkan bantuannya, dan membantu memenuhi kebutuhannya kendati ia sudah mampu memenuhinya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta ‘ala,

"Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa." (Al-Maidah: 2).
"Barangsiapa memberikan syafa‘at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripanya." (An-Nisa': 85).

Sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.,

"Barangsiapa menghilangkan salah satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin maka Allah menghilangkan salah satu kesusahan hari kiamat darinya, barangsiapa memberi kemudahan kepada orang yang kesulitan maka Allah memberi kemudahan padanya di dunia dan akhirat, dan barangsiapa menutup aurat seorang Muslim maka Allah menutup auratnya di dunia dan akhirat. Allah menolong hamba-Nya, selagi hamba tersebut menolong saudara-nya." (Diriwayatkan Muslim).

"Berilah pertolongan niscaya kalian diberi pahala dan Allah memutuskan melalui lisan Nabi-Nya sesuai dengan yang diinginkannya." (Muttafaq Alaih).

22.  Melindunginya jika ia meminta perlindungan dengan Allah Ta'ala, memberinya jika ia meminta dengan-Nya, membalas kebaikannya, dan mendoakannya, karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda,

"Barangsiapa meminta perlindungan kalian dengan Allah, hendaklah kalian melindunginya. Barangsiapa meminta kalian dengan Allah, hendaklah kalian memberinya. Barangsiapa mengundang kalian, hendaklah kalian memenuhi undangannya. Dan barangsiapa berbuat baik kepada kalian, hendaklah kalian membalasnya. Jika kalian tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, maka doakan dia, hingga seolah-olah kalian telah merasa telah memberi balas jasa kepadanya."

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri