Sunday, January 27, 2013

Keutamaan Bacaan Tahlil Sepuluh Kali Seusai Shubuh dan Ashar


Keutamaan Bacaan Tahlil Sepuluh Kali Seusai Shubuh dan Ashar. Tulisan ini diambil dari Kitab Ash-Shahihah karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani. Semoga Tulisan ini bermanfaat.


١١٣ - مَنْ قَالَ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ بَعْدَ مَا يُصَلِّي الْغَدَاتِ عَشْرَ مَرَّاتٍ كَتَبَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَمُحِا عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ وَكُنَّ لَهُ بِعَدْلِ عِتْقِ رَقَبَتَيْنِ مِنْ وَلَدِ اِسْمَاعِيْلَ فَإِنْ قَالَهَا حِيْنَ يَمْسِي كَانَ لَهُ مِثْلَ ذٰلِكَ وَكُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ الشَّيْطَانِ حَتىّٰ يُصْبِحَ .

            “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku walahul hamdu wahuwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada Tuhan selain Allah, Esa Dia Tiada sekutu bagi-Nya bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya puji-pujian dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu) setelah shalat subuh sepuluh kali, maka Allah Azza wa Jalla menulis untukmu sepuluh kebaikan, menghapuskan sepuluh keburukan darinya mengangkat sepuluh derajat. Dan kalimat-kalimat itu baginya sebandning memerdekakan dua orang hamba sayaha dari anak Ismail. Jika dia mengucapkannya ketika sore, maka untuknya pula (balasan) seperti itu, dan kalimat-kalimat itu baginya menjadi penghalang dari syethan hingga pagi.”

            Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Arafah dalam Juz-nya (5/1): “Telah bercerita kepadaku Qiran bin Taman Al-Asasi, dari Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abi Hurairah secara marfu’.

            Juga dari jalur Ibnu Arafah, dimana Al-Khathib meriwayatkannya dalam Tarikh-nya (12/389-472).

            Saya berpendapat: Hadits ini shahih sanadnya, para perawinya tsiqah dan merupakan perawi-perawi yang dipakai oleh Imam Muslim, kecuali Qiran, akan tetapi ia pun tsiqah.
           
            Hadits ini juga mempunyai syahid (hadits pendukung) dari hadits Abi Ayub Al-Anshari dengan lafazh “مَنْ قَالَ إِِذَا أَصْبحَ...    “

            “Barangsiapa membaca manakala telah shalat subuh”, kemudian dia menyebutkan haditsnya secara sempurna.”

            Hanya saja ia berkata ( أَربَعُ رِقَابٍ  ) yang berarti “empat hamba sahaya” dan berkata, “Dan manakal dia membaca kalimat seperti itu setelah magrib”.

            Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5/415), dari jalur Muhammad bin Ishak dari Yazid bin Yazid Ibnu Jabir, dari Al-Qasim bin Mukhairmirah dari Abdullah bin Ya’isy dari Abi Hurairah.

            Saya berpendapat: Para perawinya adalah tsiqah, keculi Ibnu Ya’isy. Tidak ada yang menganggapnya tisqah kecuali Ibnu Hibban, disamping itu juga tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Al-Qasim tersebut. Al-Hasani menilainya majhul (tidak dikenal).

            Akan tetapi Al-Mundziri dalam At-Targhib  (1/167) menyandarkan hadits itu kepada Ahmad, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Hal ini menunjukkan bahwa hadits itu, menurut An-Nasa’i tidak melalui jalan Ibnu Ya’isy, karena ia  perawi (yang dipakai) oleh An-Nasa’i.

            Dan Sungguh Abu Rahm As-Sam’i menguatkannya dengan hadits dari Abu Ayub dengan lafazh:

١١٤ - مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ عَشْرَ مَرَّاتٍ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلَّ وَاحِدَةٍ قَالَهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ وَحَطَّ اللهُ عَنْهُ عَشْرَ سَيَّئَاتٍ وَرَفَعَهُ اللهُ بِهَا عَشْرَ دَرَجَاتٍ وَكُنَّ لَهُ كَعَشْرِ ِرقَابٍ وَكُنَّ لَهُ مَسْلَحَةً مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ إِلَى آخِرِهِ وَلَمْ يَعْمَلْ يَوْمَئِذٍ عَمَلاً يَقْهَرُهُنَّ فَإِنَّ قَالَ حِيْنَ يَمْسِي فَمِثْلُ ذٰلِكَ . ( صحيح ) _   

            “Barang siapa membaca ketika pagi Laa ilaha illa Allahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku walahul hamdu yuhyi wayumiytu wahuwa ala kulli syai’in qadir (tidak ada Tuhan selain Allah Dia Esa tidak ada sekgutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya puji-pujian. Dia menghidupkan dan mematikan dan dan berkuasa atas segala sesuatu), sepuluh kali, maka Allah mencatat untuknya, setiap satu kali ia membacanya, sepuluh kebaikan, Allah menghapuskan darinya sepuluh keburukan, Allah mengangkatnya dengan bacaan itu sepuluh derajat. Kalimat itu baginya seperti (memerdekakan) sepuluh hamba sahaya dan ia merupakan senjata baginya dari dini hari sampai akhir menjelang sore. Lalu jika dia membaca ketika sore, maka seperti itu juga keadannya.”

            Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/420): “Telah bercerita kepadaku Abu Al-Yaman: “Telah bercerita kepadaku Ismail bin Iyasy dari Shafwan bin Amr, dari Khalid bin Ma’dan, dari Abi Rahm.

            Saya berpendapat: Sanad ini shahih. Semua perwainya tsiqah. Sedangkan Ibnu Iyasy hanya lemah riwayatnya bila datang dari selain orang-orang Syam (Siria). Adapun jika dari orang-orang Syam maka shahih, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bukhari dan lainnya, sedang hadits ini juga termasuk dari orang-orang Syam tersebut. Adapun Shafwan adalah termasuk dari mereka yang tsiqah.

            Dalam riwayat ini ada faedah yang bagus. Yakni berupa tambahan      (  يُحْيِى وَيُمِيْتُ  ) “Dia menghidupkan dan mematikan”. Kalimat ini tidak terdapat dalam hadits lain. Dan saya telah meriwayatkannya dari hadits Abi Dzar. Dan Imarah bin Syahib, yang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi. Sedangkan sanad keduanya adalah lemah, seperti yang telah saya jelaskan dalam At-Ta’liqur Raghib Alat-Targhib Wat-Tarhib.

Wednesday, January 23, 2013

Melaksanakan Perintah Sesuai Kemampuan


Inilah hadits tentang perrintah melaksanakan perintah sesuai dengan kemampuan kita, silahkan dibaca dan semoga bermanfaat.
عن أبي هريرة عبدالرحمن بن صخر رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم , فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلم واختلافهم على أنبيائهم
Dari Abu Hurairah, 'Abdurrahman bin Shakhr radhiallahu 'anh, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : "Apa saja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi dan apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu. Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka (tidak mau taat dan patuh)"
[Bukhari no. 7288, Muslim no. 1337]

Hadits ini terdapat dalam kitab Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata : “Rasulullah berkhutbah dihadapan kami, sabda beliau : Wahai manusia, Allah telah mewajibkan kepada kamu haji, karena itu berhajilah, lalu seseorang bertanya : Wahai Rasulullah… apakah setiap tahun ?, Rasulullah diam, sampai orang itu bertanya tiga kali, lalu Rasulullah bersabda : Kalau aku katakana “ya” niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya, kemudian beliau bersabda lagi :Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan, karena kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka. Maka jika aku perintahkan melakukan sesuatu, kerjakanlah menurut kemampuan kamu, tetapi jika aku melarang kamu melakukan sesuatu, maka tinggalkanlah. Laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah adalah Aqra’ bin Habits, demikianlah menurut suatu riwayat.

Para ahli ushul fiqh mempersoalkan perintah dalam agama, apakah perintah itu harus dilakukan berulang-ulang ataukah tidak. Sebagian besar ahli fiqh dan ahli ilmu kalam menyatakan tidak wajib berulang-ulang. Akan tetapi yang lain tidak menyatakan setuju atau menolak, tetapi menunggu penjelasan selanjutnya. Hadits ini dijadikan dalil bagi mereka yang bersikap menanti (netral), karena sahabat tersebut bertanya “Apakah setiap tahun?” sekiranya perintah itu dengan sendirinya mengharuskan pelaksanaan berulang-ulang atau tidak, tentu Rasulullah tidak menjawab dengan kata-kata “Kalau aku katakan “ya”, niscaya menjadi wajib dan kamu tidak akan sanggup melakukannya” Bahkan tidak ada gunanya hal tersebut ditanyakan. Akan tetapi secara umum perintah itu mengandung pengertian tidak perlu dilaksanakan berulang-ulang. Kaum muslim sepakat bahwa menurut agama, bahwa haji itu hanya wajib dilakukan satu kali seumur hidup.

Kalimat, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan” secara formal menunjukkan bahwa setiap perintah agama tidaklah wajib dilaksanakan berulang-ulang, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban melaksanakan ibadah sampai datang keterangan agama. Hal ini merupakan prinsip yang benar dalam pandangan sebagian besar ahli fiqh.

Kalimat, “Kalau aku katakan “ya” tentu menjadi wajib” menjadi alasan bagi pemahaman para salafush sholih bahwa Rasulullah mempunyai wewenang berijtihad dalam masalah hukum dan tidak diisyaratkan keputusan hukum itu harus dengan wahyu.

Kalimat, “apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu” merupakan kalimat yang singkat namun padat dan menjadi salah satu prinsip penting dalam Islam, termasuk dalam prinsip ini adalah masalah-masalah hukum yang tidak terhitung banyaknya, diantaranya adalah sholat, contohnya pada ibadah sholat, bila seseorang tidak mampu melaksanakan sebagian dari rukun atau sebagian dari syaratnya, maka hendaklah ia lakukan apa yang dia mampu. Begitu pula dalam membayar zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya, bila tidak bisa membayar semuanya, maka hendaklah ia keluarkan semampunya, juga dalam memberantas kemungkaran, jika tidak dapat memberantas semuanya, maka hendaklah ia lakukan semampunya dan masalah-masalah lain yang tidak terbatas banyaknya. Pembahasan semacam ini telah populer didalam kitab-kitab fiqh. Hadits diatas sejalan dengan firman Allah, QS. At-Taghabun 64:16, “Maka bertaqwalah kepada Allah menurut kemampuan kamu” Adapun firman Allah, QS. Ali ‘Imraan 3:102, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sungguh-sungguh” ada yang berpendapat telah terhapus oleh ayat diatas. Sebagian ulama berkata : Yang benar ayat tersebut tidak terhapus bahkan menjelaskan dan menafsirkan apa yang dimaksud dengan taqwa yang sungguh-sungguh, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, dan Allah memerintahkan melakukan sesuatu menurut kemampuan, karena Allah berfirman, QS. Al-Baqarah 2:286, “Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya” dan firman Allah dalam QS. Al-Hajj 22:78, “Allah tidak membebankan kesulitan kepada kamu dalam menjalankan agama”

Kalimat, “apasaja yang aku larang kamu melaksanakannya, hendaklah kamu jauhi” maka hal ini menunjukkan adanya sifat mutlak, kecuali apabila seseorang mengalami rintangan /udzur dibolehkan melanggarnya, seperti dibolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat, dalam keadaan seperti ini perbuatan semacam itu menjadi tidak dilarang. Akan tetapi dalam keadaan tidak darurat hal tersebut harus dijauhi karena ada larangan. Seseorang tidak dapat dikatakan menjauhi larangan jika hanya menjauhi larangan tersebut dalam selang waktu tertentu saja, berbeda dengan hal melaksanakan perintah, yang mana sekali saja dilaksanakan sudah terpenuhi. Inilah prinsip yang berlaku dalam memahami perintah secara umum, apakah suatu perintah harus segera dilakukan atau boleh ditunda, atau cukup sekali atau berulang kali, maka hadits ini mengandung berbagai macam pembahasan fiqh.

Kalimat, “Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka” disebutkan setelah kalimat, “biarkanlah aku dengan apa yang aku diamkan kepada kamu” maksudnya ialah kamu jangan banyak bertanya sehingga menimbulkan jawaban yang bermacam-macam, menyerupai peristiwa yang terjadi pada bani Israil, tatkala mereka diperintahkan menyembelih seekor sapi yang seandainya mereka mengikuti perintah itu dan segera menyembelih sapi seadanya, niscaya mereka dikatakan telah menaatinya.

Akan tetapi, karena mereka banyak bertanya dan mempersulit diri sendiri, maka mereka akhirnya dipersulit dan dicela. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam khawatir hal semacam ini terjadi pada umatnya.

Monday, January 21, 2013

Hadits: Agama adalah Nasihat


Agama adalah nasihat, itulah judul posting hari ini, mudah-mudahan bermanfaat, yang diambil dari kitab yang sangat dikenal “Hadits Arba’in oleh An-Nawawi”.

عن أبي تميم بن أوس الـداري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " 
الدين النصيحة قلنا لمن ؟ قال : لله ولرسوله وللأئمة المسلمين و عامتهم

Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu 'anh, “Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya : Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim”
[Muslim no. 55]

Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.
Tentang penafsiran kata nasihat dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan :

  1.  Nasihat untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut, kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapapun”
  2. Nasihat untuk kitab-Nya maksudnya beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya, mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hokum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan mengimani Kitabullah.
  3. Nasihat untuk Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan lain sebagainya.
4. Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata, mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan.

5. Nasihat untuk seluruh kaum muslim à maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas. Wallahu a’lam

Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa arab artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala artinya saya membersihkan madu hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan kata nasihatmemiliki makna lain. Wallahu a’lam

Friday, January 4, 2013

Hukum Berdakwah Kepada Allah


Pada kesempatan ini saya coba menghadirkan tulisan yang bersumber dari situs Dakwah Islam tentang jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya tentang Hukum Berdakwah Kepada Allah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah berdakwah kepada Allah itu wajib atas setiap muslim dan muslimah, ataukah hanya terbatas pada para ulama dan penuntut ilmu (syar’i) saja ? Dan bolehkah seorang awam berdakwah kepada Allah ?
Beliau Menjawab:
Apabila seseorang berada di atas bashirah (pengetahuan yang benar dan jelas) terhadap apa yang ia akan dakwahkan, maka tidak ada perbedaan antara seorang alim yang besar dan dihormati atau seorang penuntut ilmu yang tekun atau seorang awam. Namun ia harus mengetahui masalah (yang ia dakwahkan) dengan ilmu yang meyakinkan. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat” [1]
Dan seorang da’i tidak dipersyaratkan harus sampai pada derajat/kadar yang tinggi dalam hal ilmu. Akan tetapi dipersyaratkan ia harus mengetahui apa yang dia dakwahkan. Adapun jika ia menjalankan dakwah atas dasar kebodohan dan perasaan yang ia miliki, maka hal ini tidak boleh.
Oleh karena itu kita sering menemukan saudara-saudara kita yang menyeru ke jalan Allah namun tidak memiliki ilmu kecuali sedikit ; kita akan menemukan mereka karena semangat yang sangat kuat lalu mengaharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah dan mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah atas hamba-hambaNya. Dan ini adalah perkara yang sangat berbahaya, karena mengharamkan apa yang dihalalkan Allah adalah sama dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Maka jika mereka mengingkari orang lain yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah maka yang lainpun akan mengingkari perngharaman mereka terhadap apa yang dihalalkan Allah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘Ini halal dan ini haram’, untuk mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih” [An-Nahl : 116-117]
Adapun seorang awam maka ia tidak boleh berdakwah sementara ia tidak mengetahui (apa yang akan ia dakwahkan). Maka yang pertama kali harus (dipenuhi) adalah ilmu, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Artinya : Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf : 108]
Maka ia harus berdakwah ke jalan Allah dengan landasan ilmu yang jelas (bashirah). Namun (dalam) perkara mungkar yang telah jelas atau perkara ma’ruf yang telah jelas, maka ia dapat memerintahkannya jika hal itu sesuatu yang ma’ruf, dan ia dapat melarangnya jika hal itu adalah suatu kemungkaran.
Adapun dakwah maka ia harus didahului dengan ilmu, karena siapa yang berdakwah tanpa ilmu maka ia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki, sebagaimana yang telah nampak. Maka menjadi kewajiban setiap insan untuk belajar terlebih dahulu lalu selanjutnya berdakwah.
Adapun pada perkara-perkara mungkar yang telah jelas atau pada perkara-perkara ma’ruf yang telah jelas, maka (orang awam itu) dapat melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar di dalamnya.
[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. [Potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3461 dari hadits Abdullah Ibn Umar Radhiyallahu ‘anhuma